Anda di halaman 1dari 6

Republik Maluku Selatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Republik Maluku Selatan
Terasingkan sejak 1950
1950

Bendera Lambang

Teritori yang diklaim Republik Maluku Selatan.

Ibu kota Ambon


Ibu kota
Tidak jelas (Belanda)
dalam pengasingan
Bentuk
Republik
Pemerintahan
Presidena
- AprilMei 1950 Johanis Manuhutu
- 19501966 Chris Soumokil
- 19661992 Johan Manusama
- 19932010 Frans Tutuhatunewa
- 2010sekarang John Wattilete
Sejarah
- Didirikan 25 April 1950
- Dibubarkan 1950
a. Terasingkan sejak 1966.
Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang
didirikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.
[butuh rujukan]
RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi
konflik di Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung
pada pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam
pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris Soumokil
ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik
di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete,
pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.

Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah tersebut pada
abad ke-19 dengan didirikannya Hindia Belanda. Perbatasan Indonesia saat ini terbentuk
melalui ekspansi kolonial yang berakhir pada abad ke-20. Pasca-pendudukan oleh Kekaisaran
Jepang tahun 1945, para pemimpin nasionalis di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung bergabung dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Pemberontakan pribumi pertama yang terorganisasi
muncul di Maluku Selatan dengan bantuan pemerintah dan militer Belanda. Kontra-
revolusioner Maluku Selatan awalnya bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang
menjanjikan bentuk negara federal.

Daftar isi
1 Pengasingan

2 Presiden

3 Bendera

4 Lambang

5 Lagu kebangsaan

o 5.1 Lirik

6 Perkembangan RMS saat ini

o 6.1 Perkembangan politik di Belanda

o 6.2 Perkembangan politik di Indonesia

7 Referensi

Pengasingan
Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada November
1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai
1962. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintahan RMS dari pulau-pulau
tersebut dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.[2] Tahun berikutnya,
12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan
pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku Selatan".

Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah penelitian
berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari
pemerintah Belanda.[3]

Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di Wassenaar.
Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan kereta api
di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh serangan buatan lain di konsulat
Indonesia di Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di kereta dan seorang berkebangsaan
Indonesia cedera parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977, terjadi
pembajakan kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar di
Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan marinir Bijzondere
Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris dan dua sandera. Aksi RMS
terakhir terjadi tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen diduduki anggota RMS. Aksi ini
juga digagalkan oleh pasukan BBE.

Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan RMS.

Presiden
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (19661993).

Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan
memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada tanggal 2
Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia
dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.

Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans Tutuhatunewa
M.D. pada tahun 19932010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi kekerasan terhadap
Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan menyatakan bahwa generasi muda
harus berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar
ingin mendukung dan membangun Maluku Selatan.

Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga Indonesia,
mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu pemulangan generasi
pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti menuntut kemerdekaan.[4][5]

John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama
yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis
ketimbang presiden-presiden sebelumnya.

Bendera
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki proporsi
2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua hari
kemudian, pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru melambangkan
laut dan kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan,
dan merah nenek moyang dan darah rakyat.

Bendera RMS sebelum 2011

Bendera RMS sejak 2011

Lambang

Lambang Republik Maluku Selatan

Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati putih
dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-siap terbang,
sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon damai. Dadanya
bertuliskan 'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.

Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari bahasa
Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nahkoda dan pendayung
perahu tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan mereka saat ekspedisi
lepas pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa juga diterjemahkan menjadi
'Saya pergi- Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua- Semua untuk satu'.

Lagu kebangsaan
Lagu kebangsaan RMS berjudul "Maluku Tanah Airku" dan dikarang dalam bahasa Melayu
oleh Chr. Soumokil dan O. Sahalessy dengan aksara Latin dan Maluku Melanesia.[6]
Lirik

Teks asli

Oh Maluku, tanah airku,


Tanah tumpah darahku.
Ku berbakti padamu
Slama hari hidupku.
Engkaulah pusaka raya
Yang leluhur dan teguh.
Aku junjung selamanya
Hingga sampai ajalku.
Aku ingat terlebih
Sejarahmu yang pedih.

Oh Maluku, tanah airku,


Tanah datuk-datukku.
Atas via dolorosa
Engkau hidup merdeka.
Putra-putri yang sejati
Tumpah darah bagimu.
Ku bersumpah trus berbakti
Serta tanggung nasibmu.
Aku lindung terlebih
Sejarahmu yang pedih.

Mena-Muria, printah leluhur


Segenap jiwaku seru.
Bersegralah membelamu
Seperti laskar yang jujur.
Dengan prisai dan imanku
Behkan harap yang teguh.
Ku berkurban dan berasa
Karena dikaa ibuku
Ku doakan terlebih
Mena-Muria, hiduplah!

Perkembangan RMS saat ini


Perkembangan politik di Belanda

Duta besar Indonesia untuk Belanda, Yunus Effendi Habibie, memberitah Radio Netherlands
Worldwide bahwa Indonesia senang mengetahui bahwa pemerintahan terasing Maluku tidak
lagi memperjuangkan kemerdekaan. Menurut Habibie, penduduk Maluku sudah diberikan
hak otonomi, sehingga situasi masa kini tidak perlu diubah lagi. Ia menolak kemerdekaan
Maluku. Komentar Habibie muncul setelah Presiden Maluku dalam pengasingan, John
Wattilete, mengatakan bahwa negara Maluku tidak lagi menjadi prioritas utamanya. Meski
kemerdekaan masih menjadi tujuan terakhir, ia menyatakan puas dengan otonomi yang juga
diberlakukan di Aceh. Katanya, "Hal paling penting adalah penduduk Maluku bisa memimpin
daerahnya sendiri."[7][8]

Pada bulan April 2010 John Wattilete menjadi presiden kelima RMS. Ia adalah presiden
pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih
pragmatis dibanding presiden-presiden sebelumnya. Akan tetapi, sehari sebelum kunjungan
kenegaraan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak
1970,[9] Wattilete mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan
kaki di Belanda. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan
gagal, Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya keesokan harinya.[10]

Perkembangan politik di Indonesia

Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-wilayah lain di
Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan juga didukung oleh Muslim
Maluku pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski mayoritas penganut Kristen di Maluku
tidak mendukung separatisme,[butuh rujukan] ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya
masih bergaung di Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di
Maluku, dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini
berhasil membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad.
Situasi tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri
memang memperjuangkan berdirinya RMS.

Di Maluku, Perjanjian Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan


perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis
gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia
berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan
provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS.[11]

Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi di
Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum.
Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan
kemerdekaan.[12]

Anda mungkin juga menyukai