Anda di halaman 1dari 13

Pemberontakan PRRI dan Permesta

Kelompok 7

Disusun oleh:
- Andi Tenri Awaru (07)
- Nurul Afifa Riska Supriono (28)
- Maryam Husain (14)
- Nihayathul Khoriyah Rachmat (21)
- Zahra Istiana (35)

UPT SMAN 11 PANGKEP


TAHUN AJARAN 2022-2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul " Pemberontakan PRRI dan Permesta,”

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhsin selaku guru Mata pelajaran
Sejarah Indonesia yang telah membantu penulis dalam mengerjakan karya ilmiah dalam bentuk
makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dalam pembuatan karya ilmiah ini.

Karya ilmiah ini memberikan pemahaman sejarah Indonesia mengenai Pemberontakan PRRI dan
Permesta. Bertujuan agar pembaca dapat memahami apa yang telah tertuang pada karya ilmiah
ini.

Penulis menyadari ada kekurangan pada karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik
senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah
ini mampu memberikan pengetahuan tentang Pemberontakan PRRI dan Permesta.

Pangkep, 29 juli 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Selama ini kita mengenal PRRI (pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
sebagai suatu pemberontakan yang merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesian (NKRI). Selama ini kita diajarkan untuk menganggap apapun kekuatan yang
mengganggu gugat kekuasaan negara dianggap sebagai suatu pemberontakan yang
mutlak dianggap salah. Kita tidak pernah melihat ada apa dibalik pemberontakan tersebut
dan apa yang menyebabkannya muncul. Selama ini kita hanya disuguhi suatu doktrin
yang menganggap semua gerakan yang memprotes dan tidak sejalan dengan kebijakan
pemerintah pusat dianggap sebagai suatu gerakan makar.
Ini juga terjadi pada gerakan PRRI. Selama ini kita tidak tahu atau tepatnya
kurang peduli ada apa dibalik munculnya gerakan ini dan mengapa kita mengenalnya
hanya sebagai pemberontakan yang membahayakan kedaulatan NKRI. Adakah suatu
permainan dibalik ini, apakah PRRI benar-benar sebagai suatu gerakan pemberontakan
ataukah PRRI merupakan suatu perjuangan bangsa untuk menegakkan demokrasi. Semua
itu masih menjadi bahan perdebatan dari kalangan-kalangan yang memiliki suatu
pandangan yang berbeda.

B. PERUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang PRRI yang selama ini kita
anggap mutlak sebagai suatu pemberontakan. Kita akan membahas apakah benar PRRI
adalah pemberontakan. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
1) Bagaimana PRRI/Permesta muncul?
2) Bagaimana reaksi Pemerintah Pusat pada keberadaan PRRI?
3) Dapatkah PRRI dianggap sebagai suatu pemberontakan?
4) Apa tujuan dan tokoh pemberontakan PRRI/Permesta?
5) Bagaimana dampak dan akhir dari pemberontakan PRRI/Permesta?

C. TUJUAN
Untuk memperjelas arah rumusan masalah karya ilmiah ini, dituliskan tujuan sebagai
berikut :
1) Untuk mengetahui PRRI/Permesta muncul.
2) Untuk mengetahui reaksi Pemerintah Pusat pada keberadaan PRRI.
3) Untuk mengetahui PRRI dapat dianggap sebagai suatu pemberontakan.
4) Untuk mengetahui tujuan dan tokoh pemberontakan PRRI/Permesta.
5) Untuk mengetahui dampak dan akhir dari pemberontakan PRRI/Permesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Munculnya PRRI/Permesta
PRRI/Permesta kerap disebut sebagai pemberontakan dalam sejarah usai
pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, tepatnya sejak 1957. PRRI
singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sedangkan Permesta berarti
Perjuangan Rakyat Semesta. Berdasarkan catatan Abdurakhman dan kawan-kawan dalam
buku Sejarah Indonesia (2015), latar belakang pemberontakan PRRI/Permesta adalah rasa
ketidakpuasan dari angkatan militer di daerah terhadap pusat, terutama muncul dari
Sumatera dan Sulawesi. Situasi kian pelik karena beberapa tokoh militer di daerah-daerah
tersebut mulai menunjukkan ketidakpatuhan kepada pimpinan pusat. Bahkan, urusan ini
semakin serius ketika tuntutan-tuntutan otonomi daerah mulai diajukan. Pemerintah pusat
dianggap tidak adil kepada warga sipil dan militer soal pemerataan dana pembangunan.
Hal tersebut menyebabkan terbentuknya beberapa dewan perjuangan daerah pada kurun
waktu Desember 1956 hingga Februari 1957.

Dikutip dari Prajurit-Prajurit di Kiri Jalan (2011) yang ditulis Petrik Matanasi,
PRRI dibentuk di Padang, Sumatera Barat, tanggal 15 Februari 1958. Sedangkan
Permesta berdiri pada 2 Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, tak lama
kemudia, pusat Permesta dipindahkan ke Manado, Sulawesi Utara.

Munculnya PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah


suatu reaksi dari bangsa Indonesia atasa ketidak puasan pada pemerintah pusat.
Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatra pada akhirnya 1956. Pada awal 1957, muncul
Dewan Banteng di Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) dipimpin Letkol Ahmad
Husein, Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin Kolonel M Simbolon dan Dewan
Garuda di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Barlian kesemuanya tergabung dalam
PRRI.

Dewan-dewan ini lahir sebagai reaksi dari situasi bangsa dan negara ketika itu.
Awal pemberontakan PRRI di Sumatra Tengah terjadi menjelang pembentukan Republik
Indonesia Serkat (RIS) pada tahun 1949. Penciutan Divisi Banteng pada Oktober 1949
menjadi satu brigade terdiri atas batalyon batalyon besar di Sumatra Tengah. Akibatnya
sejumlah prajurit terpaksa pulang kampung termasuk Ahmad Husein. Selain itu,
pembangunan di Sumatra Tengah terasa sangat lambat dan menghadapi masalah.

Keadaan ini juga menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang
masih bertugas. Selain itu juga menggugah berbagai tokoh politik dan sastra yang pernah
bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan ini melahirkan gagasan mencari
penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21 September 1956 di kompleks
perumahan Persari milik Jamaludin Malik di Jakarta. Kemudian disusul dengan reuni di
Padang 11 Oktober 1956 dan menyusul pertemuan-pertemuan yang lain. Reuni divisi
Banteng ini menghasilkan keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah negara
terutama perbaikan progressive di tubuh angkatan darat diantaranya adalah dengan
menetapkan peabat-pejabat daerah yang jujur dan kreatif, menuntut agar diberi otonomi
luas untuk daerah Sumatra tengah serta menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng
Sumatra Tengah yang diciutkan menjadi kesatuan pelaksana Proklamasi sebagai satu
korps dalam angkatan darat.

Pada tanggal 22 Desember 1956 Kolonel Simbolon pemimpin Dewan Gajah


melalui RRI Medan mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan dengan
pemerintah pusat. Ia mengubah nama kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan.
Dia melihat pada permasalahan kesejahteraan danb perumahan prajurit yang sangat
memprihatinkan. Karena keterbatasan dana dari pusat maka Kolonel Simbolon mencari
jalan sendiri membangun asrama dan perumahan prajurit. Dia mencari dana sendiri
namun sayang cara yang digunakan adalah cara illegal. Dia menjual secara illegal hasil
perkebunan di wilayah Sumatra Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk
Nibungh di Muara Sungai Asahan Tanjung Balai. Namun, pers ibukota memberitakan
penyulundupan itu dan kasad memerintahkan pemeriksaan pada ksus ini. Kasad pun
bermaksud menggantikan panglima TT I Bukit Barisan dengan kolonel Lubis. Melihat
situasi yang gawat, simbolon mengadakan rapat perwira yang disebut "Ikrar 4 Desember
1956". Pada 27 Desember 1956 subuh, simbolon menerima berita ada pasukan yang
diperintahkan menangkapnya. Dengan perlindungan dari Batalyon 132 dibawah Kapten
Sinta Pohan, dia bergerak ke Tapanuli bergabung dengan Resimen III Mayor J Samosir.

Di Sumatra Selatan Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan


pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah tersebut. Ini berlangsung menjelang
Musyawarah Nasional September 1957 dan melahirkan Piagam Palembang sebagai dasar
perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun sebenarnya dalam tubuh Dewan
garuda terjadi keretakan. Dewan Garuda bersifat mendua. Ini disebabkan tokoh-tokoh
militer masih berhubungan dengan kasad sehingga segala perkembangan Dewan garuda
Dapat diketahui oleh pemerintah pusat di Jakarta. Tetapi dilain fihak Dewan Garuda juga
memihak pada dewan Banteng. Keretakan ini juga mengakibatkan pada saat konflik
bersenjata antara PRRI dengan pemerintash pusat Dewan Garuda memihak pada
pemerintah Pusat.
PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda.
Dewan Perjuangan PRRI membentuk Kabinet baru, Kabinet Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini berlangsung saat Persiden
Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang Pada tanggal 10 Februari 1958 sebuah Dewan
Perjuangan melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan "Piagam Jakarta" yang berisi
sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Persiden Soekarno agar "bersedia kembali kepada
kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar
UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan...". Tuntutan
tersebut diantaranya adalah:
1) Supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya pada
Persiden.
2) Agar pejabat persiden Sartono membentuk kabinet baru Zaken kabinet nasional
yang bebas dari pengaruh komunis dibawah Mohammad Hatta dan
Hamengkubuwono IX
3) Agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilihan
umum yang akan dating.
4) Agar Persiden Soekarno membetasi diri menurut konstitusi.
5) Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.
Tuntutan-tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Reaksi dari PRRI adalah dengan
mengumumkan pendirian Pemerintahan Tandingan yaitu Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) lengkap dengan kabinetnya pada tanggal 15 Februari 1958.
Susunan Kabinet PRRI adalah sebagai berikut:
1. Syarifuddin Prawira negara sebagai perdana mentri dan mentri keuangan
2. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri.
3. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman.
4. Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran.

B. Reaksi Pemerintah Pusat pada keberadaan PRRI


Tuntutan Dewan Perjuangan ini dikumandangkan saat Persiden Soekarno sedang tidak
ada di tempat Beliau sedang berada di Tokyo, Jepang. Maka Kabinet Djuanda segera mengambil
keputusan. Tuntutan PRRI ini ditolak dan sehari setelah pengambilan keputusan, keputusan
disiarkan melalui radio dan perintah-perintah selanjutnya dikeluarkan yakni semua tuntutan
Dewan Perjuangan ditolak dan sejalan dengan itu diambil keputusan memutuskan hubungan
darat dan udara dengan Sumatra. Kemudian diikuti dengan pembekuan komando militer di
Sumatra (TTI Sumatra Utara dan TT II Sumatra Selatan) dan seterusnya.
Setelah Persiden Soekarno kembali dari luar negri pada 16 Februari 1958 Persiden
Soekarno menyatakan "Kita harus menghadapi penyelewengan tanggal 5 Februari 1958 di
Padang dengan segala kekuatan yang ada pada kita". Diputuskan akan menggunakan kekerasan
senjata untuk menghadapi Dewan Kabinet PRRI. Persiden Soekarno memerintahkan untuk
menangkap tokoh tokoh PRRI. Hubungan darat maupun udara dengan Sumatra Tengah
dihentikan.

Tidak semua tokoh dalam pemerintah pusat setuju dengan keputusan ini. Salah seorang
yang menentang keputusan ini adalah Mohammad Hatta. Sebagai Wakil Persiden dia muncul ke
depan menentang keputusan ini. Dia mengirim utusan ke Padang untuk menemui Ahmad Husein
dan meminta agar Dewan Banteng menghindari konflik bersenjata dengan pemerintah pusat
namun entah mengapa utusan ini tidak pernah sampai ke Padang. Karena pengiriman utusan
gagal maka Mohammad Hatta berusaha untuk mendekati Persiden Soekarno agar mengurungkan
niatnya agar tidak meletus perang saudara Namun usaha ini juga gagal. Pada tanggal 20 dan 21
Februari 1958 serangan ke Padang dimulai. Serangan dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani
dengan diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus. PRRI mendapat dukungan
rakyat Sumatra Tengah.

