Anda di halaman 1dari 3

Pengertian Apresiasi Arsitektur

kembali ke ARCHITECT-NEWS

Kata apesiasi berasal dari bahasa Inggris ‘appreciation’ dengan penterjemahan sebagai
‘appraisement’ (penilaian harga), ‘generous esteem’ (penghargaan yang sangat tinggi), ‘a
symphatetic literary essay’ (karya tulis yang penuh perhatian), ‘increase in value’
(peningkatan nilai). Secara umum, apresiasi diterjemahkan sebagai penilaian atau
penghargaan terhadap sesuatu. Jadi apresiasi arsitektur berarti : penilaian atau penghargaan
terhadap arsitektur. Untuk dapat menilai dan menghargai arsitektur, tentunya perlu modal
pengetahuan yang tidak sederhana. Ketidak sederhanaan pengetahuan ini setara dengan
kerumitan yang melekat pada arsitektur itu sendiri. Selain ilmu, seseorang yang berapresiasi
dengan arsitektur membutuhkan alat, yaitu segenap indera yang dimiliki dan paling
memungkinkan untuk digunakan dalam menilai atau menghargai arsitektur.

Indera manusia yang berhubungan dengan arsitektur terbagi menjadi berbagai kelompok,
yaitu indera pelihat, pendengar, pencium dan peraba. Dengan penglihatan dapat dirasakan
nuansa ruang dan dinamisitas bentuk arsitektur, pendengaran dan penciuman turut serta
memperkuat ke-khasan arsitektur, sedangkan perabaan selain memperjelas ketajaman tekstur
juga untuk merasakan suhu dan kelembaban tertentu. Menikmati arsitektur tidak hanya dapat
dilakukan dengan melihat gambar-gambar saja, namun perlu diserap ke dalam segenap budi
dan daya tubuh hingga muncul berbagai apresiasi. Karena menyangkut budi daya manusia
itulah maka sebuah karya arsitektur harus dapat diapresiasi unsur estetikanya.

Estetika merupakan salah satu faktor penting dalam perwujudan arsitektur yang telah diteliti
oleh berbagai filsuf selama berabad-abad. Perdebatan mengenai estetika berkenaan dengan
rasa akan keindahan. Sesuatu yang estetis juga memiliki konteks tertentu berkaitan dengan
sudut pandang orang yang berapresiasi. Pandangan estetik dari masyarakat dalam lingkungan
tropis tentu akan berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah dengan iklim 4 musim.
Pandangan estetik dari masyarakat agraris juga akan berbeda dengan masyarakat industrialis.
Setiap konteks memiliki cara tertentu dalam menampilkan estetika dan menrealisasikannya
ke dalam sebuah karya. Karya realis yang paling mudah dirasakan adalah fenomena yang
menyangkut bentuk.

Bentuk arsitektur dipahami sebagai wujud dari sebuah fenomena penciptaan tempat bagi
manusia untuk berbudaya. Bentuk merupakan gubahan hasil pemikiran manusia dalam
mengelola bahan alam sehingga menghasilkan perwujudan yang khas. Masyarakat primordial
menggubah gua-gua alam menjadi tempat yang layak ditinggali. Masyarakat vernakular
menggubah elemen alam dengan kesederhanaannya agar dapat digunakan sebagai pelingung
kegiatan manusia, masyarakat tradisional memberi sentuhan adat dan budaya dari unsur alam
dengan segala kebijakannya. Masyarakat modern melakukan inovasi teknologi untuk dapat
mendayagunakan unsur alam menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam dunia modern yang
kita alami sekarang, faktor industri telah mempengaruhi penciptaan karya arsitektur dengan
segala keterukurannya. Berkembangnya keterukuran bentuk dari pengetahuan bangsa Yunani
menghasilkan ilmu geometri yang berpengaruh besar bagi modernisasi.
Geometri adalah perayaan kemenangan manusia dalam menguasai bentuk. Segala rumusan
dan keteraturan dapat dicari hingga menciptakan ketetapan yang mempermudah kegiatan
manusia dalam berarsitektur. Degan adanya geometri, sebuah bentuk dapat dihitung hingga
menghasilkan perwujudan yang dapat dipertanggung jawabkan secara struktural. Perhitungan
struktur ini menyebabkan perkembangan teknologi yang menginovasi penciptaan bentuk
arsitektur secara lebih radikal, baik dari skala dan bentangannya. Teknologi inilah yang
membuat arsitektur pada saat ini tidak pernah terlepas dari logika struktur dan konstruksi,
bahkan aktualisasi perpaduan antara struktur/konstruksi dan keindahan dalam bentuk tektonik
menjadi sebuah pembahasan tersendiri yang cukup menarik.

Tektonika merupakan hasil budaya manusia dalam memahami arsitektur dan memadukannya
dengan teknologi struktur dan konstruksi. Hunian bagi manusia diawali dengan
memanfaatkan potensi alam dari gua-gua di pegunungan, kemudian perkembangan
pengetahuannya menyebabkan manusia membuat tempat tinggal dengan dari bahan kayu
maupun tanah. Semakin berkembangnya pengetahuan manusia menyebabkan budaya yang
menyentuh elemen hunian dengan unsur estetika. Berbagai teknik sambungan konstruksi dan
bentuk struktur ditemukan hingga memperkaya kazhanah arsitektur di dunia. Terciptalah
bentuk-bentuk arsitektur dengan keanekaragamannya. Bentuk tersebut mewujudkan
pernaungan yang bukan hanya sekedar layak untuk ditinggali, namun lebih dari itu juga
mampu meningkatkan harkat kehidupan manusia dalam berbudaya. Bentuk-bentuk tersebut
telah memberi manusia tempat dalam melakukan kehidupan sehari-hari yang disebut dengan
‘ruang’.

Ruang adalah materi yang dapat berpadu dengan kegiatan manusia. Materi yang tidak dapat
berpadu disebut sebagai ‘batas ruang’ (enclosure). Setiap ruang yang dibuat akan memiliki
karakteristik tertentu. Budaya manusia telah menetapkan ruang dalam penggolongan dan
pemahamannya sendiri. Ruang bagi masyarakat empat musim dipandang sebagai sebuah
kekosongan yang diciptakan tersendiri agar manusia dapat beraktifitas tanpa terganggu
ganasnya alam. Ruang bagi masyarakat dua musim merupakan pengejawantahan rasa syukur
dan lebur dengan alam semesta. Kebudayaan telah membawa manusia memahami ruang
dengan pikir dan rasa yang tinggi, bahkan kebudayan tersebut telah menciptakan arti
tersendiri dari arsitektur yang dipahami dengan keberadaan ‘makna’.

Makna arsitektur dicari dalam proses perancangan dan diungkapkan dalam pembicaraan yang
penuh perhatian. Perhatian ini secara khusus terlingkup dalam paham fenomenologi, di mana
sebuah proses perancangan dibawa kepada ekspresi murni yang menggambarkan arti konsep
esensi dan formula yang mengaturnya. Esensi membuat arsitektur dapat dikenali dalam
intuisi yang berhubungan dengan akar murni dalam realisme pembuktian diri yang asli.
Aktualisasinya dengan cara ‘membuat kembali’ dan ‘kembali kepada basis’. Paham
fenomenologi ternyata bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam menilai kebenaran arsitektur.
Beberapa paham lain juga perlu dipelajari agar apresiasi dapat berjalan secara obyektif.
Paham-paham tersebut dalam sejarah telah mengisi berbagai pemikiran dunia tentang
arsitektur yang terdefinisikan melaui ebrbagai filsafat.

Filsafat merupakan sebuah ilmu pengetahuan kuno yang telah dikembangkan sejak beberapa
abad sebelum masehi. Banyak filsuf menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi
pengambilan keputusan, termasuk di dalam arsitektur. Sejak awal perkembangannya
pemahaman tentang arsitektur dipengaruhi filsafat tradisional barat, kemudian dalam era
modern muncul filsafat-filsafat baru yang cukup deras. Paham rasionalis mempengaruhi cara
pandang terhadap arsitektur agar dapat terwujud dengan logika. Paham empiris merupakan
pemikiran yang mengarahkan arsitektur agar dapat terwujud dari keberhasilan kegiatan
percobaan. Paham strukturalis berusaha mencari kembali makna kehadiran arsitektur sebagai
sebuah sistem. Paham pragmatis menetapkan bahwa arsitektur selayaknya dibuat berdasarkan
model. Paham fenomenologi memandang pengalaman sebagai aspek penting dalam
berarsitektur. Paham intuitif melihat pentingnya rasa dari seorang arsitek dalam mewujudkan
karya. Setiap paham memiliki sudut pandang tersendiri dalam menilai dan mewujudkan
arsitektur. Paham-pahm tersebut berguna sebagai pegangan dalam menilai karya arsitektur
baik dariperwujudannya maupun konsepnya. Perwujudan merupakan aspek teraga (tangibe),
sedagkan konsep merupakan aspek yang tidak teraga (intangible).

Aspek tangible dan intangible telah mewarnai perwujudan arsitektur berdasarkan sudut
pandang yang digunakan oleh arsitek. Seseorang yang ingin berapresiasi dengan karya arsitek
tertentu selayaknya menempatkan diri dalam sudut pandang yang sama dengan arsitektnya.
Seorang arsitek yang menghasilkan karya dengan aspek tangible dalam sudut pandang
struktural tentu tidak akan dapat diapresiasi oleh seseorang dengan penilaian intangible yang
berada dalam sudut pandang eksotisme. Seseorang yang selalu berapresiasi dengan penilaian
intangible dalam sudut pandang paradoksial (perlawanan azas) juga tidak akan pernah dapat
melakukan apresiasi secara tepat pada karya arsitektur yang menggunakan aspek tangible
olah geometri. Demikianlah pentingnya sudut pandang sebagai konteks yang harus dipegang
secara bersama antara karya arsitektur dan orang yang berapresiasi dengannya. Setiap orag
memiliki pemikiran tersndiri dalam menilai yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan
tertentu. Segenap pandangan manusia terjabarkan dalam permasalahan yangmenyakngkut
‘persepsi’.

Persepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan. Persepsi dari
sebuah apresiasi arsitektur tidak hanya terpengaruh indera manusia, namun juga penafsiran
pengalamnnya (the interpretation of experience). Ketika seseorang berapresiasi dengan
arsitektur, maka secara psikologis terjadi sebuah stimulus (rangsangan). Individu menjadi
sadar akan adanya stimuli melalui sel saraf reseptor (indera). Jika sejumlah penginderaan
dikoordinasikan dalam pusat saraf yang lebih tinggi (otak) maka manusia bisa mengenali dan
berapresiasi dengan sebuah obyek arsitektur. Dalam proses pemikiran yang lebih lanjut
individu akan mencari hubungan obyek dengan suatu gejala atau peristiwa. Seseorang yang
berapresiasi dengan hasil karya arsitek perlu untuk memiliki persepsi yang sama dari hasil
pembelajaran pengalaman-pegalaman manusia. Keselarasan persepsi itulah yang akan
menjadi tolok ukur keberhasilan desain arsitektur. Jika persepsi tidak selaras, maka bisa
dimungkinkan tujuan desain akan berbeda dengan segala sesuatu yang dialami oleh penguna.
Untuk menilai pengalaman perseptual dan berbagai fenomena arsitektur lainnya perlu
dilakukan pembelajaran melalui evaluasi karya arsitektur yang telah digunakan.

Evaluasi terhadap karya arsitektur yang telah dipakai biasa disebut dengan ‘post occupancy
evaluation’ (evaluasi pasca huni). Kegiatan ini didefinisikan sebagai pengujian efektifitas
sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia. Pengujian dalam evaluasi pasca huni
diarahkan pada penilaian terhadap efektifitas arsitekturnya sendiri maupun efektifitas
program dan tujuan dirancangnya arsitektur etrhadap kebutuhan pengguna. Kegiatan yang
menyangkut evaluasi pasca huni dapat berupa eksperimen, studi lapangan, studi teoritis dan
penelitian aplikatif.

Anda mungkin juga menyukai