Anda di halaman 1dari 37

CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Lahir: 1848, Kabupaten Aceh Besar
Meninggal: 6 November 1908, Sumedang
Dimakamkan: Makam Cut Nyak Dien, Sumedang
Orang Tua: Teuku Nanta Seutia
Suami/istri: Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Pasangan: Teuku Umar (m. 1880–1899), Ibrahim Lamnga (m. 1862–1878)

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan
Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan
Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi,
sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di
Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut
dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya
dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan
Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga
satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. [2][3]Ia
akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai
sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke
Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di
Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara
Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
CUT MUTIA

Lahir 1870
Keureutoe, Pirak, Aceh
Utara, Kesultanan Aceh

Meninggal 24 Oktober 1910 (berusia 39–40)


Alue
Kurieng, Aceh, Hindia Belanda

Dikenal atas Pahlawan Nasional Indonesia

Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 – Alue Kurieng, Aceh, 24
Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesiadari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue
Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku
Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil
ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal,
Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan
merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung
dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran
dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke
dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada
tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa
pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo
melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama
pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet
Njak Meutia gugur.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia,
mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan
Rp1.000.
KH. M. HASYIM ASY’ARI

Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau
Ashari adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul
Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering
dieja Asy'ari atau Ashari (lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14
Februari 1871 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 pada umur 76 tahun; 24
Dzul Qo'dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah
salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia[2] yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama,
organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama
pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
K.H Hasjim Asy'ari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara [3]. Ayahnya bernama Kyai Asy'ari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama
Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah,
Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Berdasarkan silsilah garis
keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari memiliki garis keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka
Tingkir juga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya
V(Lembupeteng). Berikut silsilah berdasarkan K.H. Hasjim Asy'ari berdasarkan garis
keturanan ibu:
Hasjim Asy'ari putra Halimah putri Layyinah putri Sihah Putra Abdul
Jabar putra Ahmad putra Pangeran Sambo putra Pengeran Benowo putra Joko Tingkir (Mas
Karebet) putra Prabu Brawijaya V (Lembupeteng)[1]
Ia menikah tujuh kali dan kesemua istrinya adalah putri dari ulama. Empat istrinya bernama
Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah. Salah seorang putranya, Wahid Hasyim adalah
salah satu perumus Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Menteri Agama,[4]sedangkan
cucunya, Abdurrahman Wahid, menjadi Presiden Indonesia.
KI HAJAR DEWANTARA

Masa jabatan
2 September 1945 – 14 November 1945

Presiden Sukarno

Pendahulu Tidak ada, jabatan baru

Pengganti Todung Sutan Gunung Mulia

Informasi pribadi

Lahir 2 Mei 1889


Pakualaman, masa Hindia
Belanda

Meninggal dunia 26 April 1959 (umur 69)


Yogyakarta, Indonesia

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EBI: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EBI: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa
Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889 – meninggal di
Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi"
atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan
pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan
bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian
Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal
perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang
kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28
November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal
28 November 1959)
KYAI HAJI AHMAD DAHLAN

Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1


Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923pada umur 54 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka
di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan
adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada masa itu.
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat
dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
[1]
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas,
Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy
(Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini,
Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa
ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH.
Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan,
Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Di samping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya dengan Nyai
Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah
dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3] [4]
KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di
pemakaman KarangKajen, Yogyakarta
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa
Tengah, 19 Juni 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43
tahun) adalah komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh
anggota Gerakan 30 September saat mencoba untuk menculik dia dari rumahnya.
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga
Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik
Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya kini
bekerja untuk General Belanda. Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan
menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib militer
di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer di Malang, Jawa
Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942.
Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.
Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah
Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini,
Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa
Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai
instruktur.
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20
Juni 1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam G30S/PKIdan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan
Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima
Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU)
Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.
Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan
pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke
Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena
pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan
dipenjarakan, tetapi kemudian ia berhasil melarikan diri.
Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan
Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor
Pendidikan Masyarakat.
Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil
merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota
Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai
tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti
di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh
rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah
satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu,
pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah
menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia
ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari
Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke
Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat
menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan.
Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti
sebelumnya tidak terulang lagi
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4
Agustus 1918 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun) atau
lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusiIndonesia dan tokoh
militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan
mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Parman bergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal
bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada akhir Desember 1945, ia diangkat kepala staf dari Polisi
Militer di Yogyakarta. Empat tahun kemudian ia menjadi kepala staf untuk gubernur militer
Jabodetabek dan dipromosikan menjadi mayor. Dalam kapasitas ini, ia berhasil menggagalkan
plot oleh "Hanya Raja Angkatan Bersenjata" (Angkatan Perang Ratu Adil, APRA), kelompok
militer pemberontak yang dipimpin oleh Raymond Westerling, untuk membunuh komandan
menteri pertahanan dan angkatan bersenjata.
Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat untuk pelatihan
lebih lanjut, dan pada tanggal 11 November tahun itu, diangkat menjadi komandan Polisi Militer
Jakarta. ia kemudian menduduki sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional HQ, dan Departemen
Pertahanan Indonesia sebelum dikirim ke London sebagai atase militer ke Kedutaan Indonesia
di sana. [2] Pada tanggal 28 Juni, dengan pangkat Mayor Jenderal, ia diangkat menjadi asisten
pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen untuk Kepala Staf Angkatan Darat Letnan
Jenderal Ahmad Yani.
Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 19
Juni 1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah
salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar,
kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia
tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika
masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan
sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali
ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi
IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay)
Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya
yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan
kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan
Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi
Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI
di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang
ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah
menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini,
ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah
terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya
membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari
situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan
yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging
Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan untuk
mempersenjatai angkatan kelima.
Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean[1] (lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1
Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah
satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan
menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris
Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah
kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam
perwira korban Gerakan 30 September lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi
Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.
Pierre Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang
berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis, pada tanggal
21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga
bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean
mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat
ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer,
namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur.
Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat
(ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958
Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir
di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun)
[note 1][note 2]
adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967.
[5]:11, 81
Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda.[6]:26-32 Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad
Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali
mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang
menamainya.[6]
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat—
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara
dan institusi kepresidenan.[6] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk
di parlemen.[6] Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto
menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia
Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer
sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock(sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia
Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
tokoh pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari
jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta
juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[1][2]
Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama
Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan
Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat.[3] Pada tahun 1980, ia meninggal
dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan
Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Hindia Belanda, 21 April 1879 – meninggal
di Rembang, Hindia Belanda, 17 September 1904pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.[2] Ia merupakan
putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi
bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.[2]Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri
utama.[2] Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari NyaiHaji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono,
seorang guru agama di Telukawur, Jepara.[2] Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak
hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali
ke istana Kerajaan Majapahit.[2] Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada
abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja. [2]
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah
bangsawan tinggi[3], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam),
keturunan langsung Raja Madura.[2] Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung,
Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat
bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati
pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. [2] Kakak Kartini, Sosrokartono,
adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan
bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda.
Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir
di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8
Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasionalRepublik Indonesia.
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830)
melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban
paling besar dalam sejarah Indonesia.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga
di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa
ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro
bernama Bendara Raden Mas Antawirya
Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab
Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun)[1] lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat
sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan
semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang
berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari
Pahlawan.
Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan
Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor
pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku
mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang
dikebumikan di Malang.
Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ia pernah bekerja sebagai polisi
di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya
dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.
Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus
terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12
tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai
pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah
resmi lulus.
Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang
diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk
pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang
kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum
pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.
Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal
di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan
Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis,
"Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram)".
Ayahnya yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy.
Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang
terletak dalam sebuah teluk di Seram.
Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di Ambon.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai
mantan sersan Militer Inggris.[1] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik
yang berarti Tanah Raja-Raja.[2] mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat
London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut
juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para
serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki
dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya
pemindahan dinas militer ini dipaksakan[3] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun
1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi,
dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit
mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura[2] Maka pada waktu pecah perang
melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat
mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki
sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi
perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih
dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan,
menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam
kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan
menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-
raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda
dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes,
salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir
di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8
Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasionalRepublik Indonesia.
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830)
melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban
paling besar dalam sejarah Indonesia.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga
di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa
ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro
bernama Bendara Raden Mas Antawirya
K.H. Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal
di Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.
Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama
dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama
kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny.
Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah
Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir
tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di
atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun
1927.
Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar
mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya
untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke
pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan
nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga,
Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus
menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir
berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar
pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah
Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka
sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang
dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula
Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia
menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa
di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun
menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan
anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk
Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is
Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 September 1852)[1] adalah
pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821),
setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya
sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu. [2]
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran
melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli
1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan
keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan
Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bank
Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat
menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya,
namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara
lomba lukis wajah SMB II.

Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18,
Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak
dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa
ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda
dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas
Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat
menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada
atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
Muhammad Amiruddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Nuku adalah
seorang sultan dari Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada tanggal 13 April 1779, dengan
gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”
[1] Selama masa perang dengan VOC, Nuku disebut juga sebagai Jou Barakati, artinya Tuan
Yang Diberkahi.
Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahkan Sultan Nuku sebagai " Pahlawan Nasional Indonesia" berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1995, tanggal 7 Agustus 1995.[2]
Sultan Nuku Muhamad Amiruddin adalah putra kedua Sultan Jamaluddin (1757–1779)
dari kerajaan Tidore. Dilahirkan pada tahun 1738, nama kecilnya adalah Kaicil Syaifuddin.
Pada zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan
yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian
Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan
peperangan untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan
yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik
serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu
membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas
merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko
Kie Raha) dari penjajah bangsa asing
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1 Januari 1772 -
wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada 1
Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun
(ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari
Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat,
Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di
Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang
Sumatera Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan
Perpustakàan Provinsi Sumatera Barat.
Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir
di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun)
[note 1][note 2]
adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967.
[5]:11, 81
Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda.[6]:26-32 Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad
Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali
mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang
menamainya.[6]
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat—
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara
dan institusi kepresidenan.[6] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk
di parlemen.[6] Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto
menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia
Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer
sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock(sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia
Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
tokoh pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari
jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta
juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[1][2]
Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama
Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan
Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat.[3] Pada tahun 1980, ia meninggal
dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan
Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986
Samanhudi atau sering disebut Kyai Haji Samanhudi (lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa
Tengah, 1868; meninggal di Klaten, Jawa Tengah, 28 Desember 1956) adalah pendiri Sarekat
Dagang Islam, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi
para pengusaha batik di Surakarta. Nama kecilnya ialah Sudarno Nadi.
Pondok Pesantren yang pernnah ia menimba ilmu didalamnya al : Pontren KM Sayuthy
(Ciawigebang), Pontren KH Abdur Rozak (Cipancur) ,paman ia, Pontren Sarajaya (Kab Cirebon),
Pontren (di Kab Tegal, Jateng), Pontren Ciwaringin (Kab. Cirebon) dan Pontren KH Zaenal
Musthofa (Tasikmalaya. ) . Catatan : Ia sangat ta,zdim trhdp guru guru ia . Trlebih trhdp
Asysyahid KH Zainal Mushtofa (Pahlawan Nasional) ia banyak bercerita tentang heroisme
perjuangan gurunya yang satu ini ketika berjuang melawan penjajah Jepang hingga beluau
gugur sebagai pahlawankusuma bangsa didepan regu tembak srdadu Jepang. Ketika
makbarohgurunya ini telah dipindahkan ke Taman Pahlawan Sukamanah Tasikmalaya,
Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh penguasa Hindia
Belanda antara pedagang pribumiyang mayoritas beragama Islam dengan
pedagang Tionghoa pada tahun 1905. Oleh sebab itu Samanhudi merasa pedagang pribumi
harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada tahun 1905, ia
mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya.
Ia dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo.
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto
Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal
di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab.
Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak
Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil
menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk
bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad
Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur
II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai
8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi
Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan
selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en
Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun
dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Madiun, Jawa Timur, 16
Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52
tahun( dalam Buku Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, karangan Drs. Mansur, MA.
Penerbit Pustaka Pelajar, 2004; halaman 13), Beliau lebih dikenal dengan nama H.O.S
Cokroaminoto, merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat
Islam (SI)
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno,
salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah
juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" oleh Belanda,
Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para
pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan
berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu. Rumahnya sempat dijadikan rumah
kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya,
yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru
padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda. Setelah ia
meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya,
yakni kaum sosialis/komunis yang dianut
oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis, dan S.M
Kartosuwiryo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu
saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu
memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga
terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia karena
memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso. Dengan terpaksa Presiden
Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang",
sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati
pada 31 Oktober 1948. dilanjutkan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh S.M
Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya S.M
Kartosuwiryo pada 12 September 1962. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto
mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih
menjadi ketua.
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (EYD: Cipto Mangunkusumo) (Pecangaan, Jepara, Jawa
Tengah, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai
"Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap
pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu
organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk
setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh
pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota
organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur
pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap
radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa. Pada tanggal 19 Desember
2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang
logam rupiah baru, pecahan Rp. 200,
Raden Dewi Sartika Latin: Rd. Déwi Sartika; lahir di Cicalengka, Bandung, 4
Desember1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun)
adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.
Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A.
Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884.[1][2] Ketika masih kanak-kanak, ia selalu
bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya. [1]
[3]
Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan
yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima
pengetahuan mengenai budaya barat.[4] Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.[3]
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten
Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi
Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910.[5][6] Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah
yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota
maupun kabupaten pada tahun 1920.[4] Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama
menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika dalam masa perang kemerdekaan
DISUSUN OLEH :

NAMA : RIFA HAIFANI


KELAS : 4A
SDN : KARANG TENGAN 06
PAHLAWAN KEMERDEKAAN
PAHLAWAN REVOLUSI
PAHLAWAN NASIONAL
PAHLAWAN PEJUANG KEMERDEKAAN
PAHLAWAN PLOKAMATOR
PAHLAWAN PERGERAKAN NASIONAL

Anda mungkin juga menyukai