Pemberontakan Di/TII berpusat di jawa barat yang dipimpin sekarmaji kartosuwiryo. Pemberontakan ini
muncul karena sebagai protes DI/TII terhadap perjanjian Renville.
1) pada tanggal 23 agustus 1049 di daerah tegal, amir Fattah memproklamasikan berdirinya NIL dan
menyatakan bergabung dengan kartosuwityo. Melalui operasi Guntur 1954 pemerintah berhasil
menumpas gerakan amir Fattah
3) di daerah malang dan kudus dilakukan battalion 426 bergabung dengan perusuh-perusuh merapi
berbabu komplek. Berhasil diitumpas melalui brigade pragoro pimpinan letkol.soeharto 1952
pada bulan agustus mereka melancarkan pemberontakan karena tiak terpeni\uhi tuntutannya yaitu agar
seluruh anggota komando gerilya Sulawesi selatan dijadikan tentara APRIS. Akibatnya kahar muxakar
membentuk Negara islam Indonesia Sulawesi selatan dan menjadi bagian dari DI/TII.
c. DI/DII di aceh
Di/TII aceh dipimpin oleh Daud Beureuh. Pemberontak ini muncul karena masalah otonomi daerah.
Semula aceh merupakan daerah istimewah dengan gubernur Daud Bareuh. Namun, pemerintah RI
menurunkan status daerah istimewa Aceh menjadi keresidenan dalam lingkup propinsi Sumatra utara.
Daud bareuh l\kecewa terhadap keputusan pemerintah sehingga ia menyatakan mendukung berdirinya
NII Kartosuwiryo dan Aceh menjadi bagiannya.
Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/7183943#readmore
APRA
Pihak terlibat
teridentifikasi[5]
Kekuatan
Korban
Sejarah Indonesia
Garis waktu
Prasejarah[tampilkan]
Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]
Kerajaan Islam[tampilkan]
Kerajaan Kristen[tampilkan]
Kolonialisme Eropa[tampilkan]
Kemunculan Indonesia[tampilkan]
Kemerdekaan[tampilkan]
Menurut topik[tampilkan]
Portal Indonesia
l
b
s
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950 di mana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada
di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot
Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang
berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang
diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama
organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga
mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di
kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling
berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah
mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya
penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tetapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Andi Abdoel Azis atau dikenal dengan sebutan Andi Azis lahir pada tangal 19 September 1924
di Simpangbinal, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1930-an Andi Azis dibawa ke
Belanda oleh seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda, dan pada tahun 1935 Andi
memasuki Leger School dan lulus dari sekolah tersebut tahun 1938.
Setelah Andi Azis keluar dari sekolah yang didudukinya, ia meneruskan perjalanannya ke
Lyceum sampai tahun 1944. Di dalam hatinya, Andi sebenarnya ingin memasuki sekolah
kemiliteran di Belanda untuk menjadi seorang prajurit. Akan tetapi niatnya untuk masuk ke
dalam sekolah militer tidak terlaksana karena pecahnya Perang Dunia ke II. Karena niat bulatnya
untuk masuk kemiliteran, akhirnya Andi Azis masuk ke Koninklijk Leger dan ia ditugaskan
untuk masuk ke dalam tim pasukan bawah tanah untuk melawan Tentara Penduduk Jerman
(Nazi).
Di daratan Inggris, Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando yang bertempat di sebuah
kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Setelah sekian lama berlatih di kamp tersebut,
akhirnya Andi Azis lulus dari latihan komando tersebut dengan pujian sebagai seorang Prajurit
Komando. Seterusnya pada tahun 1945 (tahun di mana Negara Indonesia Merdeka), Andi Azis
mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Negara Inggris dan akhirnya ia menjadi Sersan
Kadet. Pada Bulan Agustus 1945 Andi Azis ditempatkan di dalam sebuah komando Perang
Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo, dan tempat singgah terakhirnya di Calcutta.
Sama seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga seorang Warga Negara Indonesia yang
turut serta dalam Perang Dunia ke II di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akhirnya Andi Azis diperbolehkan untuk
memilih tugas dan mempertimbangkan apakah ia akan masuk ke dalam satuan sekutu yang akan
bertugas di Jepang atau memilih untuk masuk ke dalam kelompok yang akan ditugaskan di
gugus selatan Negara Indonesia. Setelah di pikir-pikir bahwa sudah 11 tahun ia tidak jumpa
dengan orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya dengan tegas ia memutuskan untuk ikut
satuan yang akan bertugas di gugus selatan Indonesia, dengan harapan ia bisa bersatu kembali
bersama orang tuanya di Makassar.
Pada tanggal 19 Januari 1946 kelompoknya mendarat di daratan pulau Jawa (Jakarta), waktu itu
Andi Azis menjabat sebagai komandan regu, dan kemudian di tugaskan di Cilinding. Pada tahun
1947-an ia mendapatkan kesempatan libur/cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas
militer. Setelah Andi Azis tahu bahwa dia mendapatkan cuti panjang, maka ia segera kembali
lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo. Pada pertengahan tahun
1947, ia dipanggil lagi untuk masuk ke dalam satuan KNIL dan diberi jabatan/pangkat Letnan
Dua.
Selanjutnya Andi Azis diangkat sebagai Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), dan setelah
hampir satu setengah tahun ia menjabat sebagai Ajudan, kemudian ia ditugaskan menjadi
seorang instruktur pasukan SSOP di Bandung-Cimahi pada tahun 1948. Setelah itu, ia dikirim
lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dan 125
anak buahnya (KNIL) yang sudah berpengalaman dan kemudian masuk ke TNI (Tentara
Nasional Indonesia). Di dalam barisan TNI (APRIS) kemudian Andi Azis dinaikkan pangkatnya
menjadi seorang kapten dan tetap memegang kendali kompi yang dipimpinnya. Kompi tersebut
tidak banyak mengalami perubahan anggotanya.
Anggota kompi yang dipimpinya itu bukanlah anggota sembarangan, mereka memiliki
kemampuan tempur di atas standar pasukan regular TNI dan Belanda. Pada saat itu di daerah
Bandung-Cimahi terdapat banyak prajurit Belanda yang sedang dilatih untuk persiapan agresi
militer Belanda II. Di tempat tersebut ada dua macam pasukan khusus Belanda yang sedang
dilatih. Di antara pasukan khusus itu adalah pasukan komando (Baret Hijau) dan pasukan
penerjun (Baret Merah). Sesuai dengan pengalamannya di front Eropa, kemungkinana Andi Azis
melatih para pasukan Komando tersebut dengan kemampuan yang di milikinya.
Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya
konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini
terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka
mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi
sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut
menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950
pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan
daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan
kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini
bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi
Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung
jawabnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan Andi Azis adalah :
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh
Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk
melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang
dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi
Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar
tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E
Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di
Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-
KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar.
Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan
terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.
Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh
duka yang mendalam karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di
usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada
Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan
seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan,
lalu dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang
bertempat di desa Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana
duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta istrinya Hasri Ainun, mantan
Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI turut berduka cita
dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.
Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah
menyakiti dan membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah
korban propaganda dari Belanda, karena kebutaannya terhadap dunia politik.
Andi Azis adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan
kesatuan Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam kesehariannya,
seorang Andi Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis
Makassar yang bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis
diakui sebagai salah satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para
penduduk tentang bagaimana cara menjadikan suku Bugis Makassar supaya
tetap dalam keadaan rukun dan sejahtera.
Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia
selalu berpesan kepada anak-anak angkatnya bahwa “Siapapun boleh dibawa
masuk ke dalam rumahnya kecuali 3 jenis manusia yaitu pemabuk, penjudi,
dan pemain perempuan.
Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita
selama hidup di dunia ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain
katakan, percayalah kepada hati nurani, jangan terlalu percaya sama orang lain
karena orang itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar dan
mungkin malah mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah
lebih baiknya kita harus berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang
lain.
HOME
EKONOMI
BUDAYA
GEOGRAFI
KIMIA
SEJARAH
FISIKA
Home
Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap
parlemen NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya
dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI.
Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis)
menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil
bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku
Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam
perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir.
Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai
daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di
daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota
dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di
Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J.
Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah
ancaman senjata.
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil
bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS),
Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai
Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan
RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku
Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke
penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil.
Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai
Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri
atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B
Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane,
Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden
RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan
pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat
Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS
(APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima
tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil
mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari
Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk
sistem kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini
membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada
tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat
pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram.
Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS
tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya
melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan
sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan
(Government In Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya
dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi
hukuman tehadap :
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan
yang berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2
Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama
persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia,
namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat
persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu
persidangan Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya
dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966
dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di
sebelah Utara Kota Jakarta.
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang
berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut
juga dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS,
seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok
ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api
tersebut.
Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan,
diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23
orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut
dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap
tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan
Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai
propokator dan pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran
bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung
RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera
ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat
dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis
RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Dalam usaha kudeta tersebut, turut menjadi korban tujuh perwira tinggi Angkatan Darat
Indonesia, sebagai suatu usaha menyingkirkan pihak-pihak yang oleh PKI disebut sebagai
Dewan Jenderal dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ketujuh perwira
tersebut terbunuh pada dini hari 1 Oktober 1965. Pembunuhan dipimpin oleh Letkol Untung
simpatisan PKI dari Resimen Cakrabirawa.
