PENDAHULUAN
2. Kritik Penafsiran
Kritik ini biasanya bersifat subyektif tidak didasarkan pada data / pedoman baku dari luar,
untuk memperhalus kritik salah satunya menggunakan analogi-analogi. hasilnya akan
meningkatkan emosi bagi pendengar setelah itu terpengaruh atau menolak. Jika ada penolakan dari
pendengar maka akan timbul kritik evokatif ( pembelaan ). Kritik Arsitektur Penafsiran dibagi
dalam beberapa metode, yaitu :
a. Metode Advokasi merupakan metode dengan cara mengarahkan pada suatu topik yang dianggap
perlu untuk di perhatikan secara seksama tentang karya arsitektur. Contohnya, kritikus membantu
kita melihat manfaat yang telah dihasilkan sang arsitek melalui karya arsitekturnya dan berusaha
menemukan pesona yang awalnya kita kira hanya sebuah karya seni menjemukan.
b. Metode Evokatif merupakan metode dengan cara menggugah pemahaman intelektual atas
makna yang dikandung pada suatu karya arsitektur. Contohnya, mendorong orang lain untuk turut
membangkitkan emosi yang serupa sebagaimana dirasakan kritikus terhadap suatu karya
arsitektur.
c. Metode Impresionistik merupakan metode dengan cara menggunakan karya seni atau
bangunan lain sebagai dasar bagi pembentukan karya seninya. Contohnya, menggunakan karya
arsitektur Le Corbusier sebagai inspirasi untuk karya arsitektur kita sendiri.
3. Kritik Deskriptif
Kritik deskriptif, tidak menilai ,tidak menafsirkan namun yang terpenting menggambarkan
sesuatu yang ada, tanpa ada tambahan-tambahan yang mengaburkan. Kritik Arsitektur Deskriptif
dibagi dalam beberapa metode, yaitu :
a. Metode Depiktif merupakan metode yang menyatakan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi
secara nyata. Contohnya, saat melakukan survei lokasi untuk pembangunan yaitu bagaimana pun
kondisi site dipaparkan dengan apa adanya tanpa di kurang-kurangi atau di lebih-lebihkan.
b. Metode Biografis merupakan metode yang hanya mencurahkan perhatiannya kepada sang
arsitek yang membuat karya arsitektur tersebut, khususnya aktifitas yang telah dilakukannya.
Memahami dengan logis perkembangan sang arsitek sangat diperlukan untuk memisahkan
perhatian kita terhadap intensitasnya pada karya-karyanya secara spesifik. Contohnya, pengaruh
kesukaan Frank Llyod Wright saat remaja pada permainan lipatan kertas terhadap bangunan-
bangunan yang dirancangnya, informasi seperti ini memberi kita kesempatan untuk lebih
memahami dan menilai sang arsitek terhadap karya-karyanya.
c. Metode Kontekstual merupakan metode yang membahas dengan teliti untuk lebih mengerti
suatu karya arsitektur. Contohnya, proyek apa yang sedang dibangun, mengapa proyek tersebut
dibangun, siapa arsiteknya, dan pertanyaan lain mengenai karya arsitektur tersebut hingga ke
akarnya.
A. KRITRIK DEKSRIPTIF
Kritik deskriptif, tidak menilai ,tidak menafsirkan namun yang terpenting menggambarkan
sesuatu yang ada, tanpa ada tambahan-tambahan yang mengaburkan. Bersifat tidak menilai, tidak
menafsirkan, atau semata-mata membantu orang melihat apa yang sesungguhnya ada. Kritik ini
berusaha mencirikan fakta-fakta yang menyangkut sesuatu lingkungan tertentu. Dibanding metode
kritik lain kritik deskriptif tampak lebih nyata (factual).
- Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang terhadap bangunan atau kota.
- Lebih bertujuan pada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian
dan proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan.
- Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai unsur
bentuk yang ditampilkannya.
- Tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat
bangunan sebagaimana apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.
B. METODE DEPIKTIF
Merupakan metode yang menyatakan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi secara nyata.
Contohnya, saat melakukan survei lokasi untuk pembangunan yaitu bagaimana pun kondisi site
dipaparkan dengan apa adanya tanpa di kurang-kurangi atau di lebih-lebihkan. Dalam metode
Depiktif dibagi menjadi beberapa jenis yaitu
1. Depictive Criticism (Gambaran bangunan)
Depictive cenderung tidak dipandang sebagai sebuah bentuk kritik karena ia tidak didasarkan
pada pernyataan baik atau buruk sebuah bangunan. Sebagaimana tradisi dalam kritik kesenian
yang lain, metode ini menyatakan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi disana. Masyarakat
cenderung memandang dunia sesuai dengan keterbatasan pengalaman masa lalunya, maka melalui
perhatian yang jeli terhadap aspek tertentu bangunan dan menceritakan kepada kita apa yang telah
dilihat, kritik depiktif telah menjadi satu metode penting untuk membangkitkan satu catatan
pengalaman baru seseorang. Kritik depiktif tidak butuh pernyataan betul atau salah karena
penilaian dapat menjadi bias akibat pengalaman seseorang di masa lalunya. Kritik depiktif lebih
mengesankan sebagai seorang editor atau reporter, yang menghindari penyempitan atau perluasan
perhatian terhadap satu aspek bangunan agar terhindar dari pengertian kritikus sebagai interpreter
atau advocate.
a. Static (Secara Grafis)
Depictive criticism dalam aspek static memfocuskan perhatian pada elemen-elemen, bentuk
(form), bahan (materials) dan permukaan (texture). Penelusuran aspek static dalam depictive
criticism seringkali digunakan oleh para kritikus untuk memberi pandangan kepada pembaca agar
memahami apa yang telah dilihatnya sebelum menentukan penafsiran terhadap apa yang dilihatnya
kemudian. Penggunaan media grafis dalam depictive critisim dapat dengan baik merekam dan
mengalihkan informasi bangunan secara non verbal tanpa kekhawatiran terhadap bias. Aspek static
depictive criticism dapat dilakukan melalui beberapa cara survey antara lain : fotografi, diagram,
pengukuran dan deskripsi verbal (kata-kata).
b. Dynamic (Secara Verbal)
Tidak seperti aspek static, aspek dinamik depictive mencoba melihat bagaimana bangunan
digunakan bukan dari apa bangunan di buat. Aspek dinamis mengkritisi bangunan melalui :
Bagaimana manusia bergerak melalui ruang-ruang sebuah bangunan? Apa yang terjadi disana?
Pengalaman apa yang telah dihasilkan dari sebuah lingkungan fisik? Bagaimana bangunan
dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang ada didalamnya dan disekitarnya?
c. Process (Secara Prosedural)
Merupakan satu bentuk depictive criticism yang menginformasikan kepada kita tentang proses
bagaimana sebab-sebab lingkungan fisik terjadi seperti itu. Bila kritik yang lain dibentuk melalui
pengkarakteristikan informasi yang datang ketika bangunan itu telah ada, maka kritik depiktif
(aspek proses) lebih melihat pada langkah-langkah keputusan dalam proses desain yang meliputi
:
- Kapan bangunan itu mulai direncanakan,
- Bagaimana perubahannya,
- Bagaimana ia diperbaiki,
- Bagaimana proses pembentukannya.
A. TUGU MONAS
Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah
monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan
dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia
Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah
presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah
api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.
Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.
B. INFORMASI UMUM
C. METODE DEPIKTIF
Presiden Soekarno pada saat itu ingin memulai pembangunan monumen nasional. Ir. Soekarno
ingin menyetarakan tinggi Monas tersebut dengan Menara Eiffel di Perancis. Kemudian lokasi
pembangunan Monas berada di depan Istana Merdeka.
Pembangungan Monas sendiri memiliki makna penting yakni untuk mengenang kemudian
melestarikan perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan hingga bisa bebas dari
penjajah pada tahun 1946. Diharapkan Monumen Nasional bisa memberi makna hingga
menginspirasi kepada generasi penerus bangsa.
Awal pembangunan Monas ini diawali dengan adanya sayembara perencanaan monumen
yang digelar pada tahun 1955. Contoh replika dari Monas sendiri ada 51 karya akan tetapi hanya
ada satu yang dipilih. Hasil karya desain Monas yang dibuat Frederich Silaban berhasil terpilih
karena memenuhi kriteria dari sayembara tersebut dimana memperlihatkan lambat bangsa
Indonesia dari segi karakter hingga mampu bertahan dalam jangka lama.
Namun, dalam perjalanannya Presiden Soekarno masih kurang menyetujui desain dari
Frederich Silaban, sehingga dibentuklah lingga dan yoni oleh Sukarno. Hasil akhir desain Monas
telah rampung diselesaikan Frederich, namun sayang dana yang dibutuhkan dalam proses
pembuatan terbilang tinggi. Pada saat itu ekonomi Indonesia masih belum membaik sehingga
Presiden Sukarno meminta bantuan dari seorang arsitek bernama R.M Soedarsono untuk
merampungkan desain Monas.
Soedarsono telah memberi konsep baru pada Monumen Nasional dimana menyematkan angka
17,8 dan 45 yang mana memperlihatkan sebuah momen kemerdekaan Indonesia yakni 17 Agustus
1945. Kemudian proses pembangunan Monas berada di atas lahan seluas 80 hektar kemudian
dimulailah pembangunannya pada 17 Agustus 1961.
Dari bentuk utuh Monas terdapat beberapa bagian penting mulai dari lidah api, pelataran
puncak, pelataran bawah, hingga Museum Sejarah Perjuangan Nasional. Menariknya seluruh
bangunan Monas setinggi 132 meter tersebut telah dilapisi oleh marmer sehingga memberi
ketahanan tinggi.
a. Lidah Api
Pada Monumen Nasional terdapat bagian lidah api dimana terbuat dari bahan perunggu
dengan tinggi 17 meter berdiameter 6 meter ditambah beratnya mencapai 14,5 ton. Tidak hanya
itu, dari lidah api ini juga mendapat lapisan emas seberat 45kg yang terdiri dari 77 bagian
kemudian disatukan.
b. Pelataran Puncak
Pelataran puncak memiliki luas mencapai 11x11meter kemudian dari akses menuju pelataran
puncak tersedia lift hingga tangga darurat. Pengujung bisa melihat suasana kota Jakarta dari
pelataran puncak
c. Pelataran Bawah
Monumen Nasional di bawahnya juga terdapat pelataran dengan luas mencapai 45×45 meter.
Jarak antara tinggi Monas hingga pelataran bawah mencapai 17 meter, dan pengunjung bisa
melihat Taman Monas yang menjadi salah satu hutan kota di Jakarta.
d. Museum Sejarah Perjuangan Nasional
Museum Sejarah Perjuangan Nasional berupa Museum Nasional dengan tinggi ruangan
mencapai 8 meter. Luas museum bisa mencapai 80x80meter kemudian di sisi museum juga
terdapat 12 diorama dengan berbagai macam tampilan sejarah Indonesia dari zaman kerajaan
hingga tampilan momen G30S PKI.
BAB IV
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah
monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan
dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia
Belanda.
Konsep Bangunan Monas adalah Lingga-Yoni, Lingga adalah gambaran energi positif berupa
Alu dan Yoni adalah gambaran energi negatif yaitu lesung. Dibalik semua konotasi dari monas.
Monas adalah bangunan sebagai icon dari INDONESIA, yang akan selalu kekal dan abadi
keberadaanya dan tidak akan pernah tergantikan karena bagian dari sejarah INDONESIA