Anda di halaman 1dari 2

Keseimbangan Energi dan Massa

Oleh : Tiorivaldi

Kehidupan di dunia saat ini bisa disamakan dengan hubungan energi dengan massa yang
merupakan suatu ilmu fisika. Oleh Albert Einstein ditulis dalam rumus :
E = m x c^2
Dimana :
E = energi (J)
m = massa (kg)
c = kecepatan cahaya (m/s). Ini adalah konstanta yang berarti ketetapan yang tidak
pernah berubah bernilai 299.792.458 m/s, kemudian dibulatkan menjadi 3 x 10^8 m/s

Maka bisa kita simpulkan bahwa hal yang mempengaruhi nilai energi adalah massa.
Jika energi yang dimaksud dalam persamaan di atas adalah energi diam atau bernilai
0, maka massa yang terkait adalah massa diam atau massa invarian yang juga mesti
bernilai 0
Human zaman now juga bekerja menurut dengan besaran massa yang ditawarkan. Massa
(dalam kehidupan sehari-hari disinonimkan menjadi 'beban') amanah yang diberikan
akan menjadikan seseorang mengeluarkan energi yang menyesuaikan. Seseorang yang
diberikan beban amanah sebagai pemimpin/ ketua (berupa ketua panitia, ketua
organisasi, dan sejenisnya), akan memberikan energinya yang akan berbeda dengan
seseorang yang hanya diberikan beban amanah sebagai anggota.
"Lah yo mestine ngono to bro ? wong ketua seng bertanggung jawab atas suatu
kegiatan tersebut.
Pada dasarnya seluruhnya bersinergi pada amanahnya masing-masing. Bukan berarti
setiap kegiatan ditanggung sepenuhnya oleh pemimpin/ ketua. Sekiranya ada sabda
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang perlu kita pahami kembali.
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung
jawabannya. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung
jawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai
pertanggung jawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia
pun akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas
harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggung jawabannya. Sungguh setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya." (HR.
Bukhari)
Dalam lingkup perkumpulan seperti organisasi setidaknya bisa kita ambil hal seperti
berikut :
"Seorang ketua organisasi adalah pemimpin atas organisasinya dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban dalam kepemimpinannya. Seorang staf kepengerusan organisasi
adalah pemimpin atas bidang yang dipercayai kepadanya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kerja yang di implementasikan. Dan juga seorang anggota
adalah pemimpin atas harta yang dimiliki oleh organisasi tersebut."
Harta yang hendak saya sampaikan disini, tidak sama berupa harta yang berbentuk
nilai fisik-materi. Namun, lebih daripada itu yaitu nilai ruh atau fungsi dari
eksistensi yang hendak di transaksikan ke dalam ruang lingkup geraknya. Jika di
dalam urusan rumah tangga, uang adalah termasuk salah satu harta yang sangat
berpengaruh dalam dinamika rumah tangga. Maka, dalam ruang organisasi faktor yang
paling berpengaruh dalam dinamika organisasi yaitu anggotanya. Setiap anggota yang
menampilkan keindahan gerak tubuhnya yang elok, lebih ternilai dibanding uang kas
yang menumpuk banyak dalam kantong organisasi. Seorang anggota yang memiliki sense
of belonging (rasa memiliki) lebih di-emaskan daripada seorang anggota yang
memiliki kualitas (intelektual, emosional, fisik, dsb) tetapi tidak menampilkan
keprihatinan dalam menceritakan historis kebersamaannya.
Maka, dari penjelasan tersebut kita bisa mengetahui bahwa tidaklah seorang pemimpin
menanggung kebaikan ataupun keburukan ketika memang hal tersebut sebelumnya tidak
ada hubungannya sama sekali dengan pemimpin tersebut. Allah subhanahu wa ta'ala
berfirman dalam beberapa ayat berikut :
"Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS. Al-an'am
[6] : 163)
"Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya" (QS. Al
Mudatstsir [74] : 38)
Masih banyak lagi dalam Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa seseorang akan menanggung
hasil perbuatan individunya. Seseorang hanya akan menanggung juga keburukan dari
orang lainnya ketika dia juga bersangkut paut pada hal tersebut. Seperti misal
pemimpin mengajak umatnya untuk bermaksiat, maka hal yang seperti ini baru akan
ikut ditanggung oleh pemimpin tersebut.
Janganlah sampai kita memberikan sebuah alasan seperti halnya posisi kita yang
rendah maka menjadikan kita tidak begitu peduli terhadap segala keberlangsungan
dalam organisasi tersebut. Mau sampai kapan kita bisa disesuaikan dengan rumus
fisika yang ditemukan oleh Albert Einstein tersebut, E = m x c^2 ? Apakah kita
tidak malu dengan para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang tidak
memandang jalan usaha mereka dengan halnya posisi yang ada pada diri mereka.
Teringat kisah ketika khalifah Umar bin Khattab radiyallahu 'anhu mengirim surat
perintah kepada Khalid bin Walid radiyallahu 'anhu yang berisi pemecatan panglima
perang dan digantika oleh Abu Ubaidah radiyallahu 'anhu. Apakah setelah jatuhnya
posisi tersebut beliau memiliki sikap gerak yang berbeda dibanding sebelum
pemecatannya ? Jawabannya ia tidak terpengaruh oleh perubahan posisinya karena yang
selama ini memotivasinya berjihad bukanlah jabatan yang disandangnya, bukan pula
ingin mendapat penghargaan dari Umar atau orang lain, melainkan semata-mata ikhlas
karena Allah Subhanahu wa ta'ala dan demi menegakkan kalimat-Nya. Khalid sendiri
mengatakan, ia berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah.
Seperti itulah seharusnya seorang muslim dalam menjalankan setiap aktivitas
dakwahnya. Tidak terpengaruh oleh posisinya dan tidak memandang siapa yang
memimpinnya. Seperti halnya Rasulullah shallahu'alaihi wasallam yang mengangkat
Usamah bin Zaid radiyallahu 'anhu sebagi panglima perang dalam mengahadapi tentara
romawi saat itu. Yang pada saat itu masih berusia 18 tahun. Namun, peperangan
tersebut berlangsung pada zaman khalifah Abu Bakar as-Sidiq dikarenakan tertunda
oleh berita kematian Rasulullah shallahu'alaihi wasallam.
Lihatlah betapa berbedanya keadaan sense of dakwah dizaman salaf dengan zaman saat
ini (khalaf). Ingatlah bahwa organisasi-organisasi hanyalah sebuah sarana atau alat
untuk memudahkan kita dalam sistem dakwah. Sama halnya seperti alat cangkul, sabit
yang gunanya untuk mempermudah kita dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun,
perlu digaris bawahi juga, bahwa alat-alat tersebut tempatnya ada di tangan bukan
di hati. Hal inilah yang menurut persepsi saya sering dialami oleh aktivis-aktivis
dakwah saat ini. Karena menempatkan organisasi dengan menggunakan perasaan bukan
tangan, maka tidak jarang ketika kita mengajak seseorang dalam kebaikan dan tidak
ada yang menanggapi maka kita merasa sakit hati dan sebagainya. Itu artinya kita
masih menempatkan organisasi di dalam hati kita bukan di tangan.
Ada sedikit tips yang biasanya saya gunakan ketika kejadian-kejadian tersebut
terjadi, yaitu berikanlah rasa egois kepada dirimu sendiri.
Egoiskan lah dirimu, bahwasanya setiap usaha dakwah yang kita lakukan itu yang
pertama mendapat manfaatnya ada pada diri kita sendiri. Allah subhanahu wa ta'ala
tidak lah memandang seseorang dari hasil yang ia capai, tetapi Allah memandang
seseorang dari usaha yang ia lakukan. Cobalah tengok Nabi Nuh 'alaihi salam, beliau
tidaklah menghasilkan orang yang banyak, tetapi beliau melakukannya dengan usaha
yang mungkin tidak ada satupun manusia biasa (bukan nabi dan rasul) yang bisa
melakukannya. Ketika kita meng-egoiskan diri, bahwa kita mendapat pahala dari usaha
bukan dari hasil, maka Insyaallah setiap aktivitas dakwah yang kita lakukan tidak
akan menyurutkan hati kita.
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu memberikan hidayah kepada kita semua

Wallahu 'alam bishshawab

Anda mungkin juga menyukai