Anda di halaman 1dari 9

Nama : …………………………….

Kelas : …………………………….

Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang
gugur dalam tragedi pada tanggal 30 September 1965 malam dan 1 Oktober 1965 dini hari.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai
Pahlawan Nasional. Berikut adalah daftar pahlawan Revolusi ;

1 . Mayor Jenderal Anumerta Donald Isac Panjaitan

Memiliki nama Donald Isac Panjaitan, lahir pada tanggal 9


juni 1925, di Balige, Tapanuli, Sumatera Utara. Pendidikan
formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah
Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas.
Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang
dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi
anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai
latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru,
Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya


membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia
pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan
Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala
Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda
melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan
Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Seiring dengan berakhirnya
Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan
sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I
Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T
& T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase
Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer,
ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira
yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika
Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi. Ketika menjabat
Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar
rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari situ
diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan
yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging
Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan untuk
mempersenjatai angkatan kelima.

2 . Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman

Memiliki nama lengkap Siswondo Parman, lahir pada


tanggal 4 Agustus 1918, di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia lulus
dari sekolah tinggi di kota Belanda pada tahun 1940 dan masuk
sekolah kedokteran, tetapi harus meninggalkan ketika Jepang
menyerang. Dia kemudian bekerja untuk polisi militer
Kempeitai Jepang. Namun, ia ditangkap karena keraguan atas
kesetiaannya, namun kemudian dibebaskan. Setelah
dibebaskan, ia dikirim ke Jepang untuk pelatihan intelijen, dan
bekerja lagi untuk Kempeitai pada kembali sampai akhir
perang, bekerja sebagai penerjemah di Yogyakarta.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Parman bergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal
bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada akhir Desember 1945, ia diangkat kepala staf dari
Polisi Militer di Yogyakarta. Empat tahun kemudian ia menjadi kepala staf untuk gubernur
militer Jabodetabek dan dipromosikan menjadi mayor. Dalam kapasitas ini, ia berhasil
menggagalkan plot oleh "Hanya Raja Angkatan Bersenjata" (Angkatan Perang Ratu Adil,
APRA), kelompok militer pemberontak yang dipimpin oleh Raymond Westerling, untuk
membunuh komandan menteri pertahanan dan angkatan bersenjata.

Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat untuk
pelatihan lebih lanjut, dan pada tanggal 11 November tahun itu, diangkat menjadi komandan
Polisi Militer Jakarta. ia kemudian menduduki sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional HQ,
dan Departemen Pertahanan Indonesia sebelum dikirim ke London sebagai atase militer ke
Kedutaan Indonesia di sana. [2] Pada tanggal 28 Juni, dengan pangkat Mayor Jenderal, ia
diangkat menjadi asisten pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen untuk Kepala Staf
Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.

3. Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto

Lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920.


Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP)
adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang
diselesaikannya pada tahun 1941.

Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan


milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua.
Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada
Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini
tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan
Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tetapi
kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya
dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan
syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil
merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota
Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai
tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti
di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh
rakyat Indonesia pada umumnya.

Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi
salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu,
pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang
pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama


ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang.
Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke
Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat
menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di
Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan
seperti sebelumnya tidak terulang lagi.

4. Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani

Memiliki nama lengkap Achmad Yani, lahir di Purworejo,


Jawa Tengah, 19 Juni 1922. Jenderal TNI Anumerta Ahmad
Yani adalah komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30 September saat
mencoba untuk menculik dia dari rumahnya.

Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara


republik yang masih muda dan berjuang melawan Belanda.
Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan,
Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan
dan memimpin kepada kemenangan melawan Inggris di Magelang. Yani kemudian diikuti ini
dengan berhasil mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk
mengambil alih kota, mendapat julukan "Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol
karier Yani selama periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada
awal 1949 untuk mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto
dipersiapkan untuk Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan pada Yogyakarta.

Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa
Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk melawan Darul Islam, sebuah
kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk
menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk sebuah kelompok pasukan khusus
yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani dividen dibayar dan
selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah menderita satu kekalahan
demi satu.

Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan
Staf Umum College, Fort Leavenworth, Kansas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan
ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum untuk
Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten
Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat
untuk Organisasi dan Kepegawaian.

Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap


Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pemberontak di Sumatera Barat. Pasukannya
berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia
dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan
kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November 1963 (otomatis menjadi
anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution.

5. Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo

Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo


lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922. Dia
adalah seorang perwira tinggi TNI-AD yang diculik dan
kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September
di Indonesia.

Ia menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada


tahun 1942, dan selama masa pendudukan Jepang, ia
belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta.
Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di
Purworejo, namun mengundurkan diri pada tahun 1944.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam
bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal
ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan
Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di
dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi
Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase
militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan
Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi
Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun
1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
6. Letnan Jenderal Anumerta M.T. Haryono

Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono


(lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20 Januari 1924 – meninggal
di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41
tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang
terbunuh pada persitiwa G30S. Ia dimakamkan di TMP
Kalibata - Jakarta.

Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini


sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat
Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat
dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di
Jakarta, namun tidak sampai tamat.

Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera


bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan
itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal
pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.

Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai
tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung,
kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda.
Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di
lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan
ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi
Militer Indonesia.

7. Kolonel Anumerta Sugiyono Mangunwiyoto

Kolonel Inf. (Anumerta) R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir di


Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul, 12 Agustus 1926 –
meninggal di Kentungan, Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur
39 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang
merupakan salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September.
Ia merupakan mantan Kepala Staf Korem 072/Pamungkas.
Kolonel Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-laki; R.
Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958), R. Danny
Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta seorang
anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya meninggal.
Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno. Ia dimakamkan di TMP Semaki,
Yogyakarta.

8. Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo

Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Katamso Darmokusumo


(lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal di
Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah
satu pahlawan nasional Indonesia, Ia merupakan mantan
Komandan Korem 072/Pamungkas. Katamso termasuk tokoh
yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara,
Yogyakarta.

Katamso pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah bentukan pemarintah


colonial Belanda. Dia bersekolah hingga kedatangan Jepang ke Indonesia. Pendidikannya
dimulai dari Holands inlandsche school (HIS). Setelah lulus HIS, dia melanjutkan
pendidikannya di Meer Uigetreid Lager Onderwijs (MULO). Akan tetapi dia tidak sempat
melanjutkan pendidikannya setelah lulus MULO. Hal tersebut disebabkan Jepang telah
menduduki wilayah Indonesia.

9. Karel Satsuit Tubun

Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun


(lahir di Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928 – meninggal di
Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 36 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah seorang
korban Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia adalah
pengawal dari J. Leimena. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta. Dikarenakan dia adalah korban Gerakan 30 September,
maka dia diangkat menjadi seorang Pahlawan Revolusi.
Ketika telah dewasa ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota POLRI. Ia pun
diterima, lalu mengikuti Pendidikan Polisi, setelah lulus, ia ditempatkan di Kesatuan Brimob
Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi. Ia
pun ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang
Bhayangkara Satu Polisi. Ketika Bung Karno mengumandangkan Trikora yang isinya
menuntut pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari tangan Belanda. Seketika pula
dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. Setelah Irian barat berhasil
dikembalikan, ia diberi tugas untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri, Dr. J.
Leimena di Jakarta. Berangsur-angsur pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.

Karena mengganggap para pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang utama cita-
citanya. Maka PKI merencanakan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap
sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap menghalangi cita-citanya. Salah satu
sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr. J. Leimena.
Gerakan itu pun dimulai, ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri
untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap para pengawal rumah
Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K. Satsuit Tubun pun terbangun
dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang,
gerombolan itu pun juga menembaknya. Karena tidak seimbang K. Satsuit Tubun pun tewas
seketika setelah peluru penculik menembus tubuhnya.

10. Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean

Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean (lahir 21


Februari 1939 – meninggal 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun)
adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu
korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965.
Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian
ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris
Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi
kapten anumerta setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban Gerakan 30 September
lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.

Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah
Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis, pada tanggal 21
Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga
bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di
Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk
akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau
seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi
Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.

Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean
menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.
Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana,
ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke
Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia; ia bertugas
memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada
tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai
ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.

Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S) mendatangi
rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di ruang
belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut dan
segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira
dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil
melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah
Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang
ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya

Anda mungkin juga menyukai