Anda di halaman 1dari 10

10 PAHLAWAN NASIONAL

1. Sultan Hasanudin

Nama Tokoh : Sultan Hasanuddin

Tempat / tanggal lahir : Makassar, Sulawesi Selatan,


12 Januari 1631

Wafat : Makassar, Sulawesi Selatan,


12 Juni 1670 (39 tahun)

Tempat Makam : Komplek Pemakaman, Jl.


Palantika, Kelurahan Ketangka, Gowa, Makassar

Deskripsi Perjuangan : Ia berusaha menggabungkan


kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur
untuk melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung,
Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin
lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian
Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan
perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran
kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit.
Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni
berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12
Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat
pada tanggal 12 Juni 1670.

2. Cut Nyak Meutia


Nama Tokoh : Cut Nyak Meutia

Tempat / tanggal lahir: Keureutoe, Pirak, Aceh


Utara, 1870
Wafat : Alue Kuring, Aceh, 24
Oktober 1910

Tempat Makam : Alue Kuring, Aceh

Deskripsi perjuangan : Berjuang melawan


Belanda di Aceh bersama suaminya yang
bernama Teuku Muhammad (Teuku Tjik
Tunong). Ia melakukan perlawanan dengan sisa
pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos –
pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo
melewati hutan belantara. Namun pada tanggal
24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue
Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
3. Kapiten Pattimura

Nama Lengkap : Kapitan Pattimura

Nama Asli: Thomas Matulessy

Tanggal Lahir: Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun


1783

Meninggal:
Benteng Victoria, Ambon, 16 Desember 1817

Perjuangan : Perlawannya terhadap penjajah Belanda pada


tahun 1783. Perlawannya terhadap penjajahan

Belanda pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan
setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau
akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya.
Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.

Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia
bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa
daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang
melahirkannya.

Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia


yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang
perpindahtanganan penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara
resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai
oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh
Belanda.

Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798,
wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan
Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas
militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.

Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda
kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku
langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja
rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima
tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk
membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat
merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
4. Cut Nyak Dien

Nama Pahlawan : Cut Nyak Dien

Tanggal Lahir : Lampadang, Aceh tahun 1850

Wafat : Sumedang Jawa Barat tahun, 6 November 1908

Makam : Gunung puyuh, Sumedang, Jawa Barat

Perjuangan : Cut Nyak Dien menikah pada usia 12 tahun


dengan Teuku Cik Ibrahim Lamanga. Namun pada saat
pertempuran di Gletarum, Juni 1878, Suami Cut Nyak
Dien (Teuku Ibrahim) gugur. Kemudian Cut Nyak dien
bersumpah hanya akan menerima pinangan dari laki-laki
yang bersedia membantu untuk menuntut balas kematian sang suami.

Cut Nyak Dien akhirnya menikah kembali dengan Teuku Umar tahun 1880, kemenakana
ayahnya Seorang pejuang Aceh yang juga cukup disegani oleh Belanda. Sejak itu Cut Nyak
Dien selalu berjuang berama suami barunya, Teuku Umar (September 1893- Maret 1896).
Dalam perjuangannya, Teuku Umar berpura-pura bekerjasama dengan Belanda sebagai
taktikuntuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang lainnya. Sementara Itu Cut Nyak
Dien tetap berjuang melawan Belanda di Kampung halaman Teuku Umar. Teuku Umar
akhirnya bergabung lagi kembali dengan para pejuang setelah taktiknya diketahui oleh
Belanda.

Tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh namun Cut
Nyak Dien tetap meneruskan perjuanngannya dengan bergerilya dan tidak pernah mau
berdamai dengan Belanda yang disebutnya “Kafir-Kafir”.

Perjuangannya yang berat karena memaksanya beserta pasukannya keluar masuk hutan
menyebabkan keadaan Cut Nyak Dien drop dan menderita sakit Encok.

Karena kasihan dengan keadaan Cut Nyak Dien, para pengawalnya membuat kesepakatan
dengan Belanda asal “Cut Nyak Dien tidak diperlakukan sebagaiorang terhormat dan bukan
sebagai penjahat perang”

Sebagai tawanan, Cut Nyak Dien masih sering kedatangan tamu dan karenanya Belanda
masih menghkawatirkan pengaruh Cut Nyak Dien sehingga membuangnya ke Sumedang.
Cut NYak Dien akhirnya wafat di Pengasingan sebagaipejuang wanita berhati baja dan ibu
bagi rakyat Aceh.

Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Cut Nyak Dien
berdasarkan SK Presiden RI No 106/1964.
5. Martha Christina Tiahahu

Nama Pahlawan : Martha Christina Tiahahu

Lahir : Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800

Wafat : Laut Maluku, 2 Januari 1818

Makam : Laut Maluku

Perjuangan : Christina Martha Siahahu adalah putri dari


seorang pemimpin pejuang rakyat Maluku, Kapitan
Paulus Tiahahu. Sejalan dengan semakin meluasnya
perlawanan yang dilakukan Kapitan Pattimura di Saparua,
penduduk di Nusa Laut pun gigih berjuang melawan
Belanda. Christina Martha Siahahu yang saat itu masih amat muda terlah ikut berperang
mendampingi ayahnya. Christina Martha dan ayahnya juga sempat menguasai Benteng
Beverwijk.

Belanda kemudian menugaskan perwira angkatan lautnya untuk pergi ke Nusa Laut untuk
memerangi pejuang-pejuang disana. Perlawanan rakyat Nusa Laut akhirnya dapat dipatahkan
dan Benteng Beverwijk berhasil dikuasai kembali oleh Belanda pada tanggal 10 November
1817.

Christina dan ayahnya akhirnya dapat ditangkap oleh Belanda dan mendapatkan hukuman.
Ayahnya mendapat hukuman mati, sementara Christina dibebaskan oleh Belanda akibat
belum cukup umur / terlalu muda. Paulus mengajak anaknya untuk melihat eksekusi tembak
mati yang dilakukan oleh Belanda terhadap ayahnya, dan Christina melihat itu semua dengan
tegar.

Setelah dibebaskan berupaya untuk memberontak lagi. Akhinya ia kembali ditangkap


bersama 39 pemberontak lainnya. Christina Martha Siahahu dihukum dibuang ke Pulau Jawa.
Christina bersama pemberontak lainnya diangkut ke Pulau Jawa dengan menggunakan kapal
Evertzen.
Di atas kapal, Christina Martha Siahahu jatuh sakit. Namun ia menolak untuk diberi makan
dan diobati oleh Belanda sehingga akhirnya ia meninggal dalam perjalanan. Jenazahnya
kemudia secara diam-diam diturunkan ke laut oleh seorang perwira Belanda yang bersimpati
pada perjuangannya.
Untuk menghormati jasa-jasa Christina Matha Tiahahu, berdasarkan Surat Keputusan
Presiden RI No. 012/TK/1969, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan
Nasional kepadanya.
6. Pangeran Antasari

Nama Pahlawan : Pangeran Antasari

Lahir : Banjarmasin, 1797


Wafat : Bayan Begak, 11 Oktober 1862

Makam : Banjarmasin.

Perjuangan : Perlawanan rakyat Banjar terhadap


Belanda dimulai saat Belanda mengangkat Tamjidillah
sebgai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang
wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar Kesultanan
Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran Hidayatullah, sebagai pewaris
takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar
dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat
senjata melawan Belanda.

Pangeran Antasari ebrhasil menyerang dan menguasai kedudukan Belanda di Gunung Jabuk.
Pangeran Antasari jugat menyerang tambang batubara Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang
Banjar juga berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, seperti Laetnan
Van der Velde dan Letnan Bangert. Peristiwa yang memalukan Belanda ini terjadi atas siasat
Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati.

Pada Tahun 1861, Pangeran Hidayatullah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat. Pangeran antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia
diangkat oleh rakyat sebagai Panembahan Amiruddin Khafilatul Mu’min, sehingga kualitas
peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsur agama. Sayang, Pangeran Antasari
akhirnya wafat tanggal 11 Oktober 1862 karena penyakit cacar yang saat itu sedang mewabah
di Kalimantan Selatan. Padahal, saat itu, ia sedang menyiapkan serangan besar-besaran
terhadap Belanda.

Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Antasari, berdasarkan Surat Keputusan Presiden


RI, No.06/TK/1968, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasionak
Kepadanya.
7. Pangeran diponegoro

Nama Pahlawan : Pangeran diponegoro

Lahir : Yogyakarta, 11
November 1785

Wafat : Makassar, Sulawesi


Selatan, 8 Januari 1855

Perjuangan : Perang Diponegoro


terjadi karena saat Belanda membangun jalan
dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan,
mengubah rencananya dan membelokan jalan
itu melewati Tegalrejo. Ternyata di salah satu
sektor, Belanda tepat melintasi makam dari
leluhur Pangeran Diponegoro. Hal itu membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan
memutuskan untuk melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk
mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. karena dinilai telah memberontak,
pada 20 Juli 1825 Belanda mengepung rumah Diponegoro. Akhirnya pada tanggal 28 Maret
1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pangeran
Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri
dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

8. Tuanku Imam Bonjol

Nama Pahlawan : Tuanku Imam Bonjol

Lahir : Tanjung Bunga, Pasaman, Sumatera Barat


1772

Wafat : Manado, Sulawesi Utara, 8 November


1864

Perjuangan : Tahun 1807 Malim basa mendirikan Benteng di kaki bukit Tajadi
yang kemudian diberi nama Imam Bonjol. Sejak saat itu ia dikenal dengan nama Tuanku
Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol wafat karena adanya Perang Paderi. Perang Paderi tarjadi
karena pada waktu itu di Minangkabau, sedang terjadi pertentangan yang hebat antara kaum
Paderi (kaum agama) dengan kaum adat tentang kehidupah bebas para kaum adat seperti
berjudi dan mabuk mabukan. Pada awalnya, pertentangan ini hanya melibatkan kaum adat
dan kaum paderi saja. Tapi karena kedudukan kaum adat semakin terdesak, Kaum adat lalu
meminta bantuan kepada Belanda.

Sejak saat itu pulalah, Belanda ikut campur dalam pertentangan di Minangkabau. Lalu
Belanda mulai mendirikan benteng di Batu Sangkar dan di Bukit Tinggi untuk memperkuat
kedudukannya. Tuanku Imam Bonjol memliki banyak pengikut yang membuat Belanda
kewalahan. Apalagi pada saat yang bersamaan, Belanda juga terdesak dengan Perang
Diponegoro sehingga Belanda merasa perlu “berdamai sementara” dengan kaum paderi untuk
mengalihkan kekuatan di Pulau Jawa menghadapi Perang Diponegoro.
Setelah berakhirnya perang Diponegoro, Belanda kembali menyerang Markas-markas
Tuanku Imam Bonjol. Namun Tuanku Imam Bonjol adalah panglima perang yang handal
sehingga membuat Belanda harus mengerahkan bantuan tambahan dan siasat-siasat licik.
Sehingga untuk menangkapTuanku Imam Bonjol, Belanda menggunakan cara-cara kotor
dengan cara mengajak berunding di seikitar Bukit Gadang dan Tujuh Lurah. Dan disitu
pulalah Tuanku Imam Bonjol ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1937.

Tuanku Imam Bonjol lalu ditawan di Bukit Tinggi lalu diasingkan dari Cianjur lalu ke
Ambon dan terakhir di Manado. Tuanku Imam Bonjolakhirnya wafat di Manado pada tanggal
8 November 1864.
Pemerintah lalu menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya berdasarkan SK
Presiden RI No 087/TK/1973.

9. Sisingamangaraja XII

Nama Pahlawan :
Sisingamangaraja XII

lahir : Bakara, Tapanuli, 1849

Wafat : Simsim,17 Juni 1907

Makam : Pulau Samosir

Nama aslinya Patuan Besar Ompu Pulo


Batu. Nama Sisingamaraja XII baru dipakai
pada 1867, setelah ia diangkat menjadi raja
menggantikan ayahnya yang mangkat. Sabng
ayah meninggal akibat serangan penyakit
kolera.

Febuari 1878, Sisingamaraja mulai melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial


Belanda. Ini dilakukan untuk mempertahankan daerah kekuasaannya di tapanuli yang
dicaplok Belanda. Dimulai dari penyerangan terhadap pos-pos Belanda lainnya terus
berlangsung di antaranya sebagai berikut:

– Mei 1883, pos Belanda di Uluan dan Balige diserang oleh pasukan Sisingamaraja.

– Tahun 1884, pos Belanda berhasil memperkuat pasukan bdan persenjataannya.


Kondisi ini membuat pasukan Raja Batak ini semakin terdesak danb terkepung. Pada
pertempuran inilah Sisingamaraja XII gugur tepatnya padab tanggal 17 Juni 1907. Bersama-
sama dengan purinya (Lopian) dan dua orang putranya (Patuan Nagari dan Putaun Anggi)

Sisingamaraja kemudian dimakamkan di Balige dan selanjutnya kembali dipindahkan ke


pulau Samosir. Sisingamaraja dianugrahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan
SK Presiden RINo.590/1991.

10. Teuku Umar

Nama Pahlawan : Teuku Umar

Lahir : 1854 (tanggal dan


bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat,
Indonesia.

Wafat : Meulaboh, 11
Februari 1899

Perjuangan : Ia merupakan salah seorang


pahlawan nasional yang pernah memimpin perang
gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun
1899.Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi
janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya.
Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah
meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah
itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian
berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil
perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat
pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun
kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku
Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak
musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda.
Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya
itu.

Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara
untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas
keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan
Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250
tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos
pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab,
sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh.
Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17
orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya
akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan
membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan
uang 18.000 dollar.

Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali
membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk
mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan.
Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem
Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam
pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.
Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van
Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap
Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar
tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899.
Sinopsis Novel

(Awanda Alifia)

Judul :Marmut Merah Jambu

Pengarang :Raditya Dika

Penerbit :Bukune

Jumlah halaman :222 halaman

Sinopsis Novel :

Suatu hari Dika (Raditya Dika) datang ke rumah Ina (Anjani Dina), cinta
pertamanya sewaktu SMA, membawa seribu origami burung bangau di tangan kanannya, dan
undangan pernikahan Ina di tangan kirinya.Besok, Ina akan menikah. Kedatangan Dika
diterima oleh Bapak Ina (Tio Pakusadewo) yang curiga kedatangan Dika untuk kasus cinta
lama yang belum selesai dan berpikir bahwa Dika ingin menggagalkan pernikahan anaknya.
Dika menceritakan maksud sebenarnya, yang jauh dari tuduhan Bapak Ina.

Seiring dengan Dika bercerita, kita melihat masa lalu Dika (Christoffer Nelwan), dia
berteman akrab dengan Bertus (Julian Liberty). Pada masa ini, Dika SMA jatuh cinta diam-
diam kepada Ina. Baik Dika dan Bertus sama-sama sadar, untuk mendapatkan cewek di
sekolah, mereka harus populer. Dika dan Bertus sudah sering memecahkan masalah di
sekolahnya, pada suatu ketika Dika dan Bertus bertemu Cindy dan akhirnya mereka bertiga
membuat grup detektif. Bertus menyebut grup ini dengan Tiga Sekawan.

Suatu ketika ada suatu kasus yang tidak bisa mereka pecahkan, kasusnya adalah grafiti
di tembok sekolah. Mereka berfikir kalau grafiti itu dituju untuk mengancam kepala sekolah.
Waktu terus berlalu hingga mereka lulus sekolah, dan setelah bertahun-tahun mereka
menjalani hidup, Dika pun penasaran akan grafiti itu setelah Dika menelit lagi ternyata
gambar yang ada di grafiti itu bukanlah gambar iblis, melainkan gambar marmut yang mirip
dengan gambar di handuk yang Dika terima dari Cindy. Dika juga ingat kalau yang
memberitahukan tentang kasus itu pertama kali ialah Cindy, Dika juga membaca petunjuk
yang ada pada grafiti itu ialah “untuk dibaca oleh dua orang” Lalu Dika membacanya
bersama Bertus dan membacanya juga per-dua kalimat.

Lalu Dika sudah menyimpulkan bahwa kalimat dalam grafiti itu adalah mengenai surat
cinta yang dibuat oleh Cindy. Dika dan Cindy pun bertemu di acara pernikahan Ina dan Dika
menjelaskan yang dia ketahui semua tentang grafiti itu, dan Cindy pun tersipu malu lalu Dika
mengeluarkan handuk yang diberikan oleh Cindy dengan gambar

MARMUT MERAH JAMBU.

“Cinta itu kayak marmut lucu warna merah jambu yang berlari di sebuah roda seakan dia
udah berjalan jauh padahal dia nggak kemana-mana. Nggak tahu kapan harus berhenti.”

Anda mungkin juga menyukai