Anda di halaman 1dari 7

AIPDA Karel Satsuit Tubun – Pahlawan Revolusi

Ajun Inspektur Polisi Dua (AIPDA) Anumerta Karel Satsuit Tubun adalah salah satu dari sekian
pahlawan revolusi yang lahir di Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928. Ia meninggal pada usia 36
di Jakarta tepatnya tanggal 1 Oktober 1965. AIPDA Karel Satsuit Tubun merupakan seorang
pahlawan nasional Indonesia yang menjadi korban Gerakan 30 September tahun 1965 atau
dikenal G30S/ PKI.

AIPDA Karel Satsuit Tubun merupakan satu dari sekian pengawal dari J. Leimena yang gugur
dalam pertempuan G30S/ PKI dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. Ia diangkat menjadi
Pahlawan Revolusi karena jasanya mengawal Letnan Leimana yang merupakan musuh dari PKI.

AIPDA Karel Satsuit Tubun yang merupakan pengawal dianggap sebagai salah satu dari
pimpinan Angkatan Darat yang menjadi penghalang utama cita-cita PKI. Oleh sebab itu PKI
pun menculik juga membunuh para Perwira Angkatan Darat yang dianggap sangat menghalangi
cita-cita PKI.

PKI menyekap Dr. J. Leimena, orng yang dikawal oleh AIPDA Karel Satsuit Tubun, berusaha
melindungi karena mendengar suara gaduh maka AIPDA Karel Satsuit Tubun pun mencoba
menembak para gerombolan PKI yang berusaha menculik J. Leimana.

Sayangnya, AIPDA Karel Satsuit Tubun kalah dengan segerombolan PKI sehingga iapun tewas
ditembak dalam perlawananannya menghadapi PKI. Oleh sebab itu, atas segala jasa-jasa yang
telah dilakukan AIPDA Karel Satsuit Tubun dalam menghadapi para pasukan PKI dan korban
Gerakan 30 September, pemerintahpun menetapkan ia menjadi satu Pahlawan Revolusi
Indonesia.

Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo – Pahlawan


Revolusi
Brigadir Jenderal TNI Anumerta Katamso Darmokusumo adalah salah satu pahlawan revolusi
yang gugur pada Gerakan 30 September tahun 1965. Ia lahir di Sragen, Jawa Tengah pada
tanggal 5 Februari 1923 dan meninggal di Yogyakarta pada usia 42 tahun atau tepanya pada
tanggal 1 Oktober 1965.

Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo adalah mantan Komandan Korem 072/Pamungkas


yng diangkat menjadi pahlawan revolusi dan pahlawan nasional Indonesia. Ia gugur terbunuh
dalam peristiwa Gerakan 30 September atau G30S/ PKI dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara, yang berada di Jalan Kusuma Negara, Yogyakarta.

Katamso Darmokusumo memiliki pangkat sebagai Brigadir Jenderal TNI Anumerta dan
memiliki penghargaan sipil sebagai Pahlawan Revolusi dan pahlawan nasional. Ia gugur sebagai
pahlawan dengan meninggalkan dua anak bernama Endang Murtaningsih dan Murni Ediyanti.
Jenderal Ahmad Yani – Pahlawan Revolusi
Jenderal Ahmad Yani adalah salah satu pahlawan revolusi dan nasional Indonesia yang lahir
pada tanggal 19 Juni 1922 dan meninggal pada tahun 1 Oktober 1965. Jenderal Ahmad Yani
merupakan komandan Tentara Nasional Indonesia, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30
September. Ia diculik oleh gerombolan PKI dan selama upaya penculikannya dari rumahnya
inilah ia tewas ketika melakukan pemberontak .

Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tangal 19 Juni 1922 dan ia berasal
dari keluarga Wongsoredjo. Suatu keluarga yang bekerja di pabrik gula yang dijalankan oleh
seorang pemilik Belanda.

Pada tahun 1927, Ahmad Yani pindah bersama keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya
bekerja untuk seorang Jenderal Belanda pada sat itu. Di Batavia, Yani kemudian sekolah di
pendidikan dasar dan menengah hingga akhirnya pada tahun 1940, iapun meninggalkan sekolah
menengah untuk menjalani wajib militer di Angkatan Darat pemerintah kolonial Hindia
Belanda.

Pada awalnya Yani dilatih untuk menjadi seorang pelaut atau angkatan laut. Ia mulai belajar
topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikannya harus terganggu oleh kedatangan
Jepang yang menyerang Indonesia pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan
keluarganyapun pindah kembali ke Jawa Tengah.

Pada tahun 1943, Yani bergabung dengan tentara Peta yang dibentuk oleh Jepang, dan iapun
menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang sebagai perwira artileri. Setelah menyelesaikan
pelatihan ini, Yani mendaftarkan diri untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta kemudian
dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihannya.

Setelah selesai pelatihan, iapun dikirim kembali ke Magelang sebagai seorang instruktur. Setelah
Kemerdekaan Indonesia, Yani bergabung dengan tentara Republik Indonesia yang baru berdiri
dan berperang melawan Belanda.

Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan, Yani membentuk batalion dengan
dirinya sebagai Komandan dan pasukan yang dipimpinnyapun berhasil meraih kemenangan
melawan Inggris di Magelang.

Yani kemudian menindaklanjuti hal ini dengan berhasil mempertahankan Magelang melawan
Belanda ketika mencoba mengambil alih kota. Ia pun mendapat julukan “Juru Selamat
Magelang”. Sorotan penting lain dari karir Yani selama periode ini adalah serangkaian serangan
gerilya yang ia luncurkan pada awal 1949 mampu mengalihkan perhatian Belanda.

Jendeal Ahmad Yani memiliki pasangan bernama Yayu Rulia Sutowiryo Ahmad Yani dan
mempunya 8 anak. Penghargaan sipil yang diberikan oleh Ahmad Yani adalah Pahlawan
Revolusi. Ahmad Yani memiliki riwayat pendidikan HIS Bogor dan tamat tahun 1935.
Kemudian lanjut ke MULO atau setingkat SMP)kelas B Afd. Bogor dan selesai pada tahun 1938

Selepas MULO, Yani melanjutkan pendidikan ke AMS atau setingkat SMU bagian B Afd.
Jakarta, namun tidak sampai lulus ia melanjutkan pendidikan militer pada Dinas Topografi
Militer di Malang. Ahmad Yani juga memiliki Pendidikan Heiho di Magelang pernah mengikuti
PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor.

Ia pun juga pernah mengikuti Command and General Staff College di Fort Leaven Worth,
Kansas, Amerika Serikat pada tahun 1955 dan juga Special Warfare Course di Inggris, tahun
1956.
Kapten Pierre Tendean – Pahlawan Revolusi
Kapten Czi. Anumerta Pierre Andries Tendean lahir pada tanggal 21 Februari 1939 dan
meninggal di usia yang masih dangat muda yakni umur 26 tahun. Ia meninggal pada tanggal 1
Oktober 1965 yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI. Pierre Andries Tendean adalah seorang
perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban dari biadabnya penculikan G30S/PKI
pada tahun 1965.

Tendean mengawali karier militernya dengan menjabat sebagai seorang intelijen hingga
akhirnya ia pun ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Setelah
diangkat menjadi ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution ia pun memiliki pangkat
letnan satu dan dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah ia wafat.

Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata ersama enam perwira yang gugur
dalam Gerakan 30 September. Berkat perjuangannya menghadapi G30S/PKI inilah, pada
tanggal 5 Oktober 1965ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia

Sejumlah jalan di Manado, Balikpapan, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia
menggunakan nama Tendean sebagai nama jalan sebagai penghagaan terhadap jasanya.

Pierre Andries Tendean sendiri lahir dari pasangan Dr. A.L Tendean. Ayahnya adalah seorang
dokter yang memiliki keturunan Minahasa. Ibunya, Cornet M.E adalah seorang wanita Indo
yang berdarah Perancis.

Tendean adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Mitze Farre dan adiknya
bernama Rooswidiati. Tendean sendiri mengenyam sekolah dasar di Magelang, kemudian
melanjutkan SMP dan SMA di Semarang mengikuti tempat di mana ayahnya bertugas.

Sejak kecil, Tendean sangat ingin menjadi seorang tentara. Ia ingin sekali masuk ke akademi
militer hanya saja keinginannya sulit dikabulkan karena orang tuanya ingin ia menjadi seorang
dokter mengingat pekerjaan ayahnya adalah seorang dokter. Namun, Tendean tidak putus asa,
karena ia ingin menjadi militer, tekadnya yang kuat, pada tahun 1958.berhasil mengantarkan ia
bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung

Kolonel Sugiono – Pahlawan Revolusi


Kolonel Inf. (Anumerta) R. Sugiyono Mangunwiyoto atau akrab dikenal sebagai Kolonel
Sugiono lahir di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul, Yogyakarta pada tanggal 12
Agustus 1926. Sugiyonopun gugut di Kentungan, Yogyakarta pada usianya ke 39 atau pada
tanggal 1 Oktober 1965.

Sugiono merupakan salah satu pahlawan revolusi dan seorang pahlawan nasional Indonesia yang
menjadi korban dalam Gerakan 30 September tahun 1965. Kolonel Sugiono adalah mantan
Kepala Staf Korem 072/Pamungkas yang menikah dengan Supriyati.

Dari hasil pernikahannya ini, ia memiliki enam orang anak laki-laki bernama Erry Guthomo
Agung Pramuji, Haryo Guritno, Danny Nugroho, Budi Winoto dan Ganis Priyono. Ia juga
dikaruniai seorang anak perempuan bernama Sugiarti Takarina.

Hanya saja anak perempuannya lahir setelah Sugiono meninggal. Adapun nama Sugiarti
Takarina sendiri diberikan oleh Presiden pertama Indonesia, Sukarno. Kolonel Sugiono
meninggal dan Ia dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta. Kolonel Sugiono menjalankan
tugasnya di TNI A Angkatan Darat dengan masa dinas 1945 – 1965 atau selama 20 tahun.
Pangkat yang diberikan kepadaya adalah Pdu koloneltni staf.png Kolonel Inf. Anumerta
Letnan Jenderal M.T. Haryono – Pahlawan Revolusi
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono atau lebih dikenal dengan nama M.T.
Haryono lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 20 Januari 1924. Ia meninggal di Lubang
Buaya Jakarta dan meninggal di usia 41 tahun. Haryoo adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia yang terbunuh pada tanggal 1 Oktober 1965 atau persitiwa G30S. Ia pun dimakamkan
di TMP Kalibata Jakarta.

Harjyno lahir di kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya, Jawa Timur. Dia cukup beruntung
untuk bisa mendapatkan standar pendidikan yang sulit ditempuh untuk sebagian besar teman-
temannya. Ia beruntung bisa mengikuti sekolah dasar untuk anak-anak Eropa dan kemudian
sekolah menengah di Indonesia yang diduduki Belanda.

Ketika Jepang menyerbu, ia dikirim ke sekolah kedokteran Jepang di Jakarta, tetapi sayangnya
ia tidak lulus. Haryonopun pindah ke Jakarta ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Sebagaimana banyak pemuda Indonesia lainnya, Haryonopun bergabung dengan pemuda lain
untuk melawan Belanda dan kemudian bergabung dengan TKR.

TKR adalah cikal bakal Tentara Nasional Indonesia pada zaman dahulu.. Penguasaannya atas
Belanda, Inggris, dan Jerman iapun diminati untuk ikut perang selama negosiasi antara
Indonesia dan pasukan kolonial. Pada tanggal 1 September 1945, iapun diangkat menjadi kepala
kantor komunikasi di Jakarta.

Pada tahun 1946, Haryono diangkat menjadi seorang sekretaris delegasi Indonesia dalam
negosiasi negara Belanda dan Inggris. Pada bulan November 1949, Haryono juga mengabdi
sebagai sekretaris bagian yang bisa membuat Belanda melucuti senjatanya. Ia berhasil membuat
Indonesia menang berdasarkan pada Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia, di mana
Belanda setuju untuk menyatakan kedaulatan Indonesia.

Haryono kemudian kembali ke Belanda pada bulan Juli 1950 sebagai atasan militer ke kedutaan
Indonesia di Den Haag, kemudian sekembalinya ke Indonesia pada bulan Oktober 1954, ia
bergabung dengan Staf Umum Angkatan Darat sebagai Tentara Kwartermaster.

Dari Agustus 1962 hingga 1964 ia diangkat menjadi seorang Inspektur Jenderal Angkatan Darat.
Lalu pada tahun 1963 Haryono juga diangkat sebagai Kepala Seksi Bahan Strategis dari
Komando Operasi Tertinggi atau KOTI. Adapun posisi terakhir yang ia miliki pada tanggal 1
Juli 1964, adalah wakil ketiga untuk kepala staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Letnan Jenderal R. Suprapto – Pahlawan Revolusi


Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 20
Juni 1920. Ia meninggal di Lubangbuaya pada usia menginjak 45 tahun atau tepatnya gugur
pada tanggal 1 Oktober 1965. Dikarenakan ia gugur dalam melakukan pemberontakan terhadap
gerakan G30S/PKI ia diangkat menjadi seorang pahlawan nasional Indonesia dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Suprapto bisa dikatakan hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman yang hanya terpaut
empat tahun lebih muda. Pendidikan yang ia tempuh adalah MULO atau setingkat SLTP
kemudian AMS atau sama dengan SMU Bagian B di Yogyakarta dan selesai pada tahun 1941.

Sayangnya pada tahun 1941 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi pecahnya Perang
Dunia Kedua saat ia pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie-nya di Bandung.
iapun tidak bisa menyelesaikan pendidikannya hingga tamat karena pasukan Jepang sudah mulai
mendarat di Indonesia.
Letnan Jendral S. Parman – Pahlawan Revolusi
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman atau biasa dikenal dengan sebutan Jendral S.
Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918 . sama halnya dengan
pahlawan revolusi lainnya, ia meninggal di Lubang Buaya pada usia 47 tahun, tepatnya 1
Oktober 1965.

S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia dan putra Indonesia yang gugur dalam
melawan pemberontakan Gerakan 30 September. Berkat jasanya inilah ia mendapatkan gelar
Letnan Jenderal Anumerta dan ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta bersama dengan
beberapa pahlawan lainnya.

Pendidikan sekolah S.Parman adalah ia mulai melanjutkan sekolah tinggi di kota Belanda pada
tahun 1940 dan masuk kedokteran. Sayangnya ia harus bekerja untuk pasukan militer Kempeitai
Jepang dan meninggalkan sekolah dokternya. Namun, Jepang meragukan kesetiaannya dalam
membela militer, namun akhirnya iapun dibebaskan.

Setelah dibebaskan, ia pun kemudian dikirim ke Jepang untuk dilatih sekolah intelijen, dan
bekerja lagi kepada Kempeitai Jepang hingga akhirnya ia bekerja sebagai penerjemah di kota
Yogyakarta.

Mayor Jendral Sutoyo Siswomiharjo – Pahlawan Revolusi


Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia yang lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1922. Ia meninggal di
Lubang Buaya, pada usia 43 tahun atau 1 Oktober 1965. Ia merupakan seorang perwira tinggi
TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh oleh gerombolan G30S/PKI.

Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau Tentara
Nasional Indonesia (TNI) saat ini. Iapun kemudian diangkat menjadi Polisi Militer Indonesia,
namun pada bulan Juni tahun 1946, Sutoyo kemudian diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot
Soebroto yang saat itu adalah komandan Polisi Militer.

Selepas menjadi ajudan kolonel, Sutoyo terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi
Militer sehingga pada tahun 1954 ia diangkat menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer.
Terakhir, ia diangkat menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama hingga akhir hayatnya.

D.I Pandjaitan – Pahlawan Revolusi

Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia
yang lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925. Ia meninggal di Lubang Buaya, pada usia
40 tahun atau 1 Oktober dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

Pendidikan formalnya diawali dari SD, SMP, SMA hingga kemudian menjadi anggota militer
dan mengikuti latihan Gyugun sampai Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
G30 SPKI

1. Sejarah Singkat G30S/PKI

G30S merupakan gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno
dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. Gerakan ini dipimpin oleh DN Aidit yang
saat itu merupakan ketua dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Letkol Untung yang merupakan anggota Cakrabirawa (pasukan
pengawal Istana) memimpin pasukan yang dianggap loyal pada PKI.

Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia. Tiga dari enam orang yang menjadi
target langsung dibunuh di kediamannya. Sedangkan lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang
Buaya.

Jenazah ketujuh perwira TNI AD itu ditemukan selang beberapa hari kemudian.

2. Pejabat Tinggi yang Menjadi Korban

Keenam perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa ini adalah:

- Letnan Jendral Anumerta Ahmad Yani


- Mayor Jendral Raden Soeprapto
- Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono
- Mayor Jendral Siswondo Parman
- Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan
- Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo

Sementara itu, Panglima TNI AH Nasution yang menjadi target utama berhasil meloloskan diri.
Tapi, putrinya Ade Irma Nasution tewas tertembak dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas
Tendean diculik dan ditembak di Lubang Buaya.

Keenam jenderal di atas beserta Lettu Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan
Revolusi. Sejak berlakunya UU Nomor 20 tahun 2009, gelar ini juga diakui sebagai Pahlawan
Nasional.

Selain itu, beberapa orang lainnya juga menjadi korban pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta.
Mereka adalah:

- Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun


- Kolonel Katamso Darmokusumo
- Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto

3. Pasca Kejadian
Setelah peristiwa G30S/PKI rakyat menuntut Presiden Sukarno untuk membubarkan PKI.
Sukarno kemudian memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto untuk membersihkan semua unsur
pemerintahan dari pengaruh PKI.
Soeharto bergerak dengan cepat. PKI dinyatakan sebagai penggerak kudeta dan para tokohnya
diburu dan ditangkap, termasuk DN Aidit yang sempat kabur ke Jawa Tengah tapi kemudian
berhasil ditangkap.
Anggota organisasi yang dianggap simpatisan atau terkait dengan PKI juga ditangkap.
Organisasi-organisasi tersebut antara lain Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani
Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia dan lain-lain.

Berbagai kelompok masyarakat juga menghancurkan markas PKI yang ada di berbagai daerah.
Mereka juga menyerang lembaga, toko, kantor dan universitas yang dituding terkait PKI.

Pada akhir 1965, diperkirakan sekitar 500.000 hingga satu juta anggota dan pendukung PKI
diduga menjadi korban pembunuhan. Sedangkan ratusan ribu lainnya diasingkan di kamp
konsentrasi.

4. Diperingati Pada Zaman Orba

Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, G30S/PKI selalu diperingati setiap tanggal 30
September. Selain itu, pada tanggal 1 Oktober juga diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Untuk mengenang jasa ketujuh Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa ini, Soeharto
juga menggagas dibangunnya Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

5. Diabadikan dalam Film Propaganda

Pada tahun 1984, film dokudrama propaganda tentang peristiwa ini yang berjudul Penumpasan
Pengkhianatan G 30 S PKI dirilis. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara yang
saat itu dimpimpin Brigjen G. Dwipayana yang juga staf kepresidenan Soeharto dan menelan
biaya Rp 800 juta.

Mengingat latar belakang produksinya, banyak yang menduga bahwa film tersebut ditujukan
sebagai propaganda politik. Apalagi di era Presiden Soeharto, film tersebut menjadi tontonan
wajib anak sekolah yang selalu ditayangkan di TVRI tiap tanggal 30 September malam.

Sejak Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, film garapan Arifin C. Noer tersebut berhenti
ditayangkan oleh TVRI. Hal ini terjadi setelah desakan masyarakat yang menganggap film
tersebut tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai