Anda di halaman 1dari 2

Bermula dari kekecewaan serta ketidakpuasan beberapa kalangan daerah atas kebijakan pemerintah pusat pada kala itu

menimbulkan beberapa pemberontakan dari berbagai kelompok seperti PRRI Permesta, APRA, Andi Aziz, serta RMS.
Didalangi oleh pemerintahan belanda dengan menjalankan orang-orang Indonesia sebagai kaki dan tangannya. Bertujuan
utama untuk mempertahankan hak-haknya yang semula ditambah itikad licik dari pihak Belanda, mereka meluncurkan
serangan pemberontakan kepada pihak pemerintah Republik Indonesia. Bertepatan dengan kurang stabilnya pemerintahan
Indonesia saat itu, tidak menghalangi upaya pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas beberapa kalangan kelompok
tersebut.

Yang pertama yakni terdapat pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang terjadi di
Sumatera dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) terjadi di Sulawesi pada tahun 1956 hingga 1958. Pada
pemberontakan ini sebagian perwira tentara di Sumatera dan Sulawesi membentuk dewan-dewan revolusi dan merebut
kekuasaan dari pemerintah pusat. Pemberontakan ini dilandasi kekecewaan para politis dan perwira di daerah atas
kebijakan pemerintah pusat Republik Indonesia yang berbasis di Jakarta. Pemerintah pusat dianggap terlalu
mengistimewakan pulau Jawa dibanding pulau luar. Selain itu kebijakan pemerintah pusat dianggap terlalu sentralistis dan
tidak memperhatikan kepentingan daerah. Kedekatan presiden Sukarno dengan PKI juga membuat para perwira dan polisi
di daerah tidak senang, karena mereka banyak yang sangat anti komunis dan pro barat. Pemberontakan PRRI Permesta ini
bisa dilumpuhkan setelah operasi militer yang dipimpin Jenderal Ahmad Yani dan Nasution merebut kota besar basis
pendukung PRRI dan Permesta. Sisa pemberontak menyerahkan diri setelah pemerintah pusat memberikan amnesti atau
pengampunan pada bekas pemberontak

Kemudian yang kedua terdapat peristiwa Andi Azis. Berawal dari tuntutan kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal
dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS
di Negara Indonesia Timur (NIT). Ketika akhirnya tentara Indonesia yang didatangkan ke Sulawesi Selatan dengan tujuan
memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di kalangan pasukan Andi Azis ada kekhawatiran dari kalangan
tentara KNIL bahwa mereka akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/ TNI. Pasukan KNIL di bawah
pimpinan Andi Azis ini kemudian bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting, bahkan menawan Panglima
Teritorial ( wilayah) Indonesia Timur, pemerintahan pun bertindak tegas dengan mengirimkan pasukan di bawah pimpinan
Kolonel Alex Kawilarang. April 1950, pemerintah memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta akibat peristiwa
tersebut dan menarik pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki, menyerahkan senjata serta membebaskan
tawanan yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu melapor adalah 4 × 24 jam. Namun Andi Azis ternyata terlambat
melapor, sementara pasukannya telah berontak. Andi Azis pun segera ditangkap di Jakarta setibanya ke sana dari
Makassar. Ia juga kemudian mengaku bahwa aksi yang dilakukannya berawal dari rasa tidak puas terhadap APRIS.
Pasukannya yang memberontak akhirnya berhasil ditumpas oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.

Selanjutnya terdapat Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan beberapa
pejuang terhadap kebijakan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan kesepakatan dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB), anggota inti unsur Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) diambil dari TNI, sedangkan unsur
lain diambil dari kalangan bekas anggota Koninklijke Nederlands Indische Leges (KNIL). Konferensi ini juga menghasilkan
gagasan yang cukup menghebohkan yaitu adanya rencana akan dibubarkannya negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Menindaklanjuti berita ini Raymond Westerling berkerjasama dengan Sultan Hamid II untuk mendirikan APRA guna
melakukan perlawanan kepada pemerintahan Republik Indonesia. Sultan Hamid II sendiri lebih berpihak kepada aliran
negara federal RIS sehingga tidak mengkehendaki hilangnya RIS. Disisi lain anggota KNIL mengkhawatirkan kedudukan
mereka dalam APRIS, yang akhirnya kekhawatiran itu mendorong beberapa anggota KNIL bergabung dalam pemberontakan
APRA di Bandung. Pemberontakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. Ia merupakan seorang prajurit militer
Belanda yang dikirim untuk membantu koordinasi tawanan Sekutu di Indonesia. Gerakan APRA bertujuan mempertahankan
bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara sendiri di negara-negara bagian RIS. APRA menuntut agar mereka
diakui sebagai tentara negara Pasundan dan menolak pembubaran negara bagian. Akan tetapi, tuntutan tersebut ditolak
oleh pemerintah Republik Indonesia. Penolakan tersebut memicu pemberontakan APRA di Kota Bandung pada 23 Januari
1950. Selain itu pemberontakan APRA juga disebabkan karena Belanda ingin menjajah, atau setidaknya menanam
kepentingan-kepentingan politik dan ekonominya di Indonesia. Pihak Belanda berniat untuk mengeksploitasi sumber daya
di Indonesia untuk mempertahankan keadaan ekonominya. Pihak Belanda tahu bahwa akan sangat sulit mengintervensi
secara ekonomi jika Indonesia sudah bersatu menjadi NKRI. Terlebih lagi, pemimpin Indonesia semuanya sudah antipati
terhadap kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, Belanda perlu menimbulkan kerusuhan di NKRI dan mempertahankan RIS.
Tindakan APRA merupakan sikap mendukung bangsa Belanda dalam melancarkan aksi penjajahan mereka.

Yang terakhir terdapat pemberontakan oleh RMS. Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan respon
pemerintah yang merasa kehadiran RMS bisa jadi ancaman bagi keutuhan Republik Indoensia Serikat. Maka dari itu,
pemerintah langsung ambil beberapa keputusan untuk langkah selanjutnya. Tindakan pemerintah yang pertama dilakukan
adalah dengan menempuh jalan damai. Dr. J. Leimena dikirim oleh Pemerintah untuk menyampaikan permintaan berdamai
kepada RMS, tentunya membujuk agar tetap bergabung dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah tersebut ditolak oleh
Soumokil, justru ia malah meminta bantuan, perhatian, juga pengakuan dari negara lain, terutama dari Belanda, Amerika
Serikat, dan komisi PBB untuk Indonesia. Ditolaknya mentah-mentah ajakan pemerintah kepada RMS untuk berdamai,
membuat pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer. Kolonel A.E. Kawilarang dipilih sebagai
pemimpin dalam melaksanakan ekspedisi militer tersebut. Akhirnya kota Ambon dapat dikuasai pada awal November 1950.
Akan tetapi, ketika melakukan perebutan Benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Namun, perjuangan
gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Setelah itu, pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil
akhirnya dapat ditangkap dan kemudian dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta. Berdasarkan keputusan
Mahkamah Militer Luar Biasa, Soumokil dijatuhi hukuman mati.

Anda mungkin juga menyukai