Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Lahir: 1848, Kabupaten Aceh Besar
Meninggal: 6 November 1908, Sumedang
Dimakamkan: Makam Cut Nyak Dien, Sumedang
Orang Tua: Teuku Nanta Seutia
Suami/istri: Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Pasangan: Teuku Umar (m. 1880–1899), Ibrahim Lamnga (m. 1862–1878)
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan
Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan
Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi,
sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di
Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut
dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya
dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan
Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga
satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. [2][3]Ia
akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai
sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke
Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di
Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara
Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
CUT MUTIA
Lahir 1870
Keureutoe, Pirak, Aceh
Utara, Kesultanan Aceh
Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 – Alue Kurieng, Aceh, 24
Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesiadari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue
Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku
Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil
ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal,
Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan
merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung
dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran
dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke
dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada
tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa
pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo
melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama
pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet
Njak Meutia gugur.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia,
mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan
Rp1.000.
KH. M. HASYIM ASY’ARI
Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau
Ashari adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul
Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering
dieja Asy'ari atau Ashari (lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14
Februari 1871 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 pada umur 76 tahun; 24
Dzul Qo'dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah
salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia[2] yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama,
organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama
pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
K.H Hasjim Asy'ari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara [3]. Ayahnya bernama Kyai Asy'ari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama
Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah,
Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Berdasarkan silsilah garis
keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari memiliki garis keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka
Tingkir juga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya
V(Lembupeteng). Berikut silsilah berdasarkan K.H. Hasjim Asy'ari berdasarkan garis
keturanan ibu:
Hasjim Asy'ari putra Halimah putri Layyinah putri Sihah Putra Abdul
Jabar putra Ahmad putra Pangeran Sambo putra Pengeran Benowo putra Joko Tingkir (Mas
Karebet) putra Prabu Brawijaya V (Lembupeteng)[1]
Ia menikah tujuh kali dan kesemua istrinya adalah putri dari ulama. Empat istrinya bernama
Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah. Salah seorang putranya, Wahid Hasyim adalah
salah satu perumus Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Menteri Agama,[4]sedangkan
cucunya, Abdurrahman Wahid, menjadi Presiden Indonesia.
KI HAJAR DEWANTARA
Masa jabatan
2 September 1945 – 14 November 1945
Presiden Sukarno
Informasi pribadi
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EBI: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EBI: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa
Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889 – meninggal di
Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi"
atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan
pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan
bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian
Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal
perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang
kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28
November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal
28 November 1959)
KYAI HAJI AHMAD DAHLAN
Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18,
Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak
dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa
ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda
dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas
Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat
menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada
atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
Muhammad Amiruddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Nuku adalah
seorang sultan dari Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada tanggal 13 April 1779, dengan
gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”
[1] Selama masa perang dengan VOC, Nuku disebut juga sebagai Jou Barakati, artinya Tuan
Yang Diberkahi.
Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahkan Sultan Nuku sebagai " Pahlawan Nasional Indonesia" berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1995, tanggal 7 Agustus 1995.[2]
Sultan Nuku Muhamad Amiruddin adalah putra kedua Sultan Jamaluddin (1757–1779)
dari kerajaan Tidore. Dilahirkan pada tahun 1738, nama kecilnya adalah Kaicil Syaifuddin.
Pada zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan
yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian
Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan
peperangan untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan
yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik
serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu
membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas
merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko
Kie Raha) dari penjajah bangsa asing
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1 Januari 1772 -
wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada 1
Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun
(ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari
Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat,
Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di
Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang
Sumatera Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan
Perpustakàan Provinsi Sumatera Barat.
Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir
di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun)
[note 1][note 2]
adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967.
[5]:11, 81
Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda.[6]:26-32 Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad
Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali
mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang
menamainya.[6]
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat—
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara
dan institusi kepresidenan.[6] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk
di parlemen.[6] Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto
menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia
Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer
sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock(sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia
Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
tokoh pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari
jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta
juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[1][2]
Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama
Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan
Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat.[3] Pada tahun 1980, ia meninggal
dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan
Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986
Samanhudi atau sering disebut Kyai Haji Samanhudi (lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa
Tengah, 1868; meninggal di Klaten, Jawa Tengah, 28 Desember 1956) adalah pendiri Sarekat
Dagang Islam, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi
para pengusaha batik di Surakarta. Nama kecilnya ialah Sudarno Nadi.
Pondok Pesantren yang pernnah ia menimba ilmu didalamnya al : Pontren KM Sayuthy
(Ciawigebang), Pontren KH Abdur Rozak (Cipancur) ,paman ia, Pontren Sarajaya (Kab Cirebon),
Pontren (di Kab Tegal, Jateng), Pontren Ciwaringin (Kab. Cirebon) dan Pontren KH Zaenal
Musthofa (Tasikmalaya. ) . Catatan : Ia sangat ta,zdim trhdp guru guru ia . Trlebih trhdp
Asysyahid KH Zainal Mushtofa (Pahlawan Nasional) ia banyak bercerita tentang heroisme
perjuangan gurunya yang satu ini ketika berjuang melawan penjajah Jepang hingga beluau
gugur sebagai pahlawankusuma bangsa didepan regu tembak srdadu Jepang. Ketika
makbarohgurunya ini telah dipindahkan ke Taman Pahlawan Sukamanah Tasikmalaya,
Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh penguasa Hindia
Belanda antara pedagang pribumiyang mayoritas beragama Islam dengan
pedagang Tionghoa pada tahun 1905. Oleh sebab itu Samanhudi merasa pedagang pribumi
harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada tahun 1905, ia
mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya.
Ia dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo.
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto
Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal
di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab.
Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak
Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil
menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk
bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad
Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur
II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai
8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi
Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan
selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en
Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun
dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Madiun, Jawa Timur, 16
Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52
tahun( dalam Buku Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, karangan Drs. Mansur, MA.
Penerbit Pustaka Pelajar, 2004; halaman 13), Beliau lebih dikenal dengan nama H.O.S
Cokroaminoto, merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat
Islam (SI)
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno,
salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah
juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" oleh Belanda,
Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para
pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan
berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu. Rumahnya sempat dijadikan rumah
kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya,
yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru
padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda. Setelah ia
meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya,
yakni kaum sosialis/komunis yang dianut
oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis, dan S.M
Kartosuwiryo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu
saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu
memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga
terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia karena
memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso. Dengan terpaksa Presiden
Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang",
sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati
pada 31 Oktober 1948. dilanjutkan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh S.M
Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya S.M
Kartosuwiryo pada 12 September 1962. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto
mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih
menjadi ketua.
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (EYD: Cipto Mangunkusumo) (Pecangaan, Jepara, Jawa
Tengah, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai
"Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap
pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu
organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk
setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh
pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota
organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur
pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap
radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa. Pada tanggal 19 Desember
2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang
logam rupiah baru, pecahan Rp. 200,
Raden Dewi Sartika Latin: Rd. Déwi Sartika; lahir di Cicalengka, Bandung, 4
Desember1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun)
adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.
Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A.
Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884.[1][2] Ketika masih kanak-kanak, ia selalu
bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya. [1]
[3]
Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan
yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima
pengetahuan mengenai budaya barat.[4] Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.[3]
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten
Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi
Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910.[5][6] Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah
yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota
maupun kabupaten pada tahun 1920.[4] Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama
menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika dalam masa perang kemerdekaan
DISUSUN OLEH :