Pemberontakan APRA ini juga beralasan untuk mempertahankan negara Pasundan demi
melindungi aset ekonomi kolonial yang ada di wilayah tersebut. Sebagai bekas perwira
Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) Raymond Pierre Westerling juga memiliki
pasukan yang mayoritas bekas prajuritnya sendiri, terutama dari prajurit Regiment Speciale
Troepen (Regimen Pasukan Khusus). Ketidaksetujuan APRA terhadap hasil dari Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949.
Di mana Tentara KNIL akan dibubarkan dan akan dimasukkan ke dalam kesatuan-
kesatuan TNI dan pasukan Belanda harus ditarik dari Indonesia. Kerja sama antara APRA
dengan Sultan Hamin II dari Pontianak yang memiliki paham feodal akhirnya terbentuk. Kudeta
pada Januari 1950 ini merupakan percobaan yang mereka lakukan, demi mempertahankan negara
feodal RIS ketika mayoritas negara bagian RIS menginginkan bergabung dengan Republik
Indonesia. Ultimatum yang menuntut pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian,
terutama Negara Pasundan serta mengakui APRA sebagai tentara Pasundan, dikirimkan oleh
Westerling pada pemerintah RIS 5 januari 1950.
Dalam tenggang waktu lima hari pemerintah RIS harus memberi jawaban dan akan
terjadi perang bila tuntutan tersebut ditolak. Mengetahui hal tersebut, perintah penangkapan
Westerling dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 10 Januari 1950 demi
mencegah agresi terjadi. Benar saja, APRA mempercepat gerakannya dengan melakukan
pembantaian anggota TNI di Kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Staf Divisi
Siliwangi. Letnan Kolonel Lemboh yang bertugas di wilayah tersebut juga ikut gugur bersamaan
dengan warga sipil yang menjadi korban. Ketika hendak melanjutkan pemberontakannya di
Jakarta, upaya ini berhasil digagalkan oleh pemerintah RIS, APRIS, dan juga bantuan rakyat sipil
pada masa itu. Dalam upaya penumpasan APRA di Bandung, pemerintah RIS menekan
pimpinan tentara Belanda melalui perundingan dan operasi militer. Hasil dari perundingan
tersebut memutuskan untuk mendesak Westerling segera meninggalkan Bandung. Lantaran gagal
melakukan kudeta. mengetahui reputasinya terancam, Westerling pun melarikan diri ke Belanda.
Demi mengenang perjuangan yang terjadi di tempat tersebut. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) meresmikan monumen Dwikora dan Trikora yaang menjadi simbol
perjuangan TNI, pada masa pemerintahannya.
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
Biodata :
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ER, EYD; Amir Syarifuddin Harahap; 27 April 1907 –
19 Desember 1948) adalah seorang politikus dan jurnalis berkebangsaan Indonesia. Ia menjabat
sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia
sedang berlangsung. Berasal dari keluarga Angkola Muslim, Amir
menjadi pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada
tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh pemerintah karena terlibat
dalam pemberontakan komunis.
Mendapati kondisi ini, Amir tidak sepakat dan kemudian mendirikan Front Demokrasi
Rakyat (FDR). Dalam menjalankan rencananya Amir tidak sendirian, ia didukung oleh
kelompok-kelompok beraliran kiri terutama komunis. Salah satunya yakni pemimpin PKI,
Musso, untuk melakukan pemberontakan di Madiun. Rencananya tidak hanya Madiun saja,
mereka berencana untuk menguasai daerah-daerah strategis seperti Madiun, Solo, dan juga
Kediri. Di Solo mereka merencanakan untuk menculik para tokoh di Solo dan kemudian
dibunuh. Selain itu, mereka juga berencana untuk mengadu domba TNI setempat.
Untung Syamsuri
Biodata :
Untung Syamsuri (lahir di Desa Sruni, Kedungbajul,
Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926, wafat di Cimahi, Jawa
Barat, 28 September 1967) umur 41 adalah Komandan Batalyon I
Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun
1965. Untung adalah bekas anak buah Soeharto ketika ia menjadi
Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi
Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI,
Alimin. Letnan Kolonel Untung tercatat oleh sejarah sebagai tokoh
penting dalam peristiwa G30S. Sebelum peristiwa berdarah 1965,
Untung diangkat sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan
pengamanan Presiden di Istana.
Untung sempat ikut dalam Operasi 17 Agustus pada 1958 yang dipimpin Ahmad Yani.
Saat itu Untung masih menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Letnan Satu. Pada 1959,
Untung kembali ke Jawa Tengah. Setelah operasi selesai, Untung menjadi Komandan Batalyon
454/para Banteng Raiders Dipenogero, Srondol, selatan Semarang. Saat itu pangkatnya Mayor.
Sekitar 14 Agustus 1962, Untung diterjunkan ke daerah Sorong, Papua Barat. Untung merupakan
bagian dari Operasi Mandala yang dipimpin Soeharto.
Setelah operasi militer sukses, Untung mendapat kenaikan pangkat secara istimewa dari
mayor ke Letnan Kolonel serta mendapatkan bintang jasa setelah memimpin pasukan gerilya
menyerang tentara Belanda di Papua Barat. Seperti yang diketahui, Untung kemudian
mengangkat diri sebagai Ketua Dewa Revolusi sekaligus memimpin Gerakan 30 September
hanya untuk melindungi bapak nasionalis Indonesia, Sukarno yang sekaligus menjadi atasan
Untung. Saat menjadi Ketua Dewan Revolusi, dirinya dikenal dengan nama baru yaitu Untung
Syamsuri. Tidak banyak yang ingat bahwa nama tersebut dulunya adalah Kusman. Akhir dari
riwayatnya, Untung dijatuhi hukuman mati di Cimahi. Grasinya ditolak dan harus berhadapan
oleh para regu tembak. Dirinya meninggal tahun 1966. Selain itu, dirinya juga dipercaya untuk
menjabat Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.
Ahmad Husein
Biodata :
Ahmad Husein lahir di Padang pada 1 April 1925. Ia merupakan putra dari, Abdoel
Kahar, seorang pemilik apotek di Rumah Sakit
Militer Padang dan usahawan Muhammadiyah.
Sewaktu kecil, ia mengenyam pendidikan di HIS
Padang dan lulus pada 1938, sebelum melanjutkan ke
Taman Dewasa di Bukittinggi. Dua tahun setelah
lulus dari Taman Dewasa, Jepang telah masuk ke
Indonesia. Ahmad Husein kemudian mendaftar ke
Gyugun (tentara sukarela buatan Jepang). Selama di
Gyugun, ia dikenal sebagai juru tembak yang andal.
Sewaktu Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik, Ahmad Husein tergabung
dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Padang. Ia aktif menarik para pemuda di sana untuk
ikut menjadi anggota BKR. Ahmad Husein juga sempat menjadi komandan tempur Padang Area,
yang kemudian disebut sebagai pasukan Harimau Kuranji.
Disintegrasi yang dilakukan :
Dewan Banteng pada akhirnya mulai membangkang terhadap pemerintah karena
beberapa tuntutannya tidak dipenuhi. Ahmad Husein pun merasa kecewa dengan tindakan
Presiden Soekarno yang dianggap mengabaikan masyarakat daerah dan terlalu fokus pada
pembangunan di Jawa.
Pada Tanggal 15 Februari Ahmad Husein mendeklarasikan pembentukan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia di Padang, Sumbar. Adapun faktor yang melatarbelakangi
adalah kecemburuan pemerintah daerah terhadap pemerinaha pusat dalam alokasi dana
pembangunan di pusat. Akibat tindakannya tersebut, Ahmad Husein dituding mengkhianati
NKRI dan menjadi tahanan militer, setelah Presiden Soekarno mengirimkan tentara pusat ke
Sumatera Barat. Setelah kurang lebih tiga tahun, pada 1961, aksi PRRI di Padang berhasil
dihentikan dan banyak anggotanya yang berusaha melarikan diri.
Musso
Biodata :
Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-
sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di
Kediri. Mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang
kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang
pelarian pasukan Diponegoro. Kabar bahwa Musso diragukan sebagai
anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna
(28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso
itu adalah keluarga mereka.