Anda di halaman 1dari 3

Pahlawan Ambal: Gamawijaya

Gamawijaya yang tinggal di Kadipaten Ambal digambarkan sebagai sosok berandal


yang meresahakan terutama bagi penguasa Mataram. Sesungguhnya Gamawijaya adalah
sosok yang penuh budi. Lewat aksi-aksinya, kekuatan Mataram yang pro penjajah Belanda
dapat digerogoti. Sampai-sampai penguasa Mataram mengerahkan berbagai upaya untuk
menumpas keberadaan Gamawijaya.

Kecamatan Ambal yang menjadi bagian dari Kabupaten Kebumen dahulu merupakan
sebuah kadipaten di bawah Bagelen, Mataram. Wilayahnya berbatasan langsung dengan laut
di bagian selatan. Walaupun termasuk daerah pesisir, hanya sebagian kecil masyarakat
Kecamatan Ambal bermata pencaharian sebagai nelayan. Pekerjaan menggarap sawah
sebagai petani masih mendominasi. Di balik kesuburannya, ada sejarah panjang yang
berlangsung di sini.

Pada masa kolonialisme Belanda dilaksanakan pembagian wilayah administratif


untuk mempermudah kontrol mereka, seperti di Mataram. Bagelen merupakan salah satu
nama yang digunakan untuk menunjukan wilayah karisidenan yang melingkupi beberapa
kadipaten (wilayah setingkat kabupaten pada masa sekarang) termasuk kadipaten Ambal.
Sebagai kadipaten yang tunduk pada Mataram mengharuskan masyarakat menyisakan
penghasilan mereka untuk dijadikan bulu bekti (pajak). Secara rutin, berbagai hasil tanam
dan ternak mereka kirimkan ke Mataram sebagai tanda setianya. Namun, semakin hari
mereka harus menambah bulu bekti yang mereka kirim akibat titah penguasa Mataram yang
terintervensi oleh Belanda.

Banyak masyarakat yang merasa tertindas. Kebutuhan mereka bahkan menjadi tak
tercukupi sehingga masyarakat harus bekerja lebih keras. Pada sisi yang sama, mereka juga
tak berani melawan akibat berbagai ancaman. Hadirlah Gamawijaya sebagai putra asli daerah
Ambal tepatnya Desa Kembaran yang menyalakan api semangat perlawanan. Ia adalah sosok
ideal pemimipin pada kala itu yang memberikan kepercayaan moral kepada masyarakat
untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini mereka rasakan. Akhirnya berbagai bentuk
dukungan mengalir dari masyarakat.
Gamawijaya menyusun berbagai aksi untuk mengusik Mataram dan Belanda. Ia
mengumpulkan masyarakat yang anti-Belanda untuk dijadiakan aliansi. Mereka tidak lagi
mengirim bulu bekti seperti yang diperintahkan. Bahkan, Gamawijaya dan kawan-kawanya
berani merampas bulu bekti yang sedang dalam perjalanan untuk dikirim ke Mataram.
Prajurit yang mengawal bulu bekti itu tunggang langgang saat menghadapi Gamawijaya yang
memang memiliki ilmu bela diri sakti. Hasil rampasan yang diperoleh tidak ia gunakan untuk
kepentingan pribadinya melainkan ia bagikan kepada masyarakat yang kesusahan. Hal ini
membuat masyarakat banyak yang segan kepada Gamawijaya.

Berita akan kesaktian Gamawijaya sampai ke telinga para petinggi Mataram. Mereka
merasa geram atas ulah Gamawijaya yang tentunya turut memantik pergolakan di tempat-
tempat lain. Mataram mengirimkan prajurit-prajurit terbaik mereka untuk menghabisi
Gamawijaya dan gerombolannya. Namun, upaya itu terus menuai kegagalan yang
mengecewakan. Tidak ada prajurit yang berhasil melukai Gamwijaya. Sebagai upaya
pamungkas, diadakanlah sayembara untuk memenggal kepala Gamawijaya dan
mengantarkannya ke Mataram. Barangsiapa yang berhasil melakukannya maka ia akan
dijadikan Adipati (Bupati) di Kadipaten Ambal.

Seorang juru ketik asal Purworejo bernama Semedi mendengar sayembara yang
menggiurkan itu. Dengan modal seadanya ia berniat untuk menuju Ambal dan menjadi juru
maut bagi Gamawijaya. Disana Semedi menemui banyak pendekar yang gagal mencapai
tujuannya. Ada dari mereka yang masih beruntung karena dibiarkan hidup walaupun sudah
kalah bertarung dengan Gamawijaya. Setelah mengetahui betapa kuatnya Gamawijaya,
Semedi sempat ingin mengurungkan niatnya. Namun, ia teringat dengan salah satu demang
(pemimpin wilayah beberapa kecamatan) yang sakti di Klirong. Demang itu mengatakan
bahwa dirinya tidak perlu ikut bertempur menghadai Gamawijaya. Cukup anaknya yang
bernama Handogo yang akan melakukannya. Diketahu dari Demang tersebut bahwa
kelemahan Gamawijaya adalah berperang ketika matahari telah terbenam.

Waktu yang ditunggu tiba. Malam itu, Handogo dan Semedi menghampiri tempat
Gamawijaya berada. Para pengikut Gamawijaya khawatir jika perang tetap dilaksanakan,
maka dapat berakibat fatal. Jiwa ksatria Gamawijaya ahirnya menerima tantangan dari
Handogo dan Semedi. Handogo dibekali pusaka sakti bernama tlempak oleh ayahnya.
Terjadilah pertempuran sengit antara Handogo dan Gamawijaya. Pada akhirnya Gamawijaya
terjatuh dan berhasil dibunuh oleh Handogo. Melihat Gamawijaya yang sudah tak bernyawa,
Semedi mendekatinya dan berniat memenggal kepalanya.

Semedi mengaku bahwa ialah yang berhasil membunuh Gamawijaya. Kepala


Gamawijaya diserahkan Semedi ke Mataram sebagai buktinya. Atas jasanya Semedi
diangkat sebagai Adipati Ambal dengan gelar K.R.A.A. Poerbonegoro. Dengan begitu
Semedi menguasai wilayah Ambal untuk tetap tunduk ke Mataram dan kembali
melaksanakan kebijakan yang dahulu terusik oleh Gamawijaya.

Handogo yang mengetahui bahwa Semedi diangkat menjadi Adipati Ambal merasa
tak adil sebab dirinyalah yang sebenarnya membunuh Gamawijaya. Handogo berangkat ke
Mataram dengan membawa beberapa saksi yang menguatkan bahwa dirinya yang membunuh
Gamawijaya sedangkan Semedi hanya memenggal kepala Gamawijaya yang sudah mati
kaku. Para penguasa Mataram percaya kepada Handogo dan menjatuhi sanksi kepada Semedi
bahwa ia dan keturunanya hanya diperbolehkan menjadi adipati selama satu periode saja.
Setelah K.R.A.A. Poerbonegoro wafat, kadipaten Ambal dibubarkan dan dijadikan distrik di
Kebumen.

Identitas Penulis

Nama : Kevin Raihan Farusa


Kelas : XII MIPA 5
No : 18

Sumber Informasi

Sejarawan : Basuki Hendro Prayitno (dalang)


Buku : Babad Ambal yang ditulis keluarga Kalapaking

Anda mungkin juga menyukai