Anda di halaman 1dari 7

PAK NATSIR & ESTAFETA PENGKADERAN

”Kalau patah tak tumbuh, hilang tak berganti dalam sektor ini
(perjuangan Islam), jangan terkejut akan datang suatu masa yang
orang Islam di Indonesia menggembor-gemborkan berjuang
menegakkan kalimah Allah, akan tetapi tak tahu apa yang
sesungguhnya yang diperjuangkannya itu !.” (Harian Abadi
tanggal 28 Februari 1969 No. 27. Disana Natsir mengatakan)

Pendahuluan; Kebesaran Natsir


”Saya akan sampaikan. Saya tidak dapat memadamkan
cahaya matahari !.” Jawaban putus asa ini keluar dari seorang
Dzulkifli Lubis kepada Ustad Dahlan Bashri Thohiri, Lc (Ketua
Majelis Fatwa DDII Pusat) setelah ditanya; ”Apa yang akan anda
sampaikan kepada Presiden Soeharto setelah tiba di Indonesia
nanti.” Dzulkifli Lubis adalah orang khusus kiriman mantan
presiden Soeharto yang ditugaskan secara khusus pula untuk
menghilagkan pengaruh M. Natsir di wilayah Timur Tengah.
Walhasil, tugas ini ternyata harus berakhir dengan kegagalan.
Hingga akhir hayatnya sosok Natsir senantiasa memukau.
Fakta diatas sesungguhnya memperjelas posisi seorang presiden
Indonesia dikala itu, dengan siapa ia berhadapan. Kebesaran
nama Natsir telah membawa pengaruh besar bagi pergerakan
ummat Islam di dalam negeri maupun dunia Internasional.
Bahkan orang-orang yang mengaku pernah membersamainya
merasakan betul pengaruh tersebut. Sejak wafatnya maestro
da’wah yang satu ini, semua orang benar-benar merasa
kehampaan. Para aktifis Islam kemudian ramai mempertanyakan
siapa yang akan tampil menggantikannya ?. Sebab siapapun tahu
kedudukan Natsir. Di hadapan Subandrio (orang kepercayaan
Pak Harto) Raja Faisal bin Abdul Aziz Alu Su’ud rahimahullah

1
Da’wah Jalan Kami
pernah mengatakan; ”Kalau saudara membela Islam mengapa
anda tahan M. Natsir ?. Saudara tahu M. Natsir bukan hanya
pemimpin umat Islam Indonesia saja, tetapi pemimpin umat Islam
dunia ini, kami ini.”
Sejak 6 Februari 1993 Natsir memang telah berpulang,
namun bukan berarti jejaknya berhenti sampai disitu. Estafeta
perjuangan Islam tetap tidak boleh berhenti, sebab pada
hakekatnya Natsir juga seorang estafet da’wah yang ia sendiri
menyebutnya dengan ”jejak risalah” Muhammad shalalahu ’alaihi
wasalam. Sebagai sosok yang memiliki pandangan (visi) jauh
kedepan tentang masadepan umat Islam, dapat dipastikan Natsir
memiliki pemikiran-pemikiran cemerlang tentang bagaiamana
seharusnya kader-kader umat ini melakukan persiapan dan
memerankan dirinya. Bahkan Natsir dengan penuh sadar
mengatakan; “Pemimpin muda dan cakap itu, takkan pernah lahir,
kalau sejak sekarang pemimpin-pemimpin tua tidak menyediakan
kader sebanyak-banyaknya.” (Tulisan M. Natsir di Suara Masjid,
No. 159 Desember 1987, pada kolom Pesan dari Mimbar dengan
judul “Pemimpin”)
Dalam sistem pengkaderan Natsir, ia tidak pernah
menisbatkan sejumlah orang tertentu sebagai kader atas nama
dirinya. Ia juga tidak membuat jenjang-jenjang ekslusif tertentu
sebagaimana terjadi dalam tubuh ormas-ormas Islam kelas dunia.
Natsir menampilkan bentuk pengkaderan yang lahir secara
alamiah namun terarah. Meskipun ada lembaga-lembaga formal
yang dirintis Natsir sebagai wahana pengkaderan, ia tetap
menganggap mereka sebagai kader ummat. Hingga pada
kesempatan ini kita saksikan banyak sekali tokoh-tokoh kaliber
nasional yang merasa berhutang budi dengan buah ilmu yang
didapatkan selama berinteraski dengan Natsir. Mereka menyebut
identitasnya sendiri dengan label; anak idiologis Natsir.

2
Da’wah Jalan Kami
Natsir tentang Profil Pengkaderan
Dalam sebuah perbincangan di Masjid Al Furqon, dimana
Natsir genap berumur 80 tahun, ia mengatakan; “Terkadang saya
dihujani pertanyaan-pertanyaan dari berbagai pihak, terutama
dari generasi muda. Siapakah yang telah dipersiapkan untuk alih
generasi pemimpin, sesudah kami tidak ada lagi ?.” Meski
terkadang pertanyaan ini sarat dengan kecaman seolah-olah
mengabaikan masalah ini, Natsir dengan tenang dan optimis
mengatakan; “Kalau saya, saya termasuk orang yang optimis
dalam hal ini. Kalau rajin melihat-lihat dan menyimak, terutama
dalam setahun akhir-akhir ini, kita melihat calon-calon Yahya
dikalangan angkatan muda kita.” (Lukman Hakim, Pemipin
Pulang, hal. Xiii)
Yahya yang dimaksud Natsir adalah generasi penerus
perjuangan sebagaimana do’a Nabi Zakariya yang telah lanjut
usia ketika berharap akan lahirnya generasi penerus da’wah
sesudah beliau (QS. Maryam: 2-6). Secara verbal tidak hanya
sekali Natsir berbicara tentang regenerasi atau pengkaderan.
Salah satunya adalah dalam sebuah tulisan pada Harian Abadi
tanggal 28 Februari 1969 No. 27. Disana Natsir mengatakan;
”Kalau patah tak tumbuh, hilang tak berganti dalam sektor ini
(perjuangan Islam), jangan terkejut akan datang suatu masa yang
orang Islam di Indonesia menggembor-gemborkan berjuang
menegakkan kalimah Allah, akan tetapi tak tahu apa yang
sesungguhnya yang diperjuangkannya itu !.”
Menyimak keseriusan Natsir tentang hal ini, tentunya ia
memiliki cita-cita dan harapan tentang seperti apa profil kader
penerus yang tepat dan sesuai dengan tantangan zaman. Dari
peninggalan Natsirlah kita dapat membaca keinginan-keinginan
tersebut. Beberapa hal pokok yang dapat penulis uraikan
diantaranya;

3
Da’wah Jalan Kami
(1) Keseimbangan tadrib antara jasadiyah dan rohaniyah.
Sebab menurut Natsir, Islam membangun manusia untuk
pembangunan diri dan masyarakat secara seimbang, jasadiyah
dan rohaniyah. Dengan ini tidak ada lagi tuduhan bahwa Umat
Islam terbelakang. Aspek jasadiyah dan ruhiyah kedua-duanya
memiliki hak untuk dikembangkan. Natsir melandasainya dengan
sebuah hadis; “Kamu mempunyai kewajiban terhadap
kesejahteraan jasmanimu, tetapi kamu juga mempunyai
kewajiban terhadap kesejahteraan rohaniahmu.” (Disampaikan
pada pertemuan Majelis Alim Ulama Cihideung, Kabupaten
Pandeglang pada senin, 2 Oktober 1972).
(2) Memiliki ilmu sabagai alat untuk mengukur fenomena
hak dan bathil. Point ini disampaikan Natsir pada pertemuan
mubaligh dan mubalighah pimpinan lembaga-lembaga da’wah di
Jakrta, 2 April 1972 bertempat di Masjid Arif Rahman Hakim UI
(Universitas Indoensia) Salemba. Pada kesempatan lain Natsir
juga menyerukan agar umat Islam harus mempunyai satu
golongan, satu corps yang memusatkan perhatian dan
kegiatannya kepada menggali kebenaran-kebenaran yang
tersimpan didalam ajaran agama Islam. Natsir menyebutnya
dengan kelompok yang tafaqquh fiddin. Ilmu yang beliau sendiri
maksud adalah ilmu yang tidak bertentangan dengan Islam. Ia
bisa berasal dari Timur maupun Barat. Sebab bagi Natsir, Islam
tidak mengenal dikotomi perolehan ilmu baik dari arah Timur
atau Barat. Islam hanya mengenal dikotomi Haq dan Bathil. Hal
itu disampaikannya pada Rapat Persis (Persatuan Islam) di Bogor,
17 Juni 1934. (Capita Selecta, jilid I, hal. 84-85)
(3) Mampu menggunakan intelektualitas dengan agama
sebagai panduan. Tampil sebagai muslim modernis dan mujaddid
yang memperjuangankan dan mempertahankan aqidah dari
bid’ah, khurafat, tahayul dan taqlid buta sebagai penghambat
tajdid. Dalam bukunya “Islam dan Akal Merdeka,” Natsir