Serangan dilaksanakan. Pemerintah pusat menyerantg Padang. Padang dijatuhi bom-bom


yang mengakibatkan kota ini hancur. Banyak rakyat padang yang mengungsi ke daerah Solok
dengan membawa barang-barang seadanya yang dapat ibawa. Tokoh-tokoh PRRI ditangkap.
PRRI mendapat dukungan Permesta. Akhimya PRRI dapat ditumpas. Setelah PRRI berhasil
ditumpas maka untuk mencegah munculnya pemberontakan serupa Suprapto diangkat menjadi
Deputi Republik Indonesia Staf Angkatan Darat Untuk Wilayah Sumatra yang bermarkas di
Medan. Peristiwa ini meninggalkan trauma bagi rakyat Sumatra.

C. Antara Perjuangan dan Pemberontakan


Batas antara benar dan salah sangatlah tipis, tergantung dari sudut pandang mana kita
melihat. Demikian juga batas antara perjuangan dan pemberontakan. Mungkin akan lebih mudah
bila kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Perkara seakan-akan terlihat jelas dan
mutlak. Namun masalah akan muncul saat kita melihatnya dari berbagai sudut pandang. Bisa
saja pendapat satu dengan pendapat yang lain dapat berbeda. Demikian juga dalam perjuangan
dan pemberontakan. Jika kita melihat hanya dari satu sudut pandang saja akan mudah
menentukan suatu gerakan sebagai pemberontakan maupun perjuangan. Namun jika kita
melihatnya dari berbagai sudut pandang akan sangat sulit menentukan apakah itu suatu
perjuangan atau pemberontakan.
Keadaan ini juga muncul dalam kajian tentang gerakan PRRI. Dari sudut pandang
pemerintah pusat jelaslah itu suatu pemberontakan namun jika kita melihatnya dari sudut
pandang PRRI kita akan melihatnya sebagai suatu perjuangan.

PRRI adalah hasil akumulasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat dan juga
kekecewaan anggota resimen 6 Divisi IX Banteng yang dibonsaikan oleh pemerintah pusat.
PRRI menganggap terjadi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa Keadaan ini
menimbulkan kekecewaan dalam diri perwira-perwira PRRI. Namun sebenarnya kesenjangan ini
dapat difahami memngingat umur RI yang masih tergolong muda untuk suatu negara pada saat
itu tidaklah mungkin untuk melakukan pembangunan secara merata pada seluruh wilayah
Indonesia. Selain keterbatasan waktu, keterbatasan dana juga mempengaruhi kesenjangan ini.

Karena perekonomian RI pada masa itu masih lemah maka RI terfokus terlebih dahulu
pada Jawa sebagai pusat pemerintahan Indonesia. Jadi alasan ini kurang tepat digunakan PRRI
untuk melegalkan gerakannya, apalagi pada masa itu masih ada daerah-daerah di Jawa yang
belum tersentuh pembangunan. Selain itu pemberontakan PRRI muncul karena terjadi penciutan
divisi Banteng menjadi satu brigade. Sebenarnya penciutan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah
pusat menganggap jumlah prajurit pada waktu itu di Indonesia terlampau banyak sehingga
pemerintah tidak dapat mendanainya maka diperlukan adanya perampingan jumlah prajurit.

Kurang bijak jika PRRI menggunakan alasan ini untuk melakukan gugatan pada
pemerintah. Namunm kesalahan Pemerintah pusat adaklah mengapa pemerntah pusat menghapus
komando dari divisi Banteng. Padahal selama ini di daerah Sumatra Barat divisi inil;ah yang
terbesar dan sangat berjasa bagi perjuangan Indonesia. Seharusnya Pemerintah Pusat tetap
mempertahankan komando dari Divisi Banteng ini walaupun jumlahnya diperkecil Dengan
demikian akan dapat mewngurangi konflik yang akan muncul.

Alasan lain dari munculnya PRRI ini adalah pelanggaran konstitusi oleh pemerintah
pusat dan Persiden Soekarno. Alasan ini lebih relevan jika digunakan oleh PRRI untuk
melegalkan gerakannya, mengingat Persiden Soekarno yang melakukan eksperimen politik untuk
menemukan bentuk pemerintahan yang cocok dengan bangsa Indonesia. Namun Persiden
Soekarno tidak sadar bahwa berganti-gantinya bentuk pemerintahan ini tidak sepenuhnya dapat
diikuti oleh bangsa Indonesia sehingga terjadi berbagai pelanggaran pada UUD 1945 sebagai
dasar bangsa Indonesia Merdeka. Pelanggaran-pelanggaran inilah yang memunculkan ketidak
puasaan daerah.

Muncul keinginan daerah untuk meluruskan kembali pemerintah pusat schuinggta


muncul gerakan-gerakan. Keadaan menjadi semakin parah dengan merasuknya pengaruh
komunis dalam pemerintah pusat yang terlihat dalam faham nasakom yang dicanangkan oleh
Persiden Soekarno.

Keadaan inilah yang menjadikan gerakan PRRI muncul. PRRI sangat anti pada komunis.
PRRI menyampaikan tuntutannya dalam Piagam perjuangan. Tuntutan-tuntutan tersebut bersifat
memaksa maka pemerintah pusat menganggapnya sebagai ultimatum, namun PRRI tidak
menganggap tuntutan tersebut sebagai ultimatum. Dari kalimat "Apabila tuntutan diatas tidak
dipenuhi dalam tempo 5×24 jam, maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan
sendiri" terlihat bahwa tuntutan ini bersifat memaksa dan tepat jika dikatakan sebagai sebuah
ultimatum, walaupun PRRI tidak mengakuinya. Daerah berani mengultimatum pemerintah pusat
itu sudah merupakan pemberontakan pada kekuasaan pusat. Maka pemerintahpun bereaksi keras.
Namun reaksi pemerintahpun kurang bijak. Harusnya pemerintah pusatpun harus instropeksi diri
terlebih dahulu. Pemerintah pusat hanya melakukan sedikit usaha damai yang tidak ada artinya
sama sekali sehingga pnumpasanpun dilaksanakan.

Disini dapat kita lihat fihak sentral yang bertikai adalah pemerintah pusat dan daerah.
Ketidakpuasan daerah pada kebijakan pusat mengakibatkan kekecewaan yang mendalam dalam
diri daerah. Ketika kekecewaan daerah memuncak. Daerah berani mengajukan tuntutannya pada
pusat yang bersifat ultimatum. Jelaslah pemerintah pusat menganggapnya sebagai
pemberontakan. Apalagi PRRI berani mendirikan pemerintah tandingan lengkap dengan susunan
kabinetnya. Pembentukan pemerintah tandingan ini juga sebagai salah satu tanda suatu
pemberontakan. Tidak ada dalam satu negara memiliki dua pemerintah pusat. Hanya ada satu
pemerintah yang syah sedangkan sisanya ilegal. Ini merupakan suatu usaha kudeta. Jelaslah ini
suatu pemberontakan pada pemerintah pusat.

Namun jika gerakan ini disebut sebagai pemberontakan tampaknya juga kurang tepat.
Jika ini suatu pemberontakan maka mereka akan berusaha untuk membentuk pemerintahan baru
dan menggulingkan Sang Penguasa. Namun disini PRRI tidak berusaha untuk menggulingkan
Pesiden Soekarno. Tepatkah gerakan ini dianggap sebagai gerakan pemberontakan. Apalagi
gerakan ini tidak hanya berasal dari golongan politik dan militer saja tetapi juga berasal dari
golongan-golongan lain misalnya golongan pendidikan. Gerakan ini hanya berusaha untuk
memperbaiki keadaan Indonesia, meluruskan pemerintah pusat agar sejalan dengan cita-cita
bangsa Indonesia merdeka.

Pada masa sebelumnya di Wilayah Sumatra tengah inilah Indonesia dapat


mempertahankan kemerdekaannya dari tangan pemerintah Hindia Belanda yang berusaha
merangkul kembali Indonesia menjadi Negara jajahannya. Di daerah inlah dibentuk Pemrintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengisi kevakuman pemerintah Pusat di Yogyakarta
sehingga Republik Indonesia tetap memiliki pemerintahan sendiri walaupun para pemimpinnya
sedang ditahan sehingga Indonesia tetap merdeka. Dengan perannya selama ini Padang masih
merasa memiliki hak untuk melakukan koreksi pada pemerintah pusat. Dengan demikian PRRI
merasa memiliki hak untuk mengkoreksi Pemerintah Pusat yang kebijakannya dianggap salah
oleh PRRI. PRRI merasa apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan hukum dan bukan
merupakan suatu pemberontakan.

PRRI hanya menginginkan perbaikan dalam tubuh pemerintah dan tentara yang
menurutnya tidak adil dan telah terkontaminasi oleh faham-faham komunis. Dilihat dari sini kita
akan melihat bahwa PRRI merupakan suatu perjuangan untuk melaksanakan cita-cita bangsa
Indonesia untuk menjadi bangsa yang demokratis yang memiliki pemerintahan yang adil. Hanya
saja Pemerintah Pusat beranggapan lain. Pemerintah Pusat menganggap Padang tidak lagi
memiliki hak untuk mengkoreksi pemerintah pusat. Jika ingin mengkoreksi ada jalur tersendiri.
Rakyat bisa menyalurkannya lewat wakil wakilnya, namun pada masa itu jalur itu memang
kurang dapat berjalan dengan baik. Akibatnya pemerintah pusat menganggap gerakan ini sebagai
gerakan pemberontakan Anggapan ini diperkuat dengan indikasi adanya bantuan Amerika
Serikat pada PRRI (walau saat pergolakan terjadi bantuan dihentikan). Tanpa berpikir panjang
Pemerintah Pusat melakukan penumpasan.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dari sudut pandang yang berbeda akan
diperoleh jawaban yang berbeda pula Dari sudut pandang pemerintah pusat PRRI jelaslah
sebagai suatu pemberontakan. Jika dilihat dari sudut pandang PRRI maka PRRI merupakan
sebuah perjuangan.
D. Tujuan dan tokoh pemberontakan PRRI/Permesta
Puncak pemberontakan PRRI/Permesta ditandai dengan persetujuan dari Letnan Kolonel
Achmad Husein terkait berdirinya PRRI dan pembentukan kabinet dengan Sjafruddin
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Proklamasi berdirinya PRRI disambut meriah di
Indonesia bagian Timur. Sementara itu, Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer
Sulawesi Utara dan Tengah memutus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan mendukung PRRI.
Dari ketidakpuasan tersebut, terjadi pembentukan dewan perjuangan yaitu:
1. Dewan Banteng yang dipimpin Letkol Ahmad Husein di wilayah Sumatera Barat
2. Dewan Gajah yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon di wilaya Sumatera Utara
3. Dewan Garuda yang dipimpin Letkol Barlian di wilayah Sumatera Selatan
4. Dewan Manguni yang dipimpin Kolonel Ventje Sumual di Sulawesi.

Pada 12 Februari 1958, Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng, memproklamasikan


pendirian PRRI, dengan didukung dua dewan perjuangan lainnya. Syafruddin Prawiranegara
menjadi Perdana Menteri PRRI. Di Sulawesi, Permesta telah berdiri sebelumnya, yakni tanggal 2
Maret 1957. Permesta menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud melawan pemerintah RI,
melainkan hanya menginginkan pemerataan kesejahteraan wilayah timur Indonesia. Ventje
Sumual, salah satu tokoh sentral Permesta, menegaskan bahwa tidak ada kata-kata yang merujuk
pada upaya memerdekakan diri. “Permesta bukan pemberontakan, melainkan suatu deklarasi
politik," tandas Ventje Sumual dikutip dari Tempo (April 2009). Meskipun pembentukan
Permesta beriringan dengan PRRI di Sumatera Barat, namun Ventje Sumual menyangkal
keterkaitan antara keduanya. “Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang
pemberontakan. Tapi Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur,”
elaknya.

Tokoh PRRI Sjafruddin Prawiranegara, Assaat Dt. Mudo, Dahlan Djambek, Maludin
Simbolon, Ahmad Husein, Barilan, Soemitro Djojohadikoesoemo, Muhammad Sjafei, Saladin
Sarumpaet, Muchtar Lintang, Abdul Gani Usman, Dahlan Djambek.

Tokoh Permesta Ventje Sumual, Jan Willem Gerungan, Alex Kawilarang, Saleh Lahade,
Andi Abdul Muis, Lukas J. Palar, Samuel Karundeng, Daniel Julius Somba, Joop Warouw.
E. Dampak dan akhir dari pemberontakan PRRI/Permesta

Aksi PRRI/Permesta dianggap sebagai bentuk pemberontakan oleh pemerintah pusat yang
kemudian segera membentuk operasi penumpasan. Pemerintah membentuk operasi gabungan
dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Perang RI (APRI) untuk
menyelesaikan pemberontakan PRRI/Permesta. Operasi penyelesaiaan diantaranya yaitu,
Operasi Tegas yang dipimpin Letkol Kaharudin Nasution. Lalu Operasi 17 Agustus yang
dipimpin Kolonel Ahmad Yani, Operasi Saptamarga yang dipimpin Jatikusumo dan Operasi
Sadar yang dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo.

Tentara APRI melakukan berbagai macam tindak kekerasan untuk menumpas gerakan PRRI.
Ribuan orang ditangkap paksa akibat keterlibatan atau dicurigai sebagai simpatisan
PRRI/Permesta. Gerakan ini menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya yaitu:

- Memakan korban jiwa hingga 22.174 jiwa, 4.360 luka, dan 8.072 orang tawanan
- Kondisi ekonomi terganggu dan muncul inflasi deflasi
- Terjadi perpecahan antara hubungan persaudaraan di daerah
- Kurangnya bahan makanan
- Pimpinan NKRI menyadari akan ancaman konflik perbedaan di berbagai wilayah
- Saat terjadi kerusuhan, sejumlah SMP, SMA, hingga universitas terpaksa ditutup sementara
karena hampir semua dosen dan mahasiswa terlibat PRRI

Di tahun 1961 Presiden Sukarno memberi kesempatan pada anggota pemberontakan


PRRI/Permesta untuk berdamai dan diberikan amnesti yang tertuang dalam Surat Keputusan
Presiden No. 322 Tahun 1961.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Awal tahun 1957 muncul Dewan Banteng, Dewan Gajah dan Dewan Garuda semuanya
bergabung dalam PRRI. Awal pemberontakan ini mulai muncul menjelang pembentukan RIS
pada tahun 1949. Ini terjadi saat Divisi banteng diciutkan. Faktor lain yang mendorong
munculnya pemberontakan ini adalah kesenjangan pusat dan daerah selain itu juga adanya
pengaruh PKI dalam pemerintah pusat yang menimbulkan kekecewaan daerah yang bereaksi
menjadi suatu pemberontakan. PRRI tidak mengakui Dewan Djuanda. PRRI membentuk
Dewan Revolusioner yang mengajukan tuntutan pada pemerintah pusat yang kemudian
ditolak. PRRI membentuk Pemerintahan tandingan lengkap dengan kabinetnya. PRRI
memperoleh dukungan rakyat dan permesta. Pada gerakan ini pemerintah pusat bereaksi
keras. Pemerintah pusat melakukan penumpasan. Akibatnya timbul trauma dalam masyarakat
Sumatra teryutama Padang.

Sebenarnya gerakan ini merupakan reaksi dari kekecewaan daerah pada pusat. Ini karena
pemerintah pusat memfokuskan pembangunannya di pulau Jawa. Selain itu juga terjadi
pengurangan jumlah tentara dan PKI telah merasuk dalam pemerintah pusat. Keadaan ini
diperparah dengan pelanggaran konstitusi oleh pejabat-pejabat di dalam pemerintah pusat
tidak terkecuali Persiden Soekarno. Dengan perannya sebelumnya sebagai daerah dimana
PDRI berada maka PRRI merasa memiliki hak untuk melakukan koreksi pada pemerintah
pusat walaupun sebenarnya pemerintah pusat tidak lagi beranggapasn seperti itu. Walaupun
alasan dari gerakan ini benar namun jalan yang digunakan PRRI kurang tepat. PRRI
menuntut pada pemerintah dengan nada paksaan sehingga tuntutannya lebih bersifat
ultimatum. Ini menimbulkan kesan PRRI adalah sebuah pemberontakan. Namun begitu PRRI
kurang tepat jika dikatakan sebagai pemberontakan karena PRRI tidak bertujuan untuk
menggulingkan pemerintah pusat namun hanya ingin melakukan perbaikan pada diri
pemerintah pusat.

B. Saran

Dalam menyikapi gerakan ini kita harus lebih bijaksana. Usahakan jalan damai untuk
menyelesaikannya. Pemerintah harus instrospeksi diri, apa yang salah dalam
pemerintahannya lalu memperbaikinya. Namun PRRI juga harus memahami keadaan Negara
jadi PRRI jangan terlalu menuntut pada pemerintah jika keadaan kurang memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA
G. Moedjanto, M.A, Drs. 1988. Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan Pertama
Kemerdekaan Pertama Sampai PELITA III. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Syamdani. 2001.
Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai