Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN KOMPARASI FILSAFAT ISLAM DAN SEGITIGA FILOSOFI TVET

A. Latar Belakang
1. Dasar Filsafat Islam Tentang Pendidikan
Sebagai diketahui bahwa manusia adalah sebagai khalifah Allah di alam. Sebagai
khalifah, manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk melaksanakan pendidikan terhadap
dirinya sendiri, dan manusia pun mempunyai potensi untuk melaksanakannya. Dengan
demikian pendidikan meruapakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan merupakan
tanggung jawab manusia sendiri.
Untuk dapat mendidik diri sendiri, pertama-tama manusia harus memahami dirinya
sendiri. Apa hakikat manusia, bagaimana hakikat hidup dan kehidupannya. Apa tujuan
hidupnya dan apa pula tugas hidupnya. Problema berikutnya bahwa manusia berhadapan
dengan alam dan lingkungannya, dan manusia harus pula memahaminya. Bagaimana
hubungannya dengan alam dan lingkungan. Manusia hidup dalam masyarakatnya, di mana ia
harus menyesuaikan diri di dalamnya. Manusia hidup bersama dengan hasil cipta rasa dan
karsanya (kebudayaannya). Manusia hidup bersama keyakinan dan kepercayaannya, dengan
pengalaman pengetahuan yang diperolehnya dalam proses hidupnya. Sementara itu dari masa
ke masa, dari generasi ke generasi, nampak bahwa alam lingkungannya berubah,
berkembang, pengetahuan dan kebudayaannya pun berkembang, sehingga nilai-nilai pun
berubah pula. Dan tanpa dilihat dengan nyata, ternyata kualitas hidup dan kehidupannya pun
berangsur-angsur berubah menuju pada kesempurnaan (menjadi lebih baik).
Hal-hal tersebut, merupakan problema hidup dan kehidupan manusia. Jadi merupakan
problema pendidikan.
Menurut konsep pendidikan dalam islam (tarbiyah Islamiyah) bahwa pada hakikatnya
manusia sebagai khalifah Allah di alam, manusia mempunyai potensi untuk memahami,
menyadari dan kemudian merencanakan pemecahan problema hidup dan kehidupannya.
Manusia bertanggung jawab untuk memecahkan problema hidup dan kehidupannya sendiri.
Dengan kata lain Islam menghendaki agar manusia melaksanakan pendidikan diri sendiri
secara bertanggung jawab, agar tetap berada dalam kehidupan yang islami, kehidupan yang
selamat, sejahtera, sentosa yang diridai Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan tentang masalah hidup
dan kehidupan manusia sebagaiman dikemukakan di atas, memang merupakan tantangan
bagi manusia untuk menjawabnya. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan hakiki tersebut,
akan menjadi dasar bagi pelaksanaan dan praktek pendidikan. Ketepatan jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mampu merumuskan tujuan pendidikan secara tepat dan
hal ini akan mengarahkan usaha-usaha kependidikan yang tepat pula. Disinilah letak peranan
filsafat pendidikan.
2. Kedudukan Dan Fungsi Filsafat Dalam Islam
a. Rasio dan Penggunaannya
Al-Quran menyuruh menggunakan rasio atau akal
Anjuran menggunakan akal yang sangat banyak terdapat dalam Al-Quran, erat
kaitannya dengan eksistensi dan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah SWT di
atas muka bumi dengan tugas menciptakan kemakmuran, kedamaian dan ketentraman
di atas dunia.
Al-Quran menyuruh meneliti alam
Tujuan suruhan itu bukanlah supaya manusia dapat menaklukkan alam seluruhnya,
karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat jauh dari kemampuannya. Tetapi
dengan meneliti alam, manusia dapat mengambil manfaat dari alam ini untuk
kehidupannya. Dengan demikian, Al-Quran sesungguhnya merupakan stimulator dan
motivator bagi tumbuhnya Ilmu Pengetahuan, karena terbukti pula bahwa menuntut
Ilmu Pengetahuan adalah merupakan kewajiban bagi kaum muslimin laki-laki dan
perempuan. Selain itu dengan meneliti alam, manusia akan semakin mantap
keyakinannya terhadap eksistensi Pencipta dan Pemelihara alam serta
Kemahakuasaan-Nya.
Rasa dan Penggunaannya
Mendekatkan diri kepada Tuhan bukanlah dengan jalan akal, tetapi haruslah dengan
jalan rasa. Akal hanya mampu untuk mengetahui adanya Tuhan, sedangkan untuk
sampai kepada Tuhan dan merasakan nikmat-Nya berdekatan dan bertemu dengan-
Nya, haruslah dengan malalui pendekatan rasa.
Islam menghendaki keseimbangan berpikir dengan merasa. Kalau rasio yang terlalu
maju sendiri maka manusia akan pincang karena dunianya akan terlalu hebat serta
materinya mencapai kemajuan yang memuncak, tetapi hatinya kosong, moralnya
rusak. Sebaliknya jika rasa yang dominan, maka manusia akan terlalu menjurus ke
mistik dan terciptalah manusia-manusia yang melulu moralis tanpa kejayaan material,
sehingga dunia akan mundur.
Ilmu Filsafat adalah Hasil Pengembangan Daya Pikir
Berpikir adalah ciri khas manusia. Tetapi berpikir yang baik adalah berpikir yang
teratur, yang bertujuan untuk mencapai kebenaran di bidang pengetahuan.
Ilmu filsafat dapat dilihat dari dua sisi :
a. Sebagai Produk berpikir

b. Sebagai kegiatan dan pengembangan daya pikir.


Sifat Ilmu adalah relatif sehingga tidak ada istilah final dalam Ilmu Pengetahuan dan
karenanya Ilmu pengetahuan tetap dapat berkembang terus.
Anjuran untuk menggunakan daya pikir untuk menghasilkan Ilmu Pengetahuan
terdapat dalam Al-Quran seperti Surat Al-Baqarah (2):30: Az-Zumar (39):9; Al-
Mujadilah (58):11; dan lain-lain
Ilmu Sebagai Alat Pengembangan Daya Pikir
Al-quran menggunakan istilah-istilah; Itibar, Tadabbur,Mengakali, memikirkan
dengan akal, memandang dengan hati, membiasakan diri berpikir secara keilmuan
yang dapat mempertajam daya pikir.
Ilmu adalah Alat Mengolah Sumber untuk Mencapai Ridha Allah
Bumi dan segala isinya diciptakan oleh Allah memang diperuntukkan bagi manusia
(Q.S. 2:29)
Allah telah melengkapi penciptaan bumi dan alam ini dengan hukum-hukum serta
aturan-aturan yang memungkinkan manusia dapat mengolah dan memanfaatkannya
dengan baik (Q.S. 31:10)
Jadi pengolahan sumber-sumber alam (natural resources) adalah merupakan tugas
manusia dengan tujuan untuk kesejahteraan mereka sendiri dan utamanya untuk
mencapai ridho Allah.
Untuk mencapai ridha Allah, maka manusia harus selalu bersyukur kepadaNya dalam
arti memanfaatkan segala nikmat karuniaNya sesuai dengan ketentuan-ketentuanNya.

B. Permasalahan
Dari deskripsi yang dikemukakan pada latar belakang di atas, dapat diformulasikan
permasalahan sebagai berikut: Adakah Komparasi Filsafat Islam dan Segitiga Filosofi
TVET?
C. Pembahasan
1. Perbandingan Filsafat Islam dengan Sisi Esensialisme
Perkembangan pemikiran pendidikan Islam dapat dicermati dari pola pemikiran Islam
yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern, terutama dalam menjawab
tantangan perubahan zaman serta era modernitas. Tipologi pemikiran pendidikan Islam
menurut Muhaimin (2012: 103-104) dapat dibedakan dalam lima kategori yaitu: Tipologi
Perenial-Esensialis Salafi, Tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi, Tipologi Modernis,
Tipologi Perenial- Esensialis Kontekstual-Falsifikatif, Tipologi Rekonstruksi Sosial
Berlandaskan Tauhid.
a. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi Perenial-Esensial Salafi merupakan tipologi pemikiran pendidikan yang
menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat). Pendidikan
Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai ilahiyah
serta nilai-nilai insaniyah dan kebiasaan serta tradisi masyarakat salaf karena mereka
dipandang sebagai masyarakat ideal.
b. Tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan
memiliki kecenderuangan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin serta
pemahaman pemikiran-pemikiran masa lampau yang dianggap sudah mapan. Pendidikan
Islam berfungsi melestarikan dan mengembangkannya melalui upaya pemberian
penjelasan dan catatan-catatan dan kurang ada keberanian untuk mengganti substansi
materi pemikiran pendahulunya. Dalam hal ini pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya
untuk mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan tidak harus mempertimbangkan relevansinya dengan konteks
perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
c. Tipologi Modernis
Tipologi Modernis adalah tipologi filsafat pendidikan yang menonjolkan
wawasan kependidikan yang bebas modifikatif, progresif, dan dinamis dalam
menghadapi tuntutan serta kebutuhan dari lingkungannya. Sesuai dengan wataknya yang
bebas modifikatif, progresif, dan dinamis, tipologi modernis ini memandang fungsi
pendidikan Islam sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman terus-menerus agar
dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dengan
tuntutan serta kebutuhan dari lingkungan masa kini.
d. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi Rekonstruksi Sosial merupakan tipologi dalam filsafat pendidikan Islam
yang lebih mengedepankan sikap proaktif dan antisipatifnya dalam pengembangan
pendidikan. Dalam pandangan tpologi ini tugas pendidikan adalah membantu manusia
agar menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap
pengembangan masyarakat. Terkait dengan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan
menurut tipologi ini adalah sebagai upaya menumbuhkembangkan kreativitas peserta
didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan
ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
e. Tipologi Perenial- Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Aliran ini mengambil jalan tengah antara kebali ke masa lalu dengan jalan
melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan
kependidikan Islam masa kini selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan sosial. Pendidikan juga harus memberikan kesempatan kepada
individu-individu untuk dapat mengembangkan potensinya masing-masing dalam rangka
menemukan jati dirinya. Tipologi ini memandang fungsi pendidikan Islam sebagai upaya
mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai insaniyah sekaligus
menumbuhkembangkan dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
sosial kultural.
Sisi esensialisme menggambarkan bahwa TVET adalah pendidikan dan pelatihan
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Kurikulum TVET
diorganisir secara sekuensial, berpusat pada kebutuhan pelatih dalam bisnis atau
pengalaman terkait industry. Sistem pendidikan akademik dibuat terpisah.

2. Perbandingan Filsafat Islam Dengan Sisi Pragmatisme


Dalam islam tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh
Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada
pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah
segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabii (pembawaan)
manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi
dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan
adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
o Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan
Teologi.
o Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-
Araban bagi ilmu syariy, dan logika bagi ilmu filsafat.
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
o Ilmu aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio,
yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
o Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang
terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan karya-cipta khusus yang
telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi alim
(tahu) karena manusia belajar. Ibnu Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu
sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma,
tradisi) dan menjadikannya sebagai sumber otonom pengetahuan. Ia menyatakan bahwa
ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan
perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu
dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan
perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan
tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis
antara lain:
a. Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b. Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
c. Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.
Kemudia darin ekonomi Islam sangat mendorong produktivitas dan
mengembangkannya baik kuantitas maupun kualitas. Islam melarang menyia-nyiakan
potensi material maupun potensi sumber daya manusia. Bahkan Islam mengerahkan itu
untuk kepentingan produksi. Di dalam ekonomi Islam kegiatan produksi menjadi sesuatu
yang unik dan istimewa sebab didalamnya terdapat faktor itqan (profesionalitas) yang
dicintai Allah dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala sesuatu.
Sisi pragmatism menunjukkan tujuan TVET adalah untuk memenuhi seluruh
kebutuhan diri individu seseorang dalam persiapan kehidupannya. Karakteristik dasarnya
adalah menekankan pada kemampuan pemecahan masalah dan berpikir orde tinggi,
pembelajaran dikonstruksi dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki sebelumnya
untuk memecahkan masalah. Keseluruhan penguasaaan pengetahuan dalam proses
pembelajaran adalah untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam seluruh proses
menjalani kehidupan di masyarakat.
Sejalan dengan asas esensialisme, pemenuhan seluruh kebutuhan hidup seorang
manusia dalam hal ini secara halal dengan bekerja dalam Islam merupakan kewajiban dan
ibadah. Disamping dalam rangka memenuhi hajat hidupnya dan hajat hidup keluarganya,
tujuan dari bekerja juga untuk berbuat baik kepada kaum kerabatnya, memberikan
pertolongan kepada kaumnya yang membutuhkan, ikut berpartisipasi bagi kemaslahatan
umat, berinfak dijalan Allah dan menegakkan kalimah-Nya. Islam mendorong
pemeluknya untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi. Imam Baihaqi
meriwayatkan dari Ibnu Jubair bahwa seburuk-buruk perkara di dunia adalah
pengangguran. Bekerja merupakan symbol bagi kontribusi seorang muslim yang tak
kenal berhenti. Muslim harus selalu produktif dan memberikan sesuatu dalam hidup ini
hingga akhir hayatnya.

3. Perbandingan Filsafat Islam Dengan Sisi Pragmatisme (Reconstructionist Strand)


Menurut konsep pendidikan dalam islam (tarbiyah Islamiyah) bahwa pada
hakikatnya manusia sebagai khalifah Allah di alam, manusia mempunyai potensi untuk
memahami, menyadari dan kemudian merencanakan pemecahan problema hidup dan
kehidupannya. Manusia bertanggung jawab untuk memecahkan problema hidup dan
kehidupannya sendiri. Dengan kata lain Islam menghendaki agar manusia melaksanakan
pendidikan diri sendiri secara bertanggung jawab, agar tetap berada dalam kehidupan
yang islami, kehidupan yang selamat, sejahtera, sentosa yang diridai Tuhan.
Pada sisi pragmatism reconstructionist strand menyatakan bahwa tujuan TVET
adalah melakukan transformasi maasyarakat menuju masyarakat demokratis, membangun
masyarakat belajar, organisasi belajar, bersifat proaktif, tidak mengekalkan diri pada
praktik-praktik dunia kerja yang ada saat ini. Mengadopsi isu-isu dan masalah-masalah
ketidakadilan dan ketidakmerataan pekerjaan. Sisi ini mendukung pendidikan
kewirausahaan.
Tabel Perbandingan Segitiga Filsafat TVET dan Filsafat Islam dalam Pendidikan TVET

Karakteristik Dasar Filosofi Pendekatan Pendekatan Peran Guru


Pendidikan yang dapat Pembelajaran
Kejuruan ke dilakukan
Depan
Mengembangkan
kecakapan
kejuruan secara
profesional
Mengembangkan
kecakapan
berpikir, olah
rasa dan seni dan
memiliki
komitmen pada
moral yang
mulia
Mengembangkan
kemampuan
pemecahan
masalah
kehidupan nyata

Pandangan ini dapat dianggap sebagai kreasi filsafat yang berasal dari amerika.
Pragmatisme dipengaruhi oleh pandangan empirisme, utilitarianisme dan positivisme.
Para ahli yang mendukung timbulnya pragmatisme di Amerika adalah Charles Sanders
Piere (18391914) yang mengembangkan kriteria pragmatisme yakni tidak menemukan
kebenaran tetapi menemukan arti/kegunaan. William James (Sadulloh, 2003: 53)
memperkenalkan bahwa pengetahuan yang bermanfaat adalah yang didasari oleh
eksperimen (instrumentalisme). John Dewey (Sadulloh, 2003: 54) mengarahkan
pragmatisme sebagai filsafat sistematis Amerika dengan menyebarluaskan filsafat pada
masyarakat amerika yang terdidik. Menurut Dewey misi filsafat adalah Kritis,
konstruktif dan rekonstruktif. Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat
dikatakan benar apabila teori itu bekerja. Menurut James (Edwar, 2012: 1) kebenaran
adalah sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak
statis dan tidak mutlak.
Adapun implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Sadulloh: 2003: 56) adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat menyelesaikan hal-
hal baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.
2. Kurikulum dirancang dengan menggunakan pengalaman yang telah diuji namun
dapat diubah kalau diperlukan. Adapun minat dan kebutuhan peserta didik
diperhitungkan dalam penyusunan kurikulum.
3. Fungsi guru adalah mengarahkan pengalaman belajar perserta didik tanpa terlalu
mencampuri minat dan kebutuhannya.
Sedangkan implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Edwar, 2012: 1) adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang
tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi
a. Kesehatan yang baik
b. Keterapilan-keterampian dan kejujuran dalam bekerja
c. Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
d. Persiapan untuk menjadi orang tua
e. Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah social
2. Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisis demokrasi adalah tradisi memperbaiki
diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang baik
pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme
berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah
3. Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan
masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and
discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang
memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan
terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan
bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa
dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
4. Peranan Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan menuangkan pengetahuanya kepada
siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan
masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu
pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan
kebutuhan yang dirasakannya.
D. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai