Kesadaran Empiris
Empiris jiwa dapat kita pahami sebagai gelombang terbentuknya sebuah pengalaman
kesadaran. Setiap materi yang nampak diraih dalam bola mata dan merasuk dalam setiap
panca indera kita, mengalurkan proses secara kontinu apa yg kita pahami lewat akal sehat.
Kesadaran diri beroleh dari pemahaman dan pembelajaran masing-masing individu dalam
memandang alam semesta. Karena untuk meningkatkan kesadaran yang lebih luas, kita
menemukannya dari setiap pengalaman yang kita alami. Artinya, kesadaran yang lebih luas
tersebut dicapai dari pengetahuan yang bukan berasal dari pikiran kita, melainkan berasal
dari suatu pembelajaran yang benar akan sebuah pengalaman dalam mempersepsi alam
semesta. Sehingga manusia dapat mencapai legitimasi yang cukup ilmiah dalam
pernyataannya dari pemahaman secara empiris, terhadap permasalahan yang terjadi
berdasarkan pengamatannya langsung di lapangan.
Seseorang yang berpijak di lingkungan satu dengan orang lainnya yg berpijak di lingkungan
dua, beroleh keadaan yang berbeda. Yang akhirnya terciptalah masing-masing individu yang
mempunyai warna yang berbeda dalam kesempatannya menyimpulkan sebuah objek
analisa. Ada yang menapakkan kaki di lingkungan bergedung tinggi dan adapun yang
menapakkan kaki di lingkungan berhutan rimba. Sama juga, ada yang tiap waktunya melihat
langit dalam keadaan cerah tanpa sebuah kemurungan. Dan di waktu yg sama, di medan lain
ada yang sering melihat eloknya pesawat meludahi kawasannya. Iya, bukan sembarang
ludah berliur yang menyampahi wajah seseorang. Akan tetapi ludahnya bahkan tidak becek,
ia berbentuk padat dan keras serta dapat menciptakan kobaran api bagi alam yg
menyentuhnya
Maka, tak salah jika tingkat kepedulian dan kedewasaan seseorang terangkum lewat
pengalaman lingkungannya masing-masing. Seseorang yang dahulu berdiri dalam keadaan
terjajah, akan menimbulkan surplus semangat nasionalis dan berjiwa tidak takut pada
kematian. Berbeda dengan mereka yang lahir dalam keadaan damai tanpa keraguan akan
kemungkinan tergolek pada kematian, serta tentram tanpa berpikir akan busung lapar tak
beroleh asupan makanan. Kondisi yang pertama tidak dipungkiri jika mereka memiliki
mentalitas lebih dibanding dengan kondisi yang kedua. Maka dari itu mereka yang pernah
berada pada kondisi pertama, akan merasakan simpati kepada bangsa yang masih dalam
keadaan keterjajahan. Itulah kesadaran diciptakan lewat proses berinteraksi kepada realitas
dirinya di dalam berkehidupan. Dan pada akhirnya kesadaran itulah yang akan menentukan
bagaimana seseorang akan bersikap di dalamnya.
Indonesia dan Palestina
Indonesia berdiri sebagai negara yg pernah beroleh pengalaman terjajah oleh bangsa
lainnya. Maka, sudah cukup lah realitas yg di alami secara langsung tersebut menjadi gelora
bangsa Indonesia sebagai pengutuk terciptanya penjajahan. Bisa kita lihat dengan
dicantumkannya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 pada alinea pertama yang berbunyi:
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.”
Sudah menjadi kemestian jika dari isi tersebut, Indonesia akan mengutuk setiap penjajahan
dan eksploitasi terhadap bangsa lain yang terlingkup dalam lingkungan bumi. Maka
Indonesia ikut turut serta mengambil peranan tersebut lewat Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat, bahwa Indonesia: “...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.
Sungguh kenyataan tersebut terangkum kembali dalam sebuah ungkapan cinta dari Sang
Proklamator kemerdekaan Indonesia kepada bangsa Palestina:
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina,
maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel," (Soekarno,
1962)
Dukungan kepada Palestina selain karena kesadaran empiris bangsa Indonesia. Lebih dari
itu, dukungan terhadap Palestina bisa dikatakan merupakan hutang yang mesti dibayarkan
para pendiri Republik. Mengingat bahwa bangsa Palestina merupakan pihak pertama yang
mengakui Indonesia berdaulat. Sebagai contoh, pada 6 September 1944, Radio Berlin
berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini
(melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami,
bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio
tersebut dua hari berturut-turut disebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal
telitinya juga menyiarkan. Selain itu, hal ini ditandai juga dengan penerimaan Syekh Amin Al-
Husaini yang berkenan menyambut kedatangan Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia di
tahun pertama deklarasi kemerdekaan secara penuh.
Banyak masyarakat Indonesia bahkan pejabat pemerintahan Indonesia yang pada saat ini
tidak mengetahui tentang hal tersebut. Sehingga tidak mengherankan banyak suara-suara
nyaring yang dilontarkan kepada masyarakat Indonesia bahkan cenderung sinis ketika ada
anak negeri Indonesia turut membantu perjuangan rakyat Palestina. Saya pun sering
menemukan ungkapan “Kenapa kita harus mikirin negara lain? Jika negara sendiri masih
banyak yang harus dibenahi”. Ungkapan tersebut memang cenderung ada nilai logis di
dalamnya, akan tetapi jika kita melangkah lebih jauh lagi kita mesti menyimpulkannya
dengan skala prioritas serta wilayah kerja internal dan eksternal. Seseorang di indahkan
mengurus wilayah kerja eksternal (di luar dirinya) selama kerja internal (di dalam dirinya)
berada pada kondisi yang baik. Saya harus dalam keadaan rajin shalat (internal), jika hendak
mengajak orang lain untuk shalat (eksternal). Kemunafikan akan tercipta jika saya mengajak
seseorang kepada hal yang bertentangan sendiri bagi jiwaku. Lalu apa korelasi yang bisa kita
simpulkan dengan kondisi Palestina?
Bahwa bangsa Indonesia saya posisikan sebagai diriku sendiri (internal). Sedangkan,
Palestina berada pada posisi yang lainnya (eksternal). Secara internal, saya sudah
mempunyai suatu modal untuk dapat melangkah ke wilayah eksternal, yaitu kedaulatan dan
kemerdekaan. Jika saya sudah mempunyai modal tersebut, sudah barang mestinya jika saya
diperbolehkan untuk ikut turut serta memperjuangkan kemerdekaan diwilayah eksternal.
Logika semacam itu yang harusnya kita tangkap. Terlebih lagi, apakah kita tidak merasa
malu jika bangsa yang sudah cukup berkontribusi atas kemerdekaan Indonesia itu. Lalu, kita
sendiri enggan untuk membalas budinya dengan bentuk memperjuangkan kemerdekaan
Palestina. Di sinilah pentingnya mengenal dan mengetahui sejarah, sehingga tidak mudah
dibodohi orang. Ada sebuah ucapan penuh hikmah, “orang yang tahu sejarah akan punya
‘izzah”. Izzah adalah mereka yang memiliki kehormatan, kekuatan, serta kemuliaan.
“Orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling banyak
berterima kasih kepada manusia”. (HR Thabrani).
“Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.
(HR Abu Daud).
Ya ‘Alam
Wahai Dunia
Ardhi Mahroo’a
Tanahku Habis terbakar
Ardhi Huriyyeh Masroo’a
Tanahku dicuri kebebasannya
Ya ‘Alam
Wahai Duniaa
Ardhi Mahroo’a
Tanahku Habis terbakar
Ardhi Huriyyeh Masroo’a
Tanahku dicuri kebebasannya
A’touna Et-Tufoole
beri kami masa kecil
A’touna Et-Tufoole
beri kami masa kecil
A’touna Et-Tufoole
beri kami masa kecil
A’touna ‘Atouna ‘Atouna Es-Salam
Beri Kami, Beri Kami, Beri kami Kedamaian .
Sebuah untaian kata yang indah dinyanyikan di dalam lagu tersebut oleh seorang anak kecil.
Yang menjelaskan bagaimana akhirnya Hak Asasi Manusia terutama hak-hak anak direnggut
untuk mendapatkannya. Bermain, pendidikan, perlindungan, kesehatan tak mereka peroleh
begitu saja tanpa adanya rasa ketenangan. Suara ledakan bom lah yang menjadi
pendengaran mereka setiap harinya.
Pada akhirnya mereka tetap memiliki resistensi yang kuat, dan tidak memilih untuk
mengakhiri hidupnya dengan cara yang remeh. Karena kekuatan dari kecintaan mereka
terhadap hal diluar dunia, yaitu kehidupan setelah adanya kematian. Mereka pandang dunia
sebagai senda gurau, yaitu hanya pemberhentian sebelum menuju lokasi yang dituju.
Sehingga mereka tetap istiqomah di jalan-Nya, dan benarlah apa yang difirmankan oleh
Allah SWT:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....” (QS. Al-
baqarah: 286)
Jika benar rakyat Palestina diberikan beban tersebut karena sesuai dengan kesanggupannya.
Lalu, apakah beban itu tak diberikan kepadaku, karena tak kesanggupanku untuk
menjalaninya?
Sumber Referensi: