Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puja dan Puji
syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Filsafat Manajemen Pendidikan
Islam dengan judul " Manajemen Perubahan Pendidikan Islam dalam Kajian Filsafat " tepat pada
waktunya.
Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar – lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusunan makalah ini telah selesai, kami mengharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Sekian dan terima kasih beserta mohon maaf sebesar – besarnya
apabila ada kesalahan kata atau kalimat dalam makalah ini, karena kami masih dalam tahap
pembelajaran membuat makalah yang baik dan benar.
Penyusun
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan panjang pendidikan islam yang telah tumbuh berkembang hingga saat ini
sangat dipengaruhi oleh pemikiran tokohtokoh penggeraknya dalam melaksanakan sistem
pembelajaran yang ada pada lembaga pendidikannya. Pemikiran tokoh penggerak pendidikan
didorong oleh persinggungan antara realitas social cultural yang dihadapi tokoh tersebut
dengan pemikiran agama yang mereka anut.
Peradaban Islam tidak lain adalah suatu hasil dari akumulasi perjalanan pergumulan
penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses dialektis antara “normativis” ajaran
wahyu yang permanen dan “historitas” pengalaman kekhalifahan manusia di muka bumi
yang selalu berubah-rubah1.
Pendidikan Islam merupakan suatu bidang keilmuan yang sangat memerlukan upaya
penelitian secara continue atau terus-menerus. Penelitian tersebut mencakup banyak hal,
seperti administrasi, kurikulum, kelembagaan, organisasi, kebijakan, proses belajar
mengajar, sampai kepada pelaku pendidikan itu sendiri, yakni guru, bahkan penelitian
terhadap keilmuan yang diajarkan. Pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan penelitian ini
dapat dipastikan akan mampu mengidentifikasi potensi yang dimilikinya serta keluar dari
kemelut yang dihadapi dengan sejumlah alternatif solusi yang diperoleh melalui hasil
penelitian (research based knowledge)2.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana manajemen perubahan Pendidikan islam dalam kajian filsafat?
2. Apa saja model-model manajemen perubahan dalam Pendidikan islam?
1
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3.
2
Abd. Rachman Assegaf, “Reorientasi Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam dalam Perspektif Hadharah Al-‘Ilm” dalam
Ontologi Pendidikan Islam, Nizar Ali (ed.)(Yogyakarta: Penerbit Idea Press Yogyakarta, 2010), hlm. 20.
2
BAB II
3
Ahmad, La Ode Ismail, Wawasan al-Qur'an tentang Perubahan (Analisis Qur'aniy dengan Metode Tafsir
Tematik). "Jurnal Shaut Al-Arabiyah", 4 (1), 12 – 22.
3
bahasa agama disebutkan bahwa satu-satunya yang baqa (tetap) adalah al-Khalik atau Sang
Pencipta, Allah Swt.
Sebagaimana diketahui bahwa manusia tidak hanya hidup untuk masa kini. Ia akan
selalu berpikir tentang masa depan; baik jangka pendek maupun jangka panjang; baik yang
terkait dengan masa depan kehidupan dunia, maupun akhiratnya. Maksudnya, manusia tidak
akan puas dengan realitas kehidupan yang dialaminya. Jika kehidupannya baik, dia
menginginkan yang lebih baik. Jika kehidupannya rendah, dia tentu menginginkan kebaikan.
Demikian karakter manusia.
Manusia dalam pandangan Abd. Muin Salim yang mempunyai satu kedudukan sebagai
pembangun peradaban. Menurutnya, bangsa-bangsa terdahulu tidak hanya menghuni suatu
wilayah tertentu saja, tetapi mereka telah membangun peradaban dan memanfaatkan potensi
alam sekitar mereka untuk kemakmuran hidup bersama. Manusia juga biasanya tidak hanya
memperhatikan dirinya, tetapi juga memperhatikan bangsa atau umat lainnya. Manusia
memiliki gharizah nau’. Itulah yang mendorong dia untuk memperhatikan setiap bangsa,
baik di negerinya sendiri maupun di negeri yang lain. Sebagai konsekuensinya, bangsa atau
umat yang maju cenderung mempengaruhi bangsa atau umat lain yang lebih rendah atau
terbelakang, baik pada tingkat berpikir, ekonomi, sosial, politik maupun yang lainnya. Ibnu
Khaldun dalam pernyataannya mengatakan; bahwa manusia yang terkalahkan/terbelakang,
terutama dalam segi pemikiran, cenderung mengikuti secara membabi buta pihak yang
mengalakannya. Dengan kata lain, bangsa yang terbelakang cenderung menjadikan bangsa
yang lebih maju sebagai model.
Oleh karena itu, berpikir tentang perubahan sangat urgen bagi manusia, karena
perubahan identik dengan dinamika. Dengan dinamika itulah manusia akan dianggap eksis.
Sebaliknya, kemandekan identik dengan kematian. Dengan demikian, bukanlah kehidupan
hakiki jika kehidupan tersebut tidak diindikasikan dengan adanya pertumbuhan dan
dinamika. Oleh karena itu, setiap umat, bangsa, dan bahkan setiap individu mesti selalu
berpikir (mengfungsikan akal dan mengolah pikir) tentang perubahan, sekaligus melakukan
aktivitas untuk merealisasikannya. Jika proses berpikir dan upaya merealisasikan lenyap,
maka itu artinya musibah, bahkan merupakan malapetaka baginya.
Manusia tidak akan pernah berpikir tentang perubahan kecuali bila ia menyadari bahwa
di dalam kehidupannya terjadi kerusakan atau kebobrokan. Setidaknya ia menjumpai fakta
4
yang tidak sesuai dengan yang ia kehendaki. Oleh karena itu diperlukan adanya pengindiraan
terhadap kerusakan yang terjadi di masyarakat. Penginderaan terhadap fakta merupakan
prasyarat mendasar bagi adanya aktifitas berpikir. Manusia tidak akan mungkin memahami
fakta yang sesungguhnya terjadi tanpa adanya upaya untuk melakukan penginderaan
terhadap fakta tersebut, atau setidaknya merasakan efeknya. Dengan demikian manusia akan
selalu berpikir untuk mengubahnya.
Penginderaan terhadap fakta yang rusak dan segala derivasinya adalah berbeda dengan
penginderaan terhadap dinginnya salju atau panasnya api yang bersifat fisikal (penginderaan
fisikal). Penginderaan fisikal semacam ini berbeda dengan penginderaan terhadap berbagai
gejalah kemaksiatan yang merajalela seperti perjudian, pelacuran dan transaksi ribawi yang
lebih bersifat maknawi atau bersifat pemikiran. Untuk melahirkan penginderaan maknawi,
misalnya diseputar baik-buruk atau benar-salahnya sesuatu, diperlukan pemikiran
pendahuluan, yakni pemikiran yang telah menetapkan kriteria tentang bagaimana tata cara
menilai sesuatu. Dengan pemikiran pendahuluan, manusia dapat menilai sesuatu.
Adakalahnya sebagaian manusia menganggap bahwa sesuatu itu baik, sementara yang lain
menganggap buruk.
Adanya kesadaran dan pemikiran pendahulu merupakan unsur yang amat penting bagi
lahirnya sebuah perubahan, yang sebelumnya diawali dengan proses perpikir untuk
melakukan perubahan tersebut. Namun demikian, adanya kesadaran terhadap adanya
kerusakan dan pemikiran pendahulu saja tidaklah cukup. Agar manusia melakukan
perubahan adanya aspek lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kesadaran terhadap fakta
penggantinya. Dengan demikian perubahan memerlukan tiga unsur penting yaitu: 1.
Kesadaran dan penginderaan terhadap fakta yang rusak; 2. pemikiran pendahulu yang
menetukan tata cara menilai fakta yang rusak. 3. Kesadaran terhadap fakta pengganti yang
akan menggantikan fakta yang rusak.
5
mengembangkan konsep force field analysis atau teori perubahan untuk membantu
menganalisa dan mengerti suatu kekuatan terhadap suatu inisiatif perubahan. Force field
analysis adalah sebuah teknik untuk melihat gambaran utama yang melibatkan semua
kekuatan yang berjalan sejalan dengan perubahan (driving forces) dan kekuatan yang
merintangi sebuah perubahan (resisting forces).
