Kelompok 7 :
Hariyanis
APRA 2. Jihan M.
3. Miftah C.
4. Syabandi A. Rahmat
5. Wahyudi
Latar Belakang
APRA mengajukan ultimatum kepada Pemerintah RIS yang isinya menuntut supaya
APRA
diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal
tersebut. Namun, ultimatum ini tidak ditanggapi oleh pemerintah.
Surat Ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu
ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif
dalam waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, tetapi juga di pihak Belanda dan
dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak
nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua
pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerja sama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota
Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling.
Saat itu Westerling mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu
bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan
mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak
memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang
terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II
dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Lanjutan
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van Maarseveen berkunjung
ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret
1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap
Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada
Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia.
Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21
Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Aksi APRA
Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan
bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Staf Divisi Siliwangi yang pada hari itu hanya dijaga 15 prajurit, diserang
dengan tak terduga. Seorang Perwira menengah-Letkol Lembong tewas
menjadi keganasan APRA. Dalam penyerbuan APRA ini 79 anggota
APRIS/TNI gugur.