Khutbah I
Jamaah Rahimakumullah
Kita semua tentu punya rumah. Tempat kita singgah dalam waktu yang lama.
Tempat bernaung dan memperoleh keamanan dan kenyamanan. Di rumah kita
menikmati adanya privasi, kedaulatan untuk—misalnya—beribadah secara
khusyuk, belajar dengan fokus, dan sejenisnya. Rumah adalah kebutuhan pokok
sekaligus hak seseorang yang tak boleh dirampas. Siapa pun tak berhak mencuri
harta benda atau mengganggu rumah kita. Islam menjamin hak-hak ini sehingga
si pemilik boleh membela diri. Seorang pencuri dalam Islam juga tak lepas dari
sebuah sanksi. Lebih luas dari rumah, kita menyebutnya rukun tetangga atau
RT. Lebih luas lagi, ada rukun warga atau RW, kemudian kampung, desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara.
Dalam bahasa Arab, untuk menyebut istilah-istilah tersebut dikenal kata dâr
yang biasa diartikan rumah, tempat tinggal, negeri, atau sejenisnya. Kata lain
yang juga digunakan adalah wathan yang berarti tanah air, tanah kelahiran, atau
negeri. Al-Jurjani pernah menyebut istilah al-wathan al-ashli, yaitu tempat
kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.
Artinya: Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di
mana ia tinggal di dalamnya, (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-
Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).
Tempat tinggal merupakan keperluan alamiah (thabi’i). Seluruh manusia,
bahkan juga binatang, meniscayakan kebutuhan yang satu ini. Tapi
mencintainya adalah bagian dari mencintai kebutuhan primer manusiawi yang
memang sangat dijunjung tinggi syariat. Tidak salah bila para ulama
mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan
minal iman). Rasulullah SAW sendiri pernah mengungkapkan rasa cintanya
kepada tanah kelahiran beliau, Makkah. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban:
Artinya: Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada
Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah. (HR al-Bukhari 7/161)
Jamaah Shalat Jumat Hadâkumullah Jelaslah bahwa cintah Tanah Air bukanlah
‘ashabiyah (fanatisme) sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan.
Seolah-olah cinta tanah air berarti fanatik buta kepada negeri sendiri lalu
mengabaikan atau bahkan merendahkan negeri lain. Tidak demikian.
‘Ashabiyah yang menjangkiti suku-suku zaman jahiliyah adalah sesuatu yang
sangat dibenci Rasulullah. Fanatisme kesukuan memicu munculnya banyak
perseteruan antargolongan.
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 8) Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut
juga mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menyejajarkan antara agama dan tanah
air. Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan
bertempat tinggal secara merdeka.
Jamaah Rahimakumullah
Lalu apa manfaat dari cinta Tanah Air? Apa beda cinta Tanah Air dengan cinta
kita terhadap jenis makanan tertentu atau cinta kita terhadap tayangan tertentu?
Kita mafhum bahwa kata cinta bermakna lebih dari sekadar kesukaan atau
kegemaran. Cinta mengandung asosiasi mengasihi, merawat, mengembangkan,
juga melindungi. Ketika Rasulullah mencintai negeri Makkah, beliau menjadi
orang yang sangat peduli terhadap penindasan dan bejatnya moral masyarakat
musyrik kala itu.
Karena tanah air adalah tempat mereka lahir, sumber makanan, tempat
beribadah, dan mungkin sekali juga tempat peristirahatan terakhir bagi kita.
Semoga Allah menjadikan negeri kita dalam limpahan keberkahan, aman,
damai, dan sejahtera. Warga di dalamnya dianugerahi petunjuk sehingga
mampu bersatu dan bersama-sama membangun kemaslahatan untuk semua.