Anda di halaman 1dari 6

NAMA : DESY BELLA EGALITA

KELAS : VIII B

ABSEN : 10

BIOGRAFI TEUKU UMAR

Nama Lengkap : Teuku Umar

Alias : No Alias

Profesi : Pahlawan Nasional

Agama : Islam

Tempat Lahir : Meulaboh

Anak : Cut Gambang


Istri : Nyak Malighai, Nyak Sofiah, Tjoet Njak Dhien
BIOGRAFI

Lahir di Meulaboh, Aceh Barat pada 1854, Teuku Umar adalah salah satu pahlawan nasional
Indonesia. Tercatat, pria yang diyakini memiliki taktik unik melawan penjajah ini pernah
memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 sampai 1899. Teuku Umar sendiri
merupakan keturunan Minangkabau. Kakeknya, Datuk Makdum Sati, dikenal berjasa terhadap
Sultan Aceh. 

Teuku Umar kecil memiliki sifat pemberani. Selain itu ia juga dikenal cerdas dan pang
menyerah, serta memiliki hobi berkelahi. Ketika berusia 19 tahun dan diangkat sebagai keuchik
Daya Meulaboh, terjadi perang Aceh. Teuku Umar lantas bergabung bersama para pejuang di
kampungnya hingga Aceh Barat. 
Setahun kemudian Teuku Umar melepas masa lajangnya dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang
Glumpang. Dan karena ingin meningkatkan derajatnya, ia kemudian menikah lagi dengan puteri
Panglima Sagi XXV Mukim bernama Nyak Malighai yang membuatnya menerima gelar Teuku
dan dikaruniai anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian. Tak
hanya sampai di situ, di tahun 1880 Teuku Umar kembali menikah. Kali ini dengan putri
pamannya, janda Teuku Ibrahim Lamnga bernama Cut Nyak Dien. Keduanya lantas berjuang
bersama menyerang pos-pos Belanda di Krueng.

Teuku Umar sempat berdamai dengan Belanda tahun 1883. Namun satu tahun kemudian perang
kembali tersulut di antara keduanya. 9 tahun kemudian tepatnya 1893, Teuku Umar mulai
menemukan cara untuk mengalahkan Belanda dari 'dalam'. Ia lantas berpura-pura menjadi antek
Belanda. Aksi ini sampai membuat Cut Nyak Dien marah besar karena bingung dan malu.

Atas jasanya menundukkan beberapa pos pertahanan di Aceh, Teuku Umar mendapat
kepercayaan Belanda. Ia lalu diberi gelar Johan Pahlawan dan diberi kebebasan untuk
membentuk pasukan sendiri berjumlah 250 orang tentara dengan senjata lengkap dari Belanda.
Pihak Belanda tidak tahu, kalau itu hanya akal-akalan Teuku Umar semata yang telah
berkolaborasi dengan para pejuang Aceh sebelumnya. Tak lama kemudian, Teuku Umar malah
diberi lagi tambahan 120 prajurit dan 17 panglima termasuk Pangleot sebagai tangan kanannya.

30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda. Di sinilah ia kemudian
melancarkan serangan berdasarkan siasat dan strategi perang miliknya. Bersama pasukan yang
sudah dilengkapi 800 pucuk senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi dan uang 18 ribu dolar,
Teuku Umar yang dibandu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan 400 orang
pengikutnya membantai Belanda. Tercatat, ada 25 orang tewas dan 190 luka-luka dari pihak
Belanda.

Gubuernur Deykerhof sebagai pengganti Gubernur Ban Teijn yang telah memberi kepercayaan
kepada Teuku Umar selama ini merasa sakit hati karena telah dikhianati Teuku Umar. Ia lantas
memerintahkan Van Heutsz bersama pasukan besarnya untuk menangkap Teuku Umar.
Serangan mendadak ke daerah Meulaboh itulah yang merenggut nyawa Teuku Umar. Ia
ditembak dan gugur di medan perang, tepatnya di Kampung Mugo, pada 10 Februari 1899.

Lebih dari 70 tahun kemudian, pemerintah Indonesia menganugerahi Teuku Umar sebagai
pahlawan nasional lewat SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973. Nama
pahlawan pemberani ini juga dijadikan nama jalan di kota-kota besar.
NAMA : DINA NUR AGUSTIN

KELAS : VIII B

ABSEN : 11

BIOGRAFI SAYUTI MELIK

Sayuti Melik dilhairkan di Sleman pada tanggal 22 November 1908, merupakan putra seorang
Kepala Desa bernama Abdul Mu’in alias Partoprawiro, sedangkan ibunya bernama Sumilah.
Sayuti mengenyam pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa
Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta. Nasionalisme
sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya menentang
kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.

Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang
berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca
majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri.
Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi
perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya
yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.

Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu
dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu
terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi
dan penjualan hingga langganan.

Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik
tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven
Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID).
Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti ditangkap
Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.

Sayuti Melik bersama Sukarni merupakan perwakilan pemuda sebagai pembantu Bung Karno
dan Bung hatta yang bersama-sama dengan tokoh-tokoh lainnya mengkonsepkan naskah
proklamasi. Sayuti juga yang mengusulkan agar naskah proklamasi ditandatangani oleh Bung
karno dan Bung Hatta, “atas nama bangsa Indonesia” menggantikan kalimat “wakil-wakil bangsa
Indonesia.
Setelah Indonesia Merdeka Sayuti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Pada tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena
dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut
terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan
tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan
di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota
MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil Cendekiawan

Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Sukarno. Namun, ketika Bung Karno berkuasa,
Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom,
dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Ia
mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur "kom" menjadi
"sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup
oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan
majalah dan kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme
ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak
membonceng kharisma Bung Karno.

Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR,
mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977. Sayuti Melik meninggal pada usia 80
tahun, tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata.
NAMA : SRI ALFITA ANIZA

KELAS : VIII B

ABSEN : 29

BIOGRAFI ABDUL HARIS NASUTION

Nama Lengkap
Jenderal Besar TNI P A. H. Nasution
Alias
Abdul Haris Nasution | Pak Nas | AH Nasution
Agama
Islam
Tempat Lahir
Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
Tanggal Lahir
Selasa, 3 Desember 1918
Zodiak
Sagittarius
Warga Negara
Indonesia
Anak
Hendrianti Saharah, Ade Irma Suryani
Istri
Johanna Sunarti
Biografi

Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution dikenal sebagai peletak dasar perang
gerilya dalam perang melawan penjajahan Belanda yang tertuang dalam buku yang beliau
tulis berjudul "Strategy of Guerrilla Warfare". Buku yang kini telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa asing dan menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara,
termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat.

Meski pernah menuai kecaman atas perannya sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang
dikutuk di era reformasi, jasa besar beliau tak dapat dilepaskan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI hingga masa Orde Baru. Dwi Fungsi ABRI akhirnya
dihapus karena desakan gerakan reformasi tahun 1998. Dwi Fungsi ABRI dianggap
sebagai  legalitas tentara untuk campur tangan dengan urusan politik di Indonesia
sehingga memunculkan pemerintahan otoriter dan represif.

Sejak kecil, Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara
ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan
Belanda dan Prancis. Lulus dari AMS-B (SMA Paspal) pada 1938, beliau menjadi guru
di Bengkulu dan Palembang. Tetapi kemudian beliau tertarik masuk Akademi Militer.
Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), beliau diberi wewenang untuk memimpin
Divisi Siliwangi. Ketika itulah muncul ide tentang perang gerilya sebagai bentuk perang
rakyat. Metode perang ini dikembangkan setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando
Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949).

Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI
di Madiun. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma yang tewas tertembak
di rumahnya ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Meskipun
sangat mengagumi Bung Karno, kedua tokoh besar itu nyatanya sering berselisih paham.
Pak Nas menganggap Bung Karno intervensi dan bias ketika terjadi pergolakan internal
Angkatan Darat tahun 1952. Dalam "Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran
DPRS dan pembentukan DPR baru, Pak Nas dituding hendak melakukan kudeta terhadap
presiden RI yang berujung Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD.

Pendidikan

 HIS, Yogyakarta (1932)


 HIK, Yogyakarta (1935)
 AMS Bagian B, Jakarta (1938)
 Akademi Militer, Bandung (1942)
 Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan,
1962)
 Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)
 Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)
 Universitas Mindanao, Filipina (1971)

Karir

 Guru di Bengkulu (1938)


 Guru di Palembang (1939-1940)
 Pegawai Kotapraja Bandung (1943)
 Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)
 Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)
 Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)
 Panglima Komando Jawa (1948-1949)
 KSAD (1949-1952 dan 1955-1962)
 Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)
 Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
 Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963 dan 1965)
 Ketua MPRS (1966-1972

Penghargaan

 1997 dianugerahi pangkat Jendral Besar bintang lima

Anda mungkin juga menyukai