APRA adalah singkatan dari Angkatan Perang Ratu Adil. Pemberontakan yang dilakukan
APRA terjadi pada 23 Januari 1950 di Bandung. Pemeberontakan APRA ini menjadi tragedi
politik ideologis nasional yang dipimpin oleh bekas perwira KNIL Raymond Westerling dan
memiliki 800 serdadu bekas KNIL. Latar belakang pemberontakan APRA sendiri APRA tidak
menyetujui rencana pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil konferensi Meja
Bundar di Den Haag tahun 1949, hal ini juga dipicu oleh adanya friksi dalam tubuh Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang terjadiantara pendukung unitaris (TNI)
dengan pendukung federalis (KNIL/KL), Mempertahankan serdadu Belanda dalam sistem
federal, dan Keinginan Belanda mengamankan kepentingan ekonomi negara mereka di
Indonesia. Salah satu upaya Westerling untuk mencapai tujuannya adalah dengan menculik
dan membunuh menteri – menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) yang saat itu tengah
bersidang di Jakarta.
Pada pertengahan November 1949, muncul seorang tokoh militer Belanda, Raymond Pierre
Westerling, yang mulai menyusun kekuatan dengan menarik anggota KNIL yang
didemobilisasikan.
Bebas dari tugas militer, Westerling justru membentuk gearakan dengan nama Ratu Adil.
Dengan nama ini gerakan Westerling semakin mendapat simpati rakyat. Dalam waktu yang
realtif singkat, ia telah berhasil mengumpulkan modal dan pengikut sebanyak 8.000 orang
termasuk para bekas pasukan Belanda.
Tidak lama setelah APRA dibentuk, Westerling mengajukan ultimatum kepada Pemerintah
RIS agar kekuasaan militer daerah Pasundan diserahkan sepenuhnya kepada APRA. Ia
menilai TNI kurang mampu menjalankan tugas itu dan meminta agar APRA dijadikan
pasukan resmi.
Pemerintah RIS menganggap ultimatum itu sebagai sebuah kekonyolan. Oleh karena itu,
Westerling mulai berusaha merebut kekuasaan dengan kekerasan..
Setelah menyusun rencana, APRA mulai bergerak di sekitar Cililin, di bawah pimpinan dua
orang Inspektur Polisi Belanda. Gerakan APRA yang terdiri dari sekitar 800 orang di
antaranya 300 anggota KNIL bersenjata lengkap menyerang kota Bandung pada pagi hari
tanggal 23 Januari 1950.
Selain ke Bandung, gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Di daerah ini, Westerling
mengadakan kerjasama dengan Sultan Hamid II yang menjadi menteri negara tanpa
portofolia di dalam kabinet RIS.
Supaya publik tertipu, Sultan Hamid II juga akan ditembak di tangan atau kakinya agar orang
mengira bahwa ia juga termasuk yang akan dibunuh Westerling. Sultan Hamid II dijanjikan
oleh Westerling akan dijadikan Menteri Pertahanan jika rencana itu sukses.
Akan tetapi berkat kesigapan APRIS, usaha APRA di Jakarta juga menemui kegagalan.
Meskipun demikian Westerling dengan gerombolannya masih terus mencoba untuk
mencapai tujuannya. Tetapi usahanya tetap berujung pada kegagalan.
Sementara itu, Westerling yang melihat indikasi kegagalan rencananya, memilih melarikan
diri dengan pesawat Catalina Angkatan Laut Belanda ke Singapura pada 22 Februari 1950. Di
Singapura, Westerling justru ditahan polisi setempat dengan tuduhan telah memasuki wilayah
itu tanpa izin.
Westerling menjalani hukuman selama satu bulan di Singapura. Pemerintah Indonesia
berusaha menuntut agar buronannya tersebut diserahkan kepada Indonesia. Namun, tuntutan
itu ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris, dengan alasan bahwa RIS tidak punya
perjanjian dengan Inggris tentang hal itu.
Sementara itu Sultan Hamid II yang ikut serta dalam rencana makar tersebut baru tertangkap
pada 5 April 1960.