Adapun Jenderal TNI A.H Nasution sebagai salah satu sasaran berhasil selamat.
Selamatnya Jenderal Nasution diikuti dengan tewasnya ajudannya, Lettu CZI Pierre A.
Tendean dan putri Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani.
Perwira Tinggi Militer yang menjadi korban G30S/PKI
Ketika meletus peristiwa 30 September 1965, pada tanggal 1 Oktober dengan lugas dan
lengkap Harian Rakyat memberitakan peristiwa tersebut.
Dewan Jenderal merupakan julukan yang ditujukan kepada beberapa petinggi Angkatan
Darat Indonesia yang tidak puas terhadap kebijakan Presiden Soekarno. Menurut PKI,
Dewan Jenderal berusaha untuk melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.
Kabar mengenai kesehatan Bung Karno sendiri didapatkan dari laporan tim medis presiden
yang berasal dari Tiongkok.
Ide pembentukan Angkatan Ke-5 berasal dari kesediaan Perdana Menteri Tiongkok, Zhou
Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara gratis sebagai bentuk dukungan
konfrontasi yang sedang dilakukan Indonesia .
PKI kemudian memberikan usulan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk angkatan
bersenjata diluar TNI dengan mempersenjatai buruh dan petani sebagai bentuk pertahanan
dan peningkatan kekuatan sukarelawan guna mendukung Konfrontasi Malaysia. Ide ini
mendapatkan penolakan dari beberapa petinggi Angkatan Darat. Menurut Angkatan Darat,
pembentukan kesatuan baru diluar matra yang ada, dikhawatirkan menimbulkan
permasalahan pertahanan nasional.
Angkatan Darat pada akhirnya menyetujui pembentukan Angkatan Ke-5 dengan syarat
bahwa bukan hanya buruh dan petani, tetapi seluruh elemen masyarakat harus
dipersenjatai.
PKI kemudian menuduh bahwa Angkatan Darat kontra revolusi dan tidak mendukung
penuh konfrontasi Malaysia.
Hal ini dapat diangggap benar karena menjelang tahun 1964, beberapa kalangan dari
Angkatan Darat secara tertutup membuka komunikasi dengan Malaysia guna meredakan
dan menyelesaikan konflik.
Pasca G30S/PKI
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI berusaha menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan
kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta
terhadap pemerintah yang sah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang
diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Reaksi masyarakat terhadap Gerakan 30 September 1965 cenderung negatif dan berbalik
menuduh PKI sebagai dalang kudeta 1965. Mayjen. Soeharto kemudian memimpin upaya
pencarian perwira korban G30S/PKI dan pembubaran PKI ketika menerima mandat Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Beberapa bulan pasca peristiwa, semua anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan terjadi
pembunuhan oleh masa yang tergabung dalam militer, sipil dan kelompok Islam. Diketahui
ratusan ribu buruh dan petani Indonesia mengalami persekusi, dibunuh atau dimasukkan ke
kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Menurut Soe Hok Gie, Bali menjadi tempat terbanyak
korban pembunuhan.
Diperkirakan 500.000 sampai 2.000.000 orang anggota atau mereka yang dianggap
simpatisan PKI terbunuh dalam pembersihan unsur-unsur komunisme dari tahun 1965-
1966. Bahkan menurut Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo selaku pemimpin
gerakan pembersian komunis, korban tewas mencapai lebih kurang 3000.000 jiwa.
Peristiwa G30S/PKU turut menjadi sebab jatuhnya Presiden Soekarno dari kursi
kepresidenan dan menyebabkan Mayjen Soeharto naik sebagai pejabat presiden dan
kemudian presiden ke-2 Republik Indonesia yang disahkan oleh MPRS.
Pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai
Presiden Republik Indonesia. Sebelumnya, pada Sidang Umum MPRS pada 5 Juli 1966
telah disahkan Tap MPR No. XXV tahun 1966 oleh pimpinan MPRS, Jenderal A.H.
Nasution (Ketua) dan Wakil Ketua Osa Maliki, M. Siregar, Subchan Z.E., dan Mashudi.
Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan menyatakan sebagai Organisasi terlarang di seluruh
Indonesia dan Larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Untuk mengenang peristiwa berdarah tersebut, setiap 30 September diperingati sebagai
Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan
sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dibangun
untuk mengingatkan peristiwa tersebut.
Gelar Pahlawan Revolusi disematkan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam
peristiwa kudeta G30S/PKI yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30
September 1965.