Anda di halaman 1dari 10

A.

Pemberontakan APRA:
1. Tokoh:
Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, dan didalangi oleh Sultan Hamid II.
2. Latar Belakang dan tujuan:
a. Latar belakang: Gerakan APRA didalangi oleh kelompok kolonialis Belanda yang ingin
mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia.
b. Tujuan pemberontakan APRA adalah mempertahankan bentuk federal, berdirinya negara
federal, dan adanya tentara sendiri di setiap negara bagian.
3. Aksi Gerakan
a. Pada tanggal 23 Januari 1950, Westerling dan pasukannya merebut tempat-tempat penting di
Bandung, membunuh anggota TNI, dan menduduki markas staf Divisi Siliwangi.
b. Menyerang kabinet RIS dan akan membunuh beberapa orang menteri. Namun dapat digagalkan.
4. Upaya penumpasan:
a. Pemerintah Indonesia melancarkan operasi militer pada tanggal 24 Januari 1950.
b. Di Jakarta, diadakan perundingan antara Drs. Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi Belanda.
Hasilnya Mayor Engels mendesak Westerling dan pasukan APRA meninggalkan kota Bandung.
c. Melakukan penangkapan terhadap Westerling dan Sultan Hamid II, namun Westerling berhasil
melarikan diri.
d. Dampak dari gerakan APRA adalah parlemen Negara Pasundan mendesak agar negara tersebut
dibubarkan dan terjadi pada tanggal 27 Januari 1950.

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada
23 Januari 1950 dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada di bawah pimpinan
mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot Speciale Troepen
(Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang
mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan
bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkan Westerling untuk
meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan bahwa
sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau
Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan
Jayabaya.
A. Peran Westerling dalam Pembentukan APRA

Raymond Pierre Paul Westerling lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919 dan meninggal di
Belanda, 26 November 1987 pada usia 68 tahun. Westerling lahir sebagai anak kedua dari Paul
Westerling dan Sophia Moutzou. Dia komandan pasukan Belanda yang terkenal karena
memimpin Pembantaian Westerling pada tahun 1946 sampai 1947 di Sulawesi Selatan dan
percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling yang dijuluki si Turki karena lahir di Istanbul, mendapat pelatihan khusus di
Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941
dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh
latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang
tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka
dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris
sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai neraka di dunia. Pelatihan dan pelajaran yang mereka
peroleh antara lain perkelahian tangan kosong, penembakan tersembunyi, berkelahi dan
membunuh tanpa senjata api, membunuh pengawal dan sebagainya. Setelah bertugas di
Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15
Desember 1943, Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Laksamana
Madya Mountbatten Panglima Komando Asia Tenggara. Mereka tiba di India pada 15 Januari
1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan Depot Speciale Troepen
(DST) atau Depot Pasukan Khusus. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini
hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat dan pangkatnya pun tidak
dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan
menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan dan setelah berhasil menumpas perlawanan rakyat
pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya
membumbung tinggi.
B. Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA

APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk
negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk
negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua
masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk
negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara
federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan
yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan-
golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda
meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling
merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi
gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling
memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik
oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang
terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang
disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan
akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya rakyat-rakyat biasa
yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro
terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa
kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi
tanda segitiga orange sebagai lambang negara Belanda
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan.
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan
yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan
memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya
kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus
KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan
kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27
Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima
Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal
di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS .
C. Jalannya Pemberontakan APRA

Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin
oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan
secara spontan. Pemberontakan ini telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh
Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi Letnan
Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan
bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap
Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang
telah mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu
jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh
Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran
penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut memperingatkan Westerling agar tidak
melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah
RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS
menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus
mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif
terkait ultimatum tersebut dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris
Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan
berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri
Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan
militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia
telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika Lovink
masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk
mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara itu, Westerling
mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember
1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan
mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut, namun
dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak
membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H.
van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-
Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada
Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika
berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan
kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya
dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan
tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada
Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah
menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan
baret hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana tersebut dari beberapa
bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950
Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa
menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan
Pos Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena
sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota
pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi
militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan,
bahwa "compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada
malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan
oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar dan
segera menghubungi Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga
melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang biasa
tentara hilir mudik keluar masuk kota Bandung pada masa itu, walau Perang kemerdekaan
dianggap sudah berakhir. Tentara APRA pada saat itu menggunakan truk, jeep, motorfiets,
serta ada yang berjalan kaki dengan seragam dan bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir
antara 500-800 personel.
Namun ketika mereka mengadakan steling di gang-gang di sepanjang jalan Cimahi-
Bandung sambil melepas tembakan ke udara. Bahkan ada di antara mereka yang mengarahkan
tembakan kebeberapa rumah penduduk. Barulah setelah mendengar suara tembakan tersebut,
warga seketika menjadi was-was. Sejumlah polisi yang menjaga pos-pos sepanjang jalan raya
Cimindi-Cibereum dilucuti senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat semakin menjadi-
jadi, banyak toko dan rumah ditutup dan jalanan pun menjadi sepi.
Di jalan perapatan Banceuy, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak bersenjata
diberhentikan. Tentara itu diperintahkan untuk turun dan mengangkat tangan lalu dengan keji
ditembak mati. Pasukan APRA bergerak di Jalan Braga, di muka Apotheek Rathkam sebuah
mobil sedan juga diberhentikan. Tiga penumpangnya juga diperintahkan untuk turun, di
antaranya seorang perwira TNI. Tanda pangkat perwira itu diambil dan kemudian dia dibunuh.
Dua orang sipil yang bersama tentara tadi kemudian diangkut dengan truk.
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang
sebuah truk berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka, sekalipun
tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI gugur. Tentara
APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu TNI di perempatan Suniaraja-
Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan belakang.
Perlawanan yang cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude
Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste )
Sutoko dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak. Benar-benar pertempuran
sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya dapat
menyelamatkan diri. Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara APRA merampok
brandkas sebesar F150.000.
Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu rgu
stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2 dikerubungi oleh
ratusan APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam. Pertempuran dilakukan
hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu, dan seorang opsir lainnya dapat
menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA kemudian berhasil menduduki stafkwartier dan
membongkar brandkast yang isinya Rp. 150.000, jumlah yang cukup besar untuk saat itu. Selain
itu, mayat-mayat dari TNI dan sipil pun bergelimpangan antara jalan Braga hingga jalan Jawa.
Di antara orang-orang sipil yang tewas, kabarnya menjadi korban karena mereka berani
menjawab “Jogja”, ketika ditanyakan “Pilih Pasundan atau Jogja?” oleh pasukan APRA.
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola.
Mereka dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah
diduki oleh gerombolan APRA. Keseluruhan 79 orang menajdi korban keganasan gerombolan
ini. Mereka adalah 61 serdadu TNI dan 18 orang lainnya yang tidak diketahui namanya karena
tidak mempunyai tanda-tanda atau surat dalam pakaiannya.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan
RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno
dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII
(Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke
Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang
diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-
satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke
Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des
Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas
terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan
besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan
hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang
tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling,
didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan,
bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul
Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri
dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia.
Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950
dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun
memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia
Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar
Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik
sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand
van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
D. Penumpasan APRA

Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini
disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat tiba-tia,
pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur dengan orang
KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya, diduga keras bahwa APRA ingin
mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya negara ini bisa berdiri tanpa gangguan TNI dan
menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki
Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur Jawa
Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan peninjauan ke Kota Subang. Sementara
di Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan
antara Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Terungkap
adanya keterlibatan tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara
pasukan APRA) dalam peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke Batujajar, baik
karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi yang tidak menjamin
keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota Bandung. Pada hari itu juga pasukan
APRA meninggalkan Kota Bandung. Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan
APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan
Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi
yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran
daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga
pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29
Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota tentara
yang melarikan diri dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25
januari 1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang
terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan Wasterling?
Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta.
la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri
sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris
Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang
Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan
Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan
Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri
pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.

E. Dampak Pemberontakan APRA

Bila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dilakukan oleh APRA (Angkatan
Perang Ratu Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini bertujuan untuk mendapat
pengakuan dari pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai tentara Pasundan. Selain itu,
pemberontakan ini juga bertujuan untuk tetap mempertahankan pemerintahan Reupblik Federal
dan tidak menginginkan adanya penyerahan kedaulatan serta adanya tentara tersendiri di negara-
negara bagian RIS. Sehingga terjadilah pemberontakan APRA ini yang terjadi di Bandung.
Dalam pemberontakan ini, APRA berhasil menduduki markas dari Kodam Divisi
Siliwangi berhasil diduduki pada tanggal 23 Januari 1950 dan juga membunuh para tentara
Indonesia yang bermaksud untuk melawan. Salah satu tentara yang terbunuh ialah Letnan
Kolonel Lembong tewas pada peristiwa ini. Bandung pun dapat dikuasai sementara oleh pasukan
APRA untuk beberapa jam. Dalam peristiwa ini juga menyebabkan 79 orang APRIS tewas dan
juga beberapa masyarakat sekitar juga mnejadi korban kekejaman pemberontakan ini. Dengan
terjadinya peristiwa ini di Bandung membuat pemerintah mengirimkan pasukan APRI ke
Bandung untuk menumpas gerakan pemberontakan APRA. Pada akhirnya gerakan
pemberontakan APRA berhasil ditumpas oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
Perisitiwa merupakan suatu konspirasi diantara Raymond Pierre Westerling dan Sultan
Hamid II dari Pontianak. Ketika pemberontakan yang di Bandung itu berakhir, Jakarta menjadi
target berikutnya. Dalam misi kali ini APRA ingin menyerang Jakarta serta ingin membunuh
menteri-menteri RIS seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Ali Budiarjo dan Kolonel TB
Simatupang pada tanggal 26 Januari 1950.
Namun aksi dari APRA untuk menyerang Jakarta sudah diketahui sebelumnya oleh
jajaran petinggi pemerintahan sehingga aksi tersebut dapat digagalkan dan konspirasi diantara
Westerling dan Sultan Hamid II ini terbongkar dan ketika akan ditangkap, Westerling kabur ke
Singapura dan Sultan Hamid II berhasil ditangkap. Maka berakhir pemberontakan APRA ini

Anda mungkin juga menyukai