Anda di halaman 1dari 21

Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkanWesterling untuk

meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan


bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh
Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang
terdapat dalam ramalan Jayabaya.
A. Peran Westerling dalam Pembentukan APRA
Raymond Pierre Paul Westerling lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919 dan meninggal
di Belanda, 26 November 1987 pada usia 68 tahun. Westerling lahir sebagai anak kedua
dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Dia komandan pasukan Belanda yang terkenal
karena memimpin Pembantaian Westerling pada tahun 1946 sampai 1947 di Sulawesi
Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling yang dijuluki si Turki karena lahir di Istanbul, mendapat pelatihan
khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27
Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Pr inses Irene di
Wolverhampton, dekat Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang
memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai
Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras
dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia.
Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai neraka di dunia.
Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain perkelahian tangan kosong,
penembakan tersembunyi, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api, membunuh
pengawal dan sebagainya. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka
bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943, Sersa n
Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten
Panglima Komando Asia Tenggara. Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan
ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan Depot Speciale
Troepen (DST) atau Depot Pasukan Khusus. Awalnya, penunjukkan Westerling
memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat
dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil
meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan dan setelah
berhasil menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia
dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.
B. Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia
diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan
suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia
Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena
memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai
tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap
menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak
pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu.
Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang
mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan
Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond
Westerling merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah
satu landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan
datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah
lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan
datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan
memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai
dan rakyat akan makmur dan sejahtera.Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang dihimpun
Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap
Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa
kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya
diberi tanda segitiga orange sebagai lambang negara Belanda
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu
disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan,
bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar
500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8
Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu
Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan
anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga
mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak
berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan
kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)
pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk
mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada
negara-negara bagian RIS .
C. Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang
dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini telahdirencanakan sejak beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer
Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling
menghubungi Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara
Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya
untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda
terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor, antara lain
ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaula tan, tidak
terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van
Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan
pada 27 Desember 1949 tersebut memperingatkan Westerling agar tidak melakukan
tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar
Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus
memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebutdalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menim bulkan
kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M.
Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang
membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker
menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer
Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld , bahwa pihak
Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum nya,
ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah
menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling.
Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka
pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta
Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci
mengenai organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang
memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan,
Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni
Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta
menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk
menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perek onomian RIS
Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit
RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia.
Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon
tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen
bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah
menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah
dan baret hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana
tersebut dari beberapa bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda
dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh puk ul 4.30
hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan:
"Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun
laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari
pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan
persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa
"compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada
malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat
digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera
membunyikan alarm besar dan segera menghubungi Letnan Kolonel TNI Sadikin,
Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta.
Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang biasa
tentara hilir mudik keluar masuk kota Bandung pada masa itu,
walau Perang kemerdekaan dianggap sudah berakhir. Tentara APRA pada saatitu
menggunakan truk, jeep, motorfiets, serta ada yang berjalan kaki dengan seragam dan
bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir antara 500-800 personel.
Namun ketika mereka mengadakan steling di gang-gang di sepanjang jalan
Cimahi-Bandung sambil melepas tembakan ke udara. Bahkan ada di antara
mereka yang mengarahkan tembakan kebeberapa rumah penduduk. Barulah
setelah mendengar suara tembakan tersebut, warga seketika menjadi was-was. Sejumlah
polisi yang menjaga pos-pos sepanjang jalan raya Cimindi-Cibereum dilucuti
senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat semakin menjadi-jadi, banyak toko dan
rumah ditutup dan jalanan pun menjadi sepi.
Di jalan perapatan Banceuy, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak
bersenjata diberhentikan. Tentara itu diperintahkan untuk turun dan mengangkat tangan
lalu dengan keji ditembak mati. Pasukan APRA bergerak di Jalan Braga, di muka
Apotheek Rathkam sebuah mobil sedan juga diberhentikan. Tiga
penumpangnya juga diperintahkan untuk turun, di antaranya seorang perwira TNI. Tanda
pangkat perwira itu diambil dan kemudian dia dibunuh. Dua orang sipil yang bersama
tentara tadi kemudian diangkut dengan truk.
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang
sebuah truk berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka,
sekalipun tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI
gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu TNI di
perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan belakang.
Perlawanan yang cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude
Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste
) Sutoko dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak. Benar-benar
pertempuran sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang opsir
lainnya dapat menyelamatkan diri. Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara
APRA merampok brandkas sebesar F150.000.
Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang.
Satu rgu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2
dikerubungi oleh ratusan APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam.
Pertempuran dilakukan hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu, dan seorang
opsir lainnya dapat menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA kemudian berhasil
menduduki stafkwartier dan membongkar brandkast yang isinya Rp. 150.000, jumlah
yang cukup besar untuk saat itu. Selain itu, mayat-mayat dari TNI dan sipil pun
bergelimpangan antara jalan Braga hingga jalan Jawa. Di antara orang -orang sipil yang
tewas, kabarnya menjadi korban karena mereka berani menjawab “Jogja”, ketika
ditanyakan “Pilih Pasundan atau Jogja?” oleh pasukan APRA.
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo
Kailola. Mereka dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang
ternyata sudah diduki oleh gerombolan APRA. Keseluruhan 79 orang menajdi korban
keganasan gerombolan ini. Mereka adalah 61 serdadu TNI dan 18 orang lainnya yang
tidak diketahui namanya karena tidak mempunyai tanda-tanda atau surat dalam
pakaiannya.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota
pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap
Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari
pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak
muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan,
pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan
satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri
berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan
Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat
kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang
tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling,
didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima
laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu
basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain
terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di
seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir
pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia
dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala
internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali
lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa
di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan
serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari
Belanda).
D. Penumpasan APRA
Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yangberarti, hal
ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat
tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur
dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya, diduga keras
bahwa APRA ingin mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya negara ini bisa
berdiri tanpa gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja
memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin
dan Gubernur Jawa Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan peninjauan ke
Kota Subang. Sementara di Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana
Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi
Kerajaan Belanda di Indonesia. Terungkap adanya keterlibatan tentara Belanda
(diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan APRA) dalam
peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.

Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke


Batujajar, baik karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi yang
tidak menjamin keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota Bandung.
Pada hari itu juga pasukan APRA meninggalkan Kota Bandung. Operasi penumpasan dan
pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera
dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang
bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950
dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan
Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata
ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan
No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs
(anggota tentara yang melarikan diri dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut
berlangsung sampai 25 januari 1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil
merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang
terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan
Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan
petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua
Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A.
Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah
Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa
portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat
melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina
milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi
bubar.
E. Dampak Pemberontakan APRA
Bila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dilakukan oleh APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini bertujuan
untuk mendapat pengakuan dari pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai tentara
Pasundan. Selain itu, pemberontakan ini juga bertujuan untuk tetap mempertahankan
pemerintahan Reupblik Federal dan tidak menginginkan adanya penyerahan kedaulatan
serta adanya tentara tersendiri di negara-negara bagian RIS. Sehingga terjadilah
pemberontakan APRA ini yang terjadi di Bandung.
Dalam pemberontakan ini, APRA berhasil menduduki markas dari Kodam Divisi
Siliwangi berhasil diduduki pada tanggal 23 Januari 1950 dan juga membunuh para
tentara Indonesia yang bermaksud untuk melawan. Salah satu tentara yang terbunuh ialah
Letnan Kolonel Lembong tewas pada peristiwa ini. Bandung pun dapat dikuasai
sementara oleh pasukan APRA untuk beberapa jam. Dalam peristiwa ini juga
menyebabkan 79 orang APRIS tewas dan juga beberapa masyarakat sekitar juga mnejadi
korban kekejaman pemberontakan ini. Dengan terjadinya peristiwa ini di Bandung
membuat pemerintah mengirimkan pasukan APRI ke Bandung untuk menumpas gerakan
pemberontakan APRA. Pada akhirnya gerakan pemberontakan APRA berhasil ditumpas
oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
Perisitiwa merupakan suatu konspirasi diantara Raymond Pierre Westerling dan
Sultan Hamid II dari Pontianak. Ketika pemberontakan yang di Bandung itu berakhir,
Jakarta menjadi target berikutnya. Dalam misi kali ini APRA ingin menyerang Jakarta
serta ingin membunuh menteri-menteri RIS seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.
Ali Budiarjo dan Kolonel TB Simatupang pada tanggal 26 Januari 1950.
Namun aksi dari APRA untuk menyerang Jakarta sudah diketahui sebelumnya oleh
jajaran petinggi pemerintahan sehingga aksi tersebut dapat digagalkan dan konspirasi
diantara Westerling dan Sultan Hamid II ini terbongkar dan ketika akan ditangkap,
Westerling kabur ke Singapura dan Sultan Hamid II berhasil ditangkap. Maka berakhir
pemberontakan APRA ini.

