Anda di halaman 1dari 3

AHMAD YANI

Agung Syahbana (SMA Negeri 2 Pekalongan)

Sejarah hidup dan perjuangan

Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia
menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.

Jenderal Achmad Yani


Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara
asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G
30/S) menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh
petinggi TNI AD lainnya.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam
dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang
Buaya, lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu
berada menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.
Jenderal yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno, ini merupakan salah satu tangan kanan
dan kepercayaan Sang Proklamator. Ia sangat cinta dan setia terhadap Bung Karno. Karena
kecintaan dan kesetiaannya, ia bahkan pernah mengatakan, Siapa yang berani menginjak
bayang-bayang Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya. Bahkan ada isu
terdengar, bahwa Achmad Yani telah dipersiapkan oleh Bung Karno sebagai calon
penggantinya sebagai presiden. Namun dirinya begitu dekat dengan Presiden Pertama RI itu,
Achmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Isu dan prinsipnya itu
akhirnya membuat PKI semakin benci terhadap dirinya.
Achmad Yani yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari
Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat
Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia
tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum)
bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan
adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara

lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan.
Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga
mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air
(PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil
melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk,
dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun
semakin cepat menanjak.
Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang
beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat
Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan
Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di daerah Jawa Tengah. Ketika
itu dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Alhasil, pasukan DI/TII
pun berhasil ditumpasnya.
Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia ditarik ke Staf Angkatan Darat. Pada tahun 1955, ia
disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA
selama sembilan bulan. Dan pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan
pada Spesial Warfare Course di Inggris.
Pada tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang
masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus, untuk
memimpin penumpasan pemberontakan PRRI tersebut. Ia juga berhasil menumpas
pemberontakan tersebut. Sejak itu namanya pun semakin cemerlang. Hingga pada tahun
1962, ia yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal diangkat menjadi Men/Pangad
menggantikan Jenderal A.H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator
Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab).
Saat menjabat Men/Pangad itulah kejadian naas terjadi. Jenderal yang terkenal sangat anti
pada ajaran komunis itu pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 4:35 WIB, di kala subuh, diculik
dan ditembak oleh PKI di depan kamar tidurnya hingga gugur. Dalam pencarian yang
dipimpin oleh Soeharto (mantan Presiden RI) yang ketika itu masih menjabat sebagai
Pangkostrad, jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya terkubur di salah satu sumur tua
bersama enam jenazah lainnya. Jenazah Achmad Yani dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan, ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya yang sebelumnya Letnan
Jenderal dinaikkan satu tingkat sebagai penghargaan menjadi Jenderal.
Dia gugur karena mempertahankan kesucian Dasar dan Falsafah Negara, Pancasila, yang
coba hendak diselewengkan komunis. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, maka
di Lubang Buaya, dekat sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar
belakang patung ketujuh pahlawan Revolusi yakni enam Perwira Tinggi: Jend. TNI Anumerta
Achmad Yani, Letjen. TNI Anumerta Suprapto, Letjen. TNI Anumerta S.Parman, Letjen. TNI
Anumerta M.T. Haryono, Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan, Mayjen. TNI Anumerta
Sutoyo S, dan ditambah satu Perwira Pertama Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean.
Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

Peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut kemudian telah melahirkan suatu orde dalam sejarah pasca
kemerdekaan republik ini. Orde yang kemudian lebih dikenal dengan Orde Baru itu
menetapkan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus
sebagai hari libur nasional. Penetapan itu didasari oleh peristiwa yang terjadi pada hari dan
bulan itu, dimana telah terjadi suatu usaha perongrongan Pancasila, namun berhasil
digagalkan.
Belakangan setelah orde baru jatuh dan digantikan oleh orde yang disebut Orde Reformasi,
peringatan hari Kesaktian Pancasila ini sepertinya mulai dilupakan. Terbukti tanggal 1
Oktober tersebut tidak lagi ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagaimana sebelumnya.
Dalam pidato Bung Karno yang dikenal dengan Jasmerah, Bapak Bangsa itu menyebut
agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Lebih tegas disebutkan, bahwa bangsa yang besar
adalah bangsa yang mengingat dan menghargai sejarahnya. Hendaknya begitulah yang
terdapat pada bangsa ini, khususnya pada para pemimpinnya.

Nilai-nilai perjuangan

Anda mungkin juga menyukai