Anda di halaman 1dari 24

Pemberontakan Di/TII

Darul Islam atau Tentara Islam indonesia

Pemberontakan Di/TII berpusat di jawa barat yang dipimpin sekarmaji kartosuwiryo. Pemberontakan ini
muncul karena sebagai protes DI/TII terhadap perjanjian Renville.

a. DI/TII di jawa tengah

1) pada tanggal 23 agustus 1049 di daerah tegal, amir Fattah memproklamasikan berdirinya NIL dan
menyatakan bergabung dengan kartosuwityo. Melalui operasi Guntur 1954 pemerintah berhasil
menumpas gerakan amir Fattah

2) di daerah kebumen dipimpin Muhammad mahfu’ah aburrahman

3) di daerah malang dan kudus dilakukan battalion 426 bergabung dengan perusuh-perusuh merapi
berbabu komplek. Berhasil diitumpas melalui brigade pragoro pimpinan letkol.soeharto 1952

b. di daerah Sulawesi selatan dibawah pimpinan kahar muzakar

pada bulan agustus mereka melancarkan pemberontakan karena tiak terpeni\uhi tuntutannya yaitu agar
seluruh anggota komando gerilya Sulawesi selatan dijadikan tentara APRIS. Akibatnya kahar muxakar
membentuk Negara islam Indonesia Sulawesi selatan dan menjadi bagian dari DI/TII.

c. DI/DII di aceh

Di/TII aceh dipimpin oleh Daud Beureuh. Pemberontak ini muncul karena masalah otonomi daerah.
Semula aceh merupakan daerah istimewah dengan gubernur Daud Bareuh. Namun, pemerintah RI
menurunkan status daerah istimewa Aceh menjadi keresidenan dalam lingkup propinsi Sumatra utara.
Daud bareuh l\kecewa terhadap keputusan pemerintah sehingga ia menyatakan mendukung berdirinya
NII Kartosuwiryo dan Aceh menjadi bagiannya.
Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/7183943#readmore

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil


(APRA)
Kudeta 23 Januari

Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia

Para prajurit TNI yang tewas dalam Peristiwa Kudeta

APRA

Tanggal 22 Januari–23 Januari 1950[2]

Lokasi Bandung dan Jakarta, Jawa

Hasil Pendudukan sementara Bandung oleh Tentara


APRA [3]
Percepatan integrasi negara-negara
bagian Republik Indonesia Serikat ke
dalam Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1950.[4]

Pihak terlibat

TNI Tentara APRA


[1]
KNIL

Tokoh dan pemimpin


Kolonel Sadikin [5] Raymond Westerling [5]

Mayor Jenderal Engels[6] Letnan tak

teridentifikasi[5]

Kekuatan

Divisi Siliwangi[2] 523 prajurit APRA [3]

4,500 Prajurit TNI[3]

Korban

Sekitar 100 jiwa[3] Ringan[3]

Bagian dari seri artikel mengenai

Sejarah Indonesia

Garis waktu

Prasejarah[tampilkan]

Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]

Kerajaan Islam[tampilkan]

Kerajaan Kristen[tampilkan]

Kolonialisme Eropa[tampilkan]

Kemunculan Indonesia[tampilkan]

Kemerdekaan[tampilkan]
Menurut topik[tampilkan]

Portal Indonesia

 l
 b
 s

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950 di mana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada
di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot
Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang
berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang
diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama
organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga
mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di
kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling
berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah
mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya
penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tetapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.

Surat ultimatum[sunting | sunting sumber]


Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di
pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani
Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri
Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat
sipil dan militer Belanda yang bekerja sama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih
menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk
mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling
mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu
bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin
gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut.
Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak
membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan
Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah
dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia
harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van
Maarseveen berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi
ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan
kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking
telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

Desersi[sunting | sunting sumber]


Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST
dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang
berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA
untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de
Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin,
Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van
Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol.
Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang
tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP
di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

Kudeta[sunting | sunting sumber]


Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret
hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar
mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23
Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T.
Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui
Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan.
94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan
di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap
Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan
KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga
serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada
perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islamwaktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan
elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita
yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sunmemberitakan di halaman
muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda
di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik
sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand
van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

Rujukan[sunting | sunting sumber]


 Kahin, George McTurnan (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, N.Y.: Cornell
University Press. ISBN 0-8014-9108-8.
 Westerling, Raymond Paul Pierre (1952). Mes aventures en Indonesie (dalam bahasa
Perancis). – diterjemahkan dari bahasa Perancis ke Inggris oleh Waverley Root sebagai
– Challenge to terror. London: W. Kimber.

PRRI adalah singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik


Indonesia, sementara Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta
atau Perjuangan Rakyat Semesta. Pemberontakan keduanya sudah muncul
saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun
1949. Akar masalahnya yaitu saat pembentukan RIS tahun 1949
bersamaan dengan dikerucutkan Divisi Banteng hingga hanya
menyisakan 1 brigade saja.

Kemudian, brigade tersebut diperkecil menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB.


Kejadian itu membuat para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng merasa
kecewa dan terhina, karena mereka merasa telah berjuang hingga
mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Selain itu,
ada pula ketidakpuasan dari beberapa daerah seperti Sumatera dan Sulawesi
terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Kondisi ini pun diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan
masyarakat yang sangat rendah.

Akibat adanya berbagai permasalahan tersebut, para perwira militer


berinisiatif membentuk dewan militer daerah, sebagai berikut:

PRRI selanjutnya membentuk Dewan Perjuangan dan sekaligus tidak


mengakui kabinet Djuanda, maka terbentuklah kabinet PRRI. Pada tanggal 9
Januari 1958 para tokoh militer dan sipil mengadakan pertemuan di Sungai
Dareh, Sumatera Barat. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah
pernyataan berupa “Piagam Jakarta” dengan isi berupa tuntutan agar
Presiden Soekarno bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional,
serta menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 dan
membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.
Selanjutnya Letnan Kolonel Ahmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958
memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) dengan perdana menteri Syafruddin Prawiranegara. Hal
ini merupakan respon atas penolakan tuntutan yang diajukan oleh PRRI.
Pada saat dimulainya pembangunan pemerintahan, PRRI mendapat
dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat. Dengan bergabungnya
PERMESTA dengan PRRI, gerakan kedua kelompok itu disebut
PRRI/PERMESTA.

Untuk menumpas pemberontakan, pemerintah melancarkan operasi militer


gabungan yang diberi nama Operasi Merdeka, dipimpin oleh Letnan Kolonel
Rukminto Hendraningrat. Operasi ini sangat kuat karena musuh memiliki
persenjataan modern buatan Amerika Serikat. Terbukti dengan ditembaknya
Pesawat Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) yang dikemudikan oleh Allan
L. Pope seorang warga negara Amerika Serikat.

Akhirnya, pemberontakan PRRI/Permesta baru dapat diselesaikan pada


bulan Agustus 1958, dan pada tahun 1961 pemerintah membuka kesempatan
bagi sisa-sisa anggota Permesta untuk kembali Republik Indonesia.

Andi Abdoel Azis atau dikenal dengan sebutan Andi Azis lahir pada tangal 19 September 1924
di Simpangbinal, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1930-an Andi Azis dibawa ke
Belanda oleh seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda, dan pada tahun 1935 Andi
memasuki Leger School dan lulus dari sekolah tersebut tahun 1938.

Setelah Andi Azis keluar dari sekolah yang didudukinya, ia meneruskan perjalanannya ke
Lyceum sampai tahun 1944. Di dalam hatinya, Andi sebenarnya ingin memasuki sekolah
kemiliteran di Belanda untuk menjadi seorang prajurit. Akan tetapi niatnya untuk masuk ke
dalam sekolah militer tidak terlaksana karena pecahnya Perang Dunia ke II. Karena niat bulatnya
untuk masuk kemiliteran, akhirnya Andi Azis masuk ke Koninklijk Leger dan ia ditugaskan
untuk masuk ke dalam tim pasukan bawah tanah untuk melawan Tentara Penduduk Jerman
(Nazi).

