Anda di halaman 1dari 4

Nama : Fadhlan Abdurrahman

Kelas : XI MIPA 3

Bacalah beberapa sumber/informasi dari buku atau internet dan jawablah beberapa pertanyaan
berikut

1. Pilihlah 3 tokoh (2 tokoh nasional dan 1 tokoh daerah) yang menurutmu memiliki peran dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
2. Jelaskan dalam bentuk paragraf mengenai tokoh-tokoh pilihanmu tersebut dan perannya dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia

Jawaban!

1. H.O.S Tjokroaminoto

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16


Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun (dalam
Buku Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, karangan Drs. Mansur, MA. Penerbit Pustaka
Pelajar, 2004; halaman 13)), lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, merupakan salah satu
pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam (SI).

Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah
seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat
sebagai Bupati Ponorogo.
Setelah lulus dari sekolah rendah, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah pamong praja di
Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi. Tiga tahun kemudian, ia berhenti.
Tjokromaninoto pindah dan menetap di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di
firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijk Avondschool,
jurusan Teknik Mesin.[4]
Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" oleh Belanda, Tjokroaminoto
adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar
di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa
Indonesia pada saat itu. Rumahnya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah
ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, bahkan Tan
Malaka pernah berguru padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda.
Setelah ia meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya,
yakni kaum sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis,
dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga
muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu
memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga
terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia karena
memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso. Dengan terpaksa Presiden
Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang", sapaan
akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati pada 31 Oktober
1948. dilanjutkan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh S.M Kartosuwiryo dan akhirnya
hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada 12 September 1962. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto
mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi
ketua.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid,
sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang
memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia
sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri
pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin
besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya
hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat
kawannya, Muso, Alimin, S.M Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa
menyaksikannya.
Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan
di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.

2. Tan Malaka

Tan Malaka adalah sosok laki laki kelahiran Suliki, Sumatra Barat pada tanggal 02 Juni 1897 dengan
nama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Banyak sekali peranan yang dilakukan oleh Tan Malaka
namun sedikit yang tahu. Tan Malaka sangat tidak suka kolonialisme dan penjajahan yang terjadi pada
saat itu sehingga ia tergerak untuk melakukan berbagai macam gerakan yang dengan melakukan
penyamaran atas nama aslinya. Tan Malaka membangun sekolah di Semarang untuk anak-anak Sarekat
Islam yang dimana tujuan utama dia adalah untuk membuka pemikirian dan mencerdasakan anak bangsa
pada saat itu yang dimana banyak yang tidak mengenyam pendidikan.

Perbedaan metode dan ideologi antara tokoh pergerakan ini semakin berlanjut secara tajam ketika
Sjahrir diangkat menjadi Perdana Menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi
parlementer. Ketika Sjahrir berkuasa, maka keduanya berhasil melancarkan gerakan politik untuk
menghapus citra Indonesia sebagai negara boneka bentukan Jepang. Namun langkah yang ia gunakan
yaitu dengan cara merapat ke kubu Inggris-Amerika sebagai penguasa baru di Nusantara pada masa itu,
kemudian Sutan Sjahrir dengan gencar mengkampanyekan politik diplomasi. Adanya sistem politik yang
dilakukan Sjahrir tersebut membuat Soekarno-Hatta dan juga Panglima Besar Jenderal Sudirman yang
saat itu menjadi pimpinan PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang merasa geram. Akibatnya
muncullah fraksi-fraksi baru dalam kepemimpinan Indonesia, yaitu Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir dan
Soedirman-Tan Malaka.

Pada tanggal 3 -5 januari 1946 berhasil diadakan Kongres Persatuan Perjuangan yang pertama di
Purwokerto, dihadiri oleh 132 organisasi, baik sipil, partai, laskar dan ketentaraan. Dalam pidatonya di
arena Kongres ini, Tan Malaka menganjurkan untuk menyusun suatu program minimum yang singkat,
padat dan jelas. Pada kongres ini materi pembicaraan yang diberikan, Tan Malaka mencoba memberikan
pencerahan dengan analisis yang mendalam dan berdasar pengetahuan filosofi, sosiologi dan taktik yang
diperolehnya dari pengalaman. Pidato yang disampaikan oleh Tan Malaka dapat membakar semangat
revolusi peserta-peserta yang ikut dalam kongres ini.
Tan Malaka mempunyai gagasan bahwa kekuatan yang masih mendukung tujuan Persatuan
Perjuangan harus dipersatukan kembali dalam satu wadah yang lebih solid. Tan Malaka memandang
perlunya dibentuk sebuah partai revolusioner yang dapat mengumpulkan dan memusatkan kekuatan
revolusioner Indonesia dengan jalan aksi massa teratur untuk mempertahankan kemerdekaan nasional.
Keinginannya adalah membentuk sebuah partai yang disiplin, di dalamnya bergabung orang-orang yang
satu pandangan dan tindakan politik, serta mau berkorban demi kepentingan negaranya. Baginya perlu
adanya syarat dan alat yang dibentuk untuk mewujudkan tujuan yang dimiliki yaitu dengan mendirikan
sebuah partai yang lebih besar untuk mempersatukan sikap dan tindakan bagi semua cabang partai dan
anggota gabungan partai. Dengan begitu maka kekuatan revolusioner yang masih mendukung tujuan
kemerdekaan Indonesia seutuhnya akan lebih terorganisir dan mudah dicapai.

Keluarnya Tan Malaka dari penjara disambut baik oleh rekanrekan dan pengikut-pengikutnya, akan
tetapi bagi Tan Malaka sendiri melihat Persatuan Perjuangan yang semakin buruk kondisinya. Sehingga
pada tanggal 7 November 1948 Tan Malaka mendirikan Partai Murba yang merupakan gabungan dari
beberapa partai yang mendukung jalannya revolusi yang dicita-citakan Tan Malaka. Tujuan pendirian
partai tersebut termuat dalam anggaran dasar Partai Murba tersebut, yaitu bertujuan untuk
mempertahankan dan memperkokoh tegaknya Kemerdekaan 100% bagi republik dan rakyat, sesuai
dengan dasar dan tujuan proklamasi kemerdekaan Indonesia, menuju masyarakat adil dan makmur
menurut keperibadian bangsa Indonesia, ialah masyarakat Sosialis. Partai Murba merupakan peleburan
dari berbagai partai, diantaranya Partai Rakyat, Partai Buruh Merdeka dan Partai Rakyat Jelata. Dalam
AD/ART disebutkan tujuan partai, yaitu “mempertahankan dan memperkokoh tegaknya kemerdekaan
100% bagi Republik dan rakyat sesuai dengan dasar dan tujuan proklamasi 17 Agustus 1945 menuju ke
masyarakat adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia, ialah masyarakat sosialis”.

Kerasnya Tan menolak cara Soekarno-Hatta justru dinilai membahayakan Indonesia. Pemerintah
terus mencari dan mengejarnya. Kini ia tidak hanya buron di mata Belanda, tapi juga negara yang ia
gagas sendiri.Ia pun melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Saat menyusuri Gunung Wilis di
Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi
Brawijaya. 21 Februari 1949, Suradi Tekebek mengeksekusi mati Tan Malaka. Dia dimakamkan di
Selopanggung, Kediri. Poeze menulis di bukunya dengan kalimat, “Kematianya dirahasiakan bertahun-
tahun.”

3. Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada Jumat 11 November 1785. Dia lahir dari rahim Raden
Ayu (RA) Mangkorowati yang merupakan selir Sultan Hamengkubuwono III. Dia ialah pahlawan nasional
dari tanah Jawa yang gagah memimpin atau perang Jawa melawan penjajahan Belanda pada 1825-1830
hingga dikenal sebagai perang Diponegoro.

Diponegoro memperlihatkan pemberontakan terhadap keraton pada 1822. Saat itu,


kepemimpiman berada di tangan Hamengkubuwono V yang saat itu masih berusia tiga tahun.
Pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Diponegoro menilai
bahwa cara tersebut salah. Dia menolak cara perwalian yang dijalankan di keraton.
Belanda kala itu memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Hal itu untuk
pembangunan jalan yang diusulkan oleh Patih Danurejo yang menjadi kaki tangan Belanda. Diponegoro
yang secara terbuka menentang Belanda pun melakukan penolakan pembangunan jalan itu secara
terang-terangan. Rakyat mendukung hal tersebut. Hal inilah yang menjadi awal mula terjadinya perang
Diponegoro.

Menyingkir dari desa Tegalrejo, Diponegoro pun pergi membuat barisan perlawanan terhadap
Belanda yang bermarkas di Gua Selarong. Langkah tersebut sesuai dengan nasihat dari pamannya yaitu
Pangeran Mangkubumi. Seperti dikutip dari buku Biografi Pahlawan Kusuma Bangsa karya Ria Listina,
semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang berkobar dalam diri Diponegoro berpengaruh
luas. Teriakan Diponegoro yang menamakan perlawanan ini sebagai perang sabil sangat mengelegar.

Semangat itu sampai pula kepada salah satu tokoh agama Surakarta yang bernama Kyai Maja atau
Kyai Mojo dalam pelafalan Jawa, ikut bergabung ke pasukan Gua Selarong. Tentu, keikutsertaan Kyai
Maja memberikan pengaruh yang sangat besar. Sebab, sosok Kyai Maja memiliki banyak pengikut dari
bagai lapisan masyarakat. Bukan hanya Kyai Maja, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden
Tumenggung Prawiradigday atau Bupati Gagatan dan Sunan Pakubuwono VI.

Berbagai cara Belanda lakukan untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan pasukannya. Taktik
sayembara pun dilakukan oleh Belanda. Barang siapa yang bisa menangkap atau membunuh Pangeran
Diponegoro akan diberikan hadiah sangat besar yaitu 20.000 gulden.

Rakyat yang berada dipihak Diponegoro pun tidak goyah dengan tawaran tersebut. Tidak ada satu
pun yang mengungkap keberadaan Diponegoro kala itu. Dinilai tidak berhasil, pada 28 Maret 1830,
Belanda mengambil cara licik yaitu, mengundang Diponegoro ke Magelang untuk berunding.

Saat itu, Belanda menjamin apabila tidak ada kesepakatan, maka Diponegoro bisa kembali ke
tempatnya yang aman. Dengan pribadi jujur dan berhati bersih, Diponegoro setuju dengan tawaran baik
Belanda. Sayang, undangan itu ternyata hanya lah akal busuk Belanda untuk menangkapnya.

Setelah Belanda berhasil menangkapnya, pada 20 April 1830, Diponegoro dibuang ke Manado.
Tidak sendirian, Diponegoro dibuang bersama dengan Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposoni
dan istri, serta para pengikutnya. Diponegoro berlayar dengan kapal Pollux.

Setelah sampai, Diponegoro dan rombongannya langsung ditawan di Benteng Amstrerdam.


Selanjutnya, Diponegoro pun kembali dipindahkan oleh Belanda, kali ini ke Makassar. Selama 25 tahun
Diponegoro hidup di Benteng Rotterdam, Makassar. Hingga, 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro
meninggal dan dimakamkan di kota pengasihan terakhirnya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai