Anda di halaman 1dari 5

Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan Sosial

on Kamis, 15 Oktober 2009

Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan Sosial

Oleh, Cucu Kodir Jaelani

Disampaikan dalam Latihan Kader I (Basic Training) Akbar

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Subang

Ada tiga kata kunci dalam judul di atas yang akan coba saya bahas dalam tulisan
ini., yaitu kata mahasiswa, kata Islam dan kata perubahan. Tentunya menarik
untuk dipertanyakan atau dibayangkan mengapa kita tidak memberi judul "Peran
Manula sebagai Agen Perubahan" atau "Peran Mahasiswa Gaul sebagai Agen
Perubahan".

Saya mulai dengan kata mahasiswa. Mahasiswa dipilih sebagai pelaku


karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Mahasiswa saya
definisikan di sini sebagai segmen pemuda yang tercerahkan karena memiliki
kemampuan intelektual. Di sini saya tidak membicarakan mahasiswa sebagai
orang yang faham teknologi, atau faham ilmu-ilmu sosial, namun saya
mengartikan mahasiswa sebagai orang yang memiliki kemampuan logis dalam
berfikir sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Sebagai bagian dari pemuda, mahasiswa juga memiliki karakter positif


lainnya, antara lain idealis dan energik. Idealis berarti (seharusnya) mahasiswa
masih belum terkotori oleh kepentingan pribadi, juga belum terbebani oleh beban
sejarah atau beban posisi. Artinya mahasiswa masih bebas menempatkan diri
pada posisi yang dia anggap terbaik, tanpa adanya resistansi yang terlalu besar.
pemuda biasanya siap sedia melakukan 'kewajiban' yang dibebankan oleh suatu
ideologi manakala dia telah meyakini akan kebenaran ideologi itu. Sebagai
contoh adalah para shahabat yang bahkan siap meninggalkan malam
pertamanya manakala mendengar perintah jihad.

Dengan potensi seperti di atas, wajar jika pada setiap zaman kemudian
pemuda memegang peran penting dalam perubahan kaumnya. Kita lihat kisah
Ibrahim as sang pembaharu, atau kisah pemuda Kahfi (18:9-26) yang masing-
masing begitu sigap menerima kebenaran. Atau orang-orang yang segera
menerima dan mendukung Rasulullah saw pun ternyata adalah para pemuda,
bukan orang-orang tua yang saat itu menjadi pemuka kaumnya. Bukan Abu
Jahal atau Abu Sufyan, tetapi Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Haritsah lah yang kemudian mengusung panji-panji Islam. Bahkan Abu Bakar -
yang cukup tua pun - saat itu baru berusia 37 tahun.

Ada tiga hal yang harus diperankan oleh pemuda, yaitu:

1. Sebagai generasi penerus (AthThur:21); meneruskan nilai-nilai kebaikan


yang ada pada suatu kaum.
2. Sebagai generasi pengganti (Al Maidah:54); menggantikan kaum yang
memang sudah rusak dengan karakter mencintai dan dicintai Allah, lemah
lembut kepada kaum mu'min, tegas kepada kaum kafir, dan tidak takut
celaan orang yang mencela.
3. Sebagai generasi pembaharu (Maryam:42); memperbaiki dan
memperbaharui kerusakan yang ada pada suatu kaum.

Kata kunci yang kedua adalah Islam. Islam adalah sebuah ideologi yang
memberikan energi besar bagi perubahan. Hal ini dimungkinkan karena karakter
Islam yang mewarnai seluruh aspek kehidupan dan mengatur seluruh bagian
manusia. Islam tidak hanya sekedar mewarnai pola pikir, namun dia juga
mempengaruhi emosi, perasaan, pemikiran dan juga fisik. Berislamnya
seseorang akan melahirkan sebuah totalitas. Dengan adanya syahadah, seorang
muslim akan meyakini bahwa dia memang diciptakan hanya untuk beribadah,
bahwa tidak ada yang dapat memberikan kemudharatan kecuali atas izin Allah,
sehingga dengan demikian tidak ada lagi sesuatupun yang ditakutinya. Kalaupun
harus berperang, dia meyakini bahwa apapun hasilnya akan berupa kebaikan.
Matinya adalah syahid, dan hidupnya adalah kemuliaan. dengan demikian
gabungan kata mahasiswa dan Islam memberikan sebuah energi besar yang
berlipat, yang apabila diarahkan dengan baik dapat memberikan sebuah
perubahan.

Berbicara tentang perubahan, tentunya akan memunculkan pertanyaan


mengapa harus ada perubahan. Di sini ada beberapa hal yang bisa dijadikan
sebagai jawaban:

1. Kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Tidak perlu kita pungkiri bahwa
masyarakat (termasuk atau terutama di Indonesia) saat ini masih cukup
jauh dari Islam. Contoh yang jelas tampak di permukaan adalah pada
moral masyarakat, misalnya korupsi yang membudaya atau adanya
pergaulan bebas. Oleh karena itu tidak salah jika ada ulama yang
mengatakan kondisi sekarang sebagai jahiliyah modern.
2. Perubahan adalah suatu keniscayaan, atau sunnatullah. Artinya suka atau
tidak, kita akan menemui perubahan. Kalaupun kita diam, maka ada
banyak pemikiran lain (komunis, liberal, dll) yang mencoba mengubah
masyarakat sesuai dengan kehendak mereka. Oleh karena itu, diamnya
kita berarti membiarkan 'kekalahan' ideologi yang kita yakini
kebenarannya dan membiarkan terjadinya perubahan ke arah yang tidak
kita kehendaki. Dalam Ar Ra'd:11, Allah berfirman bahwa “Allah tidak
akan mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka mengubah kondisi
dirinya sendiri”.
3. Melakukan perubahan adalah perintah di dalam ajaran Islam,
sebagaimana dalam suatu hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa
orang yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung,
orang yang hari ini sama dengan kemarin berarti rugi, dan orang yang hari
ini lebih buruk dari kemarin adalah celaka. Artinya kalau kita membiarkan
kondisi statis tanpa perubahan - apalagi membiarkan perubahan ke arah
yang lebih buruk - berarti kita tidak termasuk orang yang beruntung. Juga
di dalam Ali Imran:104 Allah memerintahkan agar ada kaum yang
menyeru kepada kebaikan - sebagai sebuah perubahan.

Pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah mengapa harus saya


yang melakukan perubahan, dan bukan orang lain. Secara sederhana
jawabannya adalah karena kita adalah orang-orang terpilih. :) Dari sekitar 5
milyar penduduk bumi, hanya 1 milyar yang memeluk Islam, suatu segmen yang
tidak terlalu besar. Dari sekian banyak pemeluk Islam, mungkin hanya sekitar 5
% yang menjadi mahasiswa. Berarti kita merupakan sebuah segmen yang
sangat kecil. Dan dari sekian mahasiswa muslim, hanya puluhan atau mungkin
ratusan yang tertarik mengikuti kajian, atau membaca tulisan bertemakan peran
mahasiswa sebagai agen perubahan sosial. Orang-orang yang sedikit ini
seharusnya tidak kemudian lepas tangan, yang artinya membiarkan perubahan
berjalan ke arah yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain, kita telah sadar
akan potensi yang kita miliki dan setiap potensi bermakna adanya tanggung
jawab. Makin besar potensi yang dimiliki seseorang, makin besar pula tanggung
jawab yang dimilikinya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim,
Rasulullah juga mengingatkan kita untuk mempergunakan lima kesempatan,
yang di antaranya adalah masa muda sebelum datangnya tua.

Kesadaran bahwa kita 'harus' menjadi agen perubahan merupakan


langkah awal yang kemudian harus dibarengi dengan pemahaman bagaimana
cara melakukan perubahan atau ke arah mana perubahan itu kita arahkan. Di
dalam surat Ali Imran:104 yang disebutkan di atas, Allah menyebutkan bahwa
perubahan itu harus dilakukan ke arah "kebaikan". Dalam tataran praktis, tentu
kita harus menyusun tujuan umum ke dalam sasaran-sasaran jangka pendek,
jangka menengah hingga jangka panjang. Arah kebaikan yang dimaksud adalah
Islam dan tauhid, sehingga sebagai tujuan jangka panjang adalah terbentuknya
masyarakat dan pemerintahan yang Islami yang lingkupnya tidak hanya
Indonesia namun dunia. bisa saja kita memikirkan perubahan kepemimpinan
nasional, penggolan agenda reformasi, dst. Tentu dalam menyusun agenda
jangka pendek kita perlu memikirkan secara lebih detil, disesuaikan dengan
kondisi yang ada dan kondisi ideal yang kita inginkan.

Dalam ilmu sosiologis disebutkan ada dua pandangan tentang perubahan,


yaitu pandangan materialistik yang meyakini bahwa tatanan masyarakat sangat
ditentukan oleh teknologi atau benda. Misalnya Karl Marx yang menyatakan
bahwa kincir angin menimbulkan masyarakat feodal; mesin uap menimbulkan
masyarakat kapitalis-industri. Atau mungkin sekarang kita bisa mengatakan
internet menimbulkan masyarakat informasi, dst. Sedang pandangan kedua
adalah pandangan idealistik yang menekankan peranan ide, ideologi atau nilai
sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Dalam kaitannya dengan
perbincangan kita, pandangan kedua inilah yang lebih mengena, di mana
sasaran perubahan kita adalah manusia dan ideologi yang kita bawa adalah
Islam.

Juga disebutkan bahwa ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk
melakukan perubahan. Yang pertama dengan mengubah individu sehingga
kemudian akan mempengaruhi tatanan sosial, kelompok atau organisasi. Yang
kedua dengan mengubah kelompok, sehingga perubahan suasana dalam
kelompok akan mempengaruhi individu (sebagai contoh orang yang sehari-
harinya biasa saja, di dalam suatu momentum lambat laun akan terimbas untuk
ikut melakukan amal-amal kebaikan, dll). Yang ketiga adalah menekankan pada
perubahan struktur sosial yang kemudian akan menyebar ke seluruh bagian
masyarakat. Kita bisa dan perlu melakukan ketiganya secara simultan, hanya
saja perlu ditekankan bahwa perubahan yang langgeng adalah yang berasal dari
pemahaman individu.

Padahal, dalam berbagai lintasan sejarah, dapat disimpulkan bahwa ada dua
model umum bagi kaum muda dalam menyampaikan kritiknya. Pertama, Melalui
gerakan aksi turun ke jalan. Bentuk gerakan ini, mulai dari demonstrasi, mimbar bebas,
sampai pada aksi berbaris massal mendatangi sejumlah intansi yang diperkirakan dapat
menyelesaikan persolan yang dikeluhkan oleh kaum pelajar. kritik-kritik dalam bingkai
aksi turun kejalan sudah terasa mandul, sehingga perlu ada gerakan-gerakan di luar itu
guna menyuarakan aspirasi masyarakat. Nyatanya, tradisi turun ke jalan kerapkali
menjadi pemandangan yang sering kita jumpai di berbadai media, baik media elektronik
maupun cetak. Alih-alih rasa perjuangan tanpa pamrih, kesadaran kolektifitas, tetesan
darah dan air mata pun menajdi melekat di jiwa generasi bangsa.

Kedua, Gerakan Intelektual. Gerakan ini biasanya dilakukan oleh


generasi muda melaui berbagai kajian, diskusi, talk sow, seminar sehari, dan
pertemuan ilmiah, baik di dalam maupun luar kampus. Namun, kegiatan itu,
dinilai oleh sebagian mahasiswa merupakan gerakan lamban dan tak begitu
membuahkan hasil yang memuaskan.

Aksi protes mahasiswa sebetulnya tak perlu ditakuti, kalau pemerintah


merasa takut terhadap aksi protes mahasiswa tegakanlah keadilan, berantas
korupsi, kembalikan hak rakyat, ciptakan pemerataan, hilangkan kebiasaaan
kongkalingkong dengan penguas dan jalankan demokrasi yang benar. Aksi
mahasiswa tak bisa diredam dengan undang-undang, tindakan persuasif
maupun refresif. Selama masih ada ketidak adilan, korupsi, penindasan hak
asasi, otoriterian, aksi protes dari mahasiswa maupun rakyat akan selalu
bermuncul kendati dalam bentuk yang berbeda-beda.

Terakhir ada dua kata kunci yang perlu diingat dalam melakukan
perubahan ini, yang pertama adalah pembinaan (perkaderan) sehingga akan
memberikan pemahaman dan motivasi yang langgeng. Dan yang kedua adalah
kerja keras dengan beramal, karena Allah hanya menilai amal dan usaha kita
bukan hasil dari usaha kita.

Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai