A. PENGERTIAN PENDIDIKAN
B. HAKIKAT PENDIDIKAN
Hakikat dalam islam adalah kewajiban mutlak yang dibebankan kepada semua
umat islam, bahkan kewajiban pendidikan atau mencari ilmu dimulai semenjak bayi
dalam kandungan hingga masuk ke liang lahat. Seorang ibu yang sedang hamil
dianjurkan memperbanyak ibadah,membaca alquran, dan berdzikir kepada Allah
SWT karena akhlak ibu yang baik pda masa-masa hamil sangat besar pengaruhnya
kepada bayi dalam kandungan. Demikian pula, anak yang baru dilahirkan dibacakan
azan dan iqomat karena pendengaran sang bayi adalah alat indra pertama yaang
bekerja. Pendidikan agama menjadi bagian utama dalam pendidikan Islam (Zuhairini
dkk.,2004: 152). Oleh sebab itu, hakikat pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
hakikat pengajaran Al-Quran dan As-Sunah.
C. HAKIKAT PENDIDIK
Pendekatan individual
Pendekatan kelompok
Pendekatan bervariasi
Pendekatan edukatif
1. Pendidik kuttab.
Pendidik kuttab ialah pendidik yang mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak
di kuttab. Sebagian diantara mereka hanya mengajar membaca, menulis, dan
menghafal Al-Quran serta mengajar untuk kepentingan duniawi atau mencari
penghidupan saja sehingga kurang mendapat kehormatan dari masyarakat. Namun,
ada pula yang berilmu pengetahuan luas dan mengajar secara ikhlas sehingga
mendapat kehormatan dan penghargaan yang mulia. Diantara mereka seperti Al-
Hajaj, Al-Kumait, Al-Khatib Atha bin Abi Rabah, dan lain-lain.
2. Pendidik umum
3. Pendidik khusus
a) Korektor
b) Inspirator
c) Informator
d) Organisator
e) Motivator
f) Inisiator
g) Fasilitator
h) Pembimbing
i) Demonstator
j) Pengelola kelas
k) Mediator
l) Supervisor
m) Evaluator
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari
beberapa macam :
a) Anak didik adalah darah daging sendiri,orang tua adalah pendidik bagi anak-
anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
b) Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di
lembaga pendidikan formal maupun nonformal.
c) Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan
tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan
berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Keberhasilan belajar anak didik ditentukan tiga hal yang mendasar, yaitu:
a) Sikap anak didik yang mencintai ilmu dan para pendidiknya.
b) Sikap anak didik yang selalu konsentrasi dalam belajar.
c) Tumbuhnya sikap mental yang dewasa dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan
dalam kehidupan.
Filsuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James
dan John Dewey. Secara umum, pragmatisme berarti hanya idea yang dapat dipraktikan
yang benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada di dalam idea (seperti idea pada
Plato, pengertian umum pada Socrates, definisi pada Aristoteles), juga kebimbangan
terhadap realitas objek indra (pada Descartes), semua itu nonsense bagi pragmatisme.
Yang ada ialah apa yang real ada, demikian kata James tatkala ia membantah Zeno
yang mengaburkan arti gerak.
B. POSITIVISME DALAM ETIKA KEILMUAN
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang
dalam karya utama Auguste Comte adalah Course de Philosophic Positive, yaitu
Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan
faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita
tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Etika keilmuan yang menganut
positivisme akan mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta
yang konkret dan indrawi.
Hukum itu menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap
utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan teologis,
metafisik, dan postif.
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia,
yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat
singkatnya, pengetahuan absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan
oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural.
Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari pertaa, akal
budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan
abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-
abstraksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu menghasilkan semua
gejala.
Dalam fase terakhir, yaitu fase positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian
yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam
semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi
tentang hukum-hukumnya yaitu hubungan-hubungan urutan dan persamaannya
yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat,
merupakan sarana-sarana pengetahuan ini. (Doyle Paul Jhonson, 1987:85).