Kelas : …………………………….
Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang
gugur dalam tragedi pada tanggal 30 September 1965 malam dan 1 Oktober 1965 dini hari.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai
Pahlawan Nasional. Berikut adalah daftar pahlawan Revolusi ;
Setelah kemerdekaan Indonesia, Parman bergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal
bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada akhir Desember 1945, ia diangkat kepala staf dari
Polisi Militer di Yogyakarta. Empat tahun kemudian ia menjadi kepala staf untuk gubernur
militer Jabodetabek dan dipromosikan menjadi mayor. Dalam kapasitas ini, ia berhasil
menggagalkan plot oleh "Hanya Raja Angkatan Bersenjata" (Angkatan Perang Ratu Adil,
APRA), kelompok militer pemberontak yang dipimpin oleh Raymond Westerling, untuk
membunuh komandan menteri pertahanan dan angkatan bersenjata.
Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat untuk
pelatihan lebih lanjut, dan pada tanggal 11 November tahun itu, diangkat menjadi komandan
Polisi Militer Jakarta. ia kemudian menduduki sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional HQ,
dan Departemen Pertahanan Indonesia sebelum dikirim ke London sebagai atase militer ke
Kedutaan Indonesia di sana. [2] Pada tanggal 28 Juni, dengan pangkat Mayor Jenderal, ia
diangkat menjadi asisten pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen untuk Kepala Staf
Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil
merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota
Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai
tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti
di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh
rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi
salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu,
pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang
pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.
Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa
Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk melawan Darul Islam, sebuah
kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk
menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk sebuah kelompok pasukan khusus
yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani dividen dibayar dan
selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah menderita satu kekalahan
demi satu.
Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan
Staf Umum College, Fort Leavenworth, Kansas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan
ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum untuk
Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten
Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat
untuk Organisasi dan Kepegawaian.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam
bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal
ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan
Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di
dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi
Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase
militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan
Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi
Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun
1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
6. Letnan Jenderal Anumerta M.T. Haryono
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai
tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung,
kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda.
Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di
lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan
ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi
Militer Indonesia.
Karena mengganggap para pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang utama cita-
citanya. Maka PKI merencanakan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap
sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap menghalangi cita-citanya. Salah satu
sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr. J. Leimena.
Gerakan itu pun dimulai, ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri
untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap para pengawal rumah
Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K. Satsuit Tubun pun terbangun
dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang,
gerombolan itu pun juga menembaknya. Karena tidak seimbang K. Satsuit Tubun pun tewas
seketika setelah peluru penculik menembus tubuhnya.
Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah
Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis, pada tanggal 21
Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga
bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di
Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk
akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau
seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi
Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.
Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean
menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.
Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana,
ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke
Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia; ia bertugas
memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada
tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai
ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.
Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S) mendatangi
rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di ruang
belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut dan
segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira
dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil
melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah
Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang
ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya