Anda di halaman 1dari 9

TOKOH-TOKOH DISINTEGRASI

TERHADAP KEDAULATAN BANGSA


INDONESIA

KELOMPOK XII MIPA 2 :

 Adin Naila Afanda (02)

 Cindy Aulia Alfa Fatikasari (06)

 Donny Afrizky Prasetyo (08)

 Eva Rosdiana Dewi (10)

 Mesi Amelia Wardani (18)

 Nawara Daud Caesar Henery (22)

SMA GIKI 2 SURABAYA


JL. RAYA GUBENG NO. 45 SURABAYA
Raymond Pierre Paul Westerling
Biodata :
Raymond Pierre Paul Westerling (31 Agustus 1919 – 26
November 1987) adalah komandan pasukan Belanda yang terkenal
karena memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi
Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling lahir sebagai anak kedua dari Paul Westerling (Belanda)
dan Sophia Moutzou (Yunani). Westerling, yang dijuluki "si Turki"
karena lahir di Istanbul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia.
Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada.

Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di


Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama
yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training
Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui
pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan
Belanda di Indonesia.

Disintegrasi yang dilakukan :


Sejarah pemberontakan APRA merupakan salah satu peristiwa yang terjadi pada masa
revolusi kemerdekaan Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh Raymond Pierre Westerling yang
merupakan tokoh militer Belanda. APRA merupakan kepanjangan dari Angkatan Perang Ratu
Adil yang berdasar dari mitologi ramalan Jayabaya, yang berarti seorang pemimpin hendak
bertindak adil dan bijaksana bagi rakyatnya. Latar belakang munculnya gerakan pemberontakan
ini bermula di Bandung, pada 23 Januari 1950 karena hendak dibubarkannya negara bagian
bentukan Belanda di RIS (Republik Indonesia Serikat) yang kembali bersatu dengan Republik
Indonesia.

Pemberontakan APRA ini juga beralasan untuk mempertahankan negara Pasundan demi
melindungi aset ekonomi kolonial yang ada di wilayah tersebut. Sebagai bekas perwira
Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) Raymond Pierre Westerling juga memiliki
pasukan yang mayoritas bekas prajuritnya sendiri, terutama dari prajurit Regiment Speciale
Troepen (Regimen Pasukan Khusus). Ketidaksetujuan APRA terhadap hasil dari Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949.

Di mana Tentara KNIL akan dibubarkan dan akan dimasukkan ke dalam kesatuan-
kesatuan TNI dan pasukan Belanda harus ditarik dari Indonesia. Kerja sama antara APRA
dengan Sultan Hamin II dari Pontianak yang memiliki paham feodal akhirnya terbentuk. Kudeta
pada Januari 1950 ini merupakan percobaan yang mereka lakukan, demi mempertahankan negara
feodal RIS ketika mayoritas negara bagian RIS menginginkan bergabung dengan Republik
Indonesia. Ultimatum yang menuntut pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian,
terutama Negara Pasundan serta mengakui APRA sebagai tentara Pasundan, dikirimkan oleh
Westerling pada pemerintah RIS 5 januari 1950.

Dalam tenggang waktu lima hari pemerintah RIS harus memberi jawaban dan akan
terjadi perang bila tuntutan tersebut ditolak. Mengetahui hal tersebut, perintah penangkapan
Westerling dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 10 Januari 1950 demi
mencegah agresi terjadi. Benar saja, APRA mempercepat gerakannya dengan melakukan
pembantaian anggota TNI di Kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Staf Divisi
Siliwangi. Letnan Kolonel Lemboh yang bertugas di wilayah tersebut juga ikut gugur bersamaan
dengan warga sipil yang menjadi korban. Ketika hendak melanjutkan pemberontakannya di
Jakarta, upaya ini berhasil digagalkan oleh pemerintah RIS, APRIS, dan juga bantuan rakyat sipil
pada masa itu. Dalam upaya penumpasan APRA di Bandung, pemerintah RIS menekan
pimpinan tentara Belanda melalui perundingan dan operasi militer. Hasil dari perundingan
tersebut memutuskan untuk mendesak Westerling segera meninggalkan Bandung. Lantaran gagal
melakukan kudeta. mengetahui reputasinya terancam, Westerling pun melarikan diri ke Belanda.
Demi mengenang perjuangan yang terjadi di tempat tersebut. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) meresmikan monumen Dwikora dan Trikora yaang menjadi simbol
perjuangan TNI, pada masa pemerintahannya.
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
Biodata :
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ER, EYD; Amir Syarifuddin Harahap; 27 April 1907 –
19 Desember 1948) adalah seorang politikus dan jurnalis berkebangsaan Indonesia. Ia menjabat
sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia
sedang berlangsung. Berasal dari keluarga Angkola Muslim, Amir
menjadi pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada
tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh pemerintah karena terlibat
dalam pemberontakan komunis.

Lahir dalam aristokrasi Sumatra di kota Medan, latar


belakang Amir yang kaya dan kemampuan intelektual yang luar
biasa memungkinkan dia untuk masuk ke sekolah-sekolah paling
elit; ia dididik di Haarlem dan Leiden di Belanda sebelum
memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).
Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di
bawah pengawasan Theosophical Society. Amir pindah dari Islam
ke Kristen pada tahun 1931. Ada bukti khotbah ia berikan dalam
gereja Protestan terbesar di Batak Batavia. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885–
1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890–1931), dari keluarga Batak yang
telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala
adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.

Disintegrasi yang dilakukan :


Latar belakang terjadinya peristiwa Madiun 1948 adalah jatuhnya kabinet Amir
Syarifuddin karena tidak lagi mendapat dukungan setelah kesepakatan Perjanjian Renville. Pihak
Amir menganggap bahwa dalam perjanjian tersebut Belanda adalah pihak yang diuntungkan,
sedangkan Indonesia pihak yang dirugikan. Setelah mundurnya Amir dari kebinet, Presiden
Soekarno lalu menunjuk Muhammad Hatta sebagai perdana menteri dan membentuk kabinet
baru.

Mendapati kondisi ini, Amir tidak sepakat dan kemudian mendirikan Front Demokrasi
Rakyat (FDR). Dalam menjalankan rencananya Amir tidak sendirian, ia didukung oleh
kelompok-kelompok beraliran kiri terutama komunis. Salah satunya yakni pemimpin PKI,
Musso, untuk melakukan pemberontakan di Madiun. Rencananya tidak hanya Madiun saja,
mereka berencana untuk menguasai daerah-daerah strategis seperti Madiun, Solo, dan juga
Kediri. Di Solo mereka merencanakan untuk menculik para tokoh di Solo dan kemudian
dibunuh. Selain itu, mereka juga berencana untuk mengadu domba TNI setempat.
Untung Syamsuri
Biodata :
Untung Syamsuri (lahir di Desa Sruni, Kedungbajul,
Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926, wafat di Cimahi, Jawa
Barat, 28 September 1967) umur 41 adalah Komandan Batalyon I
Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun
1965. Untung adalah bekas anak buah Soeharto ketika ia menjadi
Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi
Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI,
Alimin. Letnan Kolonel Untung tercatat oleh sejarah sebagai tokoh
penting dalam peristiwa G30S. Sebelum peristiwa berdarah 1965,
Untung diangkat sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan
pengamanan Presiden di Istana.

Disintegrasi yang dilakukan :

Untung sempat ikut dalam Operasi 17 Agustus pada 1958 yang dipimpin Ahmad Yani.
Saat itu Untung masih menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Letnan Satu. Pada 1959,
Untung kembali ke Jawa Tengah. Setelah operasi selesai, Untung menjadi Komandan Batalyon
454/para Banteng Raiders Dipenogero, Srondol, selatan Semarang. Saat itu pangkatnya Mayor.
Sekitar 14 Agustus 1962, Untung diterjunkan ke daerah Sorong, Papua Barat. Untung merupakan
bagian dari Operasi Mandala yang dipimpin Soeharto.

Setelah operasi militer sukses, Untung mendapat kenaikan pangkat secara istimewa dari
mayor ke Letnan Kolonel serta mendapatkan bintang jasa setelah memimpin pasukan gerilya
menyerang tentara Belanda di Papua Barat. Seperti yang diketahui, Untung kemudian
mengangkat diri sebagai Ketua Dewa Revolusi sekaligus memimpin Gerakan 30 September
hanya untuk melindungi bapak nasionalis Indonesia, Sukarno yang sekaligus menjadi atasan
Untung. Saat menjadi Ketua Dewan Revolusi, dirinya dikenal dengan nama baru yaitu Untung
Syamsuri. Tidak banyak yang ingat bahwa nama tersebut dulunya adalah Kusman. Akhir dari
riwayatnya, Untung dijatuhi hukuman mati di Cimahi. Grasinya ditolak dan harus berhadapan
oleh para regu tembak. Dirinya meninggal tahun 1966. Selain itu, dirinya juga dipercaya untuk
menjabat Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.
Ahmad Husein
Biodata :
Ahmad Husein lahir di Padang pada 1 April 1925. Ia merupakan putra dari, Abdoel
Kahar, seorang pemilik apotek di Rumah Sakit
Militer Padang dan usahawan Muhammadiyah.
Sewaktu kecil, ia mengenyam pendidikan di HIS
Padang dan lulus pada 1938, sebelum melanjutkan ke
Taman Dewasa di Bukittinggi. Dua tahun setelah
lulus dari Taman Dewasa, Jepang telah masuk ke
Indonesia. Ahmad Husein kemudian mendaftar ke
Gyugun (tentara sukarela buatan Jepang). Selama di
Gyugun, ia dikenal sebagai juru tembak yang andal.
Sewaktu Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik, Ahmad Husein tergabung
dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Padang. Ia aktif menarik para pemuda di sana untuk
ikut menjadi anggota BKR. Ahmad Husein juga sempat menjadi komandan tempur Padang Area,
yang kemudian disebut sebagai pasukan Harimau Kuranji.
Disintegrasi yang dilakukan :
Dewan Banteng pada akhirnya mulai membangkang terhadap pemerintah karena
beberapa tuntutannya tidak dipenuhi. Ahmad Husein pun merasa kecewa dengan tindakan
Presiden Soekarno yang dianggap mengabaikan masyarakat daerah dan terlalu fokus pada
pembangunan di Jawa.
Pada Tanggal 15 Februari Ahmad Husein mendeklarasikan pembentukan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia di Padang, Sumbar. Adapun faktor yang melatarbelakangi
adalah kecemburuan pemerintah daerah terhadap pemerinaha pusat dalam alokasi dana
pembangunan di pusat. Akibat tindakannya tersebut, Ahmad Husein dituding mengkhianati
NKRI dan menjadi tahanan militer, setelah Presiden Soekarno mengirimkan tentara pusat ke
Sumatera Barat. Setelah kurang lebih tiga tahun, pada 1961, aksi PRRI di Padang berhasil
dihentikan dan banyak anggotanya yang berusaha melarikan diri.
Musso
Biodata :
Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-
sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di
Kediri. Mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang
kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang
pelarian pasukan Diponegoro. Kabar bahwa Musso diragukan sebagai
anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna
(28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso
itu adalah keluarga mereka.

Disintegrasi yang dilakukan :


Pemberontakan PKI Madiun diawali dengan melancarkan propaganda anti pemerintah
dan pemogokan kerja oleh kaum buruh. Selain itu pemberontakan juga dilakukan dengan
menculik dan membunuh beberapa tokoh negara. Seperti Penembakan terhadap Kolonel Sutarto
pada 2 Juli 1948, penculikan dan pembunuhan terhadap Gubernur Jawa Timur pertama RM. Ario
Soerjo yang kebetulan berkunjung ke Ngawi dan kemudian dicegat oleh kelompok Amir pada 10
September 1948. Serta penculikan dan pembunuhan kepada Dr. Moewardi pada 13 September
1948 yang merupakan tokoh penting dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Puncak pemberontakan tersebut terjadi pada 18 September 1948, saat pemberontak berhasil
menguasai kota Madiun dan mengumumkan lahirnya Republik Soviet Indonesia. Mereka pun
menguasai tempat strategis, melakukan sabotase, perusakan pembakaran sarana dan prasarana,
serta melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang anti PKI.
Dr. Soumokil
Biodata :
Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil (13 Oktober 1905 –
12 April 1966) adalah presiden Republik Maluku Selatan (RMS) dari
1950 sampai 1966. Chris Soumokil dilahirkan di hukum di
Universitas Leiden sampai 1934. Pada tahun 1935 ia kembali ke Jawa
dan menjadi pejabat hukum. Pada 1942, penjajahan Jepang dimulai
dan Soumokil ditangkap oleh tentara Jepang dan diasingkan ke Burma
dan Thailand. Setelah perang usai ia kembali ke Indonesia dan
menjadi jaksa agung dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur
(NIT). Ia kemudian mendirikan RMS, menjadi Menteri Luar Negeri
RMS pada 25 April 1950, dan menjadi presiden pada 3 Mei 1950.

Disentegrasi yang dilakukan :


Karena pemberontakan RMS didalangi oleh mantan jaksa agung NIT (Negara Indonesia
Timur), Soumokil yang bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Sebelum RMS diproklamasikan, Gubernur Sembilan Serangkai
yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan
propaganda terhadap NKRI untuk memisahkan wilayah Maluku. Di sisi lain, menjelang
proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada
di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya
terhadap NKRI diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI
dipandang buruk oleh Soumokil.
Pada 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan berdirinya Republik Maluku
Selatan dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden, Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri dan
para menteri yang terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna,
J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A.
Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk
daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haag, Belanda. Pada 3 Mei 1950, Soumokil
menggantikan Munuhutu sebagai Presiden RMS. Pada 9 Mei 1950, dibentuk sebuah Angkatan
Perang RMS (APRMS) dengann Sersan Mayor KNIL, D.J Samson sebagai panglima tertinggi,
sersan mayor Pattiwale sebagai kepala staf dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor
Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya
mengikuti sistem dari KNIL.
Pemerintah mengutus Dr. J. Leimena untuk menyampaikan permintaan berdamai kepada
RMS agar tetap bergabung dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah tersebut ditolak oleh
Soumokil. Penolakan ini membuat pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan
ekspedisi militer. Kolonel A.E. Kawilarang dipilih sebagai pemimpin dalam melaksanakan
ekspedisi militer tersebut. Beliau adalah panglima tentara dan teritorium Indonesia Timur yang
dirasa mengerti dan paham bagaimana kondisi Indonesia di wilayah timur.
Akhirnya kota Ambon dapat dikuasai pada awal November 1950. Akan tetapi, ketika
melakukan perebutan Benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Namun,
perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Setelah itu, pada
tanggal 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya dapat ditangkap dan kemudian dihadapkan pada
Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta. Berdasarkan keputusan Mahkamah Militer Luar Biasa,
Soumokil dijatuhi hukuman mati. Pada akhirnya pemberontakan RMS berhasil dihentikan oleh
pemerintah Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai