Anda di halaman 1dari 4

Kajian tentang Apresiasi Arsitektur

26 February 2014 by Tjahja Tribinuka

Tjahja Tribinuka | Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS | Email
tribinuka(at)ymail.com

Apresiasi artinya penghargaan, jadi apresiasi arsitektur pada intinya adalah penghargaan
kepada arsitektur. Untuk menghargai arsitektur bisa dijalankan secara dangkal sampai dalam.
Secara dangkal dilakukan dengan menikmatinya sebagai obyek yang bagus untuk dilihat atau
dikunjungi, sedangkan secara dalam dilakukan dengan melakukan pengamatan, pengukuran,
dokumentasi sampai pada pengulasannya hingga menghasilkan sebuah karya ilmiah.
Walaupun dikatakan sebagai penghargaan, tetapi hasil apresiasi tidak selalu berupa pujian
atau komentar yang positif. Bisa jadi penghargaannya dalam bentuk kritik atau komentar
yang negatif mengenai kekurangan yang disajikan oleh arsitektur.

Dalam menghargai arsitektur, paling sederhana seseorang akan melakukan pemilihan


arsitektur mana yang akan dikunjungi bersesuaian dengan kebutuhannya. Untuk memenuhi
kebutuhan relaksasi, orang dapat memilih arsitektur yang menyajikan aktivitas sebagai kafe,
gedung bioskop, taman kota dan sejenisnya. Dalam satu sajian aktivitas oleh arsitektur ini
bisa terdapat pilihan mengenai bentuk dan suasana yang disajikan. Misalnya jika di suatu
kota terdapat beberapa kafe yang menawarkan tampilan arsitektur, maka orang dapat memilih
yang sesuai kebutuhannya, misalnya tampilan retro, ataukah tampilan tradisional, atau lebih
suka tampilan yang alami. Untuk penghargaan yang lebih serius, orang dapat melakukan
penelitian terhadap obyek arsitektur yang dipilih. Pemilihan ini tentunya bersesuaian dengan
bidang penelitian yang akan dikerjakan dan dipertimbangkan terhadap penelitian lain yang
serupa.

Kegiatan apresiasi arsitektur yang ditujukan untuk dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah
membutuhkan kajian yang menentukan kualitas capaian hasil. Dengan demikian diperlukan
metoda untuk melakukannya menyangkut persiapan, ketersediaan alat, sampai pada
kelengkapan literatur untuk pembahasannya. Begitu metoda ini ditetapkan, maka hal yang
penting untuk dipahami adalah kesiapan individu yang akan melakukan kegiatan apresiasi
arsitektur. Arsitektur sebagai sebuah sajian bangunan yang menghasilkan kesan dan suasana,
dapat direspon dengan pendayagunaan indera dari seseorang. Pemahaman umum mengenai
indera manusia untuk menikmati arsitektur hanyalah pada indera mata. Padahal kenyataannya
ketika orang berhadapan dengan arsitektur, maka indera yang lain juga ikut merespon,
misalnya kulit untuk merasakan hawa dan hembusan angin, atau meraba tekstur dari suatu
elemen arsitektur. Demikian juga telinga dapat mendengar gemericik air dalam sebuah kolam
hias, atau gaung suara dari sebuah ruangan. Di sisi lain secara ekstrim, selayaknya kehadiran
arsitektur itupun juga bisa dirasakan dan dibedakan kualitasnya oleh orang yang buta,
walaupun pertimbangan desain arsitektur tetap diterapkan umumnya untuk manusia yang
normal.

Adakalanya indera manusia tidak bisa dijadikan acuan berapresiasi secara tepat karena
bersifat subyektif. Seseorang yang selama hidupnya tinggal di daerah dingin, akan merasakan
penghawaan yang berbeda dengan seseorang yang selama hidupnya tinggal di daerah panas.
Dalam kasus ini, dapat dicarikan acuan dan alat untuk mengapresiasinya. Misalnya telah ada
riset yang menyatakan bahwa suhu nyaman dari ruang itu adalah 27 derajad, maka tinggal
diukur saja dengan thermometer apakah suhunya kurang atau lebih dari 27 derajad.
Kesimpulannya bahwa selain indera manusia untuk mengapresiasi, maka peralatanpun juga
penting untuk dipergunakan jika memang diperlukan. Selanjutnya peralatan ini dapat dipilih
dan dipergunakan sesuai kebutuhan, apakah berupa meteran, kompas, drum pengukur
intensitas cahaya, higrometer untuk mengukur tingkat kelembaban suatu tempat, dan lain
sebagainya.

Subyektifitas untuk mengapresiasi artitektur ini juga bisa terjadi karena perbedaan wawasan
atau pengalaman dari apresiator. Seorang arsitek akan berbeda cara mengapresiasi obyek
arsitektur jika dibandingkan dengan orang awam atau pengguna arsitektur (user). Seorang
arsitek bisa menelaah ketidak sesuaian langgam antara pilar bergaya bali yang dipadu dengan
umpak yang bergaya jawa, sedangkan pengguna (user) mungkin hanya akan merasakan
kurang enak dilihat, atau mungkin juga tidak merasakan dan lepas dari perhatiannya. Seorang
pengguna mengapresiasi suhu ruang yang tidak terlalu nyaman, sedangkan seorang arsitek
akan menganalisis ketidak nyamanan tersebut karena penghawaan yang kurang ataukah
karena radiasi panas matahari yang tidak diantisipasi dengan elemen arsitektur. Akan tetapi
perlu dipahami bahwa kadang seorang arsitek perlu pula mempertimbangkan pendapat dari
user untuk berapresiasi. Seringkali arsitek melakukan penelitian dan menyebar kuisioner
untuk menerima dan mempertimbangkan pendapat pengguna atas kasus dari tampilan
arsitektur tertentu.

Pengguna arsitektur hanya berkepentingan untuk menikmati karya arsitektur. Bagaimana


sajian dari bentuk dan ruang yang menyampaikan keindahan serta dapat menampung
kenyamanan aktifitas. Agar seorang arsitek bisa mendapat informasi yang baik, maka
selayaknya ketika berapresiasi bisa mensimulasikan dirinya sebagai pengguna. Menikmati
arsitektur dengan mengerahkan segenap potensi diri dari segi fisik dan mental. Bersantai
dengan serius merekam segala kejadian yang ada di sekelilingnya, menerima stimulus dan
memberi respon mengalir mengikuti kejadian. Simulasi seorang arsitek sebagai pengguna ini
seperti sikap empati dari seorang arsitek terhadap masyarakat yang menikmati hasil karya
arsitektur tanpa terbebani ilmu-ilmu arsitektur. Sungguh sesuatu yang sulit bagi seorang
arsitek yang sudah terbiasa terisi pengetahuannya dengan berbagai macam teori dan
informasi arsitektur, kemudian di saat berapresiasi berusaha membersihkannya hingga
pemikirannya menjadi seperti hamparan kertas kosong yang siap ditulisi.

Ketika seorang arsitek berapresiasi kadangkala terpengaruh dengan popularitas karya


arsitektur yang sedang dikunjunginya, atau bahkan terpengaruh oleh popularitas dari arsitek
yang mendesainnya. Pengaruh-pengaruh ini sedikit banyak pasti akan mengotori kejernihan
penelaahan. Pengaruh lain yang mungkin akan mengganggu kejernihan penelaahan tersebut
bisa bersumber pada kondisi psikologis dari apresiator sendiri, misalnya kegundahan hati atau
trauma pikiran pada hal tertentu. Adakalanya kolam yang luas dengan air yang tenang bisa
menenangkan jiwa dari orang yang melihatnya, tetapi tidak demikian dengan orang yang
punya trauma pikiran tidak menyenangkan terhadap air. Dengan demikian kontrol perasaan
memang mutlak diperlukan dalam berapresiasi. Kontrol yang bisa membedakan bahwa
perasaan yang muncul itu akibat subyektifitas diri atau memang muncul akibat paparan kesan
dan suasana dari arsitektur yang dikunjunginya. Kontrol perasaan ini akan lebih tertata rapi
ketika pikiran ikut pula berperan dalam menentukan penelaahan. Tetapi tentunya justru
jangan sampai pikiran yang akhirnya mendominasi perasaan. Akan lebih baik jika pikiran dan
perasaan ini bsa saling mengisi dalam porsi yang setimbang.
Salah satu cara untuk mengontrol perasaan dengan pikiran adalah melalui kemampuan untuk
membaca karya arsitektur. Segenap teori dan konsep arsitektur yang dipergunakan untuk
menelaah dihindarkan dari segala doktrin, misalnya bahwa ‘golden section’ itu selalu indah,
atau konsep ‘less is more’ dengan ketiadaan yang dianggap memiliki kelebihan. Teori dan
konsep arsitektur yang dipergunakan untuk mengapresiasi dipilih secara mendasar saja,
mengetahui bahwa proporsi merupakan perbandingan dari satu bagian dengan bagian yang
lain. Jika hasilnya dirasakan indah, maka bisa diungkapkan sewajarnya keindahan tersebut
tanpa dihubungkan dengan ‘golden section’. Demikian pula ketika merasakan bahwa
tektonika adalah seni dalam mengolah struktur dan konstruksi, di mana akhirnya
mendapatkan sebuah ukiran dan tekstur yang indah, maka selayaknya dikatakan indah pula
tanpa terpengaruh konsep ‘less is more’.

Ketika seorang apresiator sudah bisa membaca obyek arsitektur, langkah selanjutnya adalah
kemampuan untuk menilai. Obyektifitas dalam penilaian ini juga selayaknya terhindarkan
dari popularitas karya arsitektur dan popularitas dari arsitektnya. Memang biasanya arsitek
yang populer karena kualitasnya akan menghasilkan desain yang berkualitas pula, sehingga
arsitektur hasil karya mereka demikian keratif dan indah untuk diapresiasi. Namun jika
apresiator karya dari arsitek berkualitas itu terpengaruh dengan popularitas arsitek, dia tidak
akan dapat menemukan satu atau dua titik kelemahan dari desain arsitektur. Demikian pula
ketika melakukan apresiasi terhadap obyek arsitektur dari arsitek biasa yang kurang populer,
jika terpengaruh mungkin tidak akan mendapatkan hasil yang menakjubkan walau kemudian
ada satu bagian arsitektur yang memaparkan hasil ide kreatif dan indah. Dalam menilai karya
arsitektur, selayaknya apresiator cukup memiliki prinsip untuk menentukan tolok ukur
penilaiannya. Entah berdasarkan teori baku mengenai arsitektur yang telah dipaparkan oleh
penulis arsitektur yang sudah ahli, atau dengan tolok ukur yang dibuat sendiri berdasarkan
situasi penilaian tertentu.

Adakalanya kegiatan apresiasi dilakukan tidak pada satu obyek, tetapi bisa dua atau lebih
obyek dengan tujuan untuk membandingkannya. Dalam melakukan studi banding ini
selayaknya mempertimbangkan kualitas dari obyek arsitektur yang dipilih untuk
dibandingkan. Lebih baik menilai secara umum terlebih dahulu obyek yang akan
dibandingkan dan menetapkan bahwa yang akan diapresiasi itu kualitasnya dapat sesuai
dengan kedalaman ilmu yang dibutuhkan. Selanjutnya pemilihan juga perlu dipertimbangkan
berdasarkan topik dan tujuan pembandingannya. Penulisan pembandingan obyek arsitektur
yang tersusun secara sistematis akan mempermudah, memperjelas dan mengarahkan agar
yang dilakukan dapat menghasilkan sebuah kesimpulan berguna. Kesimpulan dari hasil
apresiasi dengan membandingkan obyek ini dapat menjadi wacana bersama untuk
dipergunakan sesuai keperluan dari kegiatan desain arsitektur. Dengan seringnya
membandingkan obyek-obyek arsitektur akan dapat didapatkan wawasan yang lebih luas,
baik dari pertimbangan perkembangan waktu dan teknologi terciptanya karya arsitektur,
ataupun dari karakteristik desain dari pribadi arsitek-arsitek berkualitas yang mendesain.

Telah di sebutkan sebelumnya bahwa kegiatan apresiasi arsitektur bisa dilakukan dengan
dangkal ataupun dalam. Untuk studi banding obyek arsitektur yang berjumlah banyak,
mungkin bisa dipilih kegiatan apresiasi yang tidak terlalu mendalam, karena tujuannya
memang untuk mencari kesimpulan dari karakteristik beberapa obyek. Bahkan kegiatan
apresiasi yang dilakukan juga bisa dilakukan secara virtual, yakni dengan mengamati foto-
foto atau film tentang obyek arsitektur. Apresiasi arsitektur secara virtual ini bisa dilakuakn
dengan mengumpulkan data baik dari buku, majalah maupun data web di internet. Atau jika
seorang apresiator memiliki kendala untuk mengunjungi obyek secara langsung bisa
menyuruh surveyor untuk mengambil foto-foto atau film sesuai dengan arahannya
berdasarkan kebutuhan. Seorang yang ahli bisa saja menempati posisi sebagai pimpinan
apresiator yang tidak terjun langsung ke lokasi, dan mengendalikan beberapa orang apresiator
junior yang turun ke lapangan untuk mencari data. Sepertinya memang apresiasi arsitektur
secara riil itu lebih baik daripada secara virtual, tetapi hal ini juga bukan merupakan jaminan
karena belum tentu sesuatu yang dihasilkan dari apresiasi riil itu akan lebih baik dari apresiasi
virtual pula.

Hasil kegiatan apresiasi arsitektur dapat dituangkan dalam beragam karya, dari yang bersifat
seni sampai pada karya yang bersifat ilmiah. Karya seni hasil apresiasi arsitektur dapat
berupa karya fotografi, sketsa sampai pada karya sastra berupa puisi atau cerita. Sedangkan
karya ilmiah bisa berupa artikel, penelitian sampai pada buku. Buku yang baik adalah buku
teks (textbook) karena bisa dipergunakan sebagai literatur yang valid bagi pembuatan karya
ilmiah yang lain. Sedangkan buku populer yang dibuat tanpa mengindahkan kaidah penulisan
buku ilmiah mungkin hanya akan menjadi pelengkap dari bacaan biasa saja.

Sumber : https://iplbi.or.id/

Anda mungkin juga menyukai