Anda di halaman 1dari 23

Arsitektur Kota

 Teori figure/ground
Teori-teori figure/ground di pahami dari tata kota sebagai hubungan tekstural
antara bentuk yang di bangun (building mass) dan ruang terbuka (open
space).merupakan analisis yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah
tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan, serta mengidentifikasikan
masala keteraturan perkotaan

2.1 pola sebuah tempat


Kemampuan untuk menentukan pola-pola dapat membantu menangani masalah
mengenai ketepatan (constancy) dan perubahan (change) dalam perancangan
kota serta membantu menentukan pedoman-pedoman dasar untuk menentukan
sebuah perancangan lingkungan kota yang konkret sesuai tekstur konteksnya.
                     
Fungi pengaturan
Untuk memahami bagaimanakah pikiran manusia bekerja karena pikiran
manusia menentukan suatu tatanan dunia dalam pikiran tradisional, dunia alam
adalah kacau dan tidak tertib (contoh: daerah hutan). Artinya  manusia cendrung
menggolongkan, mengatur dan menghasilkan bagan-bagan kognitif misalnya
permukiman-permukiman bangunan-banguanan dan pertamanan.

Sistim pengaturan
Suatu lingkungan binaaan tidak dapat di rasakan tanpa adanya suatu bagan
kognitif yang mendasarinya.
 
Beberapa kehidupan dan kegiatan perkotaan secara arsitektural dapat di
klasifikasikan dalam tiga kelompok sebagai berikut:

 Susunan khawasan bersifat homogen yang jelas, dimana ada hanya satu
pola penataan.
 Susunan kawasan yang bersifat heterogen, dimana dua (atau lebih) pola
berbenturan
 Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau.

2.2  dua pandangan pokok terhadap pola kota


Di Sebuah wilayah yg besar seperti kota, muncul aktifitas-aktifitas sangat luas
dan bebeda. Semua aktivitas itu secara umum menggambarkan pilihan yang
dibuat berdasarkan seluruh kemungkinan alternative yang ada. Dengan demikian
kawasan perkotaan tidak mengesankan sebagai suayu bagian daerah yang luas,
melainkan permukiman itu terorganisir menurut prioritas-prioritas tertentu.

Organisasi lingkungan
Dengan kata lain, dapat di ungkapkan suatu prinsip dasar tentang bagaimana
lingkungan kota di organisasikan :

 Kenyataan ini menunjukan bahwa perancangan kota selalu berhadapan dengan


organisasi ruang yang bersifat fisik dan social.
 
Figure yang figurative
Pandangan pertama memperhatikan konfigurasi massa atau blok yang di lihat
secara figurative artinya, perhatian di berikan pada figure massanya.
Kebanyakan orang, baik perancang maupun masyarakat trtarik pada pandangan
tersebut yang dapat di temukan di dalam budaya tradisional, maupun modern.
Misalkan pada masa kini kebanyakan kawasan perkotaan seperti real estate
atau daerah perdagangan juga mengekspresikan cara pandang tersebut.

Ground yang figurative


Pandangan kedua mengutamakan konfigurasi ground (konfigurasi ruang tau
void). Artinya, konfigurasi ruang atau vloid dilihat sebagai suatu bentuk tersendiri.
Dan sekali lagi pandangan ini pun dapat di temukan di dalam budaya tradisional
maupun budaya teknologi.
      Secara teknis pandangan konfigurasi yang bersifat special telah lama di
perkenalkan dan pada saat ini secara umum sering di pakai di dalam
perancangan perkotaan sejak gerakan postmodernisme. Hal itu muncul karena
sebuah kawasan kota atau sebuah gedung sebagai sebuah nucleus (inti) kota
sering menghadapi ketidakteraturan ekstern dalam lingkungannya. Secara
khusus ada teori desain yang di sebut sistim poche yang seringkali membantu
keberhasilan para perancang kota dalam tugas mencari kualitas baru tekstur
figure/ground sebuah khawasan kota yang belum jelas sebelumnnya.

Definisi system poche


Sistim poche dalam lingkungan kota di rumuskan sebagai berikut:

 Sistim desain ini akan sangat membantu arsitek dan perancang kota dalam
masalah menemukan nucleus yang stabil sehingga mampu mengatur
ketidakteraturan ekstern lingkungan masing-masing

Pemakaian sistim poche dalam perancangan kota


Sistim poche sebenarnya tidak baru, melainkan sudah lama di kenal dan sering
di pakai perlu di perhatikan skala perkotaan dimana system ini dapat di pakai
secara efektif.
Tekstur figure/ground perkotaan secara fungsional
      Pada tahun 1748 giambatista nolli seorang arsitek italia, menemukan suatu
cara analitis arsitektural dengan menunjukan secara analitis semua massa dan
ruang perkotaan yang bersifat public (dan semipublic) ke dalam suatu gambaran
figure/ground secara khusus cara analisisnya  sejak waktu itu di sebut dengan
nolli plan dimana semua massa yang bersifat public atau semipublic tidak lagi di
ekspresikan sebagai massa (dengan warna hitam) melainkan di golongkan
bersama tkstur ruang dengan warna putih.

2.2 solid dan void sebagai elemen perkotaan


      Seperti yang telah di katakan, system hubungan di dalam arsitektur
figure/ground mengenal dua kelompok elemen, yaitu solid dan void. Selanjutnya
akan di kemukakan elemen-elemen kedua kelompok tersebut. Ada tiga elemen
dasar yang besifat solid serta empat elemen dasar yang bersifat solid serta
empat elemen dasar yang bersifat void.
      Ke tiga elemen itu merupakan elemen konkrit karena dibangun secara fisik
(dengan bahan massa). Paling mudah untuk di perhatikan adalah elemen blok
tunggal karena bersifat individual. Akan tetapi elemen ini juga dapat di lihat
sebagai bagian dari satu unit yang lebih besar dimana elemen tersebut sering
memiliki sifat yang penting (misalnya sebagai penentu sudut, hirarki atau
penyambung).

3 elemen solid diantaranya

 Blok tunggal (single block)


 Blok yang mendefinisi sisi (edge defining block)
 Blok medan (field block)

4 elemen void diantaranya

 System tertutup yang linear (linear closed system)


 System tertutup yang sentral (central closed system)
 System terbuka yang sentral (central open system)
 System terbuka yang linear (linear open system) 

2.4 void dan solid sebagai unit perkotaan


Sering dipakai istilah untuk unit perkotaan adalah :

Di dalam kota keberadaan unit sangatlah penting, karena unit-unit berfungsi


sebagai kelompok banguanan bersama ruang terbuaka yang menegaskan
kesatuan massa di kota secara tekstural. Melelui kebersamaan tersebut,
penataan kawasan akan tercapai lebih baik kalau massa dan ruang di
hubungkan dan di satukan sebagai suatu kelompok.
Pola dan dimensi unit-unit perkotaan
      Oleh sebab itu, elemen-elemen solid/void tidak boleh di lihat terpisah satu
dengan yang lain, karena secara bersama-sama membentuk unit-unit perkotaan
yang sering menunjukan sebuah tekstur perkotaan di dalam dimensi yang lebih
besar.
      Artinya, setiap kawasan dapat di mengeri bagiannya melalui salah satu cara
tekstur tersebut. Namun, batas antara tekstur dan unit-unit perkotaan tidak selalu
jelas di dalam realitas, karena kawasan kota jarang bersifat homogen, melainkan
memiliki keadaan yang heterogen bahkan sering bersifat menyebar sehingga
agak sulit.

Pola dan dimensi unit-unit perkotaan


Oleh karena itu elemen-elemen void/solid tidak boleh di lihatterpisah satu sama
yang lain, karena secara bersama-sama membentuk unit-unit perkotaan yang
sering menunjukan sebuah tekstur perkotaan di dalam dimensi yang lebih besar.
Di bedakan enam pola kawasan kota secara tekstural, yaitu grid, angular,
kurvilinear, radial, kosentris, aksial,serta organis. Namun batas antara tekstur
dan unit-unit perkotaan tidak selalu jelas dalam realita karena kawasan kota
jarang bersifat homogen, melainkan heterogen, bahkan menyebar. Sehingga
agak sulit. Untuk mengatasi hal itu, dalam analisi perlu di perhatikan 3 variabel
terstruktur yakni tingkat keteraturan, tingkat keseimbangan,tingkat
kepadatan.antara masa dan ruang sehingga pengelompokan dapat di capai.

Kesimpulan
Pembentukan solid/void dengan elemen-elemennya sangat berbeda, bahkan
juga pola hubungan di antara keduannya. Secara arsitektural bentuk-bentuk
masa dan ruang serta pola kombinasinya secara tekstural dapat di analisa
secara tepat dengan memperhatikan teori yang di kemukakan di dalam bab ini 
dambar di bawah memberikan suatu kesimpulan tentang pemakaian bentuk segi
empat dan pola grid saja 
 
3. Teori lingkage
 
3.1 Hubungan sebuah tempat dengan yang lain
Pembahasan sebelumnya lebih banyak diberikan pada pola kawasan perkotaan
serta bagaimanakah keteraturan massa dan ruangnya secara tekstural. Namun
demikian, perlu dilihat keterbatasan kelompok teori figure/ground karena, di
samping memiliki kelebihan, pendekatannya sering mengarah ke gagasan-
gagasan ruang perkotaan yang bersifat dua dimensi saja dan perhatiannya
terhadap ruang perkotaan terlalu statis. Artinya, dinamika hubungan secara
arsitektural berbagai kawasan kota belum diperhatikan dengan baik.
      Oleh sebab itulah, perlu diperhatikan suatu kelompok teori perkotaan lain
yang membahas hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai
aspek sebagai suatu generator perkotaan. Kelompok teori itu disebut dengan
istilah lingkage (penghubung), yang memperhatikan dan menegaskan hubungan-
hubungan dan gerakan-gerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (urban
fabric). Sebuah lingkage perkotaan dapat diamati dengan cara dan pendekatan
yang berbeda. Di dalam bab ini lingkage perkotaan akan dikemukakan dalam
tiga pendekatan yaitu:
   Lingkage yang visual
   Lingkage yang struktural
  Lingkage bentuk yang  kolektif.

Kota adalah sesuatu yang kompleks dan rumit, maka perkembangan kota sering
mempunyai kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di
daerah kota yang belum mereka kenal. Hal itu sering terjadi di daerah yang tidak
mempunyai lingkage. Setiap kota memiliki banyak fragmen kota, yaitu kawasan-
kawasan kota yang berfungsi sebagai beberapa bagian tersendiri dalam kota.
 
      Walaupun identitas serta bentuk massa dan ruang fragmen-fragmen itu bisa
tampak sangat jelas, orang masih sering bingung saat bergerak di dalam suatu
daerah yang belum cukup mereka kenal. Kota kota seperti New York atau
Mexico City dan juga kota-kota di Asia telah menggambarkan masalah tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa jumlah kuantitas dan kualitas masing-masing bagian
(fragmen) di kota tersebut belum memenuhi kemampuan untuk menjelaskan
sebagai bagian dalam keseluruhan kota. Oleh karena itu, diperlukan elemen-
elemen penghubung, yaitu elemen-elemen lingkage dari satu kawasan ke
kawasan lain yang membantu orang untuk mengerti fragmen-fragmen kota
sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar.

  
3.2 Lingkage visual
Istilah ‘lingkage visual’ dapat dirumuskan sebagai:
Dalam lingkage yang visual dua atau lebih banyak fragmen kota dihubungkan
menjadi satu kesatuan secara visual.
 
      Edmund Bacon membahas tema ini secara mendalam. Bukunya sudah
menjadi standar di dalam teori perkotaan yang secara khusus memperhatikan
lingkage yang visual. Teorinya menjadi terkenal pada saat ia mengemukakan
kasus-kasus yang menunjukkan dampak elemen-elemen visual di dalam sejarah
kota. Artinya, elemen-elemen tersebut sudah lama dikenal dan dapat dipakai
baik dalam skala makro besar maupun makro kecil, yaitu dalam kota secara
keseluruhan maupun dalam kawasan kota, karena sebuah lingkage yang visual
mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Pada dasarnya, ada dua
pokok perbedaan linkage visual, yaitu:
-          Yang menghubungkan dua daerah secara netral;
-          Yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan satu daerah
Kebanyakan penghubung bersifat kaitan saja dan dapat ditemukan di banyak
daerah di kota-kota seluruh dunia, misalnya kota-kota di Italia atau di kota-kota
Amsterdam (Belanda), Washington (Amerika Serikat), Jaipur (Cina), Yogyakarta
(Indonesia), dan banyak kota lain.
Hubungan yang bersifat sebagai fokus lebih sedikit, karena memusatkan sebuah
kawasan tertentu. Walaupun demikian, cara keterkaitan tersebut juga ada di
beberapa daerah di kota-kota, khususnya di dalam pusatnya. Contoh yang baik
ada di Versailles (Prancis), atau beberapa daerah pusat di Roma (Italia), atau
daerah Arc de Triumph di Paris (Prancis), serta daerah Monas Jakarta
(Indonesia). Daerah ‘fokus’ tersebut sering memiliki juga fungsi dan arti khusus di
dalam kotanya karena bersifat lebih dominan dan menonjol daripada
lingkungannya.
 
Lima elemen lingkage visual
Selanjutnya akan diperkenalkan lima elemen lingkage visual yang menghasilkan
hubungan secara visual, yakni garis, koridor, sisi, sumbu, dan irama. Setiap
elemen memiliki ciri khas atau suasana tertentu yang akan digambarkan satu per
satu. Bahan-bahan dan bentuk-bentuk yang dipakai dalam sistem
penghubungnya dapat berbeda. Namun, perlu ditekankan bahwa dengan
merancang lanskap (yang sering hanya dianggap sebagai dekorasi perkotaan),
akan sangat efektif bila menghubungkan fragmen dan bagian kota dengan cara
lingkage visual.
 
      Elemen garis menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu
deretan massa. Untuk massa tersebut bisa dipakai sebuah deretan bangunan
ataupun sebuah deretan pohon yang memiliki rupa assif. Elemen koridor yang
dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) membentuk sebuah
ruang. Elemen sis sama dengan elemen garis, menghubungkan dua kawasan
dengan satu massa. Walaupun demikian, perbedaanya dibuat secara tidak
langsung, sehingga tidak perlu dirupakan dengan sebuah garis tidak langsung,
sehingga tidak perlu dirupakan dengan sebuah garis yang massanya agak tipis,
bahkan hanya merupakan sebuah wajah yang massanya kurang penting.
Elemen tersebut bersifat massif di belakan tampilannya, sedangkan di depan
bersifat spasial. Elemen sumbu mirip dengan elemen koridor yang bersifat
spasial. Namun, perbedaan ada pada dua daerah yang dihubungkan oleh
elemen tersebut, yang sering mengutamakan salah satu daerah tersebut.
Elemen irama, menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.
Elemen tersebut jarang diperhatikan dengan baik, walaupun juga memiliki sifat
yang menarik dalam menghubungkan dua tempat secara visual.
 
      Elemen-elemen tersebut akan digambarkan dengan berbagai contoh yang
menegaskan sifat elemen masing-masing. Perlu ditegaskan di sini bahwa cara
pemakaian lanskap di dalam kota akan sangat mendukung dan memperjelas
sistem hubungan yang ada di dalam kota. Sayangnya, potensi penanaman
pohon-pohon jarang dipakai sesuai kebutuhan lingkungan, baik secara visual
maupun fungsiaonal (sudah deketahui bahwa pohon-pohon besar adalah ‘paru-
paru kota’ dan mengurangi kepanasan dan udara kotor di dalam kota!). Pohon-
pohon hanya dianggap sebagai penghias kawasan kota saja. Sudah saatnya
bahwa pendekatan terhadap lanskap – dan secara khusus mengenai pohon-
pohon – diganti dengan suatu pendekatan yang lebih berarti di dalam kota, lebih-
lebih di dalam kota tropis. 
 
3.3 Lingkage struktural  
Sebuah kota memiliki banyak kawasan. Beberapa kawasan mempunyai bentuk
dan ciri khas yang mirip, tapi ada juga kawasan yang sangat berbeda. Sering
pula terjadi perbedaan antara kawasan yang letaknya saling berdekatan
sehingga terlihat agak terpusan dan berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena
kurangnya bentuk jaringan. Dalam kota sering terlihat tidak adanya hubungan
antara satu daerah dan yang lain. Permasalahan tersebut telah dicoba untuk
diatas dengan pendekatan lingkage yang visual. Tetapi solusi visual tersebut
sering kurang tepat, sehingga perlu ditambahkan bahwa masalah kurangnya
bentuk jaringan kawasan perkotaan juga penting dibahas secara struktural. Di
dalam realitasnya, kota tidak hanya mementingkan masalah yang bersifat visual
saja, tetapi juga hubungan strukturalnya, yang jarang sekali diperhatikan dengan
baik dalam perancangan perkotaan. Colin Rowe sebagai tokoh perancang kota
secara struktural melihat masalah tersebut sebagai ‘suatu krisis objek-objek
perkotaan dengan kondisi struktrur yang sangat disayangkan’. Ia
menggambarkan bahwa kawasan-kawasan yang tidak terhubungkan secara
struktural, atau terhubungkan tapi secara kurang baik, akan menimbulkan suatu
kualitas kota yang diragukan.

Lingkage struktural dengan sistem kolase


Lalu bagaimana perancang kota dapat mengatasi secara arsitektural masalah
perbedaan kawasan-kawasan yang nyata ini? Colin Rowe memakai sebuah
sistem perancanaan yang mampu mengatasi masalah tersebut dengan
menyatukan kawasan-kawasan kota melalui bentuk jaringan struktural yang lebih
dikenal sebagai sistem kolase. Istilah ‘kolase’ (dari bahasa inggris; collage)
biasanya dipakai di bidang seni lukis yang bersifat tekstural saja, di mana
sebuah gambar ditempel dengan beberapa bahan tekstur (yang sering berbeda-
beda) menjadi satu kesatuan di dalam tatanannya. Pada tingkat kota, Rowe
mengamati bahwa sistem kolase ini juga dapat dipakai secara efektif sebagai
berikut:
Dalam lingkage yang struktural dua atau lebih bentuk struktur kota digabungkan
menjadi satu kesatuan dalam tatanannya.
 
Sama seperti lingkage yang visual, dalam lingkage yang struktural pada
dasarnya dapat diamati dua perbedaan pokok sebagai berikut:
-          Menggabungkan dua darah secara netral;
-          Menghubungkan dua darah dengan mengutamakan satu daerah.
Pemakaian kedua cara terseebut juga tergantung pada fungsi kawasan di dalam
konteks masing-masing. Tidak setiap kawasan memiliki arti struktural yang sama
di dalam kota, sehingga cara hubungannya secara hierarkis juga dapat berbeda
(menyamakan dua kawasan atau mengutamakan salah satunya).

Fungsi lingkage struktural di dalam kota


Dalam lingkage struktural yang baik, pola ruang perkotaan dan bangunannya
sering berfungsi sebagai sebuah stabilisator dan koordinator di dalam
lingkungannya, karena setiap kolase (atau dengan kata lain, penghubung
fragmen-fragmen) perlu diberikan stabilitas tertentu dan koordinasi tertentu
dalam strukturnya. Tanpa ada daerah-daerah yang polanya tidak dikoordinasikan
serta distabilisasikan tata lingkungannya, maka cenderung akan muncul pola tata
kota yang kesannya agak kacau. Hal itu dapat diatasi dengan memprioritaskan
sebuah daerah yang menjelaskan lingkungannya dengan suat struktur, bentuk,
wujud, atau fungsi yang memberikan susunan tertentu di dalam prioritas
penataan kawasan.
 
Elemen-elemen lingkage struktural
Ada tiga elemen lingkage struktural yang mencapai hubungan secara
arsitektural, yaitu: tambahan, sambungan, serta tembusan. Setiap elemen
tersebut memiliki ciri khas dan tujuan tertentu di dalam sistem hubungan dengan
berbagai kawasan perkotaan. Karena tiga elemen struktural ini bersifat agak
abstrak, sering kali elemen-elemen lingkage yang struktural kurang diperhatikan
di dalam perancangan perkotaan.
 
      Secara struktural elemen tambahan melanjutkan pola pembangunan yang
sudah dan sebelumnya. Bentuk-bentuk massa dan ruang yang ditambah dapat
berbeda, namun pola kawasannya tetap dimengarti sebagai bagian atau
tambahan pola yang sudah ada di sekitarnya.
 
      Berbeda halnya dengan elemen sambungan karena elemen ini
memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasannya. Dengan pola baru ini,
diusahakan menyambung dua atau lebih banyak pola di sekitarnya, supaya
keseluruhannya dapat dimengerti sebagai satu kelompok yang baru memiliki
kebersamaan melalui sambungan itu. Elemen tersebut sering diberi fungsi
khusus di dalam lingkungan kota, karena rupanya agak istimewa.
 
      Lain pula halnya dengan ciri khas elemen tembusan karena elemen ketiga
ini tidak memperkenalkan pola baru yang belum ada. Elemen tembusan sedikit
mirip dengan elemen tambahan, namun lebih rumit polanya karena di dalam
elemen tembusan terdapat dua tau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan
akan disatukan sebagai pola-pola yang sekaligus menembus di dalam satu
kawasan. Dengan cara demikian, sebuah kawasan yang memakai elemen
tembusan tidak akan memiliki keunikan dari dirnya sendiri, melainkan hanya
‘campuran’ dari lingkungannya.
 
      Colin Rowe mengemukakan beberapa kasus di dalam sejarah kota, misalnya
di kota Roma, Italia. Sistem lingkage struktural sudah lama dipaka dalam suatu
kualitas menghubungkan berbagai kawasan. Oleh karena itu, banyak tokoh
perancang tertarik menerapkan teori Colin Rowe (mengenai perhatian kota
secara struktural). Misalnya Roger Trancik memakai linkage struktural untuk
sebuah studi pengembangan kawasan kota Goteborg di Sweida. Dalam
pernacangan tersebut sistem lingkage struktural dipakai dalam menggunakan
elemennya secara baik.
 
3.4 Lingkage sebagai bentuk kolektif
Seperti telah dikemukakan terdahulu, kelompok teori lingkage memperhatikan
susunan dan hubungan bagian-bagian kota satu dengan yang lainnya. Roger
Trancik membandingkan dinamika itu seperti suatu komposisi musik dengan
suatu sistem datum. Dan Francis Ching memakai istilah yang sama dengan
definisi berikut ini:
Suatu datum diartikan sebagai suatu garis, bidang atau ruang acuan untuk
menghubungkan unsur-unsur lain di dalam suatu komposisi. Datu mengorganisir
suatu pola acak unsur-unsru melalui ketertaturan kontinuitas dan kehadirannya
yang konstan. Sebagai contoh, garis-garis lagu berfungsi sebagai suatu datum
yang memberi dasar visual untuk membaca not dan irama nada-nada yang ada
secara relatif.
Garis-garis lagu adalah suatu datum konstan yang menyiapkan suatu bingkai
ciptaan pada seorang komponis. Itu sama halnya dengan lingkungan perkotaan,
karena suatu datum (atau kesamaan) yang bersifat spasial akan berfungsi
sebagai landasan tertentu. Contoh datum yang bersifat spasial adalah sebuah
garis lahan-lahan, suatu aliran gerakan yang diarahkan, sebuah sumbu yang
bersifat organisasional atau sebuah sisi kelompok bangunan. Sebetulnya bentuk
dan pola datum perkotaan sudah banya k sekali. Ching mengamati dengan baik,
bahwa sebagai pengatur yang efektif, sebuah garis datum harus memiliki
kontinuitas visual untuk menembus atau melintasi semua unsur yang diorganisir
sebagai figure yang dapat merangkum atau mengumpulkan semua unsur-unsur
yang terorganisir di dalam lingkungannya. Jika demikian, garis datum yang
spasial itu menunjukan suatu sistem penghubung yang perlu dipertimbangkan
seandainya ada suatu tambahan atau perubahan massa atau ruang di dalam
lingkungannya.
 
      Walaupun demikian, di dalam realitas kota dan perancangannya, faktor
penting itu jarang diperhatikan degnan baik. Sering dilupakan bahwa sebuah
kota memiliki arti luas daripada jumlah gedung dan prasarananya saja. Sebuah
kota hanya akan berarti sebagai sejumlah unit-unit. Kenyataan tersebut telah
dibahas dengan memperhatikan unit-unit secara visual dan struktural. Meskipun
demikian, masih perlu ditambah satu cara lagi yang memperhatikan secara
langsung keadaan rupa bentuk yang bersifat kolektif di dalam kawasan kota.
 
      Implikasi keadaan tersebut sering kurang disadari. Masalah itu muncul
karena secara nyata di kota juga ada kawasan yang berbentuk kolektif, tetapi
bentuk tersebut sering kurang jelas dalam batasan maupun ciri khasnya.
Kenyataan ini menunjukkan perlu adanya perhatian secara khusus terhadap
analisis mengenai keberadaan bentuk-bentuk kolektif di dalam kota, karena
dengan hal tersebut akan dicapai landasan perancangan untuk memperkuat
kualitas kawasan melalui pengelompokan berbagai objek sebagai bagian dari
satu bentuk kolektif. Perhatian perlu diberikan secara khusus pada ciri khas,
organisasi, dan hubungan bentuknya yang bersifat kolektif, baik di suatu derah
maupun dengan daerah yang lain, karena sebuah kota memiliki banyak wilayah
yang mempunyai arti terhadap hubungan dari dalam maupun luar, yaitu dari diri
sendiri maupun dari lingkungannya. Oleh sebab itu, kawasan-kawasan
perkotaan yang mempunyai sifat bentuk kolektif merupakan karakterisktik
perkotaan yang penting. Fumihiko Maki menganggap kriteria linkage tersebut
sebagai karakteristik yang sangat penting di dalam lingkungan perkotaan:
Penghubung (lingkage) adalah hakikat utama di dalam kota. Penghubung adalah
tindakan yang menyatukan semua lapisan aktivitas serta hasilnya yang memiliki
rupa secara fisik di dalam kota ... Perancangan kota memperhatikan pertanyaan
yang membuat hubungan secara luas antara objek yang dipisahkan. Sebagai
akibatnya, penghubungan memperhatikan upaya memperjelas sebuah
keberadaan yang luas sekali dengan mengartikulasi bagiannya.
 
Perbedaan dan hubungan terhadap lingkungan
Supaya sebuah bentuk kolektif dapat dilihat, maka syarat yang diperlukan adalah
bagaimana fungsi arsitektural dari bentuk kolektif tersebut. Ada dua syarat, yaitu
bentuk kolektif yang berbeda dengan lingkungannya dan bentuk kolektif yang
berhubungan dengan lingkungannya.
 
Bentuk kolektif yang berbeda dengan lingkungannya
Sebuah bentuk kolektif tidak dapat dilihat tanpa sedikitnya wujud perbedaan
terlihat pada lingkungannya. Hal itu berarti bahwa batasan visual atau struktural
diperlukan agar bentuk kolektif jelas dalam keseluruhannya. Batasan visual atau
struktural itu bisa elemen alamiah ataupun buatan.
 
Bentuk kolektif yang berhubungan dengan lingkungannya
Sebuah bentuk kolektif tidak dapat dilihat tanpa sedikitnya wujud hubungan
tampak pada lingkungannya. Hal itu berarti bahwa suatu hubungan visual atau
struktural diperlukan supaya bentuk kolektif felas dalam keseluruhannya.
Hubungan visual atau struktural itu boleh menjadi elemen alamiah atau buatan.
 
Elemen-elemen sistem bentuk kolektif
Fumihiko Maki melihat tiga tipe bentuk kolektif, yaitu compositional form,
megaform, serta groupform.
      Sebuah compositional form atau ‘bentuk komposisi’ merancang objek-
objek seperti komposisi dua dimensi dan individual yang hubungan antara
masing-masing agak abstrak. Dalam tipe ini lingkage agak sedikit diasumsikan
dan tidak langsuang kelihatan. Tipe ini sering dipakai dalam desain
fungsionalisme atau gerakan Modernisme Klasik pada tahun 1930-an sampai
sekarang. Namun demikian, penghubung tersebut sering kurang memperhatikan
fungsi ruang terbuka di dalam segala aktivitas para pelakunya. Oleh sebab itu,
ruang terbuka di dalam pembentukan tersebut sering berkualitas rendah karena
tidak terwujud dengan jelas serta tidak dapat dipakai dengan baik secara
fungsional.
 
      Sebuah megaform atau ‘bentuk mega’ menghubungkan struktur-struktur
seperti bingkai yang linear atau sebagai grid. Dalam tipe ini, lingkage dicapai
melalui hierarki-hierarki yang bersifat open ended (masih terbuka untuk
berkembang). Secara alami  megaform dapat dilihat di dalam skala yang
bermacam-macam. Suatu contoh yang paling tampak dan umum adalah bentuk
dan pola pohon. Banyak eksperimen desain tipe seperti ini dibuat pada tahun
1960-an yang memberikan perhatian secara khusus pada kota yang bersifat
megastruktural. Pada masa kini perhatian pada elemen megaform sudah
berkurang, namun cara perancangannya masih sering dipakai dalam proyek-
proyek besar, khususnya kalau melibatkan banyak prasarana dan sirkulasi di
dalam kawasan yang bersifat makro (misalnya lapangan terbang, stasiun,
kampus, industri, daerah metropolitan, dan sebagainya). Nama elemen tersebut
sudah menjelaskan bahwa sebuah  megaform kurang tepat dalam skala mikro
saja (yaitu gedung) karena sifat elemen tersebut cenderung makro.
 
      Sebuah groupform muncul dari penambahan akumulasi bentuk dan struktur
yang biasanya berdiri di samping ruang terbuka publik. Dalam tipe ini lingkage
dikembangkan secara organis. Kota kuno dan desa tradisional cenderung
mengikuti tipe ini. Tetapi pada saat ini elemen groupform juga sering dipakai
dalam perancangan kawasan baru dengan dibuat suatu akumulasi banguan
sebagai satu kelompok. Kompleks tersebut akan mengekspresikan suatu
persamaan bangunan di dalam kawasannya, yang terwujud melalui pola struktur
bangunannya yang saling terikat.
 
3.5 Kesimpulan
      Di dalam bab ini dibahas tiga macam cara penghubungan, yaitu linkage
visual, linkage struktural, serta linkage bentuk kolektif. Semua pembahasaan
tersebut menarik perhatian pada sistem bagaimana kawasan-kawasan kota
sebagai sebuah produk arsitektural dihubungkan satu dengan yang lain.
 