4
Da’wah Jalan Kami
menegaskan bahwa menggunakan akal sebagai alat untuk
mengetahui dan mendalami sesuatu adalah ruh dari Islam yang
termaktub dalam al Qur’an dengan sebutan ulul albab. Namun
disisi lain ulul albab juga sekelompok intelek yang tunduk kepada
nash agama (Islam). Di dalam buku “Pesan Islam untuk Orang
Modern” Natsir juga menegaskan bahwa ”Seseorang tidak perlu
menjadi seorang sekuler terlebih dahulu untuk kemudian menjadi
orang progresif atau orang modern.” (hal. 55)
(4) Penguasaan Bahasa. Dari tulisan M. Natsir di Panji Islam
bulan November 1940 ia menggambarkan betapa bahasa adalah
alat pembuka ilmu sehingga menguasainya menjadi sebuah
keharusan. Natsir sendiri sangat bersemangat untuk menyerukan
penguasaan bahasa Arab. Sebab baginya bahasa Arab adalah
bahasa yang lahir sebelum digunakannya bahasa Belanda di
Indonesia. Juga sebab lain yang paling penting menurut Natsir
adalah, karena bahasa Arab adalah bahasa al Qur’an, bahasa
persatuan kaum muslimin, dan bahasa kunci perbendaharaan
ilmu agama ini. (Capita Selecta, jilid. 1, hal. 134-135)
(5) Ilmu yang dibarengi dengan integritas moral dan
ketinggian rohani. Hal ini disampaikan Natsir dalam kuliah subuh
di Masjid Munawarah, jum’at 27 September 1968 sekembali
beliau dari jepang 11-24 September 1968. Hal serupa juga
diserukan Natsir kepada para generasi penerus pada majalah
Suara Masjid edisi: 98, dengan istilah “persiapan ilmu dan
persiapan bathin” (hal. 17). Ketika menghadiri undangan Perdana
Mentri Jepang Takeo Fukuda, Natsir ternyata sanggup membaca
sebuah kegundahan yang sedang dikeluhkan oleh Fukuda
didalam hatinya. Jepang yang sanggup bangkit dengan kekuatan
teknologi ketika itu ternyata menyimpan derita kekosongan
rohani dan ketiadaan pegangan jelas Natsir. “Persis itu !” kata
Fukuda. “Kami yang sudah beruban ini, telah lama memikirkan
bagaimana nasib generasi Jepang yang akan datang.” Dalam hal

5
Da’wah Jalan Kami
ini Fukuda khawatir akan kondisi generasi muda jepang yang
sejak kalah perang dengan sekutu telah meninggalkan falsafah
hidup “Bushido Nippom Sheizin.”
(6) Tegar mandiri. Dalam kenyataannya Natsir sanggup
membuktikan profil kader seperti ini. Kemandiriannya ia bangun
semenjak ia merantau dari tempat kelahirannya ke pulau Jawa.
Dalam pengembaraannya ini Natsir tampil sebagai kader yang
tegar dengan prinsip yang diajarkan oleh tokoh-tokoh agama dan
pergerakan, serta mandiri dalam mempertahankan hidup.
Natsirpun mengkader para da’i yang diutus ke pelosok daerah di
nusantara dengan hal serupa. Ketegaran dalam memegang
prinsip dan kemandirian dalam hidup adalah bekal utama. Tak
satupun kader Natsir mati kelaparan di daerah pedalaman sana.
Mereka hidup bersama hidupnya ruh da’wah yang mereka
emban.
(7) Pelopor persatuan ummat. Dalam buku M. Natsir yang
berjudul “Mempersatukan Ummat,” Natsir menyerukan kepada
pemimpin Islam baik tua maupun muda untuk mengintrospeksi
diri masing-masing agar menjauhi iftiraqul ummah (perpecahan
ummat). Ini pulalah yang selalu diperjuangkan M. Natsir hingga
Indonesia benar-benar terwujud. Dibawah landasan iman, Natsir
menyeru kaum muslimin menata persatuan baik internal maupun
eksternal. (hal. 9-22)
(8) Berbenteng di hati Ummat/rakyat. Point terakhir ini
pernah ditulis secara khusus oleh Natsir pada majalah Panji Islam
di tahun 1939. Natsir ingin menggambarkan bahwa kekuatan
material yang dimiliki seorang pemimpin atau siapapun tidak bisa
berdiri sendiri jika tidak berbenteng di hati rakyat. Di Indonesia,
ummat Islam khususnya adalah benteng paling efektif untuk
bertahan dari onak duri perjuangan. Bukan perpangku tangan,
tetapi menjadikan umat turut aktif membela kebenaran bersama-
sama.

6
Da’wah Jalan Kami
Khatimah
Dalam melahirkan gagasan-gagasan pengkaderan, Natsir
berangkat dari model pengkaderan yang ia sendiri terima dari
tokoh-tokoh modernis dan pembaruan (tajdid). Dengan landasan
itulah, ia kemudian memandang bahwa kemajuan masyarakat
Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan
ajaran Islam secara murni dan tidak tercampur dengan syirik,
bid’ah, khurafat, takhayyul, serta taqlid (Gamal Abdul Nasir,
Mohammad Natsir Pendidik Ummah, hal. 11).
Menyadari masadepan suram yang di buat Belanda melalui
model pendidikan-pendidikan berbasis Barat sekuler, Natsir
tampil merintis sebuah lembaga pendidikan yang ia mulai dengan
ide, konsep dan dari modal kantongnya sendiri. Sekolah Pendis
(Pendidikan Islam) yang didirikannya pada tahun 1932 adalah
contoh riil bagaimana Natsir sangat mencita-citakan lahirnya
masadepan generasi Islam yang gemilang. Secara khusus pula
bahkan M. Natsir menyebutkan tiga lembaga pengkaderan dan
pembinaan yang efektif melahirkan pemimpin-pemimpin masa
depan yaitu; masjid, pesantren, dan kampus. Semasa hidup Natsir
setidaknya turut membidani lahirnya ratusan masjid yang
didirikan melalui yayasan DDII hingga kini, merintins pesantren-
pesantren seperti Darul Falah di Bogor, serta memprakarsai
berdirinya sejumlah universitas seperti; UIKA (Bogor), UNISBA
(Bandung), UMI (Makasar), Universitas Al-Azhar (Jakarta),
UNISULA (Lampung), UIR (Riau), dan lain-lain. Bahkan melalui
lembaga yang dipimpinnya (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
membentuk lembaga pendidikan dengan nama LPDI (Lembaga
Pendidikan Da’wah Islam) yang kini beralih nama dengan Sekolah
Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir. Wallahua’lam bishawab

7
Da’wah Jalan Kami

Anda mungkin juga menyukai