Teori figure/ground
Teori-teori figure/ground di pahami dari tata kota sebagai hubungan tekstural
antara bentuk yang di bangun (building mass) dan ruang terbuka (open
space).merupakan analisis yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah
tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan, serta mengidentifikasikan
masala keteraturan perkotaan
Sistim pengaturan
Suatu lingkungan binaaan tidak dapat di rasakan tanpa adanya suatu bagan
kognitif yang mendasarinya.
Beberapa kehidupan dan kegiatan perkotaan secara arsitektural dapat di
klasifikasikan dalam tiga kelompok sebagai berikut:
Susunan khawasan bersifat homogen yang jelas, dimana ada hanya satu
pola penataan.
Susunan kawasan yang bersifat heterogen, dimana dua (atau lebih) pola
berbenturan
Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau.
Organisasi lingkungan
Dengan kata lain, dapat di ungkapkan suatu prinsip dasar tentang bagaimana
lingkungan kota di organisasikan :
Sistim desain ini akan sangat membantu arsitek dan perancang kota dalam
masalah menemukan nucleus yang stabil sehingga mampu mengatur
ketidakteraturan ekstern lingkungan masing-masing
Kesimpulan
Pembentukan solid/void dengan elemen-elemennya sangat berbeda, bahkan
juga pola hubungan di antara keduannya. Secara arsitektural bentuk-bentuk
masa dan ruang serta pola kombinasinya secara tekstural dapat di analisa
secara tepat dengan memperhatikan teori yang di kemukakan di dalam bab ini
dambar di bawah memberikan suatu kesimpulan tentang pemakaian bentuk segi
empat dan pola grid saja
3. Teori lingkage
3.1 Hubungan sebuah tempat dengan yang lain
Pembahasan sebelumnya lebih banyak diberikan pada pola kawasan perkotaan
serta bagaimanakah keteraturan massa dan ruangnya secara tekstural. Namun
demikian, perlu dilihat keterbatasan kelompok teori figure/ground karena, di
samping memiliki kelebihan, pendekatannya sering mengarah ke gagasan-
gagasan ruang perkotaan yang bersifat dua dimensi saja dan perhatiannya
terhadap ruang perkotaan terlalu statis. Artinya, dinamika hubungan secara
arsitektural berbagai kawasan kota belum diperhatikan dengan baik.
Oleh sebab itulah, perlu diperhatikan suatu kelompok teori perkotaan lain
yang membahas hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai
aspek sebagai suatu generator perkotaan. Kelompok teori itu disebut dengan
istilah lingkage (penghubung), yang memperhatikan dan menegaskan hubungan-
hubungan dan gerakan-gerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (urban
fabric). Sebuah lingkage perkotaan dapat diamati dengan cara dan pendekatan
yang berbeda. Di dalam bab ini lingkage perkotaan akan dikemukakan dalam
tiga pendekatan yaitu:
Lingkage yang visual
Lingkage yang struktural
Lingkage bentuk yang kolektif.
Kota adalah sesuatu yang kompleks dan rumit, maka perkembangan kota sering
mempunyai kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di
daerah kota yang belum mereka kenal. Hal itu sering terjadi di daerah yang tidak
mempunyai lingkage. Setiap kota memiliki banyak fragmen kota, yaitu kawasan-
kawasan kota yang berfungsi sebagai beberapa bagian tersendiri dalam kota.
Walaupun identitas serta bentuk massa dan ruang fragmen-fragmen itu bisa
tampak sangat jelas, orang masih sering bingung saat bergerak di dalam suatu
daerah yang belum cukup mereka kenal. Kota kota seperti New York atau
Mexico City dan juga kota-kota di Asia telah menggambarkan masalah tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa jumlah kuantitas dan kualitas masing-masing bagian
(fragmen) di kota tersebut belum memenuhi kemampuan untuk menjelaskan
sebagai bagian dalam keseluruhan kota. Oleh karena itu, diperlukan elemen-
elemen penghubung, yaitu elemen-elemen lingkage dari satu kawasan ke
kawasan lain yang membantu orang untuk mengerti fragmen-fragmen kota
sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar.
3.2 Lingkage visual
Istilah ‘lingkage visual’ dapat dirumuskan sebagai:
Dalam lingkage yang visual dua atau lebih banyak fragmen kota dihubungkan
menjadi satu kesatuan secara visual.
Edmund Bacon membahas tema ini secara mendalam. Bukunya sudah
menjadi standar di dalam teori perkotaan yang secara khusus memperhatikan
lingkage yang visual. Teorinya menjadi terkenal pada saat ia mengemukakan
kasus-kasus yang menunjukkan dampak elemen-elemen visual di dalam sejarah
kota. Artinya, elemen-elemen tersebut sudah lama dikenal dan dapat dipakai
baik dalam skala makro besar maupun makro kecil, yaitu dalam kota secara
keseluruhan maupun dalam kawasan kota, karena sebuah lingkage yang visual
mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Pada dasarnya, ada dua
pokok perbedaan linkage visual, yaitu:
- Yang menghubungkan dua daerah secara netral;
- Yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan satu daerah
Kebanyakan penghubung bersifat kaitan saja dan dapat ditemukan di banyak
daerah di kota-kota seluruh dunia, misalnya kota-kota di Italia atau di kota-kota
Amsterdam (Belanda), Washington (Amerika Serikat), Jaipur (Cina), Yogyakarta
(Indonesia), dan banyak kota lain.
Hubungan yang bersifat sebagai fokus lebih sedikit, karena memusatkan sebuah
kawasan tertentu. Walaupun demikian, cara keterkaitan tersebut juga ada di
beberapa daerah di kota-kota, khususnya di dalam pusatnya. Contoh yang baik
ada di Versailles (Prancis), atau beberapa daerah pusat di Roma (Italia), atau
daerah Arc de Triumph di Paris (Prancis), serta daerah Monas Jakarta
(Indonesia). Daerah ‘fokus’ tersebut sering memiliki juga fungsi dan arti khusus di
dalam kotanya karena bersifat lebih dominan dan menonjol daripada
lingkungannya.
Lima elemen lingkage visual
Selanjutnya akan diperkenalkan lima elemen lingkage visual yang menghasilkan
hubungan secara visual, yakni garis, koridor, sisi, sumbu, dan irama. Setiap
elemen memiliki ciri khas atau suasana tertentu yang akan digambarkan satu per
satu. Bahan-bahan dan bentuk-bentuk yang dipakai dalam sistem
penghubungnya dapat berbeda. Namun, perlu ditekankan bahwa dengan
merancang lanskap (yang sering hanya dianggap sebagai dekorasi perkotaan),
akan sangat efektif bila menghubungkan fragmen dan bagian kota dengan cara
lingkage visual.
Elemen garis menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu
deretan massa. Untuk massa tersebut bisa dipakai sebuah deretan bangunan
ataupun sebuah deretan pohon yang memiliki rupa assif. Elemen koridor yang
dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) membentuk sebuah
ruang. Elemen sis sama dengan elemen garis, menghubungkan dua kawasan
dengan satu massa. Walaupun demikian, perbedaanya dibuat secara tidak
langsung, sehingga tidak perlu dirupakan dengan sebuah garis tidak langsung,
sehingga tidak perlu dirupakan dengan sebuah garis yang massanya agak tipis,
bahkan hanya merupakan sebuah wajah yang massanya kurang penting.
Elemen tersebut bersifat massif di belakan tampilannya, sedangkan di depan
bersifat spasial. Elemen sumbu mirip dengan elemen koridor yang bersifat
spasial. Namun, perbedaan ada pada dua daerah yang dihubungkan oleh
elemen tersebut, yang sering mengutamakan salah satu daerah tersebut.
Elemen irama, menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.
Elemen tersebut jarang diperhatikan dengan baik, walaupun juga memiliki sifat
yang menarik dalam menghubungkan dua tempat secara visual.
Elemen-elemen tersebut akan digambarkan dengan berbagai contoh yang
menegaskan sifat elemen masing-masing. Perlu ditegaskan di sini bahwa cara
pemakaian lanskap di dalam kota akan sangat mendukung dan memperjelas
sistem hubungan yang ada di dalam kota. Sayangnya, potensi penanaman
pohon-pohon jarang dipakai sesuai kebutuhan lingkungan, baik secara visual
maupun fungsiaonal (sudah deketahui bahwa pohon-pohon besar adalah ‘paru-
paru kota’ dan mengurangi kepanasan dan udara kotor di dalam kota!). Pohon-
pohon hanya dianggap sebagai penghias kawasan kota saja. Sudah saatnya
bahwa pendekatan terhadap lanskap – dan secara khusus mengenai pohon-
pohon – diganti dengan suatu pendekatan yang lebih berarti di dalam kota, lebih-
lebih di dalam kota tropis.
3.3 Lingkage struktural
Sebuah kota memiliki banyak kawasan. Beberapa kawasan mempunyai bentuk
dan ciri khas yang mirip, tapi ada juga kawasan yang sangat berbeda. Sering
pula terjadi perbedaan antara kawasan yang letaknya saling berdekatan
sehingga terlihat agak terpusan dan berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena
kurangnya bentuk jaringan. Dalam kota sering terlihat tidak adanya hubungan
antara satu daerah dan yang lain. Permasalahan tersebut telah dicoba untuk
diatas dengan pendekatan lingkage yang visual. Tetapi solusi visual tersebut
sering kurang tepat, sehingga perlu ditambahkan bahwa masalah kurangnya
bentuk jaringan kawasan perkotaan juga penting dibahas secara struktural. Di
dalam realitasnya, kota tidak hanya mementingkan masalah yang bersifat visual
saja, tetapi juga hubungan strukturalnya, yang jarang sekali diperhatikan dengan
baik dalam perancangan perkotaan. Colin Rowe sebagai tokoh perancang kota
secara struktural melihat masalah tersebut sebagai ‘suatu krisis objek-objek
perkotaan dengan kondisi struktrur yang sangat disayangkan’. Ia
menggambarkan bahwa kawasan-kawasan yang tidak terhubungkan secara
struktural, atau terhubungkan tapi secara kurang baik, akan menimbulkan suatu
kualitas kota yang diragukan.
Sebua space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebua
space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang
berasal dari budaya daerahnya.
Artinya, sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan
suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Suasan itu tampak dari benda
yang konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda yang abstrak, yaitu
asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh manusia di tempatnya. Aldo
van Eyck mengatakan:
"Whatever space and time mean, place and occasion mean more".
Aldo van Eyck mengembangkan konsep yang sudah umum, yaiut ‘space-time-
conception’ secara lebih mendalam dengan memperhatikan perilaku manusia di
dalam konsep tersebut. Ia mengamati bahwa istilah abstrak ‘ruang’ (space) di
dalam citra manusia akan lebih konkret jika dapat dialami sebagai ‘tempat’
(place), dan istilah ‘waktu’ (time) menjadi lebih konkret jika dilihat sebagai suatu
‘kejadian’ (occasion). Ia mengamati bahwa selama setengah abad ini
kebanyakan arsitek modern menegaskan suatu perbedaan antara ‘di luar’
(outside) dan ‘di dalam’ (inside), yaitu antara interior dan eksterior bangunan.
Namun menurut Van Eyck, tugas para arsitek sebtulnya adalah selallu
menyiapkan bagi manusia sebua keadaan yang bersifat ‘di dalam’ (inside). Hal
ini tersebut juga berlaku untuk ‘di luar’ (outside), yaitu di antara bangunan,
karena selama orang hidup dia selalu berada di dalam ruang, baik di dalam
maupun di luar gedung. Arsitektur dan urbanisme mengandung usaha
penciptaan sebuah interior untuk di dalam (inside) maupun di luar (outside).
Ruang yang berada di luar bangunan lebih baik diperhatikan sebagai sebuah
bagian yang penting bagi manusia yang hidup di dalamnya.
P.H. Chombart de Lauwe sebagai ahlli sosiologi membahas tema tersebut
secara mendalam. Ahli arsitektur-antropologi Amos Rapoport mengembangkan
bidan EBR (Environmental Behavior Relations) yang memperhatikan secara
khusus hubungan antara lingkungan yang dibangun (built-environmental) dan
perilaku manusia (human behavior).
Dalam rumusan dan penjelasan ini, penting kiranya untuk menganalisis dan
merancang kawasan perkotaan dari segi konteks, citra, dan artistiknya secara
mendalam, karena jelaslah jenis dan rupa places yang memungkinkan
occasions di dalamnya akan mempengaruhi masyarakat di tempatnya. Itulah
bahan yang sebetulnya perlu diperhatikan di dalam kelompok teori perkotaan
yang ketiga ini. Oleh karena akan mengungkap suatu pandangan atau
pengalaman terhadap ruang kota sebagai tanda kehidupan perkotaan melalui
pembentukan dan pemakaian place di dalam lingkungan tempatnya, baik secara
konkret maupun abstrak.
4.2 Konteks kota
Sebuah bangunan tidak perlu menjiplak berbagai gaya lingkunganya supaya
dapat disebut kontekstual dan mendukung kesatuan lingkungan. Di dalam
pembangunan gedung-gedung baru, secara kontekstual perlu diterapkan prinsip-
prinsip tertentu yang berasal dari lingkungannya. Ada pengamatan yang menarik
dalam hal tersebut:
Di dalam perancangan kontekstual yang benar perlu lebih banyak
diperhatikan sejarah kawasan, kebutuhan masyarakat, tradisi ketukangan
dan pemakaian bahan, serta realitas politik dan ekonomi masyarakatnya,
daripada hanya sekadar analisis-analisis yang dangkal.
Dengan kata lain, suatu perancangan yang kontekstual merupakan hasil dar
suatu proses mengalihkan arti lingkungan ke dalam sebuah objek baru
Konteks dan kontras
Walaupun demikian, suatu perancangan secar kontekstual tidak boleh
mengabaikan kontras, karena konras dibutuhkan untuk menciptakan sebuah
lingkungan yang menarik dan kreatif. Diamati dengan baik bahwa prinsip
‘kontras’ hanya bersifat sebagai ‘bumbu makanan’ yang perlu dipakai dengan
hati-hati, supaya ‘makanan’ tetap sedap. Dalam kawasan perkotaan, kontras
adalah salah satu alat perancangan yang bagus, dan akan meningkatkan
kualitas kawasan jika dipaik dengan cara yang baik. Namun sebaliknya, tanpa
perhatian yang sungguh-sungguh, akan terjadi pemusnahan yang mengubah
sebuah kawasan ke arah kekacauan. Secara nyata pada masa kini di dalam
pembangunan perkotaan, kontras terlalu sering dipakai dan sifatnya sering
disalahgunakan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan suatu pemahaman yang
baik menganai kontras dan sifat-sifat dasarnya serta keterbatasannya, agar
suatu kontras menjadi seimbang dengan konteksnya. Ada klasifikasi enam
tingkat perbedaan antara dua bentuk, yaitu bentuk-bentuk yang sama serupa,
mirip serupa, variasi, diferensiasi, kontras, serta kontras radikal.
Makin meningkatnya perbedaan antara dua bentuk makin menghilangkan
kesamaannya. Dinamika tersebut perlu diperhatikan secara khusus di dalam
kawasan perkotaan.
Dua elemen perkotaan yang kontekstual
Selanjutnya secara konkret perlu diperhatikan kedua elemen pokok perkotaan
yang mendefinisikan secara mendasar sebuah konteks tertentu, yaitu elemen
place yang statis, serta elemen place yang dinamis.
Secara arsitektural sebuah tempat yang bersifat statis yang berbeda dengan
konteks yang bersifat dinamis. Perbedaan dasarnya secara spasial terletak pada
arah dan gerakan di dalam lingkungannya. Dalam berbagai teori perkotaan
sedara kontekstual, kedua elemen ini dikenal dengan bermacam-macam nama
yang agak membingungkan. Misalnya, di dalam bahasa Inggris istilah place (sam
dengan istilah Platz dalam bahasa Jerman) dipaka secara umum, tetapi juga
dipakai secara khusus untukk suatu tempat yang cenderung bersifat statis, yang
kadang-kadang juga disebut sebaga square (skala makro) atau court (skala
mikro). Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa istilah yang masing-masing
memiliki makna tertentu. Misalnya, istilah ‘alun-alun’ dipakai untuk sebuah
tempat khusus di pusat kota saja. Istilah ‘lapangan’ biasanya dipakai untuk
sebuah tempat yang sudah memiliki fungsi tertentu (untuk olah raga dan lain-
lain), serta istilah ‘halaman’ cenderung bersifat mikro saja. Istilah ‘ruang kosong’
yang kebanyakan bersifat statis juga dipakai, namun istilah tersebut memiliki
bermacam arti, sama dengan istilah ‘jalan’ yang sifatnya dinamis. Oleh karena
itu, di dalam buku ini kedua elemen kontekstual dibedakan dengan pemakaian
kedua istilah dasar, yaitu ruang statis serta ruang dinamis. Selanjutnya secara
teknis hanya dua istilah tersebut yang akan dipakai.
Di sini tidak ada maksud untuk membahas kawasan perkotaan yang
kontekstual dari sudut pandang berbagai bidang ilmu (antropologi dan
sebagainya) ataupun dari sudut pandang yang subjektif (misalnya gaya).
Perhatian hanya akan diberikan secara dasar pada pembicaraan formulasi
bentuk dan ruang yang berfokus secara arsitektural pada suatu konteks secara
objektif dan umum.
Pada dasarnya, pembentukan dua elemen pokok ini dapat dilihat dalam dua
karakteristik dasar yang bersifat arsitektural, yaitu rupa dan tampak. Dua tokoh
teori perancangan kota, yaitu Rob Krier dan Jim McCluskey, mendefinisikan
ruang statis/dinamis dari empat aspek, yaitu dari tipologi, skala, hubungan, dan
identitas. Keempat aspek ini perlu diperhatikan secara mendalam karena hanya
melalui aspek-aspek pokok inilah kedua karakteristik ‘rupa’ dan ‘tampak’ dapat
dibahas secara objektif. Masalah tersebut sering dilupakan, bahkan
dicampuradukkan dengan masalah geometri dan stetika perancangan perkotaan
yang sering berpandangan subjektif.
Tipologi
Pada dasarnya, tipologi bentuk sebuah tempat tidak selalu sudah jelas, karena
bisa jadi ada campuran antara sifat yang statis dan dinamis. Demikian pula batas
tidak selalu jelas. Selanjutnya, tipologi kedua elemen tersebut akan dibahas satu
demi satu.
Tipologi ruang statis.
Sejak awal abad ini, karakter ruang terbuka yang bersifat statis di dalam kota
hanya dianggap sebagai tempat estetik perkotaan, khususnya di Eropa. Oleh
sebab itu, karakter tempat tersebut hanya digolongkan pada geometrinya saja
tanpa memperhatikan fungsinya di dalam kota. Misalnya, teori perancangan kota
yang terkenal dari Rob Krier berusaha menggolongkan semua tempat tersebut
sesuai bentuknya dengan pemakaian elemen geometri dasar saja, yaitu
lingkaran, segitiga, bujur sangkar, serta kombinasinya. Banyak pengkritik,
khususnya yang berhubungan dengan ilmu sosial, mempermasalahkan makna
teori tersebut sebagai sesuatu yang lihiriah saja. Walaupun anggapan tersebut
betul, jelas bahwa ruang perkotaan yang bersifat statis juga tidak bisa
diklarsifikasikan dari sudut pandang bidang sosial saja melainkan juga memiliki
arti yang diekspresikan melalui bentuknya.
Hans J. Aminde menggabungkan dengan baik kedua pendekatan tersebut
secara itegral dengan memperhatikan karakter ruang perkotaan yang bersifat
statis beserta fungsi ruang tersebut, yang masing-masing bisa dihubungkan
sepuluh karakter ruang tersebut, yang masing-masing bisa dihubungkan dengan
bermacam fungsi sesuai konteksnya, misalnya sebagai ruang terbuka untuk
perdagangan, budaya, monumen, permukiman, perdagangan, lalu lintas, parkir,
dan lain-lain.
Kedua hal tersebut tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain. Fungsi/aktifitas
sebuah tempat sama pentingnya dengan bentuknya, dan demikian pula
sebaliknya. Spiro Kostof membahas hal tersebut secara mendalam di dalam
konteks Eropa. C. Cooper bersama C. Francis memberikan kontribusi menarik
dalam konteks Amerika. Sayangnya, di dalam konteks Asia belum tersedia
banyak literatur mengenai hal tersebut.
Tipologi Ruang Dinamis
sama dengan ruang statis, ruang dinamis (yang sering disebut sebagai street
atau jalan) memiliki tipologi tersendiri. Sama dengan ruang st atis, ruang
dinamis juga memiliki kaitan tersendiri antara bentuk dan fungsinya, sehingga
Spiro Kostof dengan tepat mengantakan bahwa ruang dinamis yang disebut
‘jalan’ sekaligus adalah elemen dan institusi perkotaan. Bentuknya bisa juga
sangat berbeda sesuai lokasi dan fungsinya di dalam kota . oleh sebab itu,
sering diberikan padanya nama yang sesuai dengan keadaanya
Selanjutnya dikemukakan kriteria kedua, yaitu skala, karena perlu juga
ditanyakan mengenai sebuah tempat: Seberapa besar ukurannya? Bagaimana
perbandingan secara spasial antara ketinggian elemen dan lebarnya?
Bagaimana hubungan secara spasial antara objek-objek di dalamnya
Walaupun kesan sebuah tempat tergantung pada banyak factor, bisa
dikatakan secara umum bahwa skala, yaitu hubungan antara lebar./panjang dan
tinggi ruang dari sebuah tempat, memberikan sebuah kesan yang bersifat agak
umum pada orang yang bergerak didalamnya.
Morfologi
Kemudian kriteria yang ketiga, morfolgi sebuah tempat, juga perlu dianalisis.
Ini berarti bahwa sebuah elemen place tertentu tidak hanya boleh diperhatikan
dari tempatnya saja, melainkan juga dari segi arti hubungan antara tempat dan
tempat yang lain. Oleh sebab itu yang perlu ditanyakan adalah: Bagaimanakah
konteks elemen tersebut? Bagaimanakah kombinasi antara elemen-elemennya?
Bagaimanakah pencampuran elemnnya? Aspek-aspek itu sangat penting bagi
suasana didalam suatu konteks tempat tertentu.
Identitas
Akhirnya, kriteria yang keempat, yakni identitas suatu tempat , perlu juga
diperhatikan. Apakah cirri khas tempat tersebut? Apakah yang menyebabkan
adanya suatu perasaan terhadap suatu tempat? Dengan cara manakah? Bahan
apakah yang dipakai? Dengan pola manakah? Dengan warna manakah? Inilah
beberapa pertanayaan yang penting terhadap gambaran sebagai suatu identitas
tertentu dalam konteksnya. Misalnya kota kuno dan kota tradisional tidak hanya
sekadar kebetulan terjad, melainkan dicapai melalui hierarki-hierarki tertentu
yang beraturan dan berulang-ulang dalam banyak aspek yang mendukung
hierarkinya. Walaupun kebanyakan place di kota tradisional mempunyai
karakteristik geometris yang berbeda, tetapi identitas place secara keseluruhan
masih dapat diamati. Pembentuk place mengikuti suatu regularitas dan repetisi
tertentu yang sesuai dengan dengan hierarki supaya jelas identitasnya. Artinya ,
setiap bangunan disebuah place boleh berbeda, namun perbedaan ini
seharusnya mengikuti dan memperkuat identitas place tersebut. Di dalam tugas
perancangan kawasan, regularitas dan repetisi yang mengikuti hierarki tertentu
adalah factor penting dalam perancangan sebuah place yang berkualitas tinggi
Dengan demikian, menjadi jelas betapa pentingnya pula memperhatikan
elemen-elemen arsitektural di dalam skala mikro, misalnya rupa bangunan atau
bentuk jendela dan elemen-elemen lain serta cara penyusunan didalam tampilan
bangunan.
4.3 Citra Kota
Teori mengenai citra place sering disebut sebagai milestone suatu teori penting
dalam perancangan kota, karena sejak tahun 1960-an teori ‘citra kota’
mengarahkan pandangan perancangan kota kearah yang memperhatikan pikiran
terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Teori-teori berikutnya sangat
dipengaruhi oleh teori tokoh ini. Teori ini diformulasikan oleh Kevin Lynch,
seorang tokoh peneliti kota. Risetnya didasarkan pada citra mental sejumlah
penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan betapa pentingnya
citra mental jumlah penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan
betapa pentingnya citra mental itu karena citra yang jelas akan memberikan
banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya. Seperti kemampuan untuk
berorientasi dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman karena tidak
merasa tersesat, identitas yang kuat terhadap suatu tempat, dan keselarasan
hubungan dengan tempat-tempat yang lain.
Kevin Lynch mengamati bahwa tiga potensi ini lebih mudah ditemukan di
beberapa kota (misalnya boston, amerika serikat), sedangkan sulit di kota-kota
lainnya (misalnya new jersey, amerika serikat). Jika dibandingkan perbedaan
masing-masing peta kota tidak terlalu besar, tetapi nyatanya kebanyakan orang
akan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat identitas, struktur, dan arti
kawasan perkotaan daripada peta kota.
Krieria-kriteria umum yang dipakai oleh masyarakat adalah citra terhadap
tempatnya.
Lima Elemen Citra Kota
Elemen-elemen apakah yang dipakai untuk mengungkapan citra perkotaan?
Menurut Kevin Lynch, citra kota dapat dibagi dalam lima elemen yaitu path
(jalur), edge (tepian), district ( kawasan), node (simpul), serta landmark. Setiap
elemen citra tersebut akan di jelaskan satu demi satu, serta akan diilustrasikan
salah satu contoh keadaannya di dalam satu kota di Indonesia yaitu Yogyakarta.
Oleh karena istilah dari bahasa inggris untuk lima elemen tersebut sudah begitu
umum dipakai di dalam konteks bahasa Indonesia, maka istilah-istilah itu akan
dipakai dalam bahan ajar.
Path(jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota . Kevin Lynch
menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen itu tidak jelas, maka
kebanyakan orang-orang meragukan citra kota selara keseluruhan. Path
merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan
pergerakan secara umum, yakni jalan, gang, jalan transit dll
Dalam analisis dan perancangan kota, kualitas bentuk lima elemen tersebut
harus dicari dan ditingkatkan.
Sepuluh pola karakteristik diperhatikan dalam proses ini ialah:
- Ketajaman batas elemen
- Kesederhanaan bentuk elemen secara geometris
- Kontinuitas elemen
- Pengaruh yang terbesar antara elemen
- Tempat hubungan antara elemen
- Perbedaan antara elemen
- Artikulasi antara elemen
- Orientasi antara elemen
- Pergerakan antara elemen;
- Nama dan arti elemen
- Fokus pada kaitan antara satu daerah dan yang lain.
Posisi
Ini adalah faktor kedua yang dibahas Cullen dengan mengilustrasikan bahwa
orang selalu membutuhkan suatu perasaan terhadap posisinya dalam
lingkungannya, di mana dia berada, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Isi
Selain posisi di dalam tempat tertentu, masalah ‘isi’ perlu juga diperhatikan.
Cullen membahas hal tersebut secara mendalam. Perasaan mengenai satu
tempat juga dipengaruhi oleh apa yang ada.
Tujuh prinsip sebuah place secara estetis
Camillo Sitte, seorang tokoh perancangan dari abad ke 19, mengemukakan
antara lain beberapa prinsip agar kualitas itu dapat dicapai. Melalui studi banding
di berbagai tempat, ia mengemukakan hubungan erat antara kehidupan
masyarakat perkotaan dan rupa estetika perkotaan.
Berikut tujuh prinsip Camillo Sitte:
- Keseluruhan sebagai unit
Places di dalam kota seharusnya dilihat sebagai unit. Artinya, sebuah kawasan
seharusnya dilihat dalam batasannya. Tidak semua tempat sama penting di
dalam tata kota.
- Bentuk unit
Sebuah place sebagai unit seharusnya memiliki bentuk yang sejelas mungkin
dalam hal tipologi, geometri, ukuran, dan skalanya, baik dalam dua dimensi
maupun tiga dimensi.
- Kekosongan pusatnya
Sebuah place yang berfungsi sebaai ruang statis seharusnya memiliki pusat
yang kosong. Artinya, pohon, tugu, monumen dan lain-lain ditempatkan di luar
pusat ruang itu.
- Penutupan batasnya
Penutupan batas sebah place perkotaan secara tiga dimensi adalah syarat
pokok bagi kualitasnya. Tanda batas tempat, arti sebuah place tidak jelas
- Perabotan tempat
Sebuah place diisi dengan perbotan perkotaan yang mendukung kualitasnya.
Artinya, lampu, penghijauan, tempat menempel, papan pengumuman, tiang-
tiang, tempat dudu, dan lain-lain tidak merusak tempat melainkan memberi
dukungan
- Gambaran visual
Sebuah place seharusnya memiliki suatu citra yang menarik. Artinya, sebuah
etmpat yang berkualitas tinggi mempunyai ciri khas yang berasal dari interaksi
antara ruang dan bentuk, antara yang buatan dan yang alami, antara yang lama
dan baru, antara yang formal dan yang bebas
4.5 Kesimpulan
Bab ini telah dibahas teori-teori perancangan kota yang secara khusus
memperhatikan makna sebuah tempat dari segi konteks, citra, estetika.
Dikemukakan bahwa arti sebuah tempat, secara kaitan antara tempat
masing-masing, tidak boleh terlepas dari pemahaman manusia yang hidup dan
bergerak di dalamnya.
Tiga kelompok teori pokok sudah dikemukakan, yaitu teori figure/ground, teori-
teori linkage, serta teori-teori place.
Ketiga kelompok teori pokok yang telah dikemukakan pada tiga bab ini baru
membahas kota sebagai produk. Seperti sudah ditunjukkan lebih dahulu, dimensi
kota yang bersifat sosio-spasial juga tergantung pada aspek-aspek serta kriteria-
kriteria yang memperhatikan kota sebagai proses yang bersifat dinamis. Suatu
perancangan kota belum dapat dikatakan bersifat terpadu seluas-luasnya jika
lingkup serta dapmak kedua hal pokok tersebut belum memperhatikan semua
aspek pembuatannya.