Anda di halaman 1dari 4

KHUTBAH 17 AGUSTUS

Khutbah I   

Jamaah Rahimakumullah

Di kesempatan istimewa ini mari terus berupaya meningkatkan takwallah


dengan menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya. Dengan
bertambahnya usia, diharapkan takwallah kita senantiasa meningkat.   

Hadirin yang Berbahagia

Kita semua tentu punya rumah. Tempat kita singgah dalam waktu yang lama.
Tempat bernaung dan memperoleh keamanan dan kenyamanan. Di rumah kita
menikmati adanya privasi, kedaulatan untuk—misalnya—beribadah secara
khusyuk, belajar dengan fokus, dan sejenisnya. Rumah adalah kebutuhan pokok
sekaligus hak seseorang yang tak boleh dirampas. Siapa pun tak berhak mencuri
harta benda atau mengganggu rumah kita. Islam menjamin hak-hak ini sehingga
si pemilik boleh membela diri. Seorang pencuri dalam Islam juga tak lepas dari
sebuah sanksi. Lebih luas dari rumah, kita menyebutnya rukun tetangga atau
RT. Lebih luas lagi, ada rukun warga atau RW, kemudian kampung, desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara.  

Dalam bahasa Arab, untuk menyebut istilah-istilah tersebut dikenal kata dâr
yang biasa diartikan rumah, tempat tinggal, negeri, atau sejenisnya. Kata lain
yang juga digunakan adalah wathan yang berarti tanah air, tanah kelahiran, atau
negeri. Al-Jurjani pernah menyebut istilah al-wathan al-ashli, yaitu tempat
kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.      
Artinya: Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di
mana ia tinggal di dalamnya, (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-
Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).   
Tempat tinggal merupakan keperluan alamiah (thabi’i). Seluruh manusia,
bahkan juga binatang, meniscayakan kebutuhan yang satu ini. Tapi
mencintainya adalah bagian dari mencintai kebutuhan primer manusiawi yang
memang sangat dijunjung tinggi syariat. Tidak salah bila para ulama
mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan
minal iman).    Rasulullah SAW sendiri pernah mengungkapkan rasa cintanya
kepada tanah kelahiran beliau, Makkah. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban:

Artinya: Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah


baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri
yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau,
niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).   

Setelah pengusiran tersebut, Nabi lantas hijrah ke kota Yatsrib yang di


kemudian hari bernama Madinah. Di tempat tinggal yang baru ini, Rasulullah
pun berharap besar bisa mencintai Madinah sebagaimana beliau mencintai
Makkah. Seperti yang terungkap dalam doa beliau yang terekam dalam Shahih
Bukhari.       

Artinya: Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada
Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah. (HR al-Bukhari 7/161)   
Jamaah Shalat Jumat Hadâkumullah Jelaslah bahwa cintah Tanah Air bukanlah
‘ashabiyah (fanatisme) sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan.
Seolah-olah cinta tanah air berarti fanatik buta kepada negeri sendiri lalu
mengabaikan atau bahkan merendahkan negeri lain. Tidak demikian.
‘Ashabiyah yang menjangkiti suku-suku zaman jahiliyah adalah sesuatu yang
sangat dibenci Rasulullah. Fanatisme kesukuan memicu munculnya banyak
perseteruan antargolongan.   

Menganggap cinta Tanah Air sebagai ‘ashabiyah sama dengan menganggap


Rasulullah melakukan sesuatu yang beliau benci sendiri. Tentu pandangan ini
sama sekali tidak masuk akal. Cinta Tanah Air bukan soal egoisme kelompok.
Cinta Tanah Air adalah tentang pentingnya manusia memiliki tempat tinggal
yang memberinya kenyamanan dan perlindungan. Cinta Tanah Air juga tentang
kemerdekaan dan kedaulatan. Sehingga siapa pun yang berusaha menjajah atau
mengusir dari tanah tersebut, Islam mengajarkan untuk melakukan pembelaan.
Ketika kondisi aman, mencintai Tanah Air adalah sebuah hal wajar, bahkan
sangat dianjurkan.      

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 8)    Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut
juga mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menyejajarkan antara agama dan tanah
air. Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan
bertempat tinggal secara merdeka.   

Jamaah Rahimakumullah
Lalu apa manfaat dari cinta Tanah Air? Apa beda cinta Tanah Air dengan cinta
kita terhadap jenis makanan tertentu atau cinta kita terhadap tayangan tertentu?
Kita mafhum bahwa kata cinta bermakna lebih dari sekadar kesukaan atau
kegemaran. Cinta mengandung asosiasi mengasihi, merawat, mengembangkan,
juga melindungi. Ketika Rasulullah mencintai negeri Makkah, beliau menjadi
orang yang sangat peduli terhadap penindasan dan bejatnya moral masyarakat
musyrik kala itu.   

Saat mencintai Madinah, beliau juga membangun masyarakat beradab dengan


sistem hukum yang adil untuk masyarakat yang majemuk di Madinah. Dengan
demikian, cinta Tanah Air jauh dari pengertian fanatisme kelompok. Ia hadir
justru dari semangat untuk menghargai seluruh manusia yang tinggal dalam satu
Tanah Air yang sama meski berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Cinta
Tanah Air menandakan seseorang untuk hidup saling menghargai, saling
menolong, dan saling melindungi.

Karena tanah air adalah tempat mereka lahir, sumber makanan, tempat
beribadah, dan mungkin sekali juga tempat peristirahatan terakhir bagi kita.
Semoga Allah menjadikan negeri kita dalam limpahan keberkahan, aman,
damai, dan sejahtera. Warga di dalamnya dianugerahi petunjuk sehingga
mampu bersatu dan bersama-sama membangun kemaslahatan untuk semua.    

Anda mungkin juga menyukai