      Penghubung bagian-bagian kota satu dengan yang lain memang kriteria
yang penting sehingga kawasan-kawasan kota bisa dipahami sebagai sebuah
hierarki yang lebih besar daripada hierarki yang ada di dalamnya saja. Cara
penghubungannya secara arsitektural dapat dilakukan sesuai konteksnya, yang
masing-masing memiliki kriteria arsitektural tersendiri, yaitu secara visual,
struktural, atau melalui bentuk kolektif. Tingkat penhubungan dapat berbeda
pula, baik secara kuantitas maupun kualitas. Oleh sebab itu, dibutuhkan suat
kepekaan yang baik terhadap lingkungan agar suat intervensi arsitektural di
dalamnya dapat meningkatkan kualitas penghubungan dalam lokasi secara
keseluruhan. Peningkatan itu akan juga menguntungkan intervensi terebut bagi
diri sendirinya. Bab berikut secara khusus akan berfokus pada hal tersebut,
karena tanpa pembahasaan sebuat ‘arti’ dari suat produk, maka produk tersebut
belum dapat dipahami dengan baik.
 
4. Teori place
 
4.1 Makna sebuah tempat
Pada bab ini dibahas makna sebuah kawasan sebagai sebuah tempat perkotaan
secara arsitektural. Manusia memerlukan suatu sistem places (tempat-tempat
tertentu) yang berarti dan agak stabil untuk mengembangkan kehidupan dan
budayanya. Kebutuhan itu timbul karena adanya kesadaran orang terhadap
suatu tempat yang lebih luas daripada hanya sekadar masalah fisik saja.
Pandangan umum mengenai sistem places dapat sengat berbeda, misalnya
antara sistem places perdesaan dan sistem places perkotaan. Namun pada
setiap tempat, agar dapat dilihat dan dirasakan, orang memerlukan suatu
batasan dengan makna tertentu. Ada dua pengamatan yang menarik dalam hal
tersebut:
Sebuah batas bukan ditentukan karena sifatnya sebagai daerah tempat berhenti,
melainkan di mana sebuah tempat memulai kehadirannya.
Bagian dari keadaan sebuah tempat yang baik adalah perasaan yang kita miliki
terhadapnya, yang terwujud dan dilindungi oleh sebuah medan yang spasial
yang dimiliki sendiri dengan pembatasannya serta kesanggupannya.
 
Kenyataan itu kurang diperhatikan di dalam kota modern. Misalnya, gerakan
arsitektur modern yang disebut gaya internasional (international style), dengan
puncaknya pada pertengahan abad ke-20, sama sekali tidak memperhatikan
aspek tersebut, karena fokus hanya diberikan pada objek-objek secara
fungsional saja. Pada masa kini konsep-konsep perkotaan dari gerakan itu
terbukti gagal di dalam realitasnya: beberapa tokoh arsitek sudah mengusulkan
gagasan-gagasan baru, misalnya para arsitek dari TEAM 10, TAU-Group dari
Prancis, Rob dan Leon Krier bersaudara dari Luxemburg, Hermann Herzberger
dari Belanda, atau Hans Hollein dari Jerman, dan lain-lainnya. Namun, sampai
saat ini pemikiran para perancang secara umum masih sangat dipengaruhi oleh
gerakan modernisme yang sudah terbukti gagal tersebut, ditambah lagi dengan
gerakan post-modernisme yang sering dipakai sebagai alat ‘dekorasi’ kawasan
perkotaan saja.
 
Definisi place
Apa yang dimaksud dengan kata place, dan apa perbedaan antara place dan
space? Christian Norberg-Schulz member difinisi umum berikut ini:
 Sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suat ciri khas
tersendiri.

 Lebih lanjut secara arsitektural Roger Trancik merumuskan secara lebih


spesifik:

 Sebua space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebua
space  menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang
berasal dari budaya daerahnya.

 
Artinya, sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan
suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Suasan itu tampak dari benda
yang konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda yang abstrak, yaitu
asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh manusia di tempatnya. Aldo
van Eyck mengatakan:
"Whatever space  and time  mean,  place  and occasion mean more".
 
Aldo van Eyck mengembangkan konsep yang sudah umum, yaiut ‘space-time-
conception’ secara lebih mendalam dengan memperhatikan perilaku manusia di
dalam konsep tersebut. Ia mengamati bahwa istilah abstrak ‘ruang’ (space) di
dalam citra manusia akan lebih konkret jika dapat dialami sebagai ‘tempat’
(place), dan istilah ‘waktu’ (time) menjadi lebih konkret jika dilihat sebagai suatu
‘kejadian’ (occasion). Ia mengamati bahwa selama setengah abad ini
kebanyakan arsitek modern menegaskan suatu perbedaan antara ‘di luar’
(outside) dan ‘di dalam’ (inside), yaitu antara interior dan eksterior bangunan.
Namun menurut Van Eyck, tugas para arsitek sebtulnya adalah selallu
menyiapkan bagi manusia sebua keadaan yang bersifat ‘di dalam’ (inside). Hal
ini tersebut juga berlaku untuk ‘di luar’ (outside), yaitu di antara bangunan,
karena selama orang hidup dia selalu berada di dalam ruang, baik di dalam
maupun di luar gedung. Arsitektur dan urbanisme mengandung usaha
penciptaan sebuah interior untuk di dalam (inside) maupun di luar (outside).
Ruang yang berada di luar bangunan lebih baik diperhatikan sebagai sebuah
bagian yang penting bagi manusia yang hidup di dalamnya.
 
     P.H. Chombart de Lauwe sebagai ahlli sosiologi membahas tema tersebut
secara mendalam. Ahli arsitektur-antropologi Amos Rapoport mengembangkan
bidan EBR (Environmental Behavior Relations) yang memperhatikan secara
khusus hubungan antara lingkungan yang dibangun (built-environmental) dan
perilaku manusia (human behavior).
 
     Dalam rumusan dan penjelasan ini, penting kiranya untuk menganalisis dan
merancang kawasan perkotaan dari segi konteks, citra, dan artistiknya secara
mendalam, karena jelaslah jenis dan rupa places yang memungkinkan
occasions di dalamnya akan mempengaruhi masyarakat di tempatnya. Itulah
bahan yang sebetulnya perlu diperhatikan di dalam kelompok teori perkotaan
yang ketiga ini. Oleh karena akan mengungkap suatu pandangan atau
pengalaman terhadap ruang kota sebagai tanda kehidupan perkotaan melalui
pembentukan dan pemakaian place di dalam lingkungan tempatnya, baik secara
konkret maupun abstrak.
 
4.2 Konteks kota
Sebuah bangunan tidak perlu menjiplak berbagai gaya lingkunganya supaya
dapat disebut kontekstual dan mendukung kesatuan lingkungan. Di dalam
pembangunan gedung-gedung baru, secara kontekstual perlu diterapkan prinsip-
prinsip tertentu yang berasal dari lingkungannya. Ada pengamatan yang menarik
dalam hal tersebut:
 Di dalam perancangan kontekstual yang benar perlu lebih banyak
diperhatikan sejarah kawasan, kebutuhan masyarakat, tradisi ketukangan
dan pemakaian bahan, serta realitas politik dan ekonomi masyarakatnya,
daripada hanya sekadar analisis-analisis yang dangkal.

 Perancangan tidaklah lebih dari proses pencarian apa yang diinginkan


seseorang atau suatu objek: bentukan yang dibuat oleh mereka sendiri
merupakan bentuk dari hasil proses pencarian itu sendiri. Tidak diperlukan
suatu penemuan baru oleh perancang; yang dibutuhkan ialah
mendengarkan baik-baik saja.

Dengan kata lain, suatu perancangan yang kontekstual merupakan hasil dar
suatu proses mengalihkan arti lingkungan ke dalam sebuah objek baru
 
Konteks dan kontras
Walaupun demikian, suatu perancangan secar kontekstual tidak boleh
mengabaikan kontras, karena konras dibutuhkan untuk menciptakan sebuah
lingkungan yang menarik dan kreatif. Diamati dengan baik bahwa prinsip
‘kontras’ hanya bersifat sebagai ‘bumbu makanan’ yang perlu dipakai dengan
hati-hati, supaya ‘makanan’ tetap sedap. Dalam kawasan perkotaan, kontras
adalah salah satu alat perancangan yang bagus, dan akan meningkatkan
kualitas kawasan jika dipaik dengan cara yang baik. Namun sebaliknya, tanpa
perhatian yang sungguh-sungguh, akan terjadi pemusnahan yang mengubah
sebuah kawasan ke arah kekacauan. Secara nyata pada masa kini di dalam
pembangunan perkotaan, kontras terlalu sering dipakai dan sifatnya sering
disalahgunakan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan suatu pemahaman yang
baik menganai kontras dan sifat-sifat dasarnya serta keterbatasannya, agar
suatu kontras menjadi seimbang dengan konteksnya. Ada klasifikasi enam
tingkat perbedaan antara dua bentuk, yaitu bentuk-bentuk yang sama serupa,
mirip serupa, variasi, diferensiasi, kontras, serta kontras radikal.
      
      Makin meningkatnya perbedaan antara dua bentuk makin menghilangkan
kesamaannya. Dinamika tersebut perlu diperhatikan secara khusus di dalam
kawasan perkotaan. 
 
Dua elemen perkotaan yang kontekstual
Selanjutnya secara konkret perlu diperhatikan kedua elemen pokok perkotaan
yang mendefinisikan secara mendasar sebuah konteks tertentu, yaitu elemen
place yang statis, serta elemen place  yang dinamis.
 
      Secara arsitektural sebuah tempat yang bersifat statis yang berbeda dengan
konteks yang bersifat dinamis. Perbedaan dasarnya secara spasial terletak pada
arah dan gerakan di dalam lingkungannya. Dalam berbagai teori perkotaan
sedara kontekstual, kedua elemen ini dikenal dengan bermacam-macam nama
yang agak membingungkan. Misalnya, di dalam bahasa Inggris istilah place (sam
dengan istilah Platz dalam bahasa Jerman) dipaka secara umum, tetapi juga
dipakai secara khusus untukk suatu tempat yang cenderung bersifat statis, yang
kadang-kadang juga disebut sebaga square (skala makro) atau court (skala
mikro). Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa istilah yang masing-masing
memiliki makna tertentu. Misalnya, istilah ‘alun-alun’ dipakai untuk sebuah
tempat khusus di pusat kota saja. Istilah ‘lapangan’ biasanya dipakai untuk
sebuah tempat yang sudah memiliki fungsi tertentu (untuk olah raga dan lain-
lain), serta istilah ‘halaman’ cenderung bersifat mikro saja. Istilah ‘ruang kosong’
yang kebanyakan bersifat statis juga dipakai, namun istilah tersebut memiliki
bermacam arti, sama dengan istilah ‘jalan’ yang sifatnya dinamis. Oleh karena
itu, di dalam buku ini kedua elemen kontekstual dibedakan dengan pemakaian
kedua istilah dasar, yaitu ruang statis serta ruang dinamis. Selanjutnya secara
teknis hanya dua istilah tersebut yang akan dipakai.
 
      Di sini tidak ada maksud untuk membahas kawasan perkotaan yang
kontekstual dari sudut pandang berbagai bidang ilmu (antropologi dan
sebagainya) ataupun dari sudut pandang yang subjektif (misalnya gaya).
Perhatian hanya akan diberikan secara dasar pada pembicaraan formulasi
bentuk dan ruang yang berfokus secara arsitektural pada suatu konteks secara
objektif dan umum.
 
      Pada dasarnya, pembentukan dua elemen pokok ini dapat dilihat dalam dua
karakteristik dasar yang bersifat arsitektural, yaitu rupa dan tampak. Dua tokoh
teori perancangan kota, yaitu Rob Krier dan Jim McCluskey, mendefinisikan
ruang statis/dinamis dari empat aspek, yaitu dari tipologi, skala, hubungan, dan
identitas. Keempat aspek ini perlu diperhatikan secara mendalam karena hanya
melalui aspek-aspek pokok inilah kedua karakteristik ‘rupa’ dan ‘tampak’ dapat
dibahas secara objektif. Masalah tersebut sering dilupakan, bahkan
dicampuradukkan dengan masalah geometri dan stetika perancangan perkotaan
yang sering berpandangan subjektif.
 
Tipologi
Pada dasarnya, tipologi bentuk sebuah tempat tidak selalu sudah jelas, karena
bisa jadi ada campuran antara sifat yang statis dan dinamis. Demikian pula batas
tidak selalu jelas. Selanjutnya, tipologi kedua elemen tersebut akan dibahas satu
demi satu.
 
Tipologi ruang statis. 
 Sejak awal abad ini, karakter ruang terbuka yang bersifat statis di dalam kota
hanya dianggap sebagai tempat estetik perkotaan, khususnya di Eropa. Oleh
sebab itu, karakter tempat tersebut hanya digolongkan pada geometrinya saja
tanpa memperhatikan fungsinya di dalam kota. Misalnya, teori perancangan kota
yang terkenal dari Rob Krier berusaha menggolongkan semua tempat tersebut
sesuai bentuknya dengan pemakaian elemen geometri dasar saja, yaitu
lingkaran, segitiga, bujur sangkar, serta kombinasinya. Banyak pengkritik,
khususnya yang berhubungan dengan ilmu sosial, mempermasalahkan makna
teori tersebut sebagai sesuatu yang lihiriah saja. Walaupun anggapan tersebut
betul, jelas bahwa ruang perkotaan yang bersifat statis juga tidak bisa
diklarsifikasikan dari sudut pandang bidang sosial saja melainkan juga memiliki
arti yang diekspresikan melalui bentuknya.
 
      Hans J. Aminde menggabungkan dengan baik kedua pendekatan tersebut
secara itegral dengan memperhatikan karakter ruang perkotaan yang bersifat
statis beserta fungsi ruang tersebut, yang masing-masing bisa dihubungkan
sepuluh karakter ruang tersebut, yang masing-masing bisa dihubungkan dengan
bermacam fungsi sesuai konteksnya, misalnya sebagai ruang terbuka untuk
perdagangan, budaya, monumen, permukiman, perdagangan, lalu lintas, parkir,
dan lain-lain.
 
Kedua hal tersebut tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain. Fungsi/aktifitas
sebuah tempat sama pentingnya dengan bentuknya, dan demikian pula
sebaliknya. Spiro Kostof membahas hal tersebut secara mendalam di dalam
konteks Eropa. C. Cooper bersama C. Francis memberikan kontribusi menarik
dalam konteks Amerika. Sayangnya, di dalam konteks Asia belum tersedia
banyak literatur mengenai hal tersebut.
 
Tipologi Ruang Dinamis
sama dengan ruang statis, ruang dinamis (yang sering disebut sebagai street
atau jalan) memiliki tipologi tersendiri. Sama dengan ruang st          atis, ruang
dinamis juga memiliki kaitan tersendiri antara bentuk dan fungsinya, sehingga
Spiro Kostof dengan tepat mengantakan bahwa ruang dinamis yang disebut
‘jalan’ sekaligus adalah elemen   dan institusi perkotaan. Bentuknya bisa juga
sangat berbeda sesuai lokasi dan fungsinya di dalam kota . oleh sebab itu, 
sering diberikan padanya nama yang sesuai dengan keadaanya
Selanjutnya dikemukakan kriteria kedua, yaitu skala, karena perlu juga
ditanyakan  mengenai sebuah tempat: Seberapa besar ukurannya? Bagaimana
perbandingan secara spasial antara ketinggian elemen dan lebarnya?
Bagaimana hubungan secara  spasial antara objek-objek di dalamnya
 
      Walaupun kesan sebuah tempat tergantung pada banyak factor, bisa
dikatakan secara umum bahwa skala, yaitu hubungan antara lebar./panjang dan
tinggi ruang dari sebuah tempat, memberikan sebuah kesan yang bersifat agak
umum pada orang yang bergerak didalamnya.
 
Morfologi
      Kemudian kriteria yang ketiga, morfolgi sebuah tempat, juga perlu dianalisis.
Ini berarti bahwa sebuah elemen place tertentu tidak hanya boleh diperhatikan
dari tempatnya saja, melainkan juga dari segi arti hubungan antara tempat dan
tempat yang lain. Oleh sebab itu yang perlu ditanyakan adalah: Bagaimanakah
konteks elemen tersebut? Bagaimanakah kombinasi antara elemen-elemennya?
Bagaimanakah pencampuran elemnnya? Aspek-aspek itu sangat penting bagi
suasana didalam suatu konteks tempat tertentu.
 
Identitas
      Akhirnya, kriteria yang keempat, yakni identitas suatu tempat , perlu juga
diperhatikan. Apakah cirri khas tempat tersebut? Apakah yang  menyebabkan
adanya suatu perasaan terhadap suatu tempat? Dengan cara manakah? Bahan
apakah yang dipakai? Dengan pola manakah? Dengan warna manakah? Inilah
beberapa pertanayaan yang penting terhadap gambaran sebagai suatu identitas
tertentu dalam konteksnya.  Misalnya kota kuno dan kota tradisional tidak hanya
sekadar kebetulan terjad, melainkan dicapai melalui hierarki-hierarki tertentu
yang beraturan dan berulang-ulang dalam banyak aspek yang mendukung
hierarkinya. Walaupun kebanyakan place di kota tradisional mempunyai
karakteristik geometris yang berbeda, tetapi identitas place secara keseluruhan
masih dapat diamati. Pembentuk place mengikuti suatu regularitas dan repetisi
tertentu yang sesuai dengan dengan hierarki supaya jelas identitasnya. Artinya ,
setiap bangunan disebuah place boleh berbeda, namun perbedaan ini
seharusnya mengikuti dan memperkuat identitas place tersebut. Di dalam tugas
perancangan kawasan, regularitas dan repetisi yang mengikuti hierarki tertentu
adalah factor penting  dalam perancangan sebuah place yang berkualitas tinggi
 
      Dengan demikian, menjadi jelas betapa pentingnya pula memperhatikan
elemen-elemen arsitektural di dalam skala mikro, misalnya rupa bangunan atau
bentuk jendela dan elemen-elemen lain serta cara penyusunan didalam tampilan
bangunan. 
 
4.3 Citra Kota
Teori mengenai citra place sering disebut sebagai milestone suatu teori penting
dalam perancangan kota, karena sejak tahun 1960-an teori ‘citra kota’
mengarahkan pandangan perancangan kota kearah yang memperhatikan pikiran
terhadap kota dari orang yang hidup di  dalamnya. Teori-teori berikutnya sangat
dipengaruhi oleh teori tokoh ini. Teori ini diformulasikan oleh Kevin Lynch,
seorang tokoh peneliti kota. Risetnya didasarkan pada citra mental sejumlah
penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan betapa pentingnya
citra mental jumlah penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan
betapa pentingnya citra mental itu karena citra yang jelas akan memberikan
banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya. Seperti kemampuan untuk
berorientasi dengan mudah  dan cepat disertai perasaan nyaman karena tidak
merasa tersesat, identitas yang kuat terhadap suatu tempat, dan keselarasan
hubungan dengan tempat-tempat yang lain.

Definisi dan Prinsip Citra Perkotaan


Citra kota dapat didefinisikan sebagai berikut
 Sebuah citra kota adalah gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan
rata-rata pandangan masyarakatnya
Kevin Lynch di dalam risetnya meminta para penduduk untuk menjelaskan
kepadanya suatu gambaran mental terhadap kota mereka: apa yang diingat?
Dimana letaknya dalam kawasan? Bagaimana rupanya? Kemana saya harus
pergi dari tempat ini ke tempat yang lain? Lynch mengamati dengan baik bahwa
rata-rata berbagai jawaban yang diberikan orang agak sama , dan sering jauh
berbeda dengan realitas di dalam kawasan. Misalnya, sketsa-sketsa yang dibuat
orang dengan tim peneliti sering jauh berbeda dengan peta kota yang
sebenarnya. Ia mengamati bahwa masalah itu terutama tidak disebabkan oleh
ketidakbiasaan orang untuk menggambar sketsa, melainkan karena kesulitan
mereka untuk mengingat keadaan tempatnya. Lynch mengamati bahwa di
beberapa kota dan di berbagai kawasan masalah tersebut lebih sedikit dialami
orang. Dalam riset ini telah diteliti dari mana perbedaan itu berasal dan mengapa
di berbagai kota orang memiliki gambaran mental yang lebih kuat terhadap
kawasannya daripada di tempat lain. Berdasarkan analisis tersebut,Lynch
menemukan tiga komponen yang sangat memengaruhi gambaran mental orang
terhadap suatu kawasan yaitu:

         Potensi ‘dibacakan’ >identitas


artinya orang dapat memahammi gambaran perkotaan (identifikasi objek,
perbedaan dan lain-lain)
         Potensi ‘disusun’ >struktur
Artinya orang dapat melihat pola perkotaan (hubungan objek, hubungan subjek)
         Potensi ‘dibayangkan’ >makna
Artinya orang dapat mengalami ruang perkotaaan  (arti objek, arti subjek – objek)

Kevin Lynch mengamati bahwa tiga potensi ini lebih mudah ditemukan di
beberapa kota (misalnya boston, amerika serikat), sedangkan sulit di kota-kota
lainnya (misalnya new jersey, amerika serikat). Jika dibandingkan perbedaan
masing-masing peta kota tidak terlalu besar, tetapi nyatanya kebanyakan orang
akan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat identitas, struktur, dan arti
kawasan perkotaan daripada peta kota.
Krieria-kriteria umum yang dipakai oleh masyarakat adalah citra terhadap
tempatnya.
 Lima Elemen Citra Kota 
Elemen-elemen apakah yang dipakai untuk mengungkapan citra perkotaan?
Menurut Kevin Lynch, citra kota dapat dibagi dalam lima elemen yaitu path
(jalur), edge (tepian), district ( kawasan), node (simpul), serta landmark. Setiap
elemen citra tersebut akan di jelaskan satu demi satu, serta akan diilustrasikan
salah  satu contoh keadaannya di dalam satu kota di Indonesia yaitu Yogyakarta.
Oleh karena istilah dari bahasa inggris untuk lima elemen tersebut sudah begitu
umum dipakai di dalam konteks bahasa Indonesia, maka istilah-istilah itu akan 
dipakai dalam bahan ajar.

Path(jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota . Kevin Lynch
menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen itu tidak jelas, maka
kebanyakan orang-orang  meragukan citra kota selara keseluruhan.  Path
merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang  untuk melakukan
pergerakan secara umum, yakni jalan, gang, jalan transit dll

Edge(tepian) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihatsebagai path. Edge


berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus
linear misalnya pantai, tembok dll. Edge merupakan penghalang walaupun
kadang-kadang ada tempat untuk masuk, edge merupakan pengakhiran dari
sebuah distric atau batasan suatu distric dengan distric lainnya.

District(kawasan) merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala 2 dimensii.


Sebuah kawasan district memiliki cirri khas yang mirip (bentuk, pola, dan
wujudnya) dan khas pula dalam batasanya, dimana orang merasa harus
mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai referensi
interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika
batasanya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta
fungsi dan posisinya jelas

Node(simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah


atau aktivitas saling bertemu dan dapat diubah kea rah atau aktivitas lain,
misalnya persimpangan, stasiun ataupun lapangan terbang dalam kota secara
keseluruhan dalam skala makro besar, pasar , taman , square dan lain-lain
 Landmark(tangeran) merupakan titik refrensi seperti elemen node, tetapi orang 
tidak masuk kedalamnya karena bisa dilihat dari  luar letaknya. Landmark adalah
elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang  menonjol dari
kota,misalnya gunung, gedung tinggi dan sebagainya. Landmark adalah elemen
paling penting dari bentuk kota karena membantu orang mengorientasikan diri di
dalam kota  dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark
mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam
lingkungannya, dan ada sekuens dari berbagai landmark, serta ada perbedaan
skala masing-masing

Formulasi dan Kombinasi elemen citra Kota


Lima elemen citra tersebut hanya merupakan unsure dasar sebuah citra
lingkungan keseluruhan. Pada kenyataanya lima elemen ini dalam kiota tidak
dapat terlihat secara terpisah karena keberadaanya satu dengan yang lain.
Kelima elemen akan berfungsi  dan berarti secara bersmaaan dalam satu
jaringan (interaksi) besar. Sering terjadi bahwa sebuah elemen berasal dari satu
elemen citra lain yang berbeda. Semua elemen ini berfungsi bersama dalam
lingkunfan yang sama. Dan yang lebih sulit lagi, citra kota dalam keseluruhan
dapat berbeda pula tergantung luas daerahnnya, posisi subjek dalam daerah,
waktu dan musim.
Dalam analisi dan perancangan kota kualitas bentuk lima elemen tersebut harus
dicari dan ditingkatkan.
Sepuluh pola karakterisitik diperhatikan dalam proses ini adalah
  Ketajaman batas elemen
  Kesederhanaan bentuk elemen secara geometris
  Kontinuitas elemen
  Pengaruh yang terbesar anatara elemen
  Tempat hubungan antar elemen
  Perbedaan antar elemen
  Artikulasi antar elemen
  Orientasi atar elemen
  Pergerakan antar elemen
  Nama dan arti elemen
  Teori “citra perkotaan” yang diformulasikan Kevin Lynch ini memperhatikan skala
makro di dalam kota. Namun demikian sesuai pandangan Aldo van Eyck bahwa
kota  adalah “rumah yang besar” dan rumah adalah “kota yang kecil” maka
prinsip-prinsip yang diungkapkan teori ini juga berlaku sampai ke skala mikro
yaitu gedung.
Seperti yang sudah di tekankan
Prinsip arsitektur bersifat universal, hanya tingakat skalanya (makro/mikro) yang
berbeda
Kelima elemen akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu
interaksi besar. Sering terjadi bahwa sebuah elemen berasal dari satu elemen
citra lain yang berbeda. Semua elemen ini berfungsi bersama dalam lingkungan
yang yang sama.

Dalam analisis dan perancangan kota, kualitas bentuk lima elemen tersebut
harus dicari dan ditingkatkan.
Sepuluh pola karakteristik diperhatikan dalam proses ini ialah:
-          Ketajaman batas elemen
-          Kesederhanaan bentuk elemen secara geometris
-          Kontinuitas elemen
-          Pengaruh yang terbesar antara elemen
-          Tempat hubungan antara elemen
-          Perbedaan antara elemen
-          Artikulasi antara elemen
-          Orientasi antara elemen
-          Pergerakan antara elemen;
-          Nama dan arti elemen

4.4 Estetika kota


 Kota dan artistiknya dalam arti place  merupakan teori terakhir yang membahas
kota sebagai sebuah produk pembuatan. Mungkin agak mengherankan bahwa
estetika di dalam perancangan kota baru dibahas di sini.
 
Seni perhubungan
Sebuah kota mempunyai arti lebih luas dibandingkan dengan jumlah
penduduknya yang muncul dari dinamika kebersamaan sebuah sistem
hubungan. Dari bidang psikologi persepsi, dikenal fenomena bahwa ‘keseluruhan
bagian-bagian memiliki ciri khas lain daripada jumlah bagiannya.
Gordon Cullen merumuskan seni perhubungan:
Memakai semua elemen yang cocok untuk menciptakan sebuah lingkungan:
bangunan, pohon, sungai, lalu lintas, papan iklan, dan lain-lain.
Secara arsitektural, rumusan di atas berarti bahwa sebuah gedung tidak akan
dilihat sebagai sebuah hasil arsitektur saja, karena terletak di dalam sebuah
konteks tertentu.
 
Tiga faktor estetika dari sebuah place
 
Orientasi
 
Ciri khas sebuah kota adalah adanya kawasan-kawasan yang dapat dilihat atau
dipahami sebagai seri visual. Cullen memakai istilah ‘optik’ untuk proses
tersebut, yang ia bagi dalam 2 yaitu:
 -          Pandangan yang ada (existing view) > Fokus pada satu daerah saja

 -          Pandangan yang timbul (emerging view) >

 -          Fokus pada kaitan antara satu daerah dan yang lain.

Posisi
Ini adalah faktor kedua yang dibahas Cullen dengan mengilustrasikan bahwa
orang selalu membutuhkan suatu perasaan terhadap posisinya dalam
lingkungannya, di mana dia berada, baik secara sadar maupun tidak sadar.
 
Isi
Selain posisi di dalam tempat tertentu, masalah ‘isi’ perlu juga diperhatikan.
Cullen membahas hal tersebut secara mendalam. Perasaan mengenai satu
tempat juga dipengaruhi oleh apa yang ada.
 
Tujuh prinsip sebuah place secara estetis
Camillo Sitte, seorang tokoh perancangan dari abad ke 19, mengemukakan
antara lain beberapa prinsip agar kualitas itu dapat dicapai. Melalui studi banding
di berbagai tempat, ia mengemukakan hubungan erat antara kehidupan
masyarakat perkotaan dan rupa estetika perkotaan.
 
Berikut tujuh prinsip Camillo Sitte:
-          Keseluruhan sebagai unit
Places di dalam kota seharusnya dilihat sebagai unit. Artinya, sebuah kawasan
seharusnya dilihat dalam batasannya. Tidak semua tempat sama penting di
dalam tata kota.
 
-          Bentuk unit
Sebuah  place  sebagai unit seharusnya memiliki bentuk yang sejelas mungkin
dalam hal tipologi, geometri, ukuran, dan skalanya, baik dalam dua dimensi
maupun tiga dimensi.
 
-          Kekosongan pusatnya
Sebuah place yang berfungsi sebaai ruang statis seharusnya memiliki pusat
yang kosong. Artinya, pohon, tugu, monumen dan lain-lain ditempatkan di luar
pusat ruang itu.
 
-          Penutupan batasnya
Penutupan batas sebah place perkotaan secara tiga dimensi adalah syarat
pokok bagi kualitasnya. Tanda batas tempat, arti sebuah place tidak jelas
 
-          Perabotan tempat
Sebuah place diisi dengan perbotan perkotaan yang mendukung kualitasnya.
Artinya, lampu, penghijauan, tempat menempel, papan pengumuman, tiang-
tiang, tempat dudu, dan lain-lain tidak merusak tempat melainkan memberi
dukungan
 
-          Gambaran visual
Sebuah place seharusnya memiliki suatu citra yang menarik. Artinya, sebuah
etmpat yang berkualitas tinggi mempunyai ciri khas yang berasal dari interaksi
antara ruang dan bentuk, antara yang buatan dan yang alami, antara yang lama
dan baru, antara yang formal dan yang bebas

4.5 Kesimpulan
Bab ini telah dibahas teori-teori perancangan kota yang secara khusus
memperhatikan makna sebuah tempat dari segi konteks, citra, estetika.
 
      Dikemukakan bahwa arti sebuah tempat, secara kaitan antara tempat
masing-masing, tidak boleh terlepas dari pemahaman manusia yang hidup dan
bergerak di dalamnya.
Tiga kelompok teori pokok sudah dikemukakan, yaitu teori figure/ground, teori-
teori linkage, serta teori-teori place.
      
      Ketiga kelompok teori pokok yang telah dikemukakan pada tiga bab ini baru
membahas kota sebagai produk. Seperti sudah ditunjukkan lebih dahulu, dimensi
kota yang bersifat sosio-spasial juga tergantung pada aspek-aspek serta kriteria-
kriteria yang memperhatikan kota sebagai proses yang bersifat dinamis. Suatu
perancangan kota belum dapat dikatakan bersifat terpadu seluas-luasnya jika
lingkup serta dapmak kedua hal pokok tersebut belum memperhatikan semua
aspek pembuatannya.

Anda mungkin juga menyukai