WIKIPEDIA
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan
membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah
direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh
pimpinan tertinggi militer Belanda.
Latar belakang[sunting | sunting sumber]
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan
yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan
memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya
kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus
KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman
van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang
telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu
jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum[sunting | sunting sumber]
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani
Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri
Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua
pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J.
Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah
menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu
Westerling mengunjungi Sultan Hamid II diHotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka
pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid
menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi
Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling.
Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya
antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952,
Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid
II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van
Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah
dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld
menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Desersi[sunting | sunting sumber]
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST
dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik"
yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan
APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten
G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan
Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan
dari SOP di Cimahidilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta[sunting | sunting sumber]
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret
hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar
mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23
Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T.
Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui
Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan.
94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong,
sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakartadengan maksud untuk menangkap
Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari
pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia(TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul,
sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada
perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita
yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sunmemberitakan di halaman
muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar
Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda
secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de
zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Asal Usul Pemberontakan APRA di dalam negeri
Peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil adalah Pemberontakan yang terjadi pada
tanggal 23 Januari 1950 di Kota Bandung. Peristiwa pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten
KNIL yang bernama Kapten Raymond Westerling, dengan maksud untuk mempertahankan
bentuk negera federal di indonesia dan mempunyai tentara yang berdiri sendiri pada negara –
negara bagian Republik Indonesia Serikat ini. Asal usul dari gerakan ini awalnya didasari
dengan adanya kapercayaan rakyat terhadap ramalan jayabaya yang mengatakan bahwa akan
adanya seorang Ratu Adil yang yang akan membawa mereka ke dalam suasana yang aman dan
tentram serta dapat mempimpin secara adil dan bijaksana.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia.
pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel
KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak
melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di
jalan. 94(800) anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel
Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, Westerling pergi mengunjungi Sultan Hamid
II (Menteri Negara pada Kabinet RIS), dari pembicaraan tersebut, muncul rencana untuk
menculik Hamengkubuwono IX(Mntri Prthanan Keamanan), Sekjen Pertahanan Mr. Ali
Budiarjo, dan kolonel Simpatupang(pejabat staf angkatan perang).
Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan
gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Dalam suatu pertempuran di daerah Pacet pada
tanggal 24 Januari 1950, pasukan TANI berhasil menghancurkan sisa gerombolan APRA.
Di kota Bandung juga ditiadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat,
termasuk beberapa orangtokoh Negara Pasundan. Setelah melarikan diri dari
Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. lamerencanakan suatu
gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet,
danmembunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal
Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel
T.B. Simatupang. Gerakan terse-but dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya
adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa
portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri
ke lu¬ar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
PEMBERONTAKAN DI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
Warga belajar dan siswa--sekalian, Pada awal-awal kemerdekaan di masa lalu, pada waktu
pemerintah Republik Indonesia dalam keadaan kurang stabil karena adanya pertentangan
antarpartai politik, timbul pemberontakan di dalam negeri. Pemberontakan oleh kelompok-
kelompok yang tidak puas ini terjadi di berbagai daerah. Dilihat dari sumber penggeraknya atau
yang mendalanginya, ada pemberontakan yang digerakan atau didalangi oleh Belanda dan ada
pula yang digerakan oleh kelompok tertentu di dalam negeri yang merasa tidak puas atau kecewa
dengan pemerintah RI yang menggunakan menganut Demokrasi Liberal.
Tetapi tokoh pimpinan pemberontakan yang bernama Westerling berhasil melarikan diri keluar
negeri.
Gerakan APRA muncul di kalangan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini
dipelopori oleh golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya
di Indonesia dan bermaksud mempertahankan kedudukan negara Pasundan.
Tujuan gerakan APRA sebenarnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di
Indonesia dan memiliki tentara sendiri bagi negara-negara RIS.
Pada bulan Januari 1950, APRA mengajukan ultimatum kepada pemerintah Republik Indonesia
dan negara Pasundan yang isinya tuntutan agar APRA diakui sebagai tentara Pasundan dan
keberadaann negara Pasundan tetap dipertahankan.
Ultimatum tersebut dilanjutkan dengan melakukan gerakan teror pada tanggal 23 Januari 1950.
APRA menyerang kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Divisi Siliwangi. Akibatnya 79
orang anggota APRIS gugur, termasuk Letnan Kolonel Lembong.
Pemerintah RIS menempuh dua cara untuk menumpas pemberontakan APRA di Bandung. Yaitu
dengan melakukan tekanan terhadap pimpinan tentara Belanda dan melakukan operasi militer.
Perdana Menteri RIS Moh. Hatta mengutus pasukannya ke Bandung dan mengadakan
perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta.
Hasil dari perundingan tersebut, Westerling didesak untuk meninggalkan kota Bandung. Gerakan
APRA semakin terdesak dan terus dikejar oleh pasukan APRIS bersama rakyat, dan akhirnya
gerakan APRA dapat ditumpas.