Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Riyan Ramadhan

Kelas : XI D
Judul : Biografi Kepahlawanan Nasional

D.I Panjaitan

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige,


Sumatera Utara, 9 Juni 1925 dan meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 40 tahun. beliau adalah salah satu pahlawan
revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta
Beliau mendapatkan pendidikan formal dari SD hingga kuliah di Associated
Command and General Staff College, Amerika Serikat. Selama masih di
Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan
membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah
menjadi TNI. Ia menduduki jabatan sebagai komandan batalyon di TKR yang
kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi
pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay)
Komandemen Tentara Sumatra.

Ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi beliau berhasil meraih posisi


sebagai Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat
kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit
Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang menjadi
Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.
Kepulangan Panjaitan ke Indonesia membuat suatu gebrakan besar, yakni
dengan membongkar rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik
Rakyat China yang dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan .
Senjata-senjata tersebut diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk
melancarkan aksi pemberontakan.
Dengan terbongkarnya rahasisa pengiriman senjata tersebut maka pihak PKI
marah. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30
September datang ke rumah Panjaitan. Ketika Panjaitan berusaha untuk
melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal. Mayatnya
dibawa dan dibuang di Lubang BUaya. Pada tanggal 4 Oktober, mayat
Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta.
Berkat keberaniannya membela negara, Donald Isaac Panjaitan diangkat
menjadi Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan Keppres No.
111/KOTI/1965.
Donald Isaac Panjaitan meninggalkan istri Alm Marieke Pandjaitan br
Tambunan, dan enam Anak yakni: Catherine Pandjaitan, Masa Arestina, Ir
(Ing) Salomo Pandjaitan, Letnan Jendral (Purn) Hotmangaraja Panjaitan, Tuthy
Kamarati Pandjaitan, dan Riri Budiasri Pandjaitan.
Pendidikan
SD, SMP, dan SMA di Indonesia
Associated Command and General Staff COllege, Amerika Serikat
Karir
Komandan batalyon di TKR
Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948
Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI)
Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan
Kepala Staf T&T II/Sriwijaya di Palembang

Penghargaan
Pahlawan Revolusi Indonesia

A.H Nasution

Biografi Jendral Abdul Haris Nasution. Beliau lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara, 3 Desember 1918, Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat
beribadat. Ia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. Kalau
ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, Pak Nas orangnya.
Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah Pak Nas
pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas terpaksa
membuat sumur di belakang rumah. Sumur itu masih ada sampai sekarang.
Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik
pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi
korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang
istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.
Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas jenazah tujuh
Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang
datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan
Harapan.
Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas
ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat
represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela
penguasa ketimbang rakyat.
Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba.

Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar
Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir hayatnya. Meski pernah dimusuhi penguasa
Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan
Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.
Jendral A.H Nasution Sebagai Peletak Dasar Perang Gerilya
melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak
Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah
negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak
Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi.
Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.
Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB
(9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ia nyaris tewas bersama
mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965.
Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di
Madiun.
Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi
kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar.
Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar.
Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan
Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa
Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya,
seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).
Profil Jendral A.H Nasution
Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat
Islam di kampung
halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak
kedua dari tujuh bersaudara ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai
perang kemerdekaan Belanda dan Prancis.
Selepas AMS-B (SMA Paspal) 1938, Pak Nas sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang.
Tetapi kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer, terhenti karena invasi Jepang, 1942. Sebagai
taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang cukup
memalukan. Di situlah muncul keyakinannya bahwa tentara yang tidak mendapat dukungan
rakyat pasti kalah.
Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas
menarik pelajaran kedua. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang
gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Mtode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah
Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949).
Pak Nas muda jatuh cinta pada Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai

Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan
dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini
dikaruniai dua putri (seorang terbunuh).
Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, Pak Nas acapkali akur dan
tidak akur dengan presiden pertama itu. Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan
memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952. Ia berada di balik
Peristiwa 17 Oktober, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Bung
Karno memberhentikannya sebagai KSAD.
Bung Karno akur lagi dengan Pak Nas, lantas mengangkatnya kembali sebagai KSAD tahun
1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung
Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur
lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada
PKI.
Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya.
Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Suatu hari tahun 1960, Pak Nas menjawab
pertanyaan seorang wartawan Amerika, Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan
Indonesia, sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan.?
Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 6 September
2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman
perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak
pernah direnovasi. Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun. Biografiku.com
Biodata Jendral Abdul Haris Nasution
Nama: Abdul Haris Nasution
Pangkat: Jenderal Bintang Lima
Lahir : Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918
Meninggal: Jakarta, 6 September 2000
Agama : Islam
Istri: Ny Johanna Sunarti
Pendidikan :

HIS, Yogyakarta (1932)

HIK, Yogyakarta (1935)

AMS Bagian B, Jakarta (1938)

Akademi Militer, Bandung (1942)

Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)

Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)

Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)

Universitas Mindanao, Filipina (1971)

Karir :

Guru di Bengkulu (1938)

Guru di Palembang (1939-1940)

Pegawai Kotapraja Bandung (1943)

Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)

Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)

Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)

Panglima Komando Jawa (1948-1949)

KSAD (1949-1952)

KSAD (1955-1962)

Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)

Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)

Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963)

Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965)

Ketua MPRS (1966-1972)

Gatot subroto

Nama Lengkap : Gatot Subroto


Tempat Lahir : Banyumas
Tanggal Lahir : Minggu, 10 Oktober 1909
Mengawali karir militer dengan menjadi anggota KNIL, tentara Hindia Belanda, setelah
sebelumnya sempat bekerja sebagai pegawai pemerintah yang hanya sebentar saja dilakoni,
Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja
sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia merupakan contoh seorang pemimpin
yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya.
Bergabung dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham dan mengerti bagaimana seorang
tentara harus bertindak. Sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim di Padang Panjang selama
lima tahun, Gatot Subroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan lanjutan,
pendidikan masose.
Belanda berhasil didudukkan Jepang pada saat Perang Dunia II, tanpa komando Gatot Subroto
bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta), organisasi militer milik Jepang yang merekrut
tentara pribumi untuk berperang. Di sanalah karir Gatot Subroto mulai merangkak naik. Selepas
lulus dari pendidikan Peta, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas sebelum akhirnya
ditunjuk menjadi komandan batalyon.
Selama menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalyon, Gatot Subroto dinilai sering
memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang sering kali membuat ia ditegur oleh atasannya.
Namun, bukan berarti sering mendapat teguran dari atasan membuat Gatot Subroto kapok dan
patuh terhadap perintah. Justru hal itulah yang membuat Gatot Subroto mendapatkan angin segar
untuk sekedar 'menakuti dan mengancam' pihak Jepang. Saat itu, ia mengancam bahwa dirinya
mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut senjata perangnya.
Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya kemudian meluluskan apa yang dikerjakan
Gatot Subroto, yakni memihak pribumi terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika
berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.

Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil didapat, Gatot Subroto kemudian membentuk Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal nama TNI yang ada kini. TKR dipimpin
oleh Kol. Sudirman di mana saat itu Gatot Subroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti
menjadi Komandan Devisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang
dalam pertempuran Ambarawa.
Pada tahun 1948 terdapat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didalangi Muso
(DI/ TII). Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian
berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot Subroto. Saat melawan PKI,
Gatot Subroto melancarkan operasi militer agar dapat memulihkan keamanan.
Tak berbeda jauh dengan pemberontakan yang ada di Jawa, di Sulawesi Selatan juga terdapat
pemberontakan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar
pada tahun 1952. Lagi-lagi karena dinilai pandai dalam memasang strategi, Gatot Subroto
diserahi untuk menumpas pasukan pemberontak dan kembali pulang dengan membawa
kemenangan. Tak hanya sekedar kemenangan, para pemberontak pun juga berhasil dibujuknya
agar kembali dalam barisan TKR. Berkat usahanya tersebut, Gatot Subroto diangkat menjadi
Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro di tahun yang sama.
Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, berani, dan
membela kaum yang tertindas. Maka, pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di istana negara
akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang dituduh sebagai
dalang kerusuhan tersebut langsung mengundurkan diri dari jabatannya sekaligus dari dinas
militer. Namun, ia kembali dipanggil pemerintah untuk duduk dan menjabat sebagai Wakil
Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun 1956. Melalui tangannya, ia berhasil
melumpuhkan pemberontakan PRRI/ Permesta yang ada di Sumatera dan Sulawesi Utara.
Pada tanggal 11 Juni 1962, Gatot Subroto meninggal di usia 55 tahun. Pangkat terakhir yang
disandangnya adalah Letnan Jenderal. Pantas saja ia mendapatkan pangkat tertinggi dalam
bidang militer tersebut mengingat jasanya tak bisa dibilang kecil. Ia adalah penggagas
dibentuknya tentara gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang
disebut AKABRI pada tahun 1965.
Melengkapi pangkatnya, seminggu setelah ia dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran,
Jogjakarta, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut SK Presiden RI No.222 tanggal 18
Juni 1962 disematkan atasnya.
Riset dan Analisa: Atiqoh Hasan
PENDIDIKAN

Europeesche Lagere School (ELS)

Holands Inlandse School (HIS)

Sekolah Militer, Magelang, 1923

Pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta)

Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

KARIR

Wakil Kepala Staff Angkatan Darat, 1953

Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro

Gubernur Militer Daerah Surakarata dan sekitarnya, 1945-1950

Panglima Corps. Polisi Militer, 1945-1950

Panglima divisi II, 1945-1950

Komandan Batalyon

Komandan kompi, Sumpyuh, Banyumas

Anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda)

Pegawai pemerintah

PENGHARGAAN

Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut SK Presiden RI No.222 tanggal 18 Juni 1962

Ahmad Yani

Biografi Jenderal Ahmad Yani. Tokoh satu ini terkenal sebagai salah satu pahlawan Revolusi
Indonesia. Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani lahir di Purworejo, 19 Juni 1922 dan wafat di
Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965. Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat
Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia
tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum)
bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan
adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Achmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya dengan pangkat
Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga
mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air
(PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani berhasil
menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia
diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi,
pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di
daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang
jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah
Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu
dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun
berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada
Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan
bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare
Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad
Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus

untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada
tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Achmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak
keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang
dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh di
antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga
Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober
1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan
dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani
gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu
tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.
Nama : Ahmad Yani
Riwayat hidup :

HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935

MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938

AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940

Pendidikan Militer :

Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang

Pendidikan Heiho di Magelang

Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor

Command and General Staf College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA, tahun 1955

Spesial Warfare Course di Inggris, tahun 1956

Riwayat Karir
Jabatan terakhir : Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) sejak tahun 1962
Bintang Kehormatan :

Bintang RI Kelas II

Bintang Sakti

Bintang Gerilya

Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II

Satyalancana Kesetyaan VII, XVI

Satyalancana G:O.M. I dan VI

Satyalancana Sapta Marga (PRRI)

Satyalancana Irian Barat (Trikora)

Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958)

Tanda Penghormatan : Pahlawan Revolusi

Anda mungkin juga menyukai