Anda di halaman 1dari 6

METODE REKAYASA SOSIAL {SOCIAL ENGINEERING}

DALAM PRESPEKTIF DAKWAH


Dosen: Asyrofuddin, M.Pd.

Berbicara tentang analisis rekayasa sosial dalam dakwah maka biasanya orang harus
mengetahui dulu apa itu problem social, karena adanya rekayasa sosial itu didahului
timbulnya sebuah problem-problem sosial. Sebuah kondisi dimana terjadi perbedaan
antara apa yang kita inginkan dan apa yang telah terwujud menjadi suatu kenyataan
itu disebut dengan problem. Kita ingin membeli barang yang kita inginkan tapi
kenyataannya uang tidak ada. Dan akibatnya terjadi perbenturan antara idealita dan
realita.

Problem itu sendiri sebenarnya dibagi menjadi 2 (dua) dimensi yakni:


1. Bertaraf individu
Problem individu adalah masalah yang timbul dari individual qualities (kualitas-
kualitas individu) atau dari lingkungan terdekat.
2. Bertaraf sosial.
Masalah sosial bermula dari faktor dan lingkungan sosial. Philip Kotler menyebutkan
bahwa problem sosial adalah kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap
tidak enak atau menganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dapat
dikurangi atau dihilangkan melalui upaya bersama (kolektif).

Ada 3 (tiga) problem sosial yang bisa kita kemukakan di sini yang mana ketiga problem
sosial tersebut menjadi sumber perubahan sosial, yakni kemisikinan, kejahatan, dan
konflik. Perubahan sosial adalah terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi
kelompok, lembaga, atau tatanan sosial yang penting.

A. Rekayasa Sosial (Social Engineering)


Rekayasa sosial dimanapun tempatnya dan kapanpun masanya selalu membutuhkan
aktor-aktor untuk melakukan gerakan. Ada 2(dua) kelompok besar di balik upaya
rekayasa sosial yakni pemimpin-pemimpin (leaders) dan pendukung (supporters).

Kalau dijabarkan lebih lanjut akan kita temukan derivasinya yang mana tiap-tiap orang
mempunyai peran yang tertentu. Ada orang yang menggerakkan, ada yang terus-
menerus memberikan motivasi agar massa tetap bergerak, ada yang membantu
dengan sumber daya, dana dan fasilitas, ada yang memperngaruhi kalangan elit, ada
yang mengatur administrasi sebuah gerakan, ada yang harus menjadi konsultan, ada
juga tipe pekerja atau aktivis, ada pendonor, dan yang tak kalah pentingnya adalah
para simpatisan.

Ada 2 (dua) peran pokok yang selalu tampil mewarnai setiap aktivitas dakwah.
Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedua,
sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang terjadi sehingga ia
senantiasa melahirkan berbagai alternatif pemecahan.

Untuk menjadi seorang da’i tidak mungin berjalan dengan sekejap saja, tapi itu semua
harus diawali dengan hal-hal yang kecil. Maka itu paling tidak ada 3 (tiga) hal yang
harus kita lakukan, yaitu banyak membaca baik membaca tekstual maupun fenomena,
berinstitusi (membentuk komunitas) karena sebuah kerja besar sangat berat untuk
dikerjakan sendirian, dan pembiasaan (kulturisasi) sehingga orang lain akan mengikuti
apa yang kita lakukan.

Untuk melakukan proses rekayasa sosial yang lebih besar di dunia masyarakat maka
dibutuhkan energi dan perencanaan yang sangat matang, karenanya penataan
internal di dalam sebuah gerakan itu sendiri dan juga upaya kaderisasi harus selalu
menjadi prioritas pemikiran. Mulailah dari diri sendiri, mulailah sekarang ini, dan
mulailah dari hal-hal yang kecil dengan senantiasa tidak melupakan senyum, salam,
sapa, sopan, dan santun.

Sasaran perubahan dalam Rekayasa Sosial ada 2 (dua) yaitu: pertama sasaran akhir,
berupa korban atau lembaga-lembaga yang dirusak. Kedua adalah sasaran seperti
masyarakat/pemerintah, bisnis, atau profesi.

Unsur selanjutnya dari aksi sosial adalah channel atau saluran yaitu media untuk
menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran
perubahan. Dalam klasifikasi Kotler, media ini dibagi menjadi dua, media pengaruh
dan media respon. Keduanya dapat menggunakan media massa atau media
interpersonal.

Terakhir adalah change strategy (strategi perubahan), yaitu teknik utama


mempengaruhi, yang diterapkan oleh para pelaku perubahan untuk menimbulkan
dampak pada sasaran perubahan. Ada tiga alternatif strategi: memaksa (power
strategy), membujuk (persuasi), dan mendidik (edukasi).

B. Metode Dalam Rekayasa Sosial


Islam dan mereka membiarkan budaya asing untuk masuk ke tanah mereka dan
konsep Barat untuk menduduki pikiran mereka. Mereka menolak ketika mereka
meninggalkan kepemimpinan intelektual Islam, dakwah diabaikan dan aturan keliru.
Oleh karena itu, mat Islam harus melanjutkan cara Islam jika mereka ingin kebangkitan
(Nahdhah), namun mereka tidak akan dapat melanjutkan hidup dengan cara Islam
kecuali mereka membawa dakwah Islam dengan membawa kepemimpinan intelektual
Islam, dan mendirikan, dengan ini dakwah sebuah Negara Islam yang pada gilirannya
akan membawa kepemimpinan intelektual Islam dengan melakukan panggilan Islam.

Membawa kepemimpinan intelektual dengan membawa dakwah Islam untuk


menghidupkan kembali Muslim dilakukan karena Islam sendiri dapat reformasi dunia,
dan kebangkitan sejati tidak dapat dicapai tanpa Islam, baik untuk Muslim atau orang
muslim. Hal ini pada dasarnya bahwa dakwah harus dilakukan. Dakwah harus dibawa
ke dunia sebagai pemimpin intelektual dari semua sistem yang muncul, dan atas
kepemimpinan ini semua pikiran dibangun, dan dari pemikiran tersebut akan muncul
semua konsep bahwa pengaruh sudut pandang seseorang dalam hidup sangat
beranika ragam.

Dakwah harus dilakukan hari ini seperti yang disampaikan di masa lalu dan harus
melanjutkan sesuai dengan contoh Nabi SAW, tanpa penyimpangan sedikitpun dari
metode. Tidak ada hal harus diberikan dengan perbedaan waktu, untuk perbedaan ini
mencapai tidak lebih dari perubahan berarti (wasaail) dan bentuk (ashkaal). Namun,
hakikat dan realitas kehidupan tidak dan tidak akan berubah, terlepas dari berlalunya
usia dan perubahan masyarakat dan tempat.

Dengan demikian, membawa dakwah tuntutan keterbukaan, keberanian, kekuatan


pikiran dan menantang semua yang bertentangan dengan fikrah dan Tareeqah (ide
dan metode) Islam dengan menghadapi dan memperlihatkan kepalsuan nya, tanpa
melihat situasi dan konsekuensinya.

Titik tuju dakwah Islam adalah memberi pengertian kepada umat Islam agar
mengambil segala ajaran Allah yang terkandung dalam Kitab Al-Quran dan Sunnah
Nabi sebagai pedoman jalan hidupnya. Ajaran Allah itu, menurut Sayyid Qutb,
diintisarikan dalam surat al-Fatihah yang terdiri dari pedoman “aqidah” dan “syariah”
atau dengan istilah yang lain bisa disebut “iman” dan “amal saleh” (Fiqh Da’wah,
Maudhu’at fi ad-Da’wah wa al-Harakah, Beirut-Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 1970).

C. Kondisi Sosial yang Perlu Diubah


Terhadap umat Islam yang telah melaksanakan risalah Nabi lewat tiga macam metode
yang paling pokok yakni da'wah, amar ma'ruf, dan nahi munkar, Allah memberi mereka
predikat sebagai umat yang berbahagia atau umat yang menang . Adapun mengenai
tujuan da'wah, yaitu: pertama, mengubah pandangan hidup. Dalam QS. Al Anfal: 24 di
sana di siratkan bahwa yang menjadi maksud dari da'wah adalah menyadarkan
manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan, minum dan tidur
saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya. Kedua,
mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju terang-benderang. Ini diterangkan
dalam firman Allah: "Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkan
manusia dari gelap gulita kepada terang-benderang dengan izin Tuhan mereka
kepada jalan yang perkasa, lagi terpuji." (QS. Ibrahim: 1).

Strategi dan metode amar ma'ruf nahi munkar harus mempertimbangkan


kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena
kesalahan kecil dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar justru
mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan social cost yang tinggi.

D. Profesionalitas (Agent of Social Change)


Ibnu Katsir mengidentifikasi bashirah sebagai sebuah keyakinan yang berlandaskan
argumentasi syar’i dan aqli yang kokoh, serta tidak taklid buta. Menurut Syaukani,
bashirah adalah pengetahuan yang mampu memilah yang hak dari yang bathil, yang
benar dari yang salah dan begitu seterusnya. Inilah bangunan profesionalisme dalam
dakwah yang tegaskan oleh ayat di atas; yaitu beramal dan berdakwah atas dasar ilmu,
keyakinan, tiada keraguan apalagi persepsi yang tidak benar terhadap dakwah.

Disinilah peri pentingnya sebuah pembinaan yang kontinu – meskipun – terhadap da’i,
karena da’i lah justru inti dari sebuah proses dakwah. Bahkan dikatakan dalam sebuah
pepatah “beramal tanpa ilmu lebih banyak merusaknya daripada memperbaiki”.

Agar rasa dan sikap profesionalitas tampil, maka segala aktifitas seseorang harus
diawali dengan sebuah kesadaran “nawaitu” yang benar. Diawali dengan taubatan
nasuha yang akan memperbaiki hubungan dengan Allah. Salah dan bergesernya niat
akan turut mempengaruhi kinerja seseorang dan mengakibatkan kerja yang asal-
asalan, tidak sempurna dan cenderung apa adanya. Sofyan Tsauri pernah
mengungkapkan: “Tidak ada sesuatu yang lebih aku perhatikan selain dari niat”.

Inilah rahasianya kenapa setiap amal dalam Islam harus didasari niat yang benar dan
tulus karena Allah. Rasa takut akan pertanggung jawaban dakwah di hadapan Allah
juga akan turut memperkuat keseriusan dan kejelasan dakwah seseorang. Inilah
maksud firman Allah swt: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah
Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun)
selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan”. (33: 39)

Seorang yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan,
senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena memang ia
tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak
mendapat tempat di hati umat. Contoh paling fenomenal adalah nabi Nuh as.
Ditengah penolakan kaumnya, ia tetap mencari terobosan baru dalam berdakwah agar
keberlangsungan dakwah bisa dipertahankan. Ia tetap komit dan tegar, bahkan
mencari alternatif sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan
kaumnya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam
dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)……
Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara
terang-terangan kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-
terangan dan dengan diam-diam”. (Nuh: 5-9).

E. Sumber Daya Manusia


Ledakan sumber ilmu pengetahuan dan informasi hanya dapat dinikmati oleh mereka
yang menguasai teknologi informasi. Sangat ironis, apabila sarjana yang merupakan
SDM jebolan perguruan tinggi tidak menguasai teknologi informasi; akan tertinggal
dan tidak mudah terserap di dunia kerja, mereka yang gaptek. Upaya yang cukup
strategis untuk melakukan link and match antara dunia pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat adalah membekali output dengan keterampilan penggunaan teknologi
informasi. Upaya link and match itupun dimaksudkan untuk melahirkan da’i-da’i
profesional yang mengusai teknologi informasi.

Apabila kita cermati, teknologi informasi merupakan sektor industri skala kecil yang
tumbuh karena adanya potensi dan minat usaha dalam masyarakat Indonesia,
sehingga perlu langkah strategis dalam meningkatkan faktor-faktor keunggulan
kompetitif dalam menciptakan calon-calon da’i muda terdidik, dengan cara
meningkatkan kompetensi usaha, melalui Skill Training Berbasis Teknologi Informasi
dan Dakwah.

Oleh karena itu pemberian materi teknologi informasi dan dakwah sudah menjadi
suatu kebutuhan dalam mencapai visi, misi, dan tujuan fakultas, dibuat dalam Rencana
Strategis dan Prioritas Fakultas Dakwah. Upaya untuk mewujudkan kompetensi da’i-
da’i profesional yang sesuai dengan harapan masyarakat, tidak akan tercapai tanpa
dukungan dari lembaga terkait. Dan dunia pendidikan, pemerintah dan industri perlu
menjalin kerjasama intensif.

Kesimpulan
Dalam prespektif dakwah rekayasa sosial merupakan strategi yang efektif dalam
mengajak manusia untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran
islam. Pendidikan di dunia islam dalam perkembangannya seakan mengalami
pergeseran orientasi dan pengerutanmakna, karena kekeliruan umat islam sendiri
dalam memanfaatkan pendidikan yang dominan dipengaruhi kemajuan sistem
pendidikan barat dan juga paham-paham yang berkembang di dunia barat. Sehingga
ada yang memprediksikan bahwa pendidikan islam ditimpa banyak masalah, padahal
sebenarnya yang bermasalah adalah manusia/umat islam itu sendiri dalam
memperlakukan atau memanfaatkan pendidikan.

Profesionalitas kita akan terus diuji dengan beragam ujian sehingga akan lahir kaliber
manusia yang diabadikan oleh Allah sebagai kelompok yang tetap tegar dan jujur
dalam dakwah mereka, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka
tidak merobah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23).

Inilah prinsip yang senatiasa dipegang oleh para pendahulu dakwah, karena mereka
yakin bahwa kecintaan Allah hAnya akan dianugerahkan kepada mereka yang beramal
dengan tulus, cerdas, tuntas dan serius. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
cinta jika hambaNya beramal dengan itqan”.

Itqan dalam arti berbuat lebih banyak, lebih bermutu dan berkualitas dari umumnya
orang mampu berbuat dan bekerja, seperti yang Allah gambarkan tentang kelompok
manusia muhsin yang mampu beramal, lebih tinggi di atas rata-rata kebanyakan
manusia sanggup beramal. “Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-
orang yang berbuat dengan ihsan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.
Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar”. (Adz-Dzariyat: 16-18)

DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000
Sanit, Arbi, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999

Anda mungkin juga menyukai