Anda di halaman 1dari 24

I.

Perjuangan Menghadapi Pergolakan Dalam Negeri dan Kebijakan ekonomi Nasional

1. Perjuangan Menghadapi Pergolakan Dalam Negeri


Dalam Rangka Mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Republik Indonesia menghadapi
berbagai pergolakan dari dalam negeri. Pergolakan tersebut mengancam keutuhan negara
Indonesia. Dengan susah payah pemerintah republik Indonesia dan TNI berusaha mengatasi
pergolakan demi pergolakan.

a. Pemberontakan APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil )

 Tokoh:
Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, dan didalangi oleh Sultan
Hamid II.

 Latar Belakang dan tujuan:

Latar belakang: Gerakan APRA didalangi oleh kelompok kolonialis Belanda yang ingin
mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia.
Tujuan pemberontakan APRA adalah mempertahankan bentuk federal, berdirinya
negara federal, dan adanya tentara sendiri di setiap negara bagian.

 Aksi Gerakan

Pada tanggal 23 Januari 1950, Westerling dan pasukannya merebut tempat-tempat


penting di Bandung, membunuh anggota TNI, dan menduduki markas staf Divisi Siliwangi.
Menyerang kabinet RIS dan akan membunuh beberapa orang menteri. Namun dapat
digagalkan.

 Upaya penumpasan:

Pemerintah Indonesia melancarkan operasi militer pada tanggal 24 Januari 1950.


Di Jakarta, diadakan perundingan antara Drs. Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi
Belanda. Hasilnya Mayor Engels mendesak Westerling dan pasukan APRA meninggalkan
kota Bandung.
Melakukan penangkapan terhadap Westerling dan Sultan Hamid II, namun Westerling
berhasil melarikan diri.

1
Dampak dari gerakan APRA adalah parlemen Negara Pasundan mendesak agar negara
tersebut dibubarkan dan terjadi pada tanggal 27 Januari 1950.

b. Pemberontakan Andi Aziz

 Tokoh
Pemberontakan Andi Azis dipelopori oleh Kapten Andi Azis, seorang Komandan Kompi
APRIS bekas KNIL.

 Latar belakang dan tujuan:

Latar belakang pemberontakan Andi Azis adalah penolakan pemerintah RIS atas tuntutan
Andi Azis yang menginginkan agar APRIS dari unsur KNIL di Ujungpandang saja yang
bertanggung jawab atas keamanan NIT.
Penolakan terhadap kehadiran TNI ke Sulawesi Selatan.
Tujuan pemberontakan Andi Aziz adalah mempertahankan keberadaan Negara Indonesia
Timur.

 Aksi gerakan

Pada tanggal 5 April 1950, pasukan Andi Azis menduduki obyek-obyek penting seperti
lapangan terbang dan kantor Telkom.
Menawan pejabat panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur, Letkol
A.Y.Mokoginta.

 Upaya penumpasan:

Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah memberi ultimatum agar dalam waktu 4 x 24 jam
Andi Azis menyerah. Namun Andi Azis tidak segera melapor.
Mengirim pasukan yang dipimpin Mayor Worang untuk menangkap Andi Azis.
Pada tanggal 26 April 1950, mengirimkan pasukan di bawah Kolonel A.E. Kawilarang
untuk menumpas habis pemberontakan Andi Azis yang dilakukan oleh pasukan KL dan
KNIL.

2
c. Gerakan Republik Maluku Selatan ( RMS )

Latar Belakang Pemberontakan RMS

Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu,
mereka tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa
(NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa
status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS
mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke
pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara
Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan
intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh
anggota Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen
yang dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di
Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan
sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan
penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah
memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan
menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk
menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.
Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT
sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT
dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di
lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia
Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk
melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan
dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir.
Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang
merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan
dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya
yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah
Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua
di bawah ancaman senjata.

3
Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku

Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk
melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum
diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari
Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara
itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI
dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu
sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas
Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W
Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z.
Pesuwarissa.

Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk
daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil
menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei,
dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson
diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya,
Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan
Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem
kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.

Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku

Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara
berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian
yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang
diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh
pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu
langsung dengan pengikut Soumokil.

4
Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah
melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan
Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E
Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.
Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun
akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan
RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada
tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan
menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon
dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh
pasukan militer tersebut.

Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5
Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan
Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya
menjabat sebagai presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan
RMS lainnya melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan
sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).

Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke
meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :

1. J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun


2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5
Tahun
3. D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 ½ Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 ½
Tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun

5
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3
Tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman
selama 10 Tahun

Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di
pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964,
Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia
bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga
pada saat persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu
persidangan Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi
hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di
Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.

Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda.
Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-
1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian
digantikan oleh John Wattilete.

Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku

Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di
gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh
beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di
Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan
menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.

Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara
pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat
kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima
penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya
mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator
dan pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus
dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di

6
Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah
naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik
antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya
kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta pengadilan
negeri Den Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan
menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis
RMS. Peristiwa paling parah terjadi pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sedang menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di
Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka
tidak tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.

d. Gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia ( DI/TII )

Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terjadi di empat daerah,
yaitu :

1. DI/TII Jawa Barat

Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah
Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya
dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang
disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962,
Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa
Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.

2. DI/TII Jawa Tengah

Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII
di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah
Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah
kemudian diangkat sebagai �komandan pertemburan Jawa Tengah� dengan pangkat
�Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia�. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari
1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini.

7
Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin
oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini
berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan
Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena
pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-
Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan
Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas
gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.

3. DI/TII Aceh

Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan antargolongan,
serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya
pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud
Beureueh yang pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai
bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII
di Aceh diselesaikan dengan kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari
musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.

4. DI/TII Sulawesi Selatan

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan


anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan
Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang
disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak
diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil
kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada
saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar
beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan
mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara
Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7
Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.

8
e. Pemberontaksn PRRI/ Permesta

Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan


PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan
sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya
diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa
dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang
mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi
ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap
alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah
dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.

Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan
Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini
diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama
dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX
Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu
menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan
Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi
politik, maka KASAD melarang perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut.
Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil
alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan
Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.

Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat , di Medan terdapat juga
Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan
Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya
Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.

Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap
pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu.
Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-

9
pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.

Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda.
Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini
terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo,
Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang
mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang
ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang
konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta
membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :

1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya


kepada Presiden Soekarno.
2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut
Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan
Umum yang akan datang.
4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.

Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota


kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh
dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.

Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi
sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang
diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya,
PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu
sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA
terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba,
Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor
Gerungan.

10
Tujuan Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya
memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah
hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan
atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk
mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada
paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal
tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk
pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan
anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan
Republik Indonesia.

Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI


membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan
Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa
berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara
sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari
masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan
gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat
raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa
pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah
menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.

Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk


mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang
dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas
pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di
usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi
dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian
secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para
pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik

11
Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit
Tinggi, dan Manado.

Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah
pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan
itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di
ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret
1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat
pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya
Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas
pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri
ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.

Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk


sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April
1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi
PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut
adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika)
yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961,
Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang
bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.

Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar
terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat
terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika
menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA
terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot
bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon.
Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan
curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka
pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya
sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina,
Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan
yang dilakukan oleh PRRI.

12
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk
menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan
darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan
menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama
daerah Padang.

Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA

Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA,


tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah.

1. Letnan Kolonel Ahmad Husein


2. Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat
sebagai Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri Dalam
negeri. Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat tiba di Padang.
Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
menjaba sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Moh Syafei menjabat sebagai
Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat sebagai Menteri Pembangunan.
Saladin Sarumpet menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Pemburuhan. Muchtar Lintang
menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh Lahade menjabat sebagai Menteri Penerangan.
Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai Menteri Sosial. Dahlan Djambek menjabat sebagai
Menteri Pos dan Telekomunikasi.
3. Mayor Eddy Gagola
4. Kolonel Alexander Evert Kawilarang
5. Kolonel D.J Somba
6. Kapten Wim Najoan
7. Mayor Dolf Runturambi
8. Letkol Ventje Sumual

2. Kebijakan Ekonomi Nasoinal pada Masa Demokrasi Liberal

Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk.
Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.

13
Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.

1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia
menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban
tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah
2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan
perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul
perekonomian Indonesia.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh
Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli
dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk
operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10.Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.

14
KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI MASA
LIBERAL

Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi
adalah sebagai berikut.

1. Gunting Syafruddin

Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang
bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa
pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri
Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang
yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat
pinjaman sebesar Rp. 200 juta.

2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng

Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang
direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk
mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi
Indonesia). Programnya :
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng
dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan

15
bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak
dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan
program ini disebabkan karena :

Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka
sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit
yang mereka peroleh.

Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran
Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya
sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan
kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga
masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor.

3. Nasionalisasi De Javasche Bank

Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia
melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan
bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini
menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.

Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan
penghematan secara drastis.

Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank
sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-
undang No. 24 tahun 1951.

4. Sistem Ekonomi Ali-Baba

Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet

16
Ali I). Tujuan dari program ini adalah
• Untuk memajukan pengusaha pribumi.
• Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
• Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
• Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non
pribumi.

Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha
non pribumi khususnya Cina.

Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,


Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada
tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan
asing yang ada.

Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:

Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam
memperoleh bantuan kredit.

Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.

Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan
masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh
Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan
Finek, yang berisi :
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.

17
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian
lain antara kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil


langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.

Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3
Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
Dampaknya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha
pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.

6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan
ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.

Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa
kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka
panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas
RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT
diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal
tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.

Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan


Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.

Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakan ekonominya masing-masing.

18
7. Muyawarah Nasional Pembangunan

Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut
untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap).
Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan
rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana
pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena :

adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.

terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.

timbul pemberontakan PRRI/Permesta.

Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga


meningkatkan defisit Indonesia.

19
J. Perjuangan Pengembalian Irian Barat

1. Latar Belakang Terjadinya Perjuangan Mengembalikan Irian BaratMasih ingatkah kalian


tentang Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag Belanda pada
tanggal 23 Agustus sampai 2 September 1949? Salah satu keputusan dalam konferensi tersebut
antara lain bahwa masalah Irian Barat akan dibicarakan antara Indonesia dengan Belanda satu
tahun setelah Pengakuan Kedaulatan. Dan keputusan ini terjadi perbedaan penafsiran antara
Indonesia dengan Belanda. Pihak Indonesia menafsirkan bahwa Belanda akan menyerahkan Irian
Barat kepada Indonesia. Tetapi pihak Belanda menafsirkan hanya akan merundingkan saja
masalah Irian Barat. Dalam penjalanan waktu, Belanda tidak mau membicarakan masalah Irian
Barat dengan Indonesia. Untuk menghadapi sikap Belanda tersebut maka Indonesia melakukan
berbagai upaya sebagai berikut.

2. Perjuangan Membebaskan Irian Barat

a. Perjuangan Diplomasi: Pendekatan DipIomasi

Dalam menghadapi masalah Irian Barat tersebut Indonesia mula-mula melakukan upaya damai,
yakni melalui diplomasi bilateral dalam lingkungan ikatan Uni Indonesia-Belanda. Akan tetapi
usaha usaha melalui meja perundingan secara bilateral ini selalu mengalami kegagalan. Setelah
upaya-upaya tersebut tidak mambawa hasil maka sejak tahun 1953 perjuangan pembebasan
Irian Barat mulai dilakukan di forum- forum internasional, terutama PBB dan forum-forum
solidaritas Asia-Afrika seperti Konferensi Asia-Afrika.
Sejak tahun 1954 masalah Irian Barat mi selalu dibawa dalam acara Sidang Majelis Umum PBB,
namun upaya ini pun tidak memperoleh tanggapan yang positif. Setelah upaya-upaya diplomasi
tidak mencapai hasil maka pemerintah mengambil sikap yang lebih keras yakni membatalkan
Uni Indonesia-Belanda dan diikuti pembatalan secara sepihak persetujuan KMB oleh Indonesia
pada tahun 1956. Partai-partai politik dan semua golongan mendukung terhadap upaya
pembebasan Irian Barat ini Selain itu perjuangan merebut Irian Barat diresmikan pemerintah
maka ditetapkanlah Soa-Siu di Tidore sebagai ibu kota provinsi Irian Barat dan Zainal Abidin
Syah ditetapkan menjadi Gubernur pada tanggal 23 September 1956.

b. Pêrjuangan dengan Konfrontasi Politik dan Ekonomi

Berbagai upaya yang dilakukan Indonesia tersebut sampai tahun 1957 ternyata belum membawa
hasil sehingga Belanda tétap menduduki Irian Barat. Karena jalan damai yang ditempuh belum
membawa hasil maka sejak itu perjuangan ditingkatkan dengan melakukan aksi-aksi pembebasan

20
Irian Barat di seluruh tanah air Indonesia yang dimulai dengan pengambilalihan perusahaan milik
Belanda. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang diambilalih oleh bangsa Indonesia pada
bulan Desember 1957 tersebut antara lain Nederlandsche Handel Maatschappij N.y. (sekarang
menjadi Bank Dagang Negara), bank Escompto di Jakarta serta Perusahaan Philips dan KLM.
Pada tanggal 17 Agustus 1960 Republik Indonesia secara resmi memutuskan hubungan
diplomatik dengan Pemerintah Kerajaan Belanda. Meithat hubungan yang tegang antara
Indonesia dengan Belanda ini maka dalam Sidang Umüm PBB tahun 1961 kembali masalah ini
diperdebatkan.
Pada waktu terjadi ketegangan Indonesia dengan Belanda, Sekretaris Jenderal PBB U Thant
menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker untuk
mengajukan usul penyelesaian masalah Irian Barat. Pada bulan Maret 1962 Ellsworth Bunker
mengusulkan agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik
Indonesia yang dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun. Akhirnya Indonesia menyetujui
usul Bunker tersebut dengan catatan agar waktu dua tahun itu diperpendek. Sebaliknya
Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau melepaskan Irian bahkan membentuk negara “Boneka”
Papua. Dengan sikap Belanda tersebut maka tindakan bangsa Indonesia dan politik konfrontasi
ekonomi ditingkatkan menjadi konfrontasi segala bidang.

c. Konfrontasi Militer

Pembangunan militer dilakukan sejak 1958 melalui berbagai kontrak pembelian perlengkapan
militer terhadap. Pembelian kapal dan pesat perang dilakukan dengan Polandia, Cekoslavia, dan
Yugoslavia. Tahun 1959 hal yang sama juga dilakukan dengan membeli peralatan perang dari
Amerika Serikat dan negara Eropa Barat. Akbat pemberontakan PRRI/Permesta pengiriman ini
kemudian ditangguhkan. Hal ini membuat Indonesia mencari peralatan militer kenegara Blok
Timur.

Untuk meningkatkan perjuangan, Dewan Pertahanan Nasional merumuskan Tri Komando


Rakyat (TRIKORA) yang dibacakan Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di
Yogyakarta. Sebagai tindak lanjut dari Trikora, pemerintah mengambil langkah-langkah berikut.

Isi Trikora:

 Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda Kolonial.


 Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.

21
 Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
Tanah Air Bangsa.

Isi Trikora ini kemudian ditindak lanjuti dengan melakukan rapat ada 31 Desember 1961
Depertan dan Koti yang menghasilkan:

a) Membentuk Provinsi Irian Barat gaya baru dengan ibukota Kota Baru.

b) Membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 13 Januari 1962.

Sebagai Panglima Komando Mandala ditunjuk Mayjen Soeharto. Markasnya berada di Makasar.
Berikut ini tugas Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Merencanakan, mempersiapkan,
dan menyelenggarakan operasi-operasi militer. Menciptakan daerah bebas secara defacto atau
mendudukkan unsur kekuasaan RI di Irian Barat. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut,
maka Panglima Mandala menyusun strategi Panglima Mandala. Berikut ini tahapan-tahapan
dalam strategi Panglima Mandala tersebut.

a. Sampai tahun 1962, fase infiltrasi dengan memasukkan 10 kompi sekitar sasaran tertentu.

b. Awal tahun 1963, fase eksploitasi dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk
militer lawan, dan menduduki semua pos pertahanan musuh.

c. Awal tahun 1964, fase konsolidasi dengan mendudukkan kekuasaan-kekuasaan RI secara


mutlak di seluruh Irian Barat.

Pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi peristiwa Laut Aru. Ada tiga yang melakukan patroli laut
yaitu MTB yaitu MTB RI Macan Tutul, MTB RI Harimau, dan MTB Macan Kumbang diserang
oleh Belanda dari laut dan udara. Ketika itu ketiga kapal sedang mengadakan patroli di Laut Aru.
Komodor Yos Sudarso segera mengambil alih komando MTB Macan Tutul dan memerintahkan
kedua MTB lainnya mundur untuk menyelamatkan diri. Dalam pertempuran tersebut, akhirnya
MTB Macan Tutul bersama Kapten Wiratno dan Komodor Yos Sudarso terbakar dan tenggelam.
Dalam rangka konfrontasi, pemerintah mengadakan operasi militer. Operasi militer yang
dilaksanakan antara lain Operasi Serigala (di Sorong dan Teminabuan), Operasi Naga (di
Merauke), Operasi Banteng Ketaton (di Fak-Fak dan Kaimana), dan Operasi Jaya Wijaya.
Operasi yang terakhir dilaksanakan adalah Operasi Wisnumurti. Operasi ini dilaksanakan saat
penyerahan Irian Barat kepada RI tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal yang sama Komando
Mandala juga secara resmi dibubarkan.

22
3. Akhir Pembebasan Irian Barat

 Akhir Konflik Pembebasan Irian Barat

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Irian Barat (sekarang Papua Barat)
memiliki hak merdeka. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya,
Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini,
namun Indonesia menolaknya. Dalam meyelesaikan persengketaan tersebut, akhirnya
berdasarkan bagian dari Persetujuan New York, bahwa Indonesia berkewajiban untuk
mengadakan “Penentuan Pendapat Rakyat” (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969
dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menghormati
keputusan hasil Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat tersebut. Pada awal tahun 1969,
pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera. Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3
tahap yakni sebagai berikut, tahap pertama dimulai pada tanggal 24 maret 1969. Pada tahap ini
dilakukan konsultasi dengan deewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan
Pepera. Tahap kedua diadakan pemilihan Dewan Musyawarah pepera yang berakhir pada bulan
Juni 1969. Tahap ketiga dilaksanakan pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal
4 Agustus 1969 di Jayapura. Dari hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat
tersebut, bahwa Irian Barat tetap menghendaki sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selanjutnya hasil dari Pepera tersebut kemudian dibawa ke New York oleh
utusan Sekjen PBB Ortizs Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada bulan
November 1969. Penyelesaian sengketa masalah Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda
melalui Persetujan New York dan dilanjutkan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
dianggap merupakan cara yang adil dalam menyelesaikan konflik. Dalam persoalan Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) menurut Persetujuan New York, pihak Belanda juga menunjukkan
sikapnya yang baik. Kedua belah pihak menghormati hasil dari pendapat rakyat Irian Barat
dalam menentukan pilihannya. Hasil dari Pepera yang memutuskan secara bulat bahwa Irian
Barat tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia. Hasil Pepera ini membuka jalan bagi
persahabatan RI-Belanda. Lebih-lebih setelah tahun 1965, hubungan Indonesia dengan Belanda
sangat akrab dan banyak sekali bantuan dari Belanda kepada Indonesia baik melalui IGGI (Inter
Governmental Group for Indonesia) atau di luarnya. Akhirnya Sidang Umum PBB tanggal 19
November 1969 menyetujui hasil-hasil Pepera tersebut sehingga Irian Barat tetap merupakan
bagian dari wilayah Republik Indonesia.

23
Pertanyaan Untuk Materi di atas :

1. Siapa yang melopori gerakan APRA ?


2. Apa Tujuan Pemberontakan Andin Aziz
3. Mengapa Program Benteng tidak berhasil mencapai tujuan?
4. Bagaimana penafsiran indonesia dan belanda mengenai masalah irian barat sesuai
dengan hasil KMB ?
5. Jelaskan tindakan-tindakan dalam konfrontasi politikm untuk mengembalikan irian
barat kepangkuan ibu pertiwi ?

24

Anda mungkin juga menyukai