Anda di halaman 1dari 14

Andi aziz

KRONOLOGI

pada awal April 1950, pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Andi Azis sendiri, Ia merupakan mantan perwira KNIL dan baru diterima
masuk ke dalam APRIS. Andi Azis bersama gerombolannya ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur. Selain
itu, hal ini juga dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap masuknya anggota TNI ke dalam bagian APRIS.

Pada 5 April 1950, gerombolan Andi Azis mulai melancarkan serangan. Mereka menyerang serta menduduki tempat-
tempat penting, selain itu mereka juga menawan seorang Panglima Teritorium Indonesia Timur, yaitu Letnan Kolonel
A.J. Mokoginata. Mengetahui hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan ultimatum sebagai bentuk reaksi
atas kejadian tersebut pada tanggal 8 April 1950.

Ultimatum yang dilayangkan isinya memerintahkan kepada Andi Azis untuk melaporkan diri sekaligus harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ke Jakarta, Andi Azis diberi waktu selama 4 hari. Selain itu Andi Azis
juga diminta untuk menyerahkan senjata beserta menarik pasukannya, dan diminta untuk membebaskan para
sandera.

Ternyata Andi Azis sama sekali tidak menggubris ultimatum tersebut. Nah, karena Andi Azis tidak menggubris, maka
pemerintah langsung bereaksi dengan mengirim pasukan-pasukan ekspedisi. Pasukan ekspedisi mendarat di
Makassar pada tanggal 26 April 1950 di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang, pada saat itu terjadilah
pertempuran.

Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 5 Agustus 1950, pasukan Andi Azis secara tiba-tiba mengepung markas
staf Brigade 10/Garuda Mataram di Makassar. Pengepungan itu tidak berangsur lama, pasukan TNI kemudian
berhasil memukul mundur pasukan pemberontakan itu. Setelah bertempur selama 2 hari, KNIL/KL (pasukan
pendukung Andi Azis) meminta berunding dengan TNI.

UPAYA PENUMPASAN

Pemerintah RIS melalui PM Diapari di Radio Makassar pada 7 April 1950 memberi ultimatum kepada Andi Azis dan
pasukannya untuk kembali ke asrama, membebaskan para tawanan dan menyerahkan senjata mereka. Pemerintah
pusat juga mengeluarkan ultimatum untuk menghadap ketika terjadinya peristiwa Andi Azis dan ia diberi waktu
selama 4 hari, tetapi ia tidak meresponnya dengan cepat dan terlambat datang ke Jakarta. Upaya pemerintah dalam
menghadapi pemberontakan Andi Azis kemudian mendatangkan pasukan Brigade Mataram yang dipimpin oleh
Letkol Soeharto dan menempatkan Kolonel Alex Kawilarang sebagai komandan tertinggi operasi pemberantasan
peristiwa Andi Azis. Upaya penumpasan pemberontakan Andi Azis tersebut menyertakan para prajurit bersama
dengan 12 buah kapal, 2 buah tank pendarat dan 12.000 orang pasukan. Terjadi pertempuran sebagai dampak dari
pemberontakan Andi Azis setelah pasukan ekspedisi mendarat pada 26 April 1950 di Makassar.

Andi Azis baru datang ke Jakarta pada 15 April 1950 setelah mendapat jaminan dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX
bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena ia sudah terlambat memenuhi ultimatum, ketika sampai di Jakarta ia
langsung ditangkap sebagai pelaku pemberontakan. Pada 5 Agustus 1950 pasukan Andi Azis mendadak
mengepung markas staf Brigade 10/Garuda Mataram di Makassar. TNI berhasil memukul mundur pasukan
pemberontak pada peristiwa Andi Azis setelah mereka bertempur selama dua hari dan pasukan KNIL meminta
berunding dengan TNI. Perundingan dilakukan pada 8 Agustus 1950 antara Kolonel A.E Kawilarang dan Mayjen
Scheffelaar dari KNIL dan menghasilkan keputusan untuk menghentikan tembak menembak, KNIL harus
menyerahkan senjata dan meninggalkan Makassar dalam waktu dua hari

Setelah peristiwa Andi Azis tersebut, Andi Azis diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun. Ia sempat
dipenjara di Wirogunan, Yogyakarta selama tiga tahun. Kemudian dipindahkan ke Cimahi dan sempat berusaha
memberontak dengan melucuti penjaga, lalu tertangkap dan dipindahkan ke Ambarawa. Menurut keluarga dan orang
– orang yang mengenalnya, Andi Azis adalah seorang tentara yang buta akan politik sehingga terpengaruh oleh
propaganda yang membuatnya melakukan pemberontakan tersebut. Pada 31 Agustus 1956 ia mendapatkan grasi
dan dibebaskan bersyarat.

APRA

Latar Belakang Pemberontakan APRA

Pemberontakan APRA berawal dari hasil KMB atau Konferensi Meja Bundar dilaksanakan pada 1949 di Den Haag.
Salah satu hasil KMB yang menggemparkan yaitu rencana pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS).
Tujuannya, Westerling bekerjasama Sultan Hamid II membentuk APRA demi melakukan kudeta terhadap
pemerintahan RI.

Sultan Hamid II lebih condong terhadap aliran federal. Adapun kudeta dilakukan sebagai upaya mempertahankan
bentuk negara federal RIS. Sebab, negara bagian dalam RIS saat itu mau membubarkan diri dari negara kesatuan.
Tetapi akhirnya negara bagian RIS bergabung kembali dengan RI. Pembentukan dan pemberontakan APRA berasal
dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat atau APRIS. APRIS sendiri merupakan latar belakang dari APRA.
Pasalnya, baik anggota TNI dan KNIL diharuskan untuk bergabung dalam APRIS. Situasi inilah yang dianggap cukup
sulit bagi anggota KNIL dan TNI. Kedua badan ini memang sempat berhadapan di medan perang Kemerdekaan
Indonesia.

Alhasil, banyak lahir kaum reaksioner yang beraliran federal lalu menggabungkan diri sendiri tanpa paksaan ke
APRA. Beberapa waktu sesudah APRA dibentuk, pemimpin APRA Raymond Westerling memberikan ultimatum
kepada Pemerintah RIS. Isi dari ultimatum meminta agar pemerintah menjadikan APRA menjadi pasukan resmi.

Selain itu, ultimatum ini juga meminta pemerintah agar segera menyerahkan kekuasaan militer secara penuh di
wilayah Pasundan kepada APRA. Tetapi beruntung ultimatum tersebut ditolak dan tidak dikabulkan oleh pemerintah
RIS.

Akhirnya para anggotanya berencana melakukan pemberontakan APRA untuk merampas kekuasaan. Baik itu
menggunakan cara kekerasan hingga menentukan strategi kudeta. Target utama dari pemberontakan terpusat di
kota Bandung dan Jakarta.

Pemberontakan APRA juga disinyalir karena adanya kepentingan bangsa Belanda yang ingin kembali datang ke
Indonesia dengan niat menjajah. Mengapa Belanda ingin menguasai Indonesia lagi, semata-mata untuk
mengamankan kepentingan ekonomi negaranya.

Sikap APRA dianggap mempertahankan para sedadu Belanda dalam sistem pemerintahan federal Indonesia.
Pemberontakan tersebut memang berhasil terealisasikan di Jakarta dan Bandung. Akan tetapi akhirnya para
pemberontak berhasil dilumpuhkan dan ditangani.

Kronologi

Pemberontakan APRA di kota Bandung terjadi pada 23 Januari 1950 ketika pagi hari. Awalnya APRA membuat
pergerakan dari sekitar Cililin. Pemimpin yang mengomandoinya ada dua orang asal Belanda.Van der Meula dan
Van Beeklen merupakan inspektur Polisi Belanda. Serdadu yang menjalankan pemberontakan ini tercatat ada 800
orang. Sementara,300 orang didalamnya merupakan mantan anggota KNIL menggunakan senjata lengkap.

Situasi saat itu sangat menyeramkan, sebab pemberontakan APRA di kota kembang ini dimulai dengan pembunuhan
sadis. Pelakunya tidak lain adalah anggota APRA yang seolah membabi buta kepada para anggota TNI tengah
dijumpai.
Gerombolan pemberontak akhirnya dapat menduduki Markas Staf Divisi Siliwangi. Barulah setelahnya terjadi
pertempuran tidak seimbang kala itu. Terdapat 150 orang anggota APRA secara ganas melawan 18 orang anggota
TNI.

Serangan dari anggota APRA tersebut membuat Letnan Kolonel Lemboh dan 14 orang anggota TNI lainnya gugur.
Sementara, 3 orang anggota TNI berhasil melarikan diri. Langkah yang diambil pemerintah untuk mengusir
pemberontakan ada dua cara.

Pertama, melakukan tekanan kepada pimpinan tentara Belanda dan operasi militer. Kedua, Moh.Hatta yang menjadi
Perdana Menteri RIS mengutus beberapa pasukan pergi ke Bandung. Utusan ini diminta untuk mengadakan
perundingan bersama Komisaris Tinggi Belanda yang berada di Jakarta.

Singkat cerita lahirlah perundingan Westerling yang mendesak serdadu APRA segera meninggalkan kota Bandung.
APRA makin terdesak karena dikejar oleh tentara APRIS dan rakyat pribumi hingga pergi dari kota Bandung.

Pemberontakan di kota Bandung menyebabkan sedikitnya 79 anggota APRA gugur. Bahkan pemberontak tidak
segan-segan melakukan pembantaian terhadap penduduk pribumi. Pemberontakan APRA terdasyat lainnya juga
terjadi di kota Jakarta. Kala menyusun target Jakarta, ada pembelot pribumi yang tidak lain adalah Sultan Hamid II
melakukan kerjasama dengan APRA. Dari hasil persekongkolan diam-diam berhasil membuat strategi untuk
melakukan:

Penyerangan APRA menuju gedung yang sedang dilangsungkan sidang oleh Kabinet RIS .Menculik semua anggota
menteri RIS. Membunuh orang penting yang ada di kementerian pertahanan. Diantaranya Menteri Pertahanan,
Sekretaris Jendral Kementrian Pertahanan, dan Pejabat atau Kepala Staf Angkatan Perang.

Sultan Hamid II diberikan iming-iming oleh pasukan APRA. Apabila rencana kudeta berhasil maka nanti diangkat
sebagai Menteri Pertahanan oleh Raymond Westerling. Pemberontakan yang dilakukan APRA pada masa itu tidak
berhasil. Adapun yang menggagalkannya adalah Pemerintah RIS, rakyat pribumi, dan APRIS. Setelah kegagalan
inilah serdadu pemberontak secara perlahan mulai mundur.

Raymond Westerling memiliki tujuan tersembunyi sejak mendirikan APRA. Tujuan utamanya dapat mengganggu
proses pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dari Kerajaan Belanda. Tetapi, proses pengakuan ini akhirnya
diberikan Belanda kepada pemerintah RIS pada 27 Desember1949.

Letnan Jenderal Buurman van Vreeden selaku Panglima Tertinggi dalam Tentara Belanda juga turut berupaya
menggagalkan pengakuan kedaulatan RI. itu, APRA ingin mempertahankan bentuk negara Indonesia federal. APRA
menyatakan kehadirannya sendiri sebagai bagian dari RIS. Sehingga APRA dapat masuk dan menundukkan salah
satu negara bagian. Kemudian barulah memecah belah Indonesia yang telah merdeka agar dapat kembali ke tangan
jajahan Belanda. Aksi pemberontakan APRA ini ternyata sudah diketahui oleh petinggi militer Belanda.

PEMBERANTASAN APRA

Pemerintah RIS segera bereaksi dengan mengirimkan bala bantuan ke Bandung untuk menghentikan APRA. Di
Jakarta juga segera diadakan perundingan antara Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi
Belanda. Hasilnya, Mayor Jenderal Engels, Komandan Tentara Belanda di Bandung mendesak Westerling untuk
pergi dari kota itu.

Setelah terdesak, gerombolan APRA pergi meninggalkan Bandung. Setelah meninggalkan Bandung, gerombolan
APRA menyebar ke berbagai wilayah dan terus dikejar oleh Apris. Dengan bantuan rakyat,, gerombolan APRA yang
telah berceceran berhasil dilumpuhkan oleh TNI.

Selain ke Bandung, gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Di daerah ini, Westerling mengadakan kerjasama
dengan Sultan Hamid II yang menjadi menteri negara tanpa portofolia di dalam kabinet RIS.
Untuk mewujudkan ambisinya, Westerling dan Sultan Hamid II menyusun rencananya sebagai berikut:

APRA akan menyerang gedung tempat Kabinet RIS bersideng. Semua Menteri RIS akan diculik. Menteri Pertahanan
(Sultan Hamengku Buwono IX), Sekjen Kementrian Pertahanan (Ali Budiarjo) dan Pejabat Kepala Staf Angkatan
Perang (Kol. T. B. Simatupang) akan dibunuh. Supaya publik tertipu, Sultan Hamid II juga akan ditembak di tangan
atau kakinya agar orang mengira bahwa ia juga termasuk yang akan dibunuh Westerling. Sultan Hamid II dijanjikan
oleh Westerling akan dijadikan Menteri Pertahanan jika rencana itu sukses.

Akan tetapi berkat kesigapan APRIS, usaha APRA di Jakarta juga menemui kegagalan. Meskipun demikian
Westerling dengan gerombolannya masih terus mencoba untuk mencapai tujuannya. Tetapi usahanya tetap berujung
pada kegagalan.

Sementara itu, Westerling yang melihat indikasi kegagalan rencananya, memilih melarikan diri dengan pesawat
Catalina Angkatan Laut Belanda ke Singapura pada 22 Februari 1950. Di Singapura, Westerling justru ditahan polisi
setempat dengan tuduhan telah memasuki wilayah itu tanpa izin.

Westerling menjalani hukuman selama satu bulan di Singapura. Pemerintah Indonesia berusaha menuntut agar
buronannya tersebut diserahkan kepada Indonesia. Namun, tuntutan itu ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris,
dengan alasan bahwa RIS tidak punya perjanjian dengan Inggris tentang hal itu.

Sementara itu Sultan Hamid II yang ikut serta dalam rencana makar tersebut baru tertangkap pada 5 April 1960.
Presiden Soekarno di depan Singan DPR RIS menyampaiakan pidato yang menegaskan sikap pemerintah untuk
menumpas pemberontakan Westerling. Selanjutnya, ia mengingatkan pula agar rakyat, khususnya umat Islam agar
tidak terpancing dan masuk gerakan pemberontak.

RMS

LATAR BELAKANG

Pada tanggal 25 April 1950 telah terjadi sebuah proklamasi tentang berdirinya Republik Maluku Selatan yang kala itu
diproklamasikan oleh sekelompok orang yang notabene merupakan mantan KNIL dan masyarakat Pro-Belanda.
Diantara orang-orang tersebut antara lain adalah Dr.Christian Robert Steven Soumokil, Andi Aziz dan Westerling.

Pemberontakan yang mereka lakukan ini merupakan bentuk ketidakpuasan atas kembalinya Republik Indonesia
Serikat ke Negara kesatuan Republik Indonesia. Pemberontakan ini diwarnai dengan unsur KNIL atau het koninklijke
Nederlanda(ch) atau secara harfiah merupakan tentara kerajaan Hindia Belanda yang merasa tidak puas karena
status mereka yang tidak jelas. Kala itu atas keberhasilan APRIS mengatasi keadaan, menyebabkan banyak
masyarakat yang semangat atas kembalinya Republik Indonesia Serikat ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Di tengah upaya untuk mempersatukan dari keseluruhan wilayah Indonesia ini, ada berbagai teror dan intimidasi
yang mengancam masyarakat. Beberapa teror tersebut antara lain adalah dipimpin oleh seorang Kapten bernama
Raymond Westerling.

Dengan dibantu oleh anggota polisi dan pasukan KNIL yang merupakan bagian dari Korp Speciale Troepen yang
bertempat di Batujajar, Bandung, Jawa Barat ini melakukan aksi teror. Bahkan teror yang dilakukan di Bandun ini
hingga menelan korban jiwa. Dalam aksi teror tersebut telah terjadi pembunuhan dan penganiayaan.

Akibat dari teror tersebut, benih sparatis atau keinginan untuk memisahkan diri pun akhirnya muncul. Beberapa
birokrat pemerintah daerah telah memprovokasi masyarakat yang berada di wilayah Ambon. Yaitu bahwa
penggabungan Ambon ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan berdampak buruk dan membahayakan
masyarakat di kemudian hari.
Atas bahaya tersebut dihimbau untuk seluruh masyarakat agar tetap berwaspada. Pada tahun 1950, tepatnya pada
tanggal 20 april telah diajukan mosi tidak percaya kepada parlemen NIT.

Hal ini dengan maksud agar kabinet NIT atau Negara Indonesia Timur meletakkan jabatannya untuk bisa bergabung
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegagalan Andi Andul Azis mengakibatkan berakhirnya
Negara Indonesia Timur. Namun, pemberontakan tidak berhenti sampai disini. Soumokil bersama para anggota yang
mendukungnya tidak pernah menyerah untuk bisa melepaskan wilayah Maluku Tengah dari Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, mereka melakukan sebuah perundingan untuk melakukan pemberontakan
bersama para anggota KNIL.

Dalam perundingan yang dilakukan di wilayah Ambon tersebut yang dihadiri oleh para pemuka KNIL, Soumokil, Ir.
Manusaman berencana untuk daerah Maluku Selatan menjadi daerah mereka. Bahkan jika perlu, membunuh seluruh
anggota dewan yang ada di Maluku Selatan agar bisa melakukan proklamasi kemerdekaan di wilayah yang
disebutkan.

Akhirnya pada rapat kedua, J.Manuhutu terpaksa hadir dibawah ancaman senjata. Nah itu sekilas mengenai
penjelasan singkat latar belakang rms ataupun latar belakang terjadinya pemberontakan rms.

KRONOLOGI

Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud
untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat).
Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS
ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.

Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang
diantaranya adalah Chr. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai
Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.

Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. Leimena sebagai
misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal
dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah
pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.

Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang
memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade
dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.

Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS
mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya
(jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara
saja.

RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku
mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon.
Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa
mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi
kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap
Jakarta menguat.

PENUMPASAN

Pada saat berusaha penumpasan, pemerintah berupaya agar dapat mengatasi masalah ini dengan cara berdamai.
Maka upaya yang dilakukan yakni, dengan cara mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli
Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. adapun misi perdamaian
yang dikirim oleh pemerintah ialah terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu
langsung dengan pengikut Soumokil. Kemudian oleh sebab misi perdamaian tersebut tidak berhasil,maka pada
akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan seluruh
pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin langsung oleh kolonel .A.E.Kawilarang, yang pada saat itu
menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Ibukota RMS berhadil direbut dan
pemberontakan ini akhirnya tumpas, namun TNI kehilangan komandan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Letnan
Kolonel Soediarto yg gugur tertembak.

Pada awalnya Soumokil sendiri telah berhasil dalam upaya melarikan diri ke pulau Seram, namun pada akhirnya ia
berhasil tertangkap padatahun 1963 dan dijatuhi hukuman mati

PRRI/PERMESTA

LATAR BELAKANG

Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat,
berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa
tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas
pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap
pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan.

Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan
pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti : Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol
Ahmad Husein. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan. Dewan Garuda di
Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel
Ventje Sumual.

Pemerintah pusat mencoba menyelesaikannya dengan jalan damai. Pada tanggal 14 September 1957 dilakukan
Musayawarah Nasional (Munas) dan Musayawarah Pembangunan (Munap) dalam rangka memecahkan masalah
pusat dan daerah tersebut. Dalam musyawarah itu terdapat keinginan kuat daerah untuk menang sendiri sehingga
sulit untuk dicarikan kesepakatan. Peristiwa lain menyertai dua bulan kemudian ketika terjadi usaha pembunuhan
terhadap Presiden Sukarno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Presiden selamat tetapi beberapa pelajar yang
tidak berdosa mengalami cedera akibat granat yang dilemparkan oleh kelompok ekstrim agama

Pada 10 Pebruari 1958 diadakan rapat raksasa di Padang. Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat
yang isinya: Dalam waktu 5×24 jam agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada
presiden. Presiden menugaskan Drs. Moh Hatta dan Sutan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet
Meminta kepada presiden supaya kembali kedudukannya sebagai presiden konstitusional tuntutan tersebut jelas
ditolak pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein
memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat.
Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI
ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara

Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan
memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam PRRI
sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata disambut
dengan antusias pula oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan
pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan
dengan pemerintah pusat (kabinet Juanda).

Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak
yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena
kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada
tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan

KRONOLOGI

Pada akhir bulan Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di
Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan
“Dewan Banteng” di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan
pertama dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari Gubernur Ruslan Muljohardjo.
Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera Utara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin
Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari
hubungan dengan pemerintah Pusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil alih pemerintahan dari
Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan “Piagam Perjoangan Semester
(PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat.

Tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia
yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai
pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan
PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah
Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan
Kolonel Saleh Lahade.

Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 1957, di sebuah kota kecil di pesisir barat pantai Sumatera yang
bernama Salido, berlangsung suatu sidang reuni para militer pejuang yang tergabung dalam Resimen IV Divisi
Banteng Sumatera Tengah. Reuni tersebut menghasilkan dan membentuk suatu badan organisasi yang dinamai
"Dewan Banteng" dengan tokoh-tokoh militer seperti Kolonel Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel M.
Simbolon dan lain-lain sebagai para atasan dan penggeraknya. Namun, pada 15 Februari 1958, atas prakarsa
"Dewan Banteng", organisasi yang dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol Achmad Husein,
Kolonel Dahlan Jambek dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan baru yang bernama
"Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang
sebagai "ibukota negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI".

Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun
sipil, yang tidak merasa puas dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa rakyat Minangkabau untuk
memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur
tanah air, juga timbul satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan Letkol Ventje
Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA (Pemerintah Rakyat Semesta).

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin gerakan-gerakan tersebut sama, tidak lain adalah
pemerintah Pusat dianggap kurang memperhatikan keadaan daerah disertai tuntutan menambah anggota kabinet
dengan Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono. Menghadapi tantangan dari daerah-daerah, pemerintah
Pusat memprakarsai Musyawarah Nasional di Jakarta yang berlangsung tanggal 9 hingga 11 Desember 1957.
Sebagai lanjutan musyawarah tersebut, bulan Desember 1957 di Jakarta diadakan Musyawarah Nasional
Pembangunan. Musyawarah-musyawarah ini tidak berhasil mendapatkan cara penyelesaian masalah daerah-daerah
yang membangkang terhadap pemerintah Pusat. Kegagalan ini antara lain disebabkan tokoh-tokoh nasional seperti
Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono, tidak diikutsertakan dalam pimpinan pemerintahan. Selain itu
daerah-daerah yang bergolak melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa politik pemerintah Pusat mengarah kepada
komunisme.
Para tokoh dan pentolan PRRI maupun PERMESTA mendapat bantuan dan sokongan kuat dari Imperialis Amerika
Serikat yang memang tidak suka atas kepemimpinan Bung Karno. AS memberi support dan bantuan apa saja untuk
PRRI/PERMESTA. Persenjataan-persenjataan modern dari Amerika, seperti LMG 12,7 MM, penangkis serangan
udara, Bazooka, Granat-semi automatis, persenjataan Infantri, dan lain-lain diturunkan dari kapal terbang
pengangkut AS di hutan-hutan Sumatra untuk melengkapi persenjataan militer PRRI guna melawan Pemerintahan
NKRI.

PENUMPASAN

Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur
darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Operasi Tegas
dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil
menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.

2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota
Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.

3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.

4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.

Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di
bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari : Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi
Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono. Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara
bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono. Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah
Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda. Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin
oleh Letkol Rukminto Hendraningrat

Pemberontakan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Ahmad Husein akhirnya dapat dipatahkan oleh Angkatan
Perang Republik Indonesia yang melakukan “Operasi 17 Agustus” di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dalam
waktu yang tidak terlalu lama, yaitu kurang lebih satu minggu. Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat itu, dengan
sendirinya menimbulkan kekacauan, baik terhadap pemerintah daerah, maupun terhadap kehidupan dalam
masyarakat, setelah Ahmad Husein mengambil alih fungsi Gubernur Roeslan Muljodihardjo, yang diangkat oleh
pemerintah Pusat di Jakarta. Kabinet Karya yang dipimpin Ir. Djuanda memutuskan pengiriman misi yang dinamakan
“Misi Pemerintah untuk Normalisasi Pemerintah dan Masyarakat Sumatera Barat”. Misi Pemerintah yang dipimpin
Wakil Perdana Menteri I Hardi, SH yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa menteri, pejabat-pejabat tinggi
dari departemen-departemen dan beberapa perwira Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat, tiba di Padang,
satu hari setelh operasi militer dianggap berhasil.

Berkat operasi militer yang cepat, niat luar negeri, khususnya Amerika Serikat untuk campur tangan dalam masalah
dalam negeri Indonesia secara terbuka, dapat dihindari. Dalam iklim Perang Dingin yang sedang melanda dunia
masa itu, Uni Soviet, Republik Rakyat Cina, dan negara Blok Komunis lainnya akan beraksi, jika Amerika Serikat
bertindak terlalu jauh, dan Indonesia dapat menjadi kancah pertarungan politik dunia interansional dengan segala
akibatnya bagi persatuan Indonesia. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit “Kembali ke
Undang Undang Dasar 1945” dan tanggal 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet Karya I dipimpin langsung oleh Presiden
sebagai Perdana Menteri dengan Ir. H. Djuanda sebagai Menteri pertama. Setelah diadakan reshuffle dibentuk
Kabinet Karya II, tanggal 18 Februari 1960. Dr. Leimena, dan Dr. Subandrio menjadi Wakil Perdana Menteri. Pada
tanggal 17 Agustus 1961, untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, dan dengan pertimbangan
prikemanusiaan pemerintah menempuh kebijaksanaan member pengampunan berupa amnesti dan abolisi kepada
para pemberontah yang menyerah di daerah-daerah dalam abtas waktu yang ditentukan. Pemberontakan-
pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi dianggap berakhir.

BFO
LATAR BELAKANG

Pada prinsipnya konsep Negara Federal dan BFO itu sama yaitu sebuah negara yang memperoleh pengakuan
kedaulatan dan merdeka secara resmi, tetapi berada di bawah kekuasaan negara lain secara de facto. Persoalan
negara federal dan BFO ini sudah ada sejak persetujuan dan tanda tangan dalam perundingan Linggarjati. Bahkan
kondisinya semakin parah dengan peristiwa penandatanganan perjanjian Roem Royen. Pada akhirnya
permasalahan negara federal dan persekutuan negara bagian atau Bijeenkomst Federal Overleg (BFO) berpotensi
untuk menimbulkan perpecahan setelah kemerdekaan di negara Indonesia itu sendiri.

Perpecahan yang timbul pada masa setelah kemerdekaan diakibatkan oleh persaingan antara golongan unitaris
yang menginginkan Indonesia sebagai negara kesatuan dengan golongan federalis yang menginginkan untuk
mempertahankan negara federal. Contohnya pada tanggal 24 Juli 1946 di Sulawesi terdapat konferensi Malino.
Dalam pertemuan tersebut terdapat pembicaraan tatanan federal beserta wakil daerah di berbagai wilayah non
Republik Indonesia. Namun para politisi pro RI bereaksi keras terhadapnya seperti dari Makassar terdapat Mr.
Tadjudin Noor. Bahkan hasil konferensi tersebut memperoleh kritikan kuat dari Mr. Tadjudin Noor. Kali ini saya akan
menjelaskan tentang sejarah persoalan negara federal dan BFO. Untuk lebih jelasnya dapat anda simak di bawah ini.

Dalam sejarah persoalan negara Federal dan BFO terdapat beberapa perbedaan yang tidak dapat diselesaikan oleh
konferensi. Konferensi tersebut tidak dapat memutuskan permasalahan tentang perbedaan keinginan dalam
penggunaan atau tidak lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih oleh NIT (Negara Indonesia Timur). Dalam
permasalahan negara federal tersebut secara tidak langsung dapat menjatuhkan kabinet NIT. BFO sendiri juga
memiliki pertentangan di batang tubuhnya. BFO telah dipecah menjadi dua kubu sejak dibentuk pada bulan Juli 1948
di Bandung.

Dalam sejarah persoalan negara federal dan BFO terdapat dua kubu BFO. Kelompok BFO yang pertama melakukan
kerjasama dengan RI untuk membentuk Negara Indonesia Serikat dan menolak kerjasama dengan Belanda. Pelopor
kubu pertama BFO ialah R.T. Djumhana (Negara Pasundan), Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) dan R.T. Adil
Puradiredja. Kelompok BFO yang kedua dipelopori oleh dr. T. Mansur (Sumatera Timur) dan Sultan Hamid II
(Pontianak). Kubu kedua BFO ini menginginkan agar mempertahankan kerjasama garis kebijakan dengan Belanda.
Kedua kubu BFO semakin sengit melakukan pertentangan saat Agresi Militer II yang dilancarkan oleh Belanda.

Selanjutnya terjadi peristiwa konfrontasi dalam sidang BFO antara Sultan Hamid II dengan Anak Agung. Namun
Sultan Hamid II dikemudian hari melakukan kerjasama untuk mempersiapkan perlawanan kepada pemerintahan RIS
dengan APRA Westerling. Inilah yang menjadi sejarah dalam persoalan negara federal dan BFO. Semakin lama
persaingan antara golongan Unitaris dan Federalis pada tahun 1949 setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) lebih
merujuk pada konflik terbuka dalam bidang militer. Pada akhirnya masalah psikologis dapat timbul akibat
pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Dalam KMB terdapat salah satu ketetapan yang
menuturkan bahwa APRIS memiliki anggota dari TNI dan dari mantan personil anggota KNIL.

Anggota APRIS dari TNI dijadikan sebagai inti anggota namun keberatan untuk melakukan kerjasama dengan KNIL
(bekas musuhnya). Namun berbeda dengan anggota KNIL yang menentang anggota TNI masuk ke negara bagian
dan memaksa agar KNIL dijadikan sebagai aparat negara bagian. Pertentangan ini digambarkan dalam kasus Andi
Aziz (mantan pasukan KNIL) dengan APRA Westerling. Lantas bagaimana upaya pemerintah dalam persoalan
negara federal dan BFO? Penumpasan BFO dilakukan dengan cara membubarkan negara boneka federal yang
dibentuk oleh Belanda. Pada akhirnya penumpasan BFO mengakibatkan RIS (Republik Indonesia Serikat) menjadi
bubar dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) kembali terbentuk.

Pergolakan yang terjadi tidak hanya mengakibatkan hal hal negatif saja. Tetap juga mengakibatkan terjadinya
persatuan bangsa yang sifatnya positif. Hal ini dapat dilihat setelah KMB ingin mempertahankan keberadaan negara
negara bagian. Namun harus menghadapi tuntutan rakyat agar RI bersatu dengan negara bagian atas tuntutan dari
rakyat. Demikianlah penjelasan mengenai sejarah persoalan negara federal dan BFO.

KRONOLOGI

Permasalahan ini muncul dimulai sejak Perundingan Linggarjati disetujui dan ditanda tangani dan di perparah
dengan penandatanganan perundingan yang lainnya, seperti Roem-Royen. Konsep Negara Federal dan
"Persekutuan" Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan
di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara
golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia
menjadi negara kesatuan.

Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan
federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI
yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.

Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara
Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara
tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).

Perjanjian Linggarjati sebagaimana kita ketahui memiliki dampak negatif khususnya bagi rakyat indonesia dan hal ini
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi,
PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu
adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan
menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung
perundingan linggarjati.

Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau mengakui kelahiran negara
indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang bertujuan mempersempit wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Negara boneka tersebut dipimpin oleh Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan
Badan Permusyawaratan Federal(BFO) 27 Mei 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan menyerang kota Yogyakarta
dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan
radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Dengan begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan wilayahnya dari segala agresi Belanda. Akhirnya
konflik bersenjata harus segera diakhiri dengan jalan diplomasi. Dan atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, maka
pada tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, Anggota Komisi
Amerika.

Merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau
negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO. Pada awalnya pembentukkan BFO ini diharapkan
oleh Belanda akan mempermudah Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Namun sikap negara-negara yang
tergabung dalam BFO berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua terhadap Indonesia.
Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan
BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi
dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia pada bulan Juli 1949.

BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga permusyawaratan dari negara-negara federal
yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara
Indonesia Timur, Gede Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan BFO.

Dalam tubuh BFO juga terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah
terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk
diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT)
serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II
(Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur).

Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama
makin mengarah pada konflk terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
(APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota
APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS
berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka
ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggotaTNI ke negara bagian

PENUMPASAN

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha merebut kembali wilayah jajahannya. Mereka
melakukan serangan ke wilayah Indonesia dan karena keunggulan persenjataan dan teknologi, berhasil merebut
banyak wilayah Indonesia.

Setelah menguasai kembali wilayah-wilayah ini, Belanda mendirikan negara-negara federal, seperti Negara
Pasundan, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur, dengan total sebanyak 15 negara bagian dan
daerah otonom.

Pembentukan negara bagian ini adalah upaya Belanda mempertahankan kekuasaannya. Dengan negara-negara
bagian kecil, Belanda lebih mudah mengatur wilayah Indonesia yang diduduki. Belanda mengumpulkan para
pemimpin negara federal ini dalam suatu lembaga yang mereka sebut Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).

Upaya pecah belah Belanda ini tidak berhasil sepenuhnya. Setelah perlawanan besar dari para pejuang, serta
dengan adanya tekanan diplomatis dari PBB dan Amerika Serikat, Belanda setuju untuk berunding dengan Indonesia
dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Sebagai hasil konferensi ini, Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Negara-negara boneka tadi dijadikan negara bagian dan
daerah otonom dari RIS.

Upaya pembentukan RIS dan negara-negara boneka ini dianggap sebagai bentuk pecah belah atau devide et impera
oleh Belanda. Akibatnya, RIS berlangsung kurang dari setahun, karena negara-negara bagian dan daerah-daerah
otonomnya membubarkan diri dan berkambung kembali kepada Indonesia.

Pada konferensi negara federal kedua yang dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1950, akhirnya menyetujui bahwa
pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

G30S/PKI

LATAR BELAKANG

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni
Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya.
PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani
Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden – sekali lagi
dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut
“Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi
birokrat dan militer menjadi wabah.

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata
jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga
menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide
tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal
ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan
“kepentingan bersama” polisi dan “rakyat”. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan “Untuk Ketentraman Umum
Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari “sikap-sikap
sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat
“massa tentara” subjek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan
PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan
tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah
siapapun (milik negara sama dengan milik bersama).

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-
jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka
terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi
demokratis “rakyat”.

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang “perasaan
kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur
masyarakat Indonesia, termasuk para komunis”.

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri.
Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak
lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan
untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata.

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut
Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI
melakukan tindakan tersebut.

Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya
terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal
demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah
tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30
September tersebut).

KRONOLOGI
Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan berita penting. Sekitar pukul
7 pagi memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota RI, Jakarta, telah terjadi “
gerakan militer dalam AD “ yang dinamakan “ Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung,
Komandan Batalion Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno.

Sekitar pukul 13.00 hari itu juga memberitakan “ dekrit no 1” tentang “pembentukkan dewan revolusi Indonesia” dan
“keputusan no.1” tentang “susunan dewan revolusi Indonesia”. Baru dalam siaran kedua ini diumumkan susunan
“komandan”, Brigjen Soepardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Soenardi, dan Ajun komisaris besar polisi
Anwas sebagai “wakil komandaan”.

Pada pukul 19.00 hari itu juga RRI Jakarta menyiarkan pidato radio Panglima Komando TJadangan Strategis
Angkatan Darat, Mayor Jendral Soeharto, yang menyampaikan bahwa gerakan 30 September tersebut adalah
golongan kontra revolusioner yang telah menculik beberapa perwira tinggi AD, dan telah mengambil alih kekuasaan
Negara dari presiden/panglima tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi dan melempar Kabinet DWIKORA ke
kedudukan demisioner.

Latar belakang G30S/PKI perlu ditelusuri sejak masuknya paham komunisme/marxisme-leninisme ke Indonesia awal
abat ke-20, penyusupanya kedalam organisasi lain, serta kaitannya dengan gerakan komunisme intenasional. Dalam
hal-hal yang mendasar dari politik PKI di Indonesia terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari pimpinan gerakan
komunisme internasional.

Membentuk biro khusus di bawah pimpinan Syam Kamaruzman. Tugas biro khusus adalah merancang dan
mempersiapkan perebutan kekuasan. Menuntut dibentuknya angkatan ke-5 yang terdiri atas buruh dan tani yang
dipersenjatai Melakukan sabotase, aksi sepihak, dan aksi teror. Sabotase terhadap transportasi kereta yang
dilakukan aksi buruh kereta api ( Januari-Oktober 1964 ) yang mengakibatkan serentetan kecelakaan kereta api
seperti di Purwokerto, Kroya, Tasikmalaya, Bandung, dan Tanah Abang. Aksi sepihak, misalnya Peristiwa Jengkol,
Bandar Betsy, dan Peristiwa Indramayu. Aksi teror misalnya Peristiwa Kanigoro Kediri. Hal itu dilakukan sebagai
persiapan untuk melakukan kudeta.

Melakukan aksi fitnah terhadap ABRI khususnya TNI-AD yang dianggap sebagai penghambat pelaksanaan
programnya yaitu dengan melancarkan isu dewan jendral.tujuanya untuk menghilangkan kepercayaan terhadap TNI-
AD dan mengadu domba antara TNI-AD dengan presiden soekarno.

Melakukan latihan kemiliteran di lubang buaya pondok gede jakarta. Latihan kemiliteran di lubang buaya .pondok
gede jakarta latihan kemiliteran ini merupakan sarana persiapan untuk melakukan pemberontakan.

Setelah persiapan dianggap matang oleh para pemimpin PKI, maka mereka menentukan pelaksanaannya yaitu 30
September. Gerakan untuk merebut kekuasaan dari pemerintah RI yang sah ini didahului dengan penculikan dan
pembunuhan terhadap jendral jendral TNI-AD yang dianggap anti PKI. Gerakan 30 September 1965 dipimpin oleh
Letnan Kolonel untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal presiden.

Gerakan ini dimulai pada dini hari, tanggal 1 Oktober dengan menculik dan membunuh 6 perwira tinggi dan seorang
perwira muda angkatan darat. Mereka yang diculik dibunuh di Desa Lubang Buaya sebelah selatan Pangkalan Udara
Halim Perdana Kusuma oleh anggota-anggota pemuda rakyat Gerwani dan Ormas PKI yang lain.

Ke-6 jendral yang dibunuh itu adalah Letnan Jendral Ahmad Yani, Mayor Jendral R. Suprapto, Mayor Jendral M. T.
Haryono , Mayor Jendral S. Parman, Brigadir DI Panjaitan, Brigadir Jendral Soetoyo Siswomiharjo. Sementara itu
gerakan 30 september telah berhasil menguasai 2 sarana telekomunikasi yakni studio RRI dan kantor PN
telekomunikasi.

PENUMPASAN

Dalam situasi yang tidak menentu pimpinan angkatan darat diambil alih oleh Panglima Kostrad Mayor Jendral
Soeharto. Ia melakukan konsolidasi pasukan TNI yang masih setia kepada pemerintahan. Dengan kekuatan ini,
Mayor Jendral Soeharto melakukan serangkaian operasi penumpasan G30S/PKI.
Setelah merebut kembali stasiun telekomunikasi RRI, Mayor Jendral Soeharrto menjelaskan melalui siaran radio
bahwa telah terjadi penghianatan yang dilakukan Gerakan 30 September/PKI. Mereka telah menculik beberapa
perwira TNI AD. Lebih lanjut Mayjen soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno dan Jendral A. H. Nasution
dalam keadaan sehat dan situasi Jakarta telah dikendalikan.

Langkah selanjutnya adalah merebut Bandara Halim Perdana Kusuma yang diduga sebagai pusat Gerakan 30
September/PKI. Dalam waktu singkat tempat ini dapat dikuasai pasukan RPKAD. Dari bukti-bukti yang telah
dikumpulkan ABRI dan masyarakat menyimpulkan bahwa dibalik Gerakan 30 September/PKI ini telibat PKI. Maka
dimulailah operasi pengejaran terhadap anggota PKI ini.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, beberapa tempat penting seperti RRI dan Telkom telah dapatdiambil alih oleh pasukan
RPKAD tanpa pertumpahan darah.

Pada hari yang sama, Mayjen Soeharto mengumumkan beberapa hal penting berikut melalui RRI.

1) Penumpasan G 30 S/PKI oleh angkatan militer.

2) Dewan Revolusi Indonesia telah demisioner.

3) Menganjurkan kepada rakyat agar tetap tenang dan waspada.

Pada tanggal 2 Oktober 1965 pasukan RPKAD berhasil menguasai kembali Bandara Halim Perdanakusuma. Pada
tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk anggota polisi yang bernama Sukitman berhasil ditemukan sumur tua yang
digunakan untuk menguburkan jenazah para perwira AD. Pada tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para Jenderal AD
dimakamkan dan mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Untuk menumpas G 30 S/PKI di Jawa Tengah, diadakan operasi militer yang dipimpinoleh Pangdam VII, Brigadir
Suryo Sumpeno. Penumpasan di Jawa Tengah memakan waktu yang lama karena daerah ini merupakan basis PKI
yang cukup kuat dan sulit mengidentifikasi antara lawan dan kawan. Untuk mengikis sisa-sisa G 30 S/PKI di
beberapa daerah dilakukan operasi-operasi militer berikut. Operasi Merapi di Jawa Tengah oleh RPKAD di bawah
pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Operasi Trisula di Blitar Selatan dipimpin Kolonel Muh. Yasin dan Kolonel
Wetermin. Akhirnya dengan berbagai operasi militer, pimpinan PKI D.N Aidit dapat ditembak mati diBoyolali dan
Letkol Untung Sutopo ditangkap di Tegal.

Situasi politik semakin memanas bahkan mencekam karena tuntutan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI
belum terpenuhi. Keadaan ekonomi memburuk, rakyat mulai sulit mendapatkan kebutuhan pokok. 13 Januari 1966
harga bahan bakar minyak naik mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa di segala bidang naik. Kemudian
terjadi devaluasi uang (1000) lama menjadi (1) baru. Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI:

Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur
sebagai kekuatan politik di Indonesia. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar. Secara sosial
telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya
melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.

Anda mungkin juga menyukai