Anda di halaman 1dari 6

BAB 3

HAKIKAT PENDIDIKAN DAN ETIKA KEILMUAN

A. PENGERTIAN PENDIDIKAN

Pendidikan adalah suatu akivitas untuk mengembangkan seluruh aspek


kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Makna pendidikan yang lebih
hakiki adalah pembinaan akhlak manusia guna memiliki kecerdasan membangun
kebudayaan masyarakat yang lebih baik dan mampu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan terdapat proses timbal balik antara
pendidik, anak didik, ilmu pengetahuan dan keterampilan yang saling berbagi.

B. HAKIKAT PENDIDIKAN

Hakikat dalam islam adalah kewajiban mutlak yang dibebankan kepada semua
umat islam, bahkan kewajiban pendidikan atau mencari ilmu dimulai semenjak bayi
dalam kandungan hingga masuk ke liang lahat. Seorang ibu yang sedang hamil
dianjurkan memperbanyak ibadah,membaca alquran, dan berdzikir kepada Allah
SWT karena akhlak ibu yang baik pda masa-masa hamil sangat besar pengaruhnya
kepada bayi dalam kandungan. Demikian pula, anak yang baru dilahirkan dibacakan
azan dan iqomat karena pendengaran sang bayi adalah alat indra pertama yaang
bekerja. Pendidikan agama menjadi bagian utama dalam pendidikan Islam (Zuhairini
dkk.,2004: 152). Oleh sebab itu, hakikat pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
hakikat pengajaran Al-Quran dan As-Sunah.

C. HAKIKAT PENDIDIK

Pendidik, disebut juga dengan guru, merupakan unsur manusiawi dalam


pendidikan. Guru adalah figur manusia yang diharapkan kehadiran dan perannya
dalam pendidikan, sebagai sumber yang menempati posisi dan memegang peranan
penting dalam pendidikan. Dalam interaksi edukatif yang berlangsung antara pendidik
dan anak didik atau guru dan murid-muridnya telah terjadi interaksi yang bertujuan.
Guru dan anak didiklah yang menggerakkannya. Interaksi yang bertujuan itu
disebabkan gurulah yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang bernilai
edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin memberikan layanan
yang terbaik kepada anak didik, dengan menyediakan lingkungan yang
menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik
dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang
harmonis antara guru dengan anak didik. (Syaiful Bahri Djamarah,2005:5).

Syaiful Bahri Djamarah (2005:6-8) menjelaskan bahwa hubungan interaktif


antara pendidik dan anak didik atau guru dan murid yang telah sekian lama
berlangsung, menggunakan beