Anda di halaman 1dari 8

PEMBERONTAKAN

APRA
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) adalah milis
bersenjata yang didirikan oleh bekas perwira
KNIL (Tentara Hindia Belanda), Raymond
Westerling. Nama milisi ini diambil dari ramalan
Jayabaya tentang pemimpin yang akan datang
membawa keadilan dan kesejahteraan di Jawa.
Anggota milisi ini kebanyakan direkrut dari
bekas prajurit KNIL, terutama dari prajurit
Regiment Speciale Troepen (Regimen Pasukan
Khusus). Jumlah tentara APRA pada tahun 1950
berjumlah sekitar 2000 orang.
Latar Belakang

APRA tidak menyetujui rencana pembubaran Republik


Indonesia Serikat (RIS) hasil konferensi Meja Bundar di Den
Haag tahun 1949. Dengan bekerjasama dengan Sultan
Pontianak, Sultan Hamin II yang beraliran federalis, APRA
dan Westerling mencoba melakukan kudeta pada Januari
1950. Kudeta ini merupakan upaya mempertahankan negara
federal RIS saat sebagian besar negara bagian RIS ingin
membubarkan diri dan bergabung kembali dengan Republik
Indonesia.
Kudeta ini dilancarkan di Bandung dan berhasil menguasai
kota itu. Westerling berusaha menguasai Jakarta dan
membunuh pemimpin republik saat itu. Setelah gagal
menguasai Jakarta, kudeta ini digagalkan dan Westerling
akhirnya harus kabur ke Singapura.
Raymond Pierre Paul
Westerling adalah komandan
pasukan Belanda yang
terkenal karena memimpin
Pembantaian Westerling di
Sulawesi Selatan dan
percobaan kudeta APRA di
Bandung, Jawa Barat. Dia
adalah salah satu sosok
paling dibenci dalam sejarah
Indonesia
mempertahankan bentuk
Negara Federal Pasundan di
Indonesia

mempertahankan adanya tentara


sendiri pada setiap negara bagian
Republik Indonesia Serikat
Pada Januari 1950, Presiden RIS Sukarno menunjuk Hamid
sebagai menteri negara tanpa portofolio sekaligus
koordinator tim perumusan lambang negara.
Menteri tanpa portofolio adalah menteri pemerintahan
tanpa tanggung jawab spesifik atau tidak mengepalai
kementerian tertentu.
Dalam sidang kabinet 10 Januari 1950, Hamid membentuk
Panitia Lencana Negara. Kemudian, diadakan sayembara
pembuatan lambang negara. Di sisi lain, Hamid menjalin
mufakat dengan Westerling karena ingin mempertahankan
negara federal dan kecewa dengan jabatannya yang
hanya sebagai menteri tanpa portofolio.
Dalam penyerbuan itu, Hamid juga
memerintahkan agar semua menteri ditangkap,
sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku
Buwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo,
dan Kepala Staf Angkatan Perang RIS (APRIS)
Kolonel T.B. Simatupang harus ditembak mati.
Drs. Moh. Hatta turun langsung untuk berunding
dengan Komisaris Tinggi Belanda. Akhirnya,
Mayor Jenderal Engels yang merupakan
Komandan Tinggi Belanda di Bandung mendesak
Westerling untuk meninggalkan Kota Bandung.
Berkat hal itu, APRA pun berhasil dilumpuhkan
oleh pasukan APRIS
Dikutip dari kompas.com
dan detik.com

Terimakasiii

Anda mungkin juga menyukai