Anda di halaman 1dari 2

RESENSI BUKU TEMPO

Seorang Mohammad Natsir, kelahiran 17 Juli 1908 ini adalah sosok yang puritan,
namun lemah lembut. Tapi kadang kala orang yang lurus bukan tak menarik. Dihidupnya,
ia menjadi keteladanan orang yang sanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan punya
daya tarik sendiri. Ia sosok yang tajam, bersih, konsisten dengan sikap yang diambil. Ia
adalah tokoh politk Islam yang santun. Buku tempo adalah salah satu serial Tokoh Islam di
Awal kemerdekaan diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo pada
tahun 2003-2010. Didalamnya menampilkan wajah Islam yang sosoknya selalu
mengedepankan perdamaian dan demokrasi. Buku ini menjelaskan tentang perjalanan
Mohammad Natsir yang hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut
dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan
Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan yang lebih
berarti. Pada tahun 1930-an, Soekarno menjagokan nasionalisme-sekularisme dan Natsir
yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang
di majalah Pembela Islam. Adapun dalam kurun waktu tahun 1920-1930 sadarlah Natsir,
bahwa gerakan kebangsaan yang dipelopori Soekarno dan kawan-kawannya mulai
menyemai bibit kebencian dan meremehkan Islam. Kondidi politik ketika itu membuat
Natsir gelisah dia banyak belajar pengetahuan Islam dari A.Hassan, gurunya di Bandung,
yang kemudian bahkan rela melepaskan kesempatannya belajar di Leiden, Belanda. Tapi
dia juga dihadapkan pada perbedaan pandangan politik yang tajam. Paham nasionalisme
yang dia banggakan, justru oleh kelompok Partai Nasional Indonesia, digunakan sebagai
landasan untuk merendahkan Islam. Natsir pun tak tinggal diam, bersama teman-temannya
pun ia mengeluarkan tulisa yang pedas menyerang kelompok nasionalis. Selama hidupnya,
ia selalu membela dan menegakkan Islam. Saat Pemilu 1955 menempatkan Masyumi,
partai yang diketuai Mohammad Natsir, berada di urutan kedua di bawah Partai Nasional
Indonesia, diikuti Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia. Saat itu Presiden
Soekarno mengusulkan dibentuk Kabinet Kaki Empat. Masyumi menolak bergabung
karena berseberangan secara politik dengan Partai Komunis Indonesia. Mohammad Natsir
mengatakan, "Jadi, apakahmungkin minyak dan air dipersatukan meskipun digodok dan
diaduk-aduk," katanya. Dia meminta kader Masyumi waspada terhadap politik
"menyodorkan tangan" yang palsu dari komunis. Masih banyak lagi, buku ini menjelaskan
betapa berjuangnya Mohammad Natsir dalam memperjuangkan Islam di Indonesia,
ditengah hiruk piruk Politik Islam. Sampai akhir hayatnya, Natsir tetap konsisten dengan
pilihannya.Baginya, kaum muslim wajib memberikan suar kepada tiap-tiap pendidik
muslim dalam mengemudikan perahu pendidikannya.

Nama buku : Natsir : Politik santun diantara dua rezim

Seri Buku Tempo : tokoh Islam di awal kemerdekaan

Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan tim buku

Anda mungkin juga menyukai