Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KLIPING

“PAHLAWAN REVOLUSI”

DISUSUN OLEH :

LIANA NUR KHOLIFAH


KELAS : 9.E

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

SMP NEGERI 39 BANDAR LAMPUNG


TAHUN PELAJARAN 2023-2024
NAMA DAN BIOGRAFI SINGKAT PAHLAWAN REVOLUSI

1. JENDERAL AHMAD YANI

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani lahir di Jawa Tengah, 19 Juni 1922  meninggal di Lubang
Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun. Adalah komandan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30 September. Ahmad Yani lahir
di Jenar Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga
yang bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927,
Yani pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk General
Belanda. Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan menengah. Pada tahun
1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib militer di tentara Hindia Belanda
pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini
terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan
keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara
yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di
Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan
peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai,
ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur
2. LETNAN JENDERAL R. SUPRAPTO

Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Jawa Tengah, 20 Juni 1920. Meninggal di
Lubangbuaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun. Adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.Suprapto yang lahir di Purwokerto ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima
Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan
formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta
yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan
milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer
pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat
karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan,
tapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan
mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia
bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut
serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk
menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk
sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti
di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat
Indonesia pada umumnya.
3. LETNAN JENDERAL HARYONO

Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di kota Surabaya Jawa Timur, 20
Januari 1924. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun. Adalah
salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Letjen
Anumerta M.T. Haryono sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar)
kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia
sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta,
namun tidak sampai tamat.Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di
Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal
pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.Selama terjadinya perang mempertahankan
kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan.
Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI
dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai
Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian
Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar
(KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia
4. LETNAN JENDERAL SISWONDO PARMAN

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo Jawa Tengah, 4 Agustus
1918. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun. Siswondo
Parman atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30
September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.Parman merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan PKI. Dia
termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk
Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat
intelijen yang tahu banyak tentang PKI, membuatnya menjadi korban penculikan oleh Resimen
Tjakrabirawa yang dipimpin Serma Satar. Penculikannya diduga diatur oleh kakak kandungnya
sendiri, yaitu Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI kala itu.
5. MAYOR JENDERAL PANDJAITAN

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Sumatera Utara, 19 Juni 1925. Meninggal
di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pendidikan formal diawali dari
Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas.
Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika
masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai
anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.Ketika
Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan
batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.
Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika
Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan
Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer
Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat
menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya
dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.Setelah mengikuti kursus Militer
Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa
tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu
yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff
College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi. Ketika
menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar
rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-
senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan
gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang
sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.
6. MAYOR JENDERAL SUTOYO SISWOMIHARJO

Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo lahir di Jawa Tengah, 28 Agustus 1922. Meninggal di
Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun. adalah seorang perwira tinggi TNI-AD yang
diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia. Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia.
Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus
mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di
Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten
atase militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman
Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur
kehakiman/jaksa militer utama. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September
yang dipimpin oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng,
Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk
menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden
Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang Buaya.[4][5] Di sana, dia
dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang
dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara
anumerta dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi.
7. KAPTEN PIERRE TENDEAN

Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1 Oktober 1965 pada
umur 26 tahun. adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa
Gerakan 30 September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan
kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu, ia
dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban G30S lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan
Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. Pierre Andreas Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L
Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah
Perancis, pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak
kedua dari tiga bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat
ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer, namun orang
tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang
kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada
tahun 1958.Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S) mendatangi
rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di ruang belakang rumah
Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan
rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah
yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu di bawa ke
sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan
mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.
8. AIP KAREL SATSUIT TUBUN

Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun (lahir di Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928 –
meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 36 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia
yang merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia adalah pengawal dari
J. Leimena.Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara pada tanggal 14 Oktober 1928. Ketika
telah dewasa ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti
Pendidikan Polisi, setelah lulus, ia ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi
Kelas Dua atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi. Ia pun ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen
Polisi Kelas Satu atau sekarang Bhayangkara Satu Polisi. Ketika Bung Karno mengumandangkan Trikora
yang isinya menuntut pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari tangan Belanda. Seketika pula
dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. Setelah Irian barat berhasil
dikembalikan, ia diberi tugas untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di
Jakarta. Berangsur-angsur pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi. Karena mengganggap para pimpinan
Angkatan Darat sebagai penghalang utama cita-citanya. Maka PKI merencanakan untuk melakukan
penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap menghalangi
cita-citanya. Salah satu sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr. J.
Leimena. Gerakan itu pun dimulai, ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri
untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap para pengawal rumah Dr. J.
Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K.S. Tubun pun terbangun dengan membawa senjata ia
mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya.
Karena tidak seimbang K.S. Tubun pun tewas seketika setelah peluru penculik menembus tubuhnya.
9. BRIGADIR JENDERAL KATAMSO DARMOKUSUMO

Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal di
Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Sesudah proklamasi kemerdekaan, beliau mengikuti TKR yang perlahan lahan berubah menjadi TNI.
Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir
Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan Kedaulatan, beliau diserahi tugas untuk menumpas
pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.

Pada tahun 1958, terjadilah peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta waktu itu beliau menjabat sebagai
Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani. 

Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang
berkedudukan di Yogkakarta. Untuk menghadapi kegiatan PKI di daerah Solo, beliau aktif membina
mahasiswa. Mahasiswa mahasiswa itu diberi pelatihan militer.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, disaat terjadi upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia
dengan penculikan para jenderal di Jakarta, G.30 S/PKI pun berhasil menguasai RRI Jogjakarta, Markas
Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. 

Pada sore harinya mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem
Letnan Kolonel Sugiono dan membawanya ke daerah Kentungan. Kedua perwira tersebut dipukul dengan
kunci mortar dan tubuhnya dimasukan dalam sebuah lubang yang sudah disiapkan. Kedua jenazah baru
ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak, setelah dilakukan pencarian secara
besar-besaran. Dan pada tanggal 22 Oktober 1965 beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Semaki Yogyakarta.
10. KOLONEL SUGIONO

Sugiyono Mangunwiyoto adalah salah satu pahlawan revolusi RI. Dia dilahirkan pada 12 Agustus
1926 di Gedaren, Gunungkidul. Ia adalah anak kesebelas dari 14 bersaudara.
Ayahnya, Kasan Sumitrorejo adalah petani sekaligus Kepala Desa Gedara. Sugiyono pernah
mengikuti Sekolah Guru di Wonosari. Namun selesai sekolah, ia tidak menjadi guru. Dia kemudian
memutuskan untuk masuk dalam militer setelah dia memahami Situasi penjajahan Jepang malah
memicu Sugiyono untuk terjun di dunia militer.
Setelah ikut serta dalam Peta (Pembela Tanah Air), Sugiyono diangkat sebagai Budanco
(Komandan Peleton) di Wonosari. Seperti para Pahlawan Revolusi lainnya, Sugiyono pun ikut
bergabung ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk dan diganti menjadi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR).Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-laki; R.
Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958), R. Danny Nugroho (l.
1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta seorang anak perempuan, Rr.
Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya meninggal. Nama Sugiarti Takarina diberikan
oleh Presiden Sukarno.
Sugiyono meninggal pada  2 Oktober 1965 setelah terjadi peristiwa G30S PKI, Sugiyono dipukul
hingga tewas. Mayatnya dimasukkan ke dalam lubang. Lokasi lubang ini baru ditemukan pemerintah
tanggal 21 Oktober 1965.
Di dalam lubang yang sama pula, mayat Kolonel Katamso ditemukan. Berdasarkan Surat Keputusan
Presiden R.I No. 111/KOTI/1965, tanggal 5 Oktober 1965, beliau turut dianugerahi gelar Pahlawan
Revolusi.

Anda mungkin juga menyukai