WIKIPEDIA
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan
membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah
direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh
pimpinan tertinggi militer Belanda.
Latar belakang[sunting | sunting sumber]
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan
yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan
memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya
kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus
KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman
van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang
telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu
jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum[sunting | sunting sumber]
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani
Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri
Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua
pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J.
Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah
menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu
Westerling mengunjungi Sultan Hamid II diHotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka
pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid
menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi
Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling.
Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya
antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952,
Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid
II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van
Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah
dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld
menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Desersi[sunting | sunting sumber]
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST
dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik"
yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan
APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten
G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan
Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan
dari SOP di Cimahidilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta[sunting | sunting sumber]
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret
hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar
mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23
Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T.
Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui
Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan.
94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong,
sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakartadengan maksud untuk menangkap
Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari
pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia(TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul,
sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada
perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita
yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sunmemberitakan di halaman
muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar
Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda
secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de
zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Asal Usul Pemberontakan APRA di dalam negeri

Peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil adalah Pemberontakan yang terjadi pada
tanggal 23 Januari 1950 di Kota Bandung. Peristiwa pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten
KNIL yang bernama Kapten Raymond Westerling, dengan maksud untuk mempertahankan
bentuk negera federal di indonesia dan mempunyai tentara yang berdiri sendiri pada negara –
negara bagian Republik Indonesia Serikat ini. Asal usul dari gerakan ini awalnya didasari
dengan adanya kapercayaan rakyat terhadap ramalan jayabaya yang mengatakan bahwa akan
adanya seorang Ratu Adil yang yang akan membawa mereka ke dalam suasana yang aman dan
tentram serta dapat mempimpin secara adil dan bijaksana.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia.
pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel
KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak
melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di
jalan. 94(800) anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel
Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, Westerling pergi mengunjungi Sultan Hamid
II (Menteri Negara pada Kabinet RIS), dari pembicaraan tersebut, muncul rencana untuk
menculik Hamengkubuwono IX(Mntri Prthanan Keamanan), Sekjen Pertahanan Mr. Ali
Budiarjo, dan kolonel Simpatupang(pejabat staf angkatan perang).
Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan
gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Dalam suatu pertempuran di daerah Pacet pada
tanggal 24 Januari 1950, pasukan TANI berhasil menghancurkan sisa gerombolan APRA.
Di kota Bandung juga ditiadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat,
termasuk beberapa orangtokoh Negara Pasundan. Setelah melarikan diri dari
Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. lamerencanakan suatu
gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet,
danmembunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal
Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel
T.B. Simatupang. Gerakan terse-but dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya
adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa
portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri
ke lu¬ar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
PEMBERONTAKAN DI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL

Warga belajar dan siswa--sekalian, Pada awal-awal kemerdekaan di masa lalu, pada waktu
pemerintah Republik Indonesia dalam keadaan kurang stabil karena adanya pertentangan
antarpartai politik, timbul pemberontakan di dalam negeri. Pemberontakan oleh kelompok-
kelompok yang tidak puas ini terjadi di berbagai daerah. Dilihat dari sumber penggeraknya atau
yang mendalanginya, ada pemberontakan yang digerakan atau didalangi oleh Belanda dan ada
pula yang digerakan oleh kelompok tertentu di dalam negeri yang merasa tidak puas atau kecewa
dengan pemerintah RI yang menggunakan menganut Demokrasi Liberal.

Karena itu pemberontakan-pemberontakan yang pernah di Indonesia pada masa Demokrasi


Liberal dapat di kelompokan sebagai berikut :

A. Gerakan yang didalangi Belanda

1. Pemberontakan APRA di Jawa Barat


Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terjadi pada tanggal 23 januari 1950 di
Bandung. Tokoh pemimpin pemberontakan ini bernama Kapten Raymond Westerling. Ia adalah
seorang kapten Belanda yang pernah membuat lembaran hitam di Indonesia. yakni pernah
melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia di Sulawesi Selatan (korbannya
sebanyak lebih dari 40.000 orang). Salah satu selubung/maksud gerakan ini adalah kepercayaan
rakyat akan datangnya Ratu Adil. Dalam pemberontakannya di Bandung, APRA melakukan
pembunuhan-pembunuhan terhadap TNI dan rakyat. Karena itu untuk menanggulangi
pemberontakan ini, Pemerintah mendatangkan APRIS. Akhirnya gerakan APRA dapat ditumpas.

Tetapi tokoh pimpinan pemberontakan yang bernama Westerling berhasil melarikan diri keluar
negeri.

Angkatan Perang Ratu Adil


Gerakan teror Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung,
Jawa Barat, dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling yang menolak pembubaran
Negara Pasundan, walaupun menggunakan APRA sebagai mitos untuk memengaruhi opini
masyarakat Jawa Barat, namun karena tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat, maka
gebrakan operasi militernya hanya berlangsung beberapa hari dan pada akhirnya dengan mudah
dapat ditumpas oleh aparat keamanan Negara Indonesia. Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu
Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana
segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling
yang juga mantan komandan pasukan khusus (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota
Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini
telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh
pimpinan tertinggi militer Belanda. Latar belakang Pada bulan November 1949, dinas rahasia
militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang
mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda
J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan
Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara
KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari
temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang
telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu
jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan
tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling. Surat
ultimatum Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS
menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus
mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif
dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini
tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr.
H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi
Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai
pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda,
Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer
Belanda yang bekerjasama dengan Westerling. Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan
kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap
Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM),
dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling.
Saat itu Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya,
mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta
Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai
organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari
Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan
berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun
1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan
Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya. Pertengahan Januari 1950,
Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke
Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan
pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah
memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri
Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar
pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia.
Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17
Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal
Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana
untuk evakuasi pasukan RST. Desersi Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan,
bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan
meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W.
Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan
melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat
digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan
alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles
juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta. Antara pukul
8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul
akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol Sadikin.
Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak
hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di
Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi. Kudeta Namun upaya
mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat
dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana
tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950
Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa
menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan
Pos Besar menuju Bandung." Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI
yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk
Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun. Sementara
Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh
Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan
menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII
(Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke
Jakarta gagal total. Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan
satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri
berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel
Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas
terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan
besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan
hotel. Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang
tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling,
didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan,
bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul
Islam waktu itu. Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain
terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia.
Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950
dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun
memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia
Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata
orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di
Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

Gerakan APRA muncul di kalangan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini
dipelopori oleh golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya
di Indonesia dan bermaksud mempertahankan kedudukan negara Pasundan.
Tujuan gerakan APRA sebenarnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di
Indonesia dan memiliki tentara sendiri bagi negara-negara RIS.

Pada bulan Januari 1950, APRA mengajukan ultimatum kepada pemerintah Republik Indonesia
dan negara Pasundan yang isinya tuntutan agar APRA diakui sebagai tentara Pasundan dan
keberadaann negara Pasundan tetap dipertahankan.

Ultimatum tersebut dilanjutkan dengan melakukan gerakan teror pada tanggal 23 Januari 1950.
APRA menyerang kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Divisi Siliwangi. Akibatnya 79
orang anggota APRIS gugur, termasuk Letnan Kolonel Lembong.

Pemerintah RIS menempuh dua cara untuk menumpas pemberontakan APRA di Bandung. Yaitu
dengan melakukan tekanan terhadap pimpinan tentara Belanda dan melakukan operasi militer.

Perdana Menteri RIS Moh. Hatta mengutus pasukannya ke Bandung dan mengadakan
perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta.

Hasil dari perundingan tersebut, Westerling didesak untuk meninggalkan kota Bandung. Gerakan
APRA semakin terdesak dan terus dikejar oleh pasukan APRIS bersama rakyat, dan akhirnya
gerakan APRA dapat ditumpas.

Anda mungkin juga menyukai