Anda di halaman 1dari 7

PAHLAWAN REVOLUSI

1. Jenderal Ahmad Yani

Jenderal TNI Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, pada 19 Juni 1922. Pada 1962, ia
diangkat Presiden Sukarno menjadi Panglima Angkatan Darat keenam, menggantikan
Abdul Haris Nasution.
Pria yang wafat dalam usia 43 tahun ini sempat ke Amerika Serikat untuk menempuh
pendidikan di Kansas. Mengutip situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Ahmad Yani memiliki
kemampuan mengenai operasi gabungan yang pertama kali dipraktikan dalam menumpas
Permesta di Sumatra Barat dalam Operasi 17 Agustus.
Pada 1 Oktober 1965, Ahmad Yani diculik dan dibunuh hingga jenazahnya dibawa ke
Lubang Buaya. Usai jenazahnya ditemukan, pada 5 Oktober 1965, Ahmad Yani
dianugerahi Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan menjadi Anumerta. Kini,
namanya diabadikan sebagai sejumlah nama jalan di berbagai daerah di Indonesia.

2. Letjen Suprapto

Letjen R Soeprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah,


pada 20 Juni 1920. Pada masa pemerintahan Jepang di
Indonesia, ia sempat ditawan dan dimasukkan ke dalam
penjara, namun berhasil kabur. Menjelang wafat, ia
menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat untuk
wilayah Sumatra.
Pada 1 Oktober 1965, ia diculik dan dibunuh. Mengutip
situs resmi Pemprov DKI Jakarta, jenazahnya juga
dimasukan ke dalam Lubang Buaya. Usai ditemukan,
jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
(TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Namanya juga
diabadikan sebagai nama jalan di berbagai daerah.
3. Mayjen S Parman
Mayjen S Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4
Agustus 1918. Semasa hidupnya, ia pernah mengenyam
pendidikan di Amerika Serikat pada 1951. Ia juga pernah
menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara di
Yogyakarta (Desember 1945), Kepala Staf Gubernur Militer
Jakarta Raya (1949), Kepala Staf G (1950), hingga Atase
Militer RI di London (1959).
Menjelang wafat, S Parman menjabat sebagai Asisten I
Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan
pangkat mayor jenderal. Ia juga gugur pada 1 Oktober 1965
dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan. Untuk mengenang jasa S Parman,
namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di berbagai daerah.

4. MT Haryono
Mas Tirtodarmo (MT) Haryono merupakan pahlawan
revolusi yang lahir di Surabaya, 20 Januari 1924.
Mengutip situs resmi Pemprov DKI Jakarta, MT
Haryono mampu menguasai empat bahasa yakni
Bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan Belanda.
Berkat kemampuan tersebut, ia sering dibutuhkan
dalam perundingan dengan Belanda maupun Inggris.
Ia sempat bertugas di Belanda sebagai Atase
Militer Indonesia. Namun, ia kembali ke
Indonesia untuk beragam tugas hingga
akhirnya pada 1964 diangkat Presiden
Sukarno sebagai Deputy III Menteril Panglima
Angkatan Darat.
Pada 1 September 2020, MT Haryono menjadi salah
satu jenderal yang hendak diculik. Pada saat kejadian,
ia disebut sempat melawan, namun tertembak. Jenazahnya kemudian juga dibawa ke
Lubang Buaya, hingga jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata setelah ditemukan.
Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan.

5. D.I. Panjaitan
Donald Izacus (D.I) Panjaitan lahir di Sitorang, Balige pada
10 Juni 1925. Mengutip situs Pemprov DKI Jakarta, DI
Panjaitan merupakan sosok yang gemar musik klasik dan
penganut Protestan yang taat.
Sesudah pengakuan kedaulatan, ditunjuk sebagai Kepala
Operasi di Medan dan lalu dipindahkan ke Territorium II
(Sumatra Selatan). Pernah menjabat Atase Militer di Bonn
(Jerman Barat) untuk selanjutnya ditugaskan lagi sebagai
Deputy I KASAD dengan pangkat Kolonel.
Sewaktu menjabat Asisten IV/Men Pangad, ia mengikuti
pendidikan Associate Command and General Staff College di
Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat selama enam
bulan (Desember 1963-Juni 1964).
Ia juga gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September itu. Setelah wafat, pangkatnya
dinaikkan menjadi Mayor Jenderal Anumerta, dengan diberi gelar pahlawan revolusi, serta
namanya diabadikan sebagai nama jalan.
6. Sutoyo Siswomihardjo
Pahlawan revolusi ini lahir di Kebumen, Jawa Tengah,
pada 23 Agustus 1922. Sebelum menjadi tentara, ia sempat
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Kabupaten
Purworejo, namun berhenti dengan hormat pada 1944.
Pasca-proklamasi kemerdekaan, ia masuk Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) bagian kepolisian yang
berkembang jadi Corps Polisi Militer (CPM). Pada Juni
1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto
yang ketika itu menjadi Komandan Polisi Tentara (PT).
Mengutip situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Sutoyo terus
mengabdikan diri di lingkungan CPM usai pengakuan
kedaulatan. Pada 1954, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer. Dua
tahun kemudian ia bertugas di London sebagai Asisten Atase Militer RI untuk Inggris.
Setelah kembali ke tanah air, ia mengikuti Kursus C Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (Seskoad) di Bandung. Kemudian ia diangkat menjadi Pejabat Sementara Inspektur
Kehakiman Angkatan Darat (Irkeh AD). Berkat pengetahuan yang cukup dan pengalaman
yang luas di bidang hukum, pada 1961 ia diserahi tugas sebagai Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD).
Pada saat masih mengemban jabatan tersebut, Sutoyo juga diculik dan jenazahnya dibuang
di Lubang Buaya. Sama seperti pahlawan revolusi lainnya, jenazah Sutoyo kemudian
dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan, dan namanya diabadikan sebagai nama
jalan.
7. Pierre Tendean

Pierre Andries Tendean merupakan Anggota TNI Angkatan Darat berpangkat Kapten, yang
lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Ia merupakan ajudan Menko Hankam Jenderal AH
Nasution yang berhasil lolos dari penculikan pada gerakan 30 September.
Pierre diculik dan ditembak mati di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pria 26 tahun itu
dimakamkan di TMP Kalibata, dianugerahi penghargaan Satya Lencana Saptamarga, dan
namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Itulah biografi singkat 7 pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30
September.
PAHLAWAN REFORMASI

1. Elang Mulia Lesmana, Mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur, Angkatan 1996

Penampilannya gagah, berwajah tampan, berkulit putih bersih, dan berambut hitam
berombak. Pemuda murah senyum ini selalu menyapa siapa saja yang berpapasan
dengannya. Itulah Elang Mulia, kelahiran Jakarta, 5 Juli 1978, buah hati dari pasangan Boy
Bagus Yoganadita Rahman dan Hira Tetty Yoga.

“Sebagai pengunjuk rasa, Elang bukanlah aktor ataupun konseptornya. Keponakan penyanyi
“Sendu” Nia Daniaty itu, sesuai dengan pembawaannya, lebih suka bercanda. Dalam
suasana yang serius dan emosi pun, Elang masih bisa bercanda.
Lihat misalnya ketika rekan-rekannya menggelar spanduk dan poster yang “keras-keras”,
Elang berani tampil beda dan kocak. Dengan santai ia mangacung-acungkan poster
bertuliskan: “Turunkan Harga Fotokopi dan Minyak Wangi!” Inilah, barangkali, satu-satuya
poster “lain” yang digelar oleh seseorang pengunjuk rasa dalam atmosfer demonstrasi keras
dan memanas itu.
2. Hafidin Royan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil, angkatan 1996

Penampilan pemuda yang lahir di Bandung, 28 September 1976, ini kalem. Anak keempat
dari lima bersaudara pasangan Ir. Enus Yunus, pegawai Binamarga Pusat, dan Ir. Sunarmi,
pegawai Puslitbang Pengairan, Jawa Barat, ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja
di Bandung.
Setelah menamatkan SMU di Bandung tahun 1966, Royan melanjutkan pendidikannya ke
Trisakti. Di Jakarta, Royan ikut ayahnya dan tinggal di perumahan Cipayung, Jakarta
Timur. Bila tak ada kesibukan di kampus, hampir setiap akhir pekan Royan pulang ke
Bandung.
Royan adalah satu-satunya anak lelaki yang dipunyai pasangan Enus Yunus dan Sunarmi.
Meski berpenampilan kalem, Royan suka bercanda, terutama pada kakak dan adiknya.
Menurut penuturan seorang kakaknya, Husnun, Royan tak jarang menggoda saudara-
saudaranya itu. Kalau candaannya itu membuat kesal sang kakak atau adik, Royan selalu
mengatakan, “Ah, begitu saja kok marah!”
Di mata orangtuanya, Royan adalah anak baik, tak pernah macam-macam. “Dia itu anak
saleh dan giat belajar,” kata Sunarmi, sang ibu. Pengakuan sang ibu tak berlebihan. Di
kampusnya, almarhum dikenal sebagai seorang ustaz. “Soalnya, ia sangat rajin mengajak
teman-temannya salat tepat waktu,” begitu kata salah seorang temannya.
3. Hendriawan Lesmana, Fakultas Ekonomi, angkatan 1996
Trisakti Picture

Rabu dini hari, 13 Mei 1998, telepon di rumah Hendriksie di Balikpapan berdering nyaring.
Si penelepon, Subaning, tak lain adalah adik iparnya, mengabarkan bahwa Hendriawan
Lesmana telah gugur sebagai pahlawan reformasi. “Dada ini langsung terasa sesak,” kata
Hendriksie, ayah Hendriawan. Berita duka itu pun diteruskan pada istrinya, Karsiah, yang
langsung pingsan. Kedua orangtua almarhum baru bisa terbang ke Jakarta, Rabu pagi.
“Syukur alhamdulillah, kami masih bisa melihat dan mengantarkan jenazahnya,” tutur sang
ayah dengan mata berkaca-kaca. “Aksi di dalam kampus kok ditembak, kan sah-sah saja,”
kata sang ayah dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kesedihan.
Hendriawan lahir di Balikpapan, 3 Mei 1978. Anak tunggal pasangan Hendriksie dan
Karsiah ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di kota minyak Balikpapan.
Pemuda bertampang macho dengan rambut sebahu yang disisir rapi itu juga dikenal sebagai
pemusik, dengan petikan gitarnya yang cukup memukau. Tak hanya itu, berjalan di atas
catwalk, sebagai peragawan, juga pernah dilakoninya.

Pada 1996, usai tamat SMU di kota kelahirannya, Hendriawan masuk Fakultas Ekonomi di
Universitas Trisakti. Di Jakarta, Hendriawan ikut pamannya, Subaning –pegawai
pemerintah DKI- di Kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Di kalangan anak-anak di kawasan
Kedoya itu, Hendriawan dikenal sebagai pencerita yang suka memberi permen. “Sejak kecil
ia memang sudah pandai bercerita,” tutur Subaning.
4. Hery Hartanto, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin, angkatan 1995

Pemuda berusia 21 tahun yang bertubuh gempal dengan tinggi 170 cm itu gugur setelah
bagian tulang belakangnya tertembus peluru yang bersarang di dada bagian kiri. Heri
meninggalkan duka mendalam bagi kedua orangtuanya, Sjahrir Mulyo Utomo, 70, dan
Lasmiati, 40, serta dua orang adik perempuannya.
Sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Mesin, almarhum dikenal sebagai mahasiswa baik-
baik. Ia tak dikenal sebagai aktivis suatu organisasi apa pun. “Jangankan berorganisasi, baca
koran saja jarang,” kata Sjahrir, pensiunan Zeni Angkatan Darat berpangkat letnan dua itu.
“Anak saya bukan perusuh, kenapa ditembak,” begitu jerit Lasmiati ketika mengetahui anak
sulungnya gugur tertembus peluru petugas keamanan.
Meski tak aktif berorganisasi, Heri mudah bergaul dan banyak teman. Kepeduliannya
terhadap rekan-rekannya, baik di kampus maupun di kampungnya, di Jalan Cempaka Timur
XVII, Jakarta Timur, sangatlah kental.
Itu terbukti ketika ia merintis membuka usaha bengkel dan fotokopi. Usahanya itu
dimaksudkan untuk menampung teman-temannya yang menganggur dan tak mampu
meneruskan kuliah.
Di kalangan teman-temannya, Hery dikenal mempunyai jiwa wirausaha dan solidaritas yang
tinggi. Untuk memulai usahanya, Hery pernah mengajukan proposal untuk meminta
pinjaman dana ke Bank Rakyat Indonesia, Rp 200 juta. Tapi suratan takdir telah
menggariskan bahwa ia gugur bersama cita-cita yang tengah dirintisnya.
Almarhum, yang sesekali ikut menjadi pengibar bendera di arena balap Sentul itu, memang
sangat gandrung mesin mobil. Terakhir, ia sedang asyik mengutak-atik dan meneliti mesin
VW kodok.
Setelah 20 tahun, berganti 5 presiden sesudah Soeharto, siapa yang harus bertanggung
jawab atas kematian keempat mahasiswa ini belum terungkap. Pejabat yang bertanggung
jawab atas keamanan nasional saat itu, kini menjadi salah satu menteri penting di era
Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Reformasi melahirkan jutaan penikmatnya, warga negara Indonesia. Bagi keluarga yang
kehilangan, duka mendalam dan Selasa yang kelabu tak pernah surut dari pikiran dan
kenangan.

Anda mungkin juga menyukai