Anda di halaman 1dari 9

Pemberontakan 1.

Kelompok 7 :
Hariyanis
APRA 2. Jihan M.
3. Miftah C.
4. Syabandi A. Rahmat
5. Wahyudi
Latar Belakang

APRA : Angkatan Perang Ratu Adil

Peristiwa pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten KNIL


yang bernama Kapten Raymond Westerling, dengan maksud
untuk mempertahankan bentuk negera federal di indonesia dan
mempunyai tentara yang berdiri sendiri pada negara – negara
bagian Republik Indonesia Serikat ini.

Asal usul dari gerakan ini awalnya didasari dengan adanya


kepercayaan rakyat terhadap ramalan jayabaya yang
mengatakan bahwa akan adanya seorang Ratu Adil yang akan
membawa mereka ke dalam suasana yang aman dan tentram
serta dapat mempimpin secara adil dan bijaksana.
Alasan Pemberontakan

Pemberontakan APRA diawali dari pembentukan APRIS yang


menimbulkan ketegangan antara TNI dan bekas tentara KNIL
ditambah dengan pertentangan politik antara kelompok yang ingin
mempertahankan bentuk negara bagian (yang didukung pihak APRA
yang terdiri dari bekas tentara KNIL) dan kelompok yang
menginginkan negara kesatuan (didukung oleh TNI).

APRA mengajukan ultimatum kepada Pemerintah RIS yang isinya menuntut supaya
APRA
diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal
tersebut. Namun, ultimatum ini tidak ditanggapi oleh pemerintah.
Surat Ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu
ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif
dalam waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, tetapi juga di pihak Belanda dan
dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak
nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua
pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerja sama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota
Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling.
Saat itu Westerling mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu
bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan
mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak
memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang
terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II
dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Lanjutan
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van Maarseveen berkunjung
ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret
1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap
Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada
Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia.
Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21
Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Aksi APRA

23 Januari 1950 di Kota Bandung


di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling, kelompok milisi 800 tentara
KNIL,
terdiri dari pelarian-pelarian pasukan payung, barisan pengawal "Stoottroepen" dan polisi
Belanda dengan dilindungi oleh kendaraan berlapis baja, mulai memasuki kota Bandung dan
membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui.

Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan
bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Staf Divisi Siliwangi yang pada hari itu hanya dijaga 15 prajurit, diserang
dengan tak terduga. Seorang Perwira menengah-Letkol Lembong tewas
menjadi keganasan APRA. Dalam penyerbuan APRA ini 79 anggota
APRIS/TNI gugur.

Pemerintah RIS memperkuat pertahanan kota Bandung mengirimkan bala


bantuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang ketika itu sedang
berada di Jakarta. Pada saat itu juga TNI mengkonsolidasi kekuatannya.

Gerombolan APRA dapat


Dipaksa mengundurkan
diri Dari Kota Bandung.
Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih
ingin melanjutkan misinya di Jakarta, yaitu menangkap
semua Menteri RIS yang sedang menghadiri Sidang
Kabinet dan membantainya. Tetapi, rapat dibatalkan
karena ada tindakan preventif dari pihak intelijen.

Setelah diusut, ternyata otak dari


pemberontakan ini adalah Sultan Hamid II
yang kemudian berhasil ditangkap pada
tanggal 4 April 1950.

Setelah kedua misinya gagal, akhirnya


Westerling melarikan diri ke luar negeri dengan
menumpang pesawat Catalina milik Angkatan
Laut Belanda.

Anda mungkin juga menyukai