Anda di halaman 1dari 8

Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Latar Belakang, Penyebab,

Tujuan, Upaya Penumpasan, Dampak - Pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan
(RMS) diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan prajurit KNIL dan masyarakat Pro-
Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung
Negara Indonesia Timur. Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang tidak hanya
ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk membentuk Negara sendiri
yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah seorang mantan jaksa agung NIT
ini, juga pernah terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk
melarikan diri, akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil
juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.

Chris Soumokil, Proklamator Republik Maluku Selatan (RMS) (geertboogaard.nl)

1. Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS

Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka
tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI).
Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status
mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi
keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik
Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan
kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu
dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang kapten
bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi
teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror
tersebut terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para
biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah
Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat
diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.

Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT
sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT
dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan
oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan
tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku
Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang
berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya
daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota
dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena
anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku
Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J.
Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.

2. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku

Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk
melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum
diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara
Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu,
sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang
buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert
Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j.
Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy,
Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.

Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk
daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil
menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk
sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai
panglima tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat
sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan
Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti system dari
KNIL.
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku

Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara
berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian yang
dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan
tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah
terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan
pengikut Soumokil.

Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah
melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan
Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E
Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah
pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya
dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS
mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28
September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah
Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk
benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.

Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5
Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang
RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai
presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya
melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di
Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).

Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke
meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :

1. J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun


2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5
Tahun
3. D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 ½ Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 ½
Tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5 ½
Tahun
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3
Tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman
selama 10 Tahun

Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di
pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964,
Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia
bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada
saat persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan
Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati.
Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang
berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.

Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti
Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya
digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John
Wattilete.

4. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku

Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung
pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh beberapa
kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku
Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38
penumpang kereta api tersebut.

Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara
pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat
kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima
penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya
mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan
pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan,
dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat
dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan
akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan
Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya kepada
masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den
Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas
kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling
parah terjadi pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sedang menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya, pada
saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk
mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.

(Disarikan dari berbagai sumber)

Semoga artikel mengenai Pemberontakan RMS menambah wawasan kita. Terima kasih anda
sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara Islam Indonesia
(NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul Islam) adalah sebuah
gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 (12 syawal 1368 Hijriah) oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa
Barat. NII tersebut diproklamasikan pada saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda
mengangkat seorang Raden yang bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai
pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut.

1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang
menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa
“Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi,
di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi
adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan
tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan
menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut
dengan hukum kafir.

Bendera NII. (Wikimedia Commons) [1]


Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah
yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh,
dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi,
meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa
Barat, Indonesia.

Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah
berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para
tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini
dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang
berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan
gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api,
serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut.
Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok
DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII

Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh
beberapa faktor, yaitu:

1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung
organisasi DI/TII untuk bergerilya.
2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang
telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional


Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi
bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk
menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi
Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal,
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan
bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada
tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat
ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan
pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga
peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan
penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror dari
pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda
milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya Majelis
Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang komandan
Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI
Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang
jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara
menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah
mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan
bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan setelah proklamasi
tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI yang di pimpinnya
bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo.

Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam (AUI) yang di
dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi tersebut juga
bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi,
pada tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya
pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas
pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama
Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada
tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk menghancurkan
kelompok DI/TII tersebut.

5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas
(KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama
kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di
Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di
wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan
secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi,
penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah
peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu
dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi
Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang
terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan
di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.

6. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah)


terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi
bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh
dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua
kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk
menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat
provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan
Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan
administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami
penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya
menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status
Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara.
Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh
membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam
Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut
terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka
melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka
juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh
Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan
operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka kelompok
DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun
memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan
mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28
Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel M.Jasin
mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah tersebut mendapat
dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil
memulihkan kemanana di Aceh.

7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar,
organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh
pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya,
tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak
DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa
kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam
menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan
operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang
Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.

Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat itu. Karena
seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan beragam kebudayaannya
dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan
salah satu hukum agama di jadikan hukum negara.

Anda mungkin juga menyukai