Andi Aziz. [1]


Dari pasukan bawah tanah kemudian ia dipindahkan ke garis belakang pertahanan Jerman, untuk
melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena semakin sempitnya kedudukan Sekutu di
Eropa, maka secara diam-diam Azis bersama para kelompoknya menyeberang ke daratan Inggris
di mana daerah tersebut adalah sebuah daerah yang paling aman dari serangan tentara Jerman,
meskipun pada tahun 1944 daerah tersebut sering di bom oleh pasukan udara tentara Jerman.

Di daratan Inggris, Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando yang bertempat di sebuah
kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Setelah sekian lama berlatih di kamp tersebut,
akhirnya Andi Azis lulus dari latihan komando tersebut dengan pujian sebagai seorang Prajurit
Komando. Seterusnya pada tahun 1945 (tahun di mana Negara Indonesia Merdeka), Andi Azis
mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Negara Inggris dan akhirnya ia menjadi Sersan
Kadet. Pada Bulan Agustus 1945 Andi Azis ditempatkan di dalam sebuah komando Perang
Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo, dan tempat singgah terakhirnya di Calcutta.
Sama seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga seorang Warga Negara Indonesia yang
turut serta dalam Perang Dunia ke II di front Barat Eropa.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akhirnya Andi Azis diperbolehkan untuk
memilih tugas dan mempertimbangkan apakah ia akan masuk ke dalam satuan sekutu yang akan
bertugas di Jepang atau memilih untuk masuk ke dalam kelompok yang akan ditugaskan di
gugus selatan Negara Indonesia. Setelah di pikir-pikir bahwa sudah 11 tahun ia tidak jumpa
dengan orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya dengan tegas ia memutuskan untuk ikut
satuan yang akan bertugas di gugus selatan Indonesia, dengan harapan ia bisa bersatu kembali
bersama orang tuanya di Makassar.

Pada tanggal 19 Januari 1946 kelompoknya mendarat di daratan pulau Jawa (Jakarta), waktu itu
Andi Azis menjabat sebagai komandan regu, dan kemudian di tugaskan di Cilinding. Pada tahun
1947-an ia mendapatkan kesempatan libur/cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas
militer. Setelah Andi Azis tahu bahwa dia mendapatkan cuti panjang, maka ia segera kembali
lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo. Pada pertengahan tahun
1947, ia dipanggil lagi untuk masuk ke dalam satuan KNIL dan diberi jabatan/pangkat Letnan
Dua.

Selanjutnya Andi Azis diangkat sebagai Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), dan setelah
hampir satu setengah tahun ia menjabat sebagai Ajudan, kemudian ia ditugaskan menjadi
seorang instruktur pasukan SSOP di Bandung-Cimahi pada tahun 1948. Setelah itu, ia dikirim
lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dan 125
anak buahnya (KNIL) yang sudah berpengalaman dan kemudian masuk ke TNI (Tentara
Nasional Indonesia). Di dalam barisan TNI (APRIS) kemudian Andi Azis dinaikkan pangkatnya
menjadi seorang kapten dan tetap memegang kendali kompi yang dipimpinnya. Kompi tersebut
tidak banyak mengalami perubahan anggotanya.

Anggota kompi yang dipimpinya itu bukanlah anggota sembarangan, mereka memiliki
kemampuan tempur di atas standar pasukan regular TNI dan Belanda. Pada saat itu di daerah
Bandung-Cimahi terdapat banyak prajurit Belanda yang sedang dilatih untuk persiapan agresi
militer Belanda II. Di tempat tersebut ada dua macam pasukan khusus Belanda yang sedang
dilatih. Di antara pasukan khusus itu adalah pasukan komando (Baret Hijau) dan pasukan
penerjun (Baret Merah). Sesuai dengan pengalamannya di front Eropa, kemungkinana Andi Azis
melatih para pasukan Komando tersebut dengan kemampuan yang di milikinya.

1. Lata Belakang Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya
konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini
terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka
mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi
sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut
menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950
pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan
daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan
kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini
bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi
Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung
jawabnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan Andi Azis adalah :

1. Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan


tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja.
2. Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
3. Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

2. Dampak Pemberontakan Andi Aziz


Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas
Tentara Nesional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun
berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan oleh
pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT) mengundurkan
diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi Azis dan ia
digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950, Sukawati
yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia
untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

3. Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz

Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada


tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa
setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan
yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan
diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan
yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi
Selatan.

Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh
Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk
melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang
dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi
Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar
tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.

Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E
Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di
Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-
KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar.
Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan
terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.

Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal


5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi
yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-
KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil
menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan
terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.

Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika


menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk
perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya
dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral
Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju
untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di
daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus
meninggalkan Makassar.

4. Meninggalnya Kapten Andi Azis

Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh
duka yang mendalam karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di
usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada
Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan
seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan,
lalu dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang
bertempat di desa Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana
duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta istrinya Hasri Ainun, mantan
Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI turut berduka cita
dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.

5. Hikmah di Balik Pemberontakan Andi Azis

Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah
menyakiti dan membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah
korban propaganda dari Belanda, karena kebutaannya terhadap dunia politik.
Andi Azis adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan
kesatuan Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam kesehariannya,
seorang Andi Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis
Makassar yang bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis
diakui sebagai salah satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para
penduduk tentang bagaimana cara menjadikan suku Bugis Makassar supaya
tetap dalam keadaan rukun dan sejahtera.

Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia
selalu berpesan kepada anak-anak angkatnya bahwa “Siapapun boleh dibawa
masuk ke dalam rumahnya kecuali 3 jenis manusia yaitu pemabuk, penjudi,
dan pemain perempuan.

Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita
selama hidup di dunia ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain
katakan, percayalah kepada hati nurani, jangan terlalu percaya sama orang lain
karena orang itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar dan
mungkin malah mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah
lebih baiknya kita harus berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang
lain.
 HOME
 EKONOMI
 BUDAYA
 GEOGRAFI
 KIMIA
 SEJARAH
 FISIKA
Home

Home » Sejarah » Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS),


Latar Belakang, Penyebab, Tujuan, Upaya Penumpasan, Dampak

Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Latar Belakang, Penyebab,


Tujuan, Upaya Penumpasan, Dampak
Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Latar Belakang,
Penyebab, Tujuan, Upaya Penumpasan, Dampak - Pada tanggal 25 April 1950,
Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan
prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian
Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur.
Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang tidak hanya ingin
memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk membentuk
Negara sendiri yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah
seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah terlibat dalam
pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri,
akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil
juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar
ke Ambon.
Chris Soumokil, Proklamator Republik Maluku Selatan (RMS) (geertboogaard.nl)

1. Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS

Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan


yaitu, mereka tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan
Republik Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan
unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak jelas dan tidak pasti
setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi keadaan yang membuat
masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun,
dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan
Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan
intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang
dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian
dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang kapten bernama
Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah
Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan
korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan
penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat
pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan
wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga
seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman
bahaya tersebut.

Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap
parlemen NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya
dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI.
Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis)
menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil
bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku
Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam
perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir.
Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai
daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di
daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota
dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di
Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J.
Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah
ancaman senjata.

2. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku

Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil
bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS),
Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai
Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan
RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku
Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke
penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil.
Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai
Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri
atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B
Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane,
Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.

Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden
RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan
pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat
Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS
(APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima
tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil
mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari
Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk
sistem kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.

3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku

Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini


dengan cara berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan
mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni
Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil.
Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para
pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan
pengikut Soumokil.

Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil,


akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan
RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang
dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai
Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah
membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun
akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950,
pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan
sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus
untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada
tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk
benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan
militer tersebut.

Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini
membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada
tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat
pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram.
Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS
tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya
melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan
sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan
(Government In Exile).

Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya
dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi
hukuman tehadap :

1. J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun


2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi
hukuman 5 Tahun
3. D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4
½ Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman
selama 4 ½ Tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman
selama 5 ½ Tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman
selama 4 ½ Tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi
hukuman selama 5 ½ Tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi
hukuman selama 5 ½ Tahun
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi
hukuman selama 3 Tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi
hukuman selama 4 Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi
hukuman selama 7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di
jatuhi hukuman selama 10 Tahun

Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan
yang berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2
Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama
persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia,
namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat
persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu
persidangan Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya
dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966
dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di
sebelah Utara Kota Jakarta.

Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri


Belanda. Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden
RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa
sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.

4. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku

Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang
berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut
juga dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS,
seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok
ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api
tersebut.

Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan,
diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23
orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut
dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap
tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan
Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai
propokator dan pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran
bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung
RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera
ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat
dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis
RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan


keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-
segan untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden
SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi
Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah
terjadi pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sedang menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di
Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat penari Cakalele masuk ke dalam
lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di
hadapan presiden SBY
Harian Sejarah - Gerakan 30 September 1965, atau disingkat G30S/PKI. Pihak Angkatan
Darat menyebutnya sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok
(Gerakan Satu Oktober). G30S/PKI merupakan suatu peristiwa yang dikatakan sebagai
suatu usaha kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam usaha kudeta tersebut, turut menjadi korban tujuh perwira tinggi Angkatan Darat
Indonesia, sebagai suatu usaha menyingkirkan pihak-pihak yang oleh PKI disebut sebagai
Dewan Jenderal dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ketujuh perwira
tersebut terbunuh pada dini hari 1 Oktober 1965. Pembunuhan dipimpin oleh Letkol Untung
simpatisan PKI dari Resimen Cakrabirawa.

Perwira AD yang terbunuh pada 1 Oktober 1965, yakni:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)
 Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)
 Lettu CZI Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal TNI Abdul Harris Nasution)

Adapun Jenderal TNI A.H Nasution sebagai salah satu sasaran berhasil selamat.
Selamatnya Jenderal Nasution diikuti dengan tewasnya ajudannya, Lettu CZI Pierre A.
Tendean dan putri Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani.
Perwira Tinggi Militer yang menjadi korban G30S/PKI

Pasca mengalami penganiayaan dan pembunuhan, ketujuh perwira militer dibuang ke


suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya dekat Lanud
Halim Perdanakusuma. Mayat mereka ditemukan kemudian pada 3 Oktober 1965.

Beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:


 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Isu Dewan Jenderal


Isu Dewan Jenderal merupakan sebuah isu politik yang dipopulerkan oleh PKI melalui
media-media sayap kirinya, seperti Harian Rakyat yang diketuai oleh Njoto, wakil Ketua CC
PKI.

Ketika meletus peristiwa 30 September 1965, pada tanggal 1 Oktober dengan lugas dan
lengkap Harian Rakyat memberitakan peristiwa tersebut.
Dewan Jenderal merupakan julukan yang ditujukan kepada beberapa petinggi Angkatan
Darat Indonesia yang tidak puas terhadap kebijakan Presiden Soekarno. Menurut PKI,
Dewan Jenderal berusaha untuk melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.

Isu sakitnya Bung Karno


Terdapat sebuah kabar yang berkembang mengenai kondisi kesehatan Presiden Sukarno
pada tahun 1964. Berkaitan dengan kabar yang belum teruji ini, kemudian diangkat oleh
PKI untuk memojokan Dewan Jenderal yang diisukan akan melakukan kudeta sebelum
kematian Presiden Soekarno.

Kabar mengenai kesehatan Bung Karno sendiri didapatkan dari laporan tim medis presiden
yang berasal dari Tiongkok.

Pembentukan Angkatan Ke-5 dan Konfrontasi Malaysia.


Pembentukan Angkatan Ke-5 merupakan sebuah gagasan yang mencuat menjelang
kudeta 30 September 1965.

Ide pembentukan Angkatan Ke-5 berasal dari kesediaan Perdana Menteri Tiongkok, Zhou
Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara gratis sebagai bentuk dukungan
konfrontasi yang sedang dilakukan Indonesia .

PKI kemudian memberikan usulan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk angkatan
bersenjata diluar TNI dengan mempersenjatai buruh dan petani sebagai bentuk pertahanan
dan peningkatan kekuatan sukarelawan guna mendukung Konfrontasi Malaysia. Ide ini
mendapatkan penolakan dari beberapa petinggi Angkatan Darat. Menurut Angkatan Darat,
pembentukan kesatuan baru diluar matra yang ada, dikhawatirkan menimbulkan
permasalahan pertahanan nasional.

Angkatan Darat pada akhirnya menyetujui pembentukan Angkatan Ke-5 dengan syarat
bahwa bukan hanya buruh dan petani, tetapi seluruh elemen masyarakat harus
dipersenjatai.

PKI kemudian menuduh bahwa Angkatan Darat kontra revolusi dan tidak mendukung
penuh konfrontasi Malaysia.

Hal ini dapat diangggap benar karena menjelang tahun 1964, beberapa kalangan dari
Angkatan Darat secara tertutup membuka komunikasi dengan Malaysia guna meredakan
dan menyelesaikan konflik.

Pasca G30S/PKI
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI berusaha menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan
kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta
terhadap pemerintah yang sah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang
diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Reaksi masyarakat terhadap Gerakan 30 September 1965 cenderung negatif dan berbalik
menuduh PKI sebagai dalang kudeta 1965. Mayjen. Soeharto kemudian memimpin upaya
pencarian perwira korban G30S/PKI dan pembubaran PKI ketika menerima mandat Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Beberapa bulan pasca peristiwa, semua anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan terjadi
pembunuhan oleh masa yang tergabung dalam militer, sipil dan kelompok Islam. Diketahui
ratusan ribu buruh dan petani Indonesia mengalami persekusi, dibunuh atau dimasukkan ke
kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Menurut Soe Hok Gie, Bali menjadi tempat terbanyak
korban pembunuhan.

Diperkirakan 500.000 sampai 2.000.000 orang anggota atau mereka yang dianggap
simpatisan PKI terbunuh dalam pembersihan unsur-unsur komunisme dari tahun 1965-
1966. Bahkan menurut Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo selaku pemimpin
gerakan pembersian komunis, korban tewas mencapai lebih kurang 3000.000 jiwa.

Peristiwa G30S/PKU turut menjadi sebab jatuhnya Presiden Soekarno dari kursi
kepresidenan dan menyebabkan Mayjen Soeharto naik sebagai pejabat presiden dan
kemudian presiden ke-2 Republik Indonesia yang disahkan oleh MPRS.

Pada 23 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan negara kepada


Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap MPRS No. IX tahun 1967. Kemudian pada 7-12
Maret 1967, MPRS menyelenggarakan Sidang istimewa di Jakarta. Dalam sidang tersebut,
MPRS dengan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 memutuskan untuk mencabut kekuasaan
pemerintahan negara dari Presiden Soekarno.

Pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai
Presiden Republik Indonesia. Sebelumnya, pada Sidang Umum MPRS pada 5 Juli 1966
telah disahkan Tap MPR No. XXV tahun 1966 oleh pimpinan MPRS, Jenderal A.H.
Nasution (Ketua) dan Wakil Ketua Osa Maliki, M. Siregar, Subchan Z.E., dan Mashudi.

Tap MPR No. XXV tahun 1966 berisi:

Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan menyatakan sebagai Organisasi terlarang di seluruh
Indonesia dan Larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Untuk mengenang peristiwa berdarah tersebut, setiap 30 September diperingati sebagai
Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan
sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dibangun
untuk mengingatkan peristiwa tersebut.

Gelar Pahlawan Revolusi disematkan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam
peristiwa kudeta G30S/PKI yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30
September 1965.

Anda mungkin juga menyukai