Anda di halaman 1dari 8

PAHLAWAN REVOLUSI

SISWONDO PARMAN

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan nama S.
Parman merupakan salah satu pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia. S.
Parman meninggal dunia setelah terbunuh pada peristiwa G30S PKI. S. Parman kemudian
mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. S. Parman adalah anak keenam dari sebelas
bersaudara yang dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918.
Ayahnya bernama Kromodihardjo bekerja sebagai seorang pedagang. S. Parman memiliki
seorang kakak laki-laki bernama Ir. Sakirman dimana nanti kakaknya ini akan menjadi
petinggi di Politbiro CC PKI (semacam Dewan Syuro atau Dewan Penasihat Parpol
sekarang).
Meskipun Kromodihardjo hanyalah seorang pedagang di Pasar Wonosobo, dia selalu
mengusahakan agar anak-anaknya bisa memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Parman
menyelesaikan pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau Sekolah Dasar
Belanda di Wonosobo. Kemudian dia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebried Lager
Onderwijs) atau Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta.
JENDERAL TNI AHMAD YANI

Jenderal TNI Ahmad Yani adalah salah satu korban dari peristiwa G30S PKI yang kini
dikenal sebagai pahlawan revolusi. Beliau diketahui lahir di Purworejo, Jawa Tengah.
Jenderal Ahmad Yani lahir pada tanggal 19 Juni 1922. Pada waktu muda, beliau pernah
mengikuti wajib militer dan berperan sebagai tentara Hindia Belanda. Lalu saat Jepang
menjajah Indonesia, Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu anggota tentara Pembela Tanah
Air (PETA).
Kemudian setelah Indonesia merdeka, Ahmad Yani mulai bergabung dengan Tentara
Nasional Indonesia yang waktu itu masih memiliki nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ahmad Yani menjadi seorang komandan tentara di wilayah Magelang. Beliau berhasil
mempertahankan kota tersebut dari serangan tentara Inggris setelah adanya proklamasi
kemerdekaan.
BRIGJEN TNI DONALD ISAAC PANDJAITAN

Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara pada tanggal 9 Juni
1925. Ketika jepang menguasai Indonesia, Pandjaitan baru saja menyelesaikan sekolahnya.
Kemudian setelah tamat SMA, beliau menjadi anggota Gyugun atau bisa disebut sebagai
tentara sukarela di wilayah Pekanbaru, Riau.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Pandjaitan mulai bergabung di dalam Tentara
Keamanan Rakyat atau TKR yang baru saja dibentuk. Pertama bergabung, beliau menjabat
sebagai komandan batalyon. Kemudian Ia ditugaskan menjadi Komandan Pendidikan Divisi
IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.
Namun tak lama dari itu, Ia beralih menjadi Kepala Staf Umum IV di Komandemen Tentara
Sumatera. Kemudian Ia menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat
Republik Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda yang ke I dan II.
Setelah adanya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Pandjaitan naik jabatan yaitu
menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di wilayah Medan. Lalu,
Ia juga beralih menjadi Kepala Staf T dan T II/Sriwijaya.
Pada Tahun 1963, Ia dikirim ke Amerika Serikat guna mengikuti kursus militer di Associated
Command and General Staff College di wilayah Fort Leavenworth. Pandjaitan juga sempat
ditugaskan menjadi atase militer Indonesia di wilayah Bonn pada tahun 1960. Sebelumnya, Ia
pernah mengikuti kursus atase militer pada tahun 1965. Setelah itu, dua tahun kemudian Ia
ditugaskan kembali sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di
bagian logistik.
Kemudian pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Pandjaitan diculik oleh pasukan
Cakrabirawa dan menjadi salah satu korban G30S PKI. Hingga sekarang, Pandjaitan telah
dikenal sebagai pahlawan revolusi.
MAYJEN M.T HARYONO

Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono atau biasa dikenal dengan nama Mayjen MT
Haryono ini lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 20 Januari 1924. Setelah
merampungkan pendidikan dasarnya, ia juga sempat menempuh pendidikan di Ika Dai Gakko
(Sekolah Tinggi Kedokteran) di zaman Jepang, meskipun tidak sampai tamat karena Jepang
menyerah.
Selepas proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, MT Haryono bergabung dengan TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) dan juga memperoleh pangkat yakni Mayor. Pada masa mempertahankan
kemerdekaan, MT Haryono beberapa kali mendapatkan tugas sebagai anggota delegasi
Indonesia ketika perundingan dengan Inggris dan Belanda seperti pada Konferensi Meja
Bundar (KMB).
Kemampuannya ketika berunding dan memahami beberapa bahasa asing seperti bahasa
Jerman, Belanda, dan Inggris menjadikan dirinya didaulat sebagai atase militer Indonesia di
Belanda. Setelah itu, dirinya kemudian kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi Asisten
atau Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani bagian pembinaan
dan perencanaan.
MAYJEN R. SUPRAPTO

Mayjen R. Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 20 Juni 1920. Setelah
menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, Suprapto lalu mengikuti sebuah pelatihan
militer di Koninklijke Militaire Akademie yang berada di Bandung. Namun tak sampai
selesai karena Jepang menguasai Indonesia.
R. Suprapto kemudian ditahan dan dimasukan ke penjara. Akan tetapi dirinya berhasil
melarikan diri. Ia juga sempat mengikuti sebuah pelatihan bernama keibodan, syuisyintai, dan
seinendan yang diadakan oleh Jepang. Setelah itu, dirinya memutuskan bekerja di Kantor
Pendidikan Masyarakat.
Sama halnya dengan MT Haryono, selepas Indonesia merdeka R. Suprapto juga bergabung
ke dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Dirinya berperan langsung dalam sebuah
pertempuran Ambarawa bersama Jenderal Sudirman melawan tentara Inggris.
Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda, R. Suprapto ditugaskan sebagai Kepala
Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Selepas itu, ia pindah ke
Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat dan Kementerian Pertahanan.
Beberapa tahun kemudian, R. Suprapto kemudian dilantik menjadi Deputi (Wakil) Kepala
Staf Angkatan Darat bagi daerah Sumatera yang berada di Medan. Hingga akhirnya, ia
kembali ke Jakarta sebagai salah satu perwira tinggi Angkatan Darat dengan pangkat Mayor
Jenderal.
MAYJEN TNI SUTOYO SISWOMIHARJO

Sutoyo Siswomiharjo lahir di daerah Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1922.
Setelah menuntaskan pendidikannya di AMS, dirinya kemudian menuntut ilmu di Sekolah
Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta. Setelah tamat sekolah dirinya kemudian bekerja
menjadi pegawai pemerintah di Purworejo, dan berhenti bekerja pada tahun 1944.
Pasca Indonesia merdeka tahun 1945, Sutoyo Siswomiharjo atau biasa dipanggil dengan
nama pak Toyo memutuskan untuk bergabung dengan satuan Polisi Tentara Keamanan
Rakyat. Tak lama kemudian ia memperoleh tugas menjadi seorang ajudan dari Jenderal Gatot
Subroto yang masa itu menjabat sebagai komandan polisi militer.
Setelah lama bertugas di polisi militer, Sutoyo Siswomiharjo akhirnya menjabat menjadi
kepala staf Markas Besar Polisi Militer di tahun 1954. Hanya beberapa tahun menjabat
kemudian dirinya memperoleh tugas menjadi asisten atase militer di kedubes Indonesia di
Inggris.
Selepas menyelesaikan sekolah staf dan komando di Bandung pada tahun 1960, Sutoyo
ditugaskan menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat. Setelahnya, ia lalu naik sebagai
Inspektur Kehakiman atau Jaksa Militer Utama dengan pangkat yaitu Brigadir Jenderal TNI.
Sutoyo Siswomiharjo termasuk ke dalam salah satu daftar perwira tinggi di Angkatan Darat
yang diculik oleh pasukan Cakrabirawa. Kala itu, Sutoyo dijemput oleh pasukan Cakrabirawa
di rumahnya. Kemudian dibawa ke lubang buaya yang berada di daerah Halim
Perdanakusuma.
KAPTEN CZI. PIERRE TENDEAN

Nama Lengkap dari Kapten Czi. Pierre Tendean adalah Pierre Andries Tendean. Dirinya
biasa dikenal dengan nama Pierre Tendean lahir pada tanggal 21 Januari 1939. Semenjak
kecil dirinya sudah memiliki cita-cita sebagai seorang tentara. Setelah menuntaskan
sekolahnya, kemudian ia bergabung di sekolah militer Akademi Teknik Angkatan Darat
(ATEKAD). Selama sekolah, ia bahkan sempat berpartisipasi dalam sebuah operasi militer
memberantas pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di daerah
Sumatera.
Selepas lulus, Pierre pun mendapat tugas menjadi seorang Komandan Peleton Batalyon Zeni
Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan dengan pangkat yaitu Letnan Dua. Beberapa
tahun kemudian dirinya bergabung di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD). Dari
situ ia memperoleh tugas sebagai intelijen di Malaysia saat Indonesia dan Malaysia
mengadakan konfrontasi.
Dari situ, Pierre kemudian naik pangkat sebagai letnan satu dan ditarik sebagai seorang
ajudan Jenderal A.H Nasution. Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Pasukan Cakrabirawa
datang untuk menculik Jenderal A.H Nasution yang menjadi target utama.

Anda mungkin juga menyukai