Leadership
Disusun Oleh:
Danang Dewantoro
(201960315)
Presiden Soekarno adalah bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa
membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya
kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang
lembut dan menyukai keindahan.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan
etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan
sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga
menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh
inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak
kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan
kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas
ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).
Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang
menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan
bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah kepemimpinannya, ciri
kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan kultus
individu. Menjelang akhir kepemimpinannya terjadi tindakan politik yang sangat
bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengangkat Ketua MPR (S) juga.
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik
di dalam negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India,
Cina, Vietnam, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti
inilah pencipta Asia pasca-kolonial. Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki
visi kemasyarakatan dan visi tentang negara merdeka. Ini khususnya ada dalam
dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme kelihatan kokoh secara
alamiah dan legal di dunia. Prinsip politik mempersatukan elite gaya Soekarno adalah
“alle leden van de familie aan een eet-tafel” (semua anggota keluarga duduk bersama
di satu meja makan). Dia memperhatikan asal-usul daerah, suku, golongan, dan juga
partai.
Tindakan Soekarno Sebelum Kemerdekaan
Soekarno, dilahirkan tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya seorang bangsawan
Jawa bernama Sukemi Sastrodihardjo dan Ibunya seorang bangsawan Bali bernama
Idayu Njoman Rai. Perpaduan darah dari kedua bangsawan ini nampaknya
menumbuhkan pribadi yang disegani, berwibawa, jiwa yang berkarakter dan watak
cerdas pada diri Soekarno.
Pada masa pergerakan nasional kita telah mengenal beberapa kelompok organisasi
sosial maupun politik seperti: Boedi Utomo, Sarikat Islam, dsb, yang masing-masing
berjuang untuk tujuan yang sama yaitu melepaskan diri dari kolonialisme Belanda.
Meskipun cara yang ditempuh berbeda antara yang satu dengan yang lain. Namun
hakikat gerakan tetap merupakan suatu cerminan dari rasa cinta terhadap tanah air.
Salah satu dari gerakan tersebut adalah nasionalisme radikal (PNI) yang didirikan
oleh Soekarno, dialah yang memberikan warna pada gerakan tersebut dan dia pula
yang menempatkan nasionalisme pada tempat yang paling tinggi. Kecintaan pada
bangsa dan tanah air merupakan fokus utama.
Bagi Soekarno, bangsa, kebangsaan atau nasionalisme dan tanah air merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dia memandang semuanya sebagai “Ibu
Indonesia” yang memberikan seluruh isi alamnya untuk hidup kita semua. Itu
sebabnya dia mengajak kita untuk memperhambakan diri kepadanya. Penderitaan
bangsa Indonesia dibawah kolonialisme Belanda juga memberikan pengaruh terhadap
warna nasionalisme yang diyakininya. Nasionalisme yang diyakininya adalah
berdasarkan menselijkheid. “Nasionalismeku adalah perikemanusiaan”, begitulah dia
mengambil kalimat dari Mahatma Gandhi, pemimpin pergerakan politik India.
Begitu pentingnya nasionalisme dalam perjalanan politik Soekarno membuat dia
menempatkan nasionalisme ketempat teratas dalam prinsip ideologi yang dikenal
Pancasila, yang dikemukakan pada saat perumusan dasar negara disidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945. Dengan kemampuannya meyakinkan orang lain membuat
Pancasila ini diterima oleh seluruh kalangan, mengalahkan paham-paham lain yang
diajukan oleh rekan-rekannya seperti: Moch.Yamin, Ki Bagus Hadi Kusumo, Mr.
Soepomo, dan Lim. Dan dengan hal ini pula, Soekarno dikenal sebagai pencipta dari
Pancasila yang terdiri dari: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau
perikemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan
Yang Berkebudayaan; yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia.
Segala bentuk ataupun tindakan Soekarno dalam memimpin Indonesia pada saat
Demokrasi Terpimpin akan sangat terasa apabila kita melihatnya melalui pendekatan
perilaku (behavioral approach). Dalam pendekatan ini, Soekarno yang diangkat oleh
MPRS sebagai Pemimpin Besar Revolusi merupakan pusat dari seluruh aspek sistem
sosial politik Indonesia. Walaupun dalam perjalanannya, terdapat dua kekuatan besar
lainnya yang berada dibelakang Soekarno dalam sistem sosial politik Indonesia pada
masa itu, yaitu: PKI dan Angkatan Darat.
Namun sangat disayangkan, pada masa ini terjadi banyak penyimpangan. Praktik dari
cita-cita Demokrasi Terpimpin yang luhur tidak pernah dilaksanakan secara
konsekuen. Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP MPRS
No.III Tahun 1963. Hal ini telah menyalahi UUD 1945 mengenai pembatasan waktu
jabatan presiden selama lima tahun. Soekarno pun membubarkan konstituante (DPR)
hasil dari pemilu pertama dan digantikan oleh DPR-GR. DPR-GR ditonjolkan
peranannya dalam membantu pemerintah tetapi fungsi kontrolnya ditiadakan.
Selanjutnya pimpinan DPR-GR diangkat sebagai menteri. Dengan demikian, DPR-
GR ditekankan fungsinya sebagai pembantu presiden disamping fungsi utamanya
sebagai wakil rakyat. Kemudian konsep trias politica seolah hilang. Misal, presiden
diberikan wewenang untuk ikut campur dalam bidang yudikatif berdasarkan UU No.
19 Tahun 1964 dan dibidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan
Presiden No. 14 Tahun 1960 ketika DPR-GR tidak mencapai kata mufakat. Hal ini
menjadikan kaburnya batas-batas wewenang antara eksekutif dan legislatif, keduanya
dirangkap oleh Presiden.
Indikator Karisma
Bukti dari kepemimpinan karisma diberikan oleh hubungan pemimpin-pengikut.
Seperti dalam teori awal oleh House (1977), seorang pemimpin yang memiliki
karisma memiliki pengaruh yang dalam dan tidak biasa pada pengikut. Para pengikut
merasa mereka bahwa keyakinan pemimpin adalah benar, mereka bersedia mematuhi
pemimpin, mereka merasakan kasih saying terhadap pemimpin, secara emosional
mereka terlibat dalam misi kelompok atau organisasi, mereka memiliki sasaran
kinerja yang tinggi, dan mereka yakin bahwa mereka dapat berkontribusi terhadap
keberhasilan dari misi itu (Yukl, 2005).
Berbicara tentang proklamasi kemerdekaan, maka secara otomatis kita akan teringat
dengan sosok figur Bung Karno sang proklamator bangsa. Mengilustrasikan sosok
Bung Karno, tentu tak sesederhana dan semudah kita pikirkan. Namun tidak sulit bagi
mereka yang cinta dan mengaguminya, di samping beliau seorang presiden, beliau
juga tokoh dan guru bangsa Indonesia. Beliau adalah seorang pemimpin yang paling
disegani dan kharismatik pada masanya. Suaranya yang lantang dan tegas ketika
berpidato, membuat jiwa rakyat Indonesia berkobar untuk berjuang demi
kemerdekaan, gaya bicaranya yang senantiasa menyihir setiap orang yang
mendengarkannya. Cara berpakaianya yang modis menjadi ciri khas penampilan
Bung Karno sebagai pemimpin pada saat itu.
Bung karno adalah sosok pemimpin pemberani dan rela memberikan segalanya bagi
bangsa Indonesia. Tak berlebihan jika kita katakan Bung Karno adalah pemimpin
besar bangsa, tokoh pemersatu rakyat yang terdiri dari berbagai suku, budaya, agama,
yang tinggal di daratan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Menyatukan rakyat
Indonesia adalah misi, mimpi dan cita-cita terbesar Sukarno. Tentunya dengan
ideologi Pancasila dan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai pondasinya.
Bung Karno adalah pemimpin yang jujur, kredibel dalam mengemban amanah yang
diberikan rakyatnya. Kecerdasan dan kejeniusan beliau, tidak diragukan lagi oleh
bangsa Indonesia, bahkan beliau tidak hanya dikenal dalam negeri. Pemimpin yang
semangat memperjuangkan konsep ke-Indonesiaan / kebangsaannya ini, juga disegani
oleh kalangan pemimpin Asia, Afrika dan Amerika. Bahkan beliau pernah dinobatkan
salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia. Bung Karno, penyambung lidah
rakyat Indonesia, yang tegas dan pemberani memperjuangkan bangsa demi harumnya
nama tumpah darah Indonesia.
Revolusi Indonesia dan Bung Karno adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan,
karena beliau adalah orang terdepan yang menjadi sumber inspirasi kemerdekaan
bangsa Indonesia, bahkan juga bangsa-bangsa. Terutama ketika sedang berjuang
habis-habisan melawan imperialisme dan kolonialisme pada saat itu.
Gaya kedua yang diterapkannya jelas menunjukkan bahwa soekarno merupakan tipe
pemimpin yang demokratis dengan mengedepankan semangat persatuan diatas
kepentingan golongan, kelompok, ras, suku, agama tertentu akan tetapi juga ada yang
menilainya sebagai pemimpin yang bertipe otoriter karena terkesan memaksakan
kebijakan pemerintahanya kepada lembaga legislative pada saat itu. Bahkan
idealismenya terlihat agak otoriter karena memaksakan keputusannya dalam
mengatasi krisis dengan dekrit presiden, dan mengangkat dirinya menjadi presiden
seumur hidup misalnya.
Sebagai seorang pemimpin sejati, Seokarno mampu membawa arah perjuangan tetap
konsisten meskipun banyaknya rintangan yang dihadapinya. Dapat dijadikan contoh
ketika beliau berkali-kali dipenjara oleh pemerintahan kolonial. Beliau tetap tegar
bahkan semakin lantang dalam menentang penjajahan sampai memperoleh
kemerdekaannya.
Dalam hal sebagai inspirator atau seorang idealis Soekarno dapat menunjukkan
prestasinya melalui rumusan Pancasila yang menjadi dasar negara hingga sekarang
disamping pemikiran-pemikiran yang lain seperti Marhaenisme, kemandirian untuk
hidup di atas kaki sendiri, nasionalisme persatuan diatas perbedaan yang ada didalam
Negara dan satu idealism yang controversial mengenai konsep NASAKOM
(Nasionalis, Agama, dan Komunis) demi tercapainya persatuan bangsa mencapai
eksistensinya didalam mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai pemimpin yang idealis, Soekarno tidak mudah terpengaruh dengan keadaan
bangsa ketika dihadapkan pada situasi yang sedang gawat. Beliau tetap berada diatas
prinsipnya sendiri dan menghidari campur tangan asing. Idealis seperti ini tercermin
dengan seringnya pergantian sistem pemerintahan demi mengatasi masalah didalam
keadaan yang berbeda-beda.
Pada masa perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa, Soekarno layak disebut
sebagai simbol perjuangan karena pada saat itu beliau mampu tampil sebagai
diplomat dan orator yang mampu mengobarkan semangat perjuangan rakyat.
Keberanian beliau terlihat ketika menyuarakan secara berapi-api tentang revolusi
nasional, anti neokolonialisme dan imperialisme. Dan juga kepercayaannya terhadap
kekauatan massa, kekuatan rakyat. Beliau adalah seorang pemimpin yang rendah hati
disamping sebagai seorang pemberani. Sifat ini dapat dilihat dari dalam karyanya
‘Menggali Api Pancasila’. Beliau berkata, “aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat.
Aku besar karenarakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah
rakyat,” Maka pantas apabila beliau dijadikan simbol perjuangan rakyat karena
ketulusannya demi dan untuk rakyatnya.
HISTORIOGRAFI
Arus Balik Suara yang Hilang: Kumpulan pidato Bung Karno tahun 1965-1967
SALAH satu daya tarik sekaligus kekuatan Presiden Soekarno terletak pada
kemampuannya berpidato. Pada zamannya, orang rela berdesakan demi
mendengarkan pidato sang Pemimpin Besar yang disiarkan radio. Ribuan rakyat
selalu antusias menghadiri rapat raksasa yang menampilkan orasi Bung Karno. Ketika
komunikasi lisan lebih populer, pidato Bapak Proklamator itu mendapat tempat untuk
didengarkan, juga dipatuhi.
Namun, menjelang kejatuhannya, pidato Bung Karno bagai seruan di padang gurun.
Suaranya tak lagi didengar. Perintahnya tak lagi dipatuhi. Arus balik itu bergulir sejak
meletus Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Sisa-sisa koran yang masih diizinkan
terbit waktu itu lebih sering memelintir pernyataannya atau membiarkan suaranya
hilang bersama angin lalu. Penulisan sejarah nasional pun kemudian melupakan
pidato Bung Karno sebagai salah satu sumber penting.
Rabu pekan lalu, Penerbit Mesiass, Semarang, meluncurkan buku yang memuat
pidato terpilih Bung Karno pada kurun 1965-1967. Inilah tahun-tahun kritis
menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno. "Pidato selama dua tahun itu sangat
berharga sebagai sumber sejarah," kata Asvi Warman Adam, pembicara dalam
peluncuran buku di Hotel Regent Jakarta itu. "Ia mengungkapkan berbagai hal yang
ditutupi, bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru," sejarawan dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia itu menambahkan.
Selain Asvi, tampil juga Nurcholish Madjid, Eep Saefulloh Fatah, Adi Sasono, dan
Eros Djarot. Acara digelar oleh Soegeng Sarjadi Syndicated. Dua jilid buku berjudul
Revolusi Belum Selesai itu memuat 61 pidato yang dipilih dari 103 naskah yang
ditemukan. Bonnie Triyana, editor buku itu, mendapat data mentah pidato tersebut
dari kantor Arsip Nasional, Jakarta. Mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang,
ini tadinya hanya bermaksud mencari data untuk skripsinya (baca: Terpencil di
Gedung Arsip).
Buku kumpulan pidato Soekarno sebenarnya pernah diterbitkan ketika peringatan 100
tahunnya, pada 2001. Namun, hampir semuanya berupa pidato sebelum peristiwa G-
30-S 1965. Tidak banyak yang tahu isi 100-an pidato Soekarno pada rentang 1965-
1967. Paling-paling hanya pidato pada malam 30 September 1965 dan pidato
pertanggungjawaban "Nawaksara" dalam Sidang Umum MPRS, 22 Juni 1966.
Isi pidato sepanjang 1965-1967 itu, dalam amatan Asvi, tidak hanya menggambarkan
sengitnya peralihan kekuasaan, melainkan juga kegetiran presiden yang ucapannya
tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh. "Soekarno marah dan
bahkan sangat geram. Ia sering memaki dengan bahasa Belanda," kata Asvi, yang
juga menulis pengantar untuk buku itu.
Kemarahan Bung Karno, misalnya, tampak dalam pidato di depan empat panglima
angkatan di Istana Bogor, pada 20 November 1965. Ia menyatakan ada perwira yang
mbregudul alias kepala batu. Perwira yang dimaksud sepertinya Soeharto. Paling
tidak, hal itu tergambar pada bagian lain pidatonya yang menyatakan, "Sayalah yang
ditunjuk MPRS menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio,
bukan Nasution... bukan engkau Roeslan Abdulgani, bukan engkau Soeharto, bukan
engkau Soeharto...." Hanya nama Soeharto yang disebut sampai dua kali.
Beberapa sisi sejarah yang cenderung ditutupi pada masa Orde Baru juga tergambar
dalam rangkaian pidato ini. Asvi mencatat, minimal ada tiga hal. Pertama, tentang
peristiwa G-30-S. Bila Orde Baru hanya menunggalkan peran Partai Komunis
Indonesia (PKI), komentar Soekarno sudah mencakup semua teori yang saat ini
berkembang. Menurut Soekarno, ada tiga faktor yang menyebabkan G-30-S:
keblingernya pemimpin PKI, adanya subversi neokolonialisme (nekolim), dan oknum
yang tidak bertanggung jawab.
Soekarno mengakui, ada oknum PKI yang bersalah. Tapi, dia ingin menyelidiki dulu
secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan tentang tragedi itu. Ia
mengibaratkan, kalau ada tikus yang mencuri kue di rumah, jangan sampai rumahnya
dibakar. Tentang nekolim, belakangan terjabarkan lewat teori keterlibatan CIA.
Sedangkan oknum tidak bertanggung jawab lebih dekat dengan teori konflik internal
Angkatan Darat.
Kedua, tentang Supersemar. Saat melantik Kabinet Ampera pada 28 Juli 1966,
Soekarno berkali-kali menegaskan bahwa Supersemar bukanlah penyerahaan
kekuasaan. "Pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority
to General Soeharto. Tidak. It is not a transfer of authority to General Soeharto... I
repeat again, it is not a transfer of authority," ujar Bung Karno.
Tidak hanya pada masa itu keberadaan Supersemar dispekulasikan sebagai bentuk
kudeta halus. Sampai saat ini pun masih berkembang analisis bahwa Supersemar
adalah salah satu fase "kudeta merangkak" yang dilakukan Soeharto. Dimulai pada
Oktober 1965 sampai 1967, ketika Soeharto ditetapkan sebagai penjabat presiden.
Ketiga, tentang peristiwa pembantaian G-30-S. Ketika berpidato dalam rangka ulang
tahun kantor berita Antara di Bogor, pada 11 Desember 1965, Bung Karno
menyatakan bahwa berdasarkan visum dokter, tidak ada kemaluan yang dipotong
dalam peristiwa di Lubang Buaya. Juga tidak ada mata yang dicukil seperti ditulis
pers.
Masih banyak soal lain yang terungkap dari kumpulan pidato ini. Misalnya, mengapa
Soekarno yang hingga 1967 masih didukung Korps Komando Operasi Angkatan Laut,
Angkatan Udara, dan sebagian Kodam Brawijaya dan Diponegoro tidak
memerintahkan perlawanan? Di situ terungkap bahwa Soekarno tidak mau terjadi
petumpahan darah sesama bangsa, meski taruhannya dia jatuh.
Memang, data-data yang terungkap berskala kecil, tak menghebohkan, toh Asvi
menilainya tetap penting bagi penulisan sejarah Indonesia. "Bagaimanapun, itu data
otentik dari seorang presiden," katanya. Tapi, data itu tidak bisa berdiri sendiri, perlu
diperkuat sumber sejarah yang lain. Asvi tidak memungkiri kemungkinan materi
pidato itu bias kepentingan Soekarno membela diri. Sebab, itu juga pidato seorang
pemimpin politik yang tentu mengandung kepentingan politik tertentu.
Namun, kata Asvi, Soekarno tidak seperti Soeharto. "Apa yang disampaikan
Soekarno adalah pidatonya sendiri yang kadang bersifat spontan," katanya. "Lagi
pula, saat itu ia tidak punya kekuasaan lagi. Yang ia sampaikan adalah apa yang ia
rasakan." Sementara pidato Soeharto kebanyakan dibuatkan staf yang cenderung
kurang menggambarkan kenyataan apa adanya.
Pemunculan pidato ini juga penting untuk menjadi pembanding opini yang
dikembangkan sebuah rezim yang cenderung manipulatif. Setiap kekuasaan punya
kecenderungan menonjolkan peran kesejarahan tertentu dan menenggelamkan sisi
sejarah yang lain. "Penguasa kerap mengontrol wacana kita," kata peneliti sejarah,
Fachry Ali, kepada Bernadetta Febriana dari GATRA. Penguasa juga merasa berhak
menentukan mana yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan.
Sejarawan dari Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, menilai pidato Bung Karno
itu tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi perubahan sejarah Indonesia. Sebab,
eksistensi Soekarno tidak bergantung pada pidato itu. Toh, katanya, saat ini nama
Soekarno tetap dihormati. "Untuk penulisan sejarah pergerakan sampai 1965 memang
perlu mendengarkan pidato itu," kata Anhar. "Tapi, bukan berati kita hanya melihat
Soekarno, salah! Kan juga ada Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka."
Bagi Anhar, penerbitan pidato Soekarno tidak akan membawa pengaruh berarti pada
masyarakat. "Kalau mempengaruhi Soekarnois, iya," katanya. Anhar menilai tidak
ada yang dihilangkan dari sejarah Soekarno pada masa Orde Barau. "Memang
ditutupi, tapi tidak dihilangkan. Buktinya, nama bandar udara pakai Soekarno-Hatta.
Tidak mungkin menghilangkan nama Soekarno dari proklamasi, sama tidak
mungkinnya dengan upaya PKI menghapus nama Hatta sebagai proklamator,"
ujarnya.
Yang dilakukan Orde Baru, menurut Anhar, adalah ikhtiar menonjolkan peran
Soeharto. Upaya penyimpangan penulisan sejarah tidak hanya terjadi pada zaman
Soeharto, melainkan juga pada masa Soekarno. G. Moedjanto, sejarawan dari
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pernah menulis artikel "Meluruskan Sejarah
Nasional", pada Agustus 2001. Ia menyebut beberapa contoh kasus penyimpangan
yang perlu diluruskan.
Misalnya soal rekayasa Soekarno tentang mitos proklamasi. Diceritakan dalam Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno berbincang dengan Sukarni
Kartodiwiryo. Soekarno bilang, "Di Saigon saya sudah merencanakan proklamasi
tanggal 17." Mengapa? Soekarno menjawab, "Angka 17 adalah angka sakti. Lebih
memberi harapan. Angka 17 keramat. Al-Quran diturunkan pertama tanggal 17.
Orang Islam sembahyang 17 rakaat sehari. Maka hari Jumat Legi tanggal 17 Agustus
saya pilih untuk menyelenggarakan proklamasi."
Kemudian perihal lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Ada pendapat, ide Pancasila
pertama kali dicetuskan Muhamad Yamin pada 29 Mei 1945 di depan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Lebih dari 30
tahun zaman Orde Baru, sejarawan dan penatar P4 tidak berani menyatakan 1 Juni
sebagai hari lahirnya Pancasila. Padahal, Yamin dalam enam tulisannya mengakui
bahwa ide Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan pertama kali oleh Bung
Karno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Ada juga polemik golongan tua dan muda dalam proklamasi. Golongan tua, diwakili
Hatta, menyatakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membuat skenario
proklamasi pada 16 Agustus 1945. Gara-gara ulah golongan muda, proklamasi
tertunda satu hari, menjadi 17 Agustus. Golongan muda, diwakili Adam Malik,
menyatakan, kalau tidak didesak golongan muda, sampai September pun belum tentu
proklamasi dikumandangkan.
Lantas tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berarti kembali ke UUD 1945. Ada
yang menuduh Soekarno melakukan kudeta. Namun, sumber lain, Hardi, SH, mantan
Wakil Perdana Menteri Kabinet Karya, menyangkal. Menurut Hardi, Bung Karno
sebenarnya tidak meminati UUD 1945 karena mengharuskannya bertanggung jawab
kepada MPR. Hanya karena dukungan banyak partai dan Angkatan Darat, yang
dipimpin A.H. Nasution, Soekarno bersedia mengeluarkan dekrit.
Taufik kini memimpin tim yang akan menyusun edisi baru sejarah nasional Indonesia.
Dari inventarisasi timnya, ada beberapa peristiwa sejarah yang diakui masih
kontroversial. Sebagian sama dengan yang dikemukakan Moedjanto tadi. Yaitu
lahirnya Pancasila, Serangan Umum 1 Maret 1949, G-30-S, Supersemar,
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), tokoh yang dipolemikkan sebagai
pejuang atau pemberontak seperti Tan Malaka, dan masuknya Timor Timur.
Pada masalah PDRI yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara, kata Taufik, Soekarno
selalu menghapus sejarah itu. "Tidak pernah sekali pun Soekarno menyebut tentang
PDRI," katanya. Soekarno tidak ingin melupakan kenyataan bahwa ia tahanan
Belanda. Soeharto juga melupakan PDRI karena tidak ingin mengingat bahwa yang
memimpin PDRI adalah sipil. Nasution pun begitu.
Apa pun, upaya pemunculan fakta sejarah secara proporsional, seperti pidato Bung
Karno ini, penting untuk menyadarkan setiap penguasa. Bahwa sudah bukan
zamannya lagi menutup-nutupi peran tokoh sejarah yang berjasa pada negara. Upaya
itu hanya akan menimbulkan dendam sejarah. Tidak hanya Bung Karno --
sebagaimana rekomendasi Sidang Tahunan MPR 2003 untuk merehabilitasi para
pahlawan-- nama lain seperti Sjafruddin Prawiranegara, Sjahrir, dan Moh. Natsir juga
penting dibebaskan dari manipulasi sejarah.
Pembongkaran pidato Bung Karno ini pun bukan melulu soal penjernihan peristiwa
penting di masa lalu. Juga penyegaran wasiat Bung Karno kepada banyak pihak.
Termasuk kepada putrinya, Megawati, yang kini menjadi presiden. Dalam
Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta, 30 September 1965, Bung
Karno mengisahkan pesannya kepada Mega yang dipanggil Dis.
"Dis, engkau harus bantu usaha rakyat mendatangkan sosialisme Indonesia yang
cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja,"
ujar Bung Karno. Pesan ini relevan dengan kondisi saat ini, ketika banyak rakyat
kekurangan pangan akibat kekeringan dan musibah lainnya (Asrori S. Karni dan
Amalia K. Mala)
Gaya berkomunikasi I.R. Soekarno menggunakan gaya bahasa yang low context yang
dimaksud low context adalah gaya berkomunikasi yang secara apa adanya atau blak-
blakan, apabila beliau mengatakan tidak setuju terhadap sesuatu maka beliau banar-
benar tidak setuju dengan hal tersebut. Gaya bahasa Soekarno memang khas. Ia tidak
segan memakai kata kasar tetapi spontan. Gestur Soekarno menyiratkan seorang yang
punya semangat dan gelora yang tiada habis-habisnya, flamboyan, dan visioner.
Intonasi suara baritonnya yang amat variatif saat berpidato, mampu memain-mainkan
emosi pendengarnya. Bahasa tubuh Soekarno mencerminkan sepenuhnya gerak
kebebasan dan kemerdekaan, yang mampu menyihir semua orang yang mendengar
dan melihatnya. Ia adalah orang tepat di waktu yang tepat, menjadi motivator dan
pemimpin massa menuju Indonesia merdeka. Tetapi Soekarno juga dikenal pandai
memainkan kata-kata. Beliau sangat pandai dalam merangkai kata-kata untuk
berpidato ataupun meluluhkan hati wanita (terdapat dalam buku SOEKARNO
FATMAWATI).
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang
isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara
tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS
dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada masa ini Soekarno
memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada
tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional,
sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak
memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang
mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan
pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan
diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah
yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar,
tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik,
walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai
politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung
hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam
fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar
yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke
sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa
harus kita bayar tingggi berupa:
1. Gerakan separatis pada tahun 1957
2. Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga
terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah
mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang
Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis
Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat
diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak
dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang
sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun
1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus
kita bayar dengan biaya tinggi.
Partai Politik dalam Era Kepemimpinan Soekarno (Orde Lama)
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi
liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta
perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13
Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-
partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang
mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU,
PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun,
setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini
tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan
politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan
parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi
Bogor.”