Metode Lewin atau sering disebut Lewin’s three step model mengacu pada tiga
konsep atau fase, yaitu unfreezing – movement – refreezing. Berikut penjelasan untuk
masing-masing fase dalam Lewin (Lewin, 1951):
1. Unfreezing
Fase yang pertama ini dibentuk dengan teori perilaku manusia dan perilaku
perusahaan, yang terbagi dalam tiga subproses yang mempunyai relevansi
terhadap kesiapan perubahan yaitu perlunya kondisi perubahan karena adanya
kesenjangan yang besar antara tujuan dan kenyataan. Umumnya, fase ini
melibatkan tiga aktivitas berikut: a. Menelaah dan memahami status quo atau
keadaan perusahaan saat ini untuk melihat jarak yang ada antara keadaan yang
diharapkan dengan keadaan saat ini. b. Meningkatkan dan menekankan faktor-
faktor yang menguatkan untuk melakukan perubahan. c. Mengurangi faktor-
faktor yang bersifat resisten terhadap perubahan tersebut.
2. Movement
Menganalisa kesenjangan antara desire status dengan status quo, dan
mencermati program-program perubahan yang sesuai untuk dilakukan agar
dapat memberi solusi yang optimal untuk mengurangi resistensi terhadap
perubahan. Sebagaimana peran berubah, suatu kondisi inefisiensi terjadi,
manakala tujuan perubahan terabaikan. Penerapan gaya kepemimpinan yang
baik adalah penting dan dengan mencermati strategi-strategi perubahan yang
sesuai untuk dilakukan agar dapat memberi solusi yang optimal untuk
mengurangi resistensi terhadap perubahan. Tujuan akhir dari fase ini adalah agar
setiap orang tetap dalam kondisi siap berubah.
3. Refreezing
Merupakan fase dimana perubahan yang terjadi distabilisasi dengan membantu
orang-orang yang terkena dampak perubahan, mengintegrasikan perilaku dan
6
sikap yang telah berubah ke dalam cara yang normal untuk melakukan sesuatu.
Hal ini dilakukan dengan memberi mereka kesempatan untuk menunjukkan
perilaku dan sikap baru. Sikap dan perilaku yang sudah mapan kembali tersebut
perlu dibekukan, sehingga menjadi norma-norma baru yang diakui
kebenarannya, atau dengan kata lain membawa kembali perusahaan kepada
keseimbangan baru. Fase ini adalah fase dimana keadaan yang diharapkan sudah
dapat tercapai sehingga perubahan tersebut harus diperkuat dan dipermanenkan.
Untuk memperkuat perubahan tersebut dapat dilakukan dengan cara menetapkan
aturan dan kebijakan baru, menciptakan budaya-budaya baru, dan menerapkan
sistem penghargaan terhadap perubahan tersebut. Dengan melakukan hal-hal
tersebut, maka perubahan tersebut mencapai titik stabil.
2. Model Perubahan John Kotter 8 Stages of Change5
Menurut John P. Kotter (Kotter, 1996), suatu tindakan perubahan yang dilakukan
tanpa dukungan koalisi yang cukup bisa jadi sukses namun tidak akan bertahan lama,
kemudian akan muncul perlawanan-perlawanan yang akan membuat usaha dari
perubahan menjadi lemah. Kotter mengungkapkan delapan langkah perubahan, yaitu:
1. Membangun rasa urgensi
Untuk perubahan terjadi, diperlukan agar seluruh perusahaan benar-benar
menginginkannya. Mengembangkan rasa urgensi sekitar perlunya perubahan dapat
membantu meningkatkan motivasi awal untuk mendapatkan sesuatu bergerak.
2. Membangun koalisi atau kelompok kerja untuk perubahan
Dalam meyakinkan orang bahwa perubahan diperlukan kepemimpinan yang kuat dan
didukung orang-orang penting dalam perusahaan. Tentu yang dimaksud koalisi ini
dalam konteks semangat positif untuk bersama-sama menuju perubahan yang
diinginkan, bukan untuk memenangkan suatu golongan atau parati tertentu dalam
konteks bernegara, misalnya. Mengapa koalisi diperlukan? Alasannya sederhana,
suatu perubahan butuh adanya keterlibatan dari individu-individu yang mengalami
perubahan.
3. Membangun visi dan strategi untuk perubahan
5
Desy Prastyani, Modul Manajemen Perubahan Dan Pengembangan (Ebm 513) Modul 10 Model Perubahan Kurt
Lewin Dan John Kotter, (Universitas Esa Unggul, 2020), 8 – 18.
7
Membangun visi untuk membantu kearah perubahan yang lebih baik,
mengembangkan strategi-strategi perubahan untuk mendorong visi dari perubahan.
Menurut Kotter kejelasan terhadap visi yang akan dicapai dalam menggawangi
perubahan merupakan hal yang tak boleh disepelekan.
4. Mengkomunikasikan visi perubahan
Menjadikan sarana komunikasi untuk mendukung visi dan strategi perubahan yang
baru. Mengajarkan perilaku-perilaku perusahaan yang baik kepada koalisi atau
kelompok kerja.
5. Memberdayakan tindakan yang menyeluruh (Empowerement)
Membuang rintangan-rintangan yang ada untuk perubahan. Sistem perubahan atau
struktur yang membangun visi. Mendorong untuk menghadapi tantangan dan ide-ide
pembaharuan, aktifitas-aktifitas dan kegiatan-kegiatan.
6. Menghasilkan kemenangan jangka pendek Perencanaan untuk meningkatkan
kemampuan individu.
Menciptakan ide-ide perbaikan untuk perubahan.
7. Mengkonsolidasi hasil dan mendorong perubahan yang lebih besar
Penggunaan angka kredit untuk sistem perubahan, struktur dan kebijakan, perekrutan,
promosi, pengembangan karyawan untuk perubahan.
8. Menambahkan pendekatan baru dalam budaya
Artikulasi hubungan antara perilaku baru dengan keberhasilan perusahaan,
peningkatan kualitas kepemimpinan dan kesuksesan.
8
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berpikir tentang perubahan sangat urgen bagi manusia, karena perubahan identik dengan
dinamika. Dengan dinamika itulah manusia akan dianggap eksis. Sebaliknya, kemandekan
identik dengan kematian. Dengan demikian, bukanlah kehidupan hakiki jika kehidupan tersebut
tidak diindikasikan dengan adanya pertumbuhan dan dinamika. Oleh karena itu, setiap umat,
bangsa, dan bahkan setiap individu mesti selalu berpikir (mengfungsikan akal dan mengolah
pikir) tentang perubahan, sekaligus melakukan aktivitas untuk merealisasikannya. Jika proses
perpikir dan upaya merealisasikan lenyap, maka itu artinya musibah, bahkan merupakan
malapetaka baginya.
Dalam memahami perubahan, terdapat metode yang dikembangkan oleh Kurt Lewin pada
tahun 1950-an. Metode Lewin atau sering disebut Lewin’s three step model mengacu pada tiga
konsep atau fase, yaitu unfreezing – movement – refreezing. Sedangkan menurut John P. Kotter
mengungkapkan delapan langkah perubahan, yaitu: Membangun rasa urgensi, membangun
koalisi atau kelompok kerja untuk perubahan, membangun visi dan strategi untuk perubahan,
mengkomunikasikan visi perubahan, memberdayakan tindakan yang menyeluruh
(empowerement), menghasilkan kemenangan jangka pendek, mengkonsolidasi hasil dan
mendorong perubahan yang lebih besar, menambahkan pendekatan baru dalam budaya.
9
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rachman Assegaf, “Reorientasi Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam dalam Perspektif
Hadharah Al-‘Ilm” dalam Ontologi Pendidikan Islam, Nizar Ali (ed.), Yogyakarta:
Penerbit Idea Press Yogyakarta, 2010.
Purwanggono, Cuk Jaka, Buku Ajar Pengantar Manajemen, Semarang: Fakultas Ekonomi
Universitas Wahid Hasyim, 2018.
Ali Mustopa, Tesis Magister: Manajemen Perubahan Lembaga Pendidikan Islam (Studi Kasus
Di Pesantren Fatḥul ‘Ulūmkwagean Kediri) Ponorogo, IAIN Ponorogo, 2018
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Ed. II, Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1999
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Cet. XIV: Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997
Jeff Davidson, Change Management. The Complete Adror's Duides, Jakarta: Prenada, 2005.
H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Muhammad Fadhil al-Jamali, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979
10
Muh. Nurul Huda, Transformasi Lembaga Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Daya Saing
(Studi Kasus Di Lembaga Pendidikan Islam Al-Munawar Tulungagung), Jurnal Al-Ibrah,
Vol. 1, No.1, Juni 2016.
Ahmad, La Ode Ismail, Wawasan al-Qur'an tentang Perubahan (Analisis Qur'aniy dengan
Metode Tafsir Tematik). "Jurnal Shaut Al-Arabiyah", 4 (1).
Desy Prastyani, Modul Manajemen Perubahan Dan Pengembangan (Ebm 513) Modul 10 Model
Perubahan Kurt Lewin Dan John Kotter, Universitas Esa Unggul, 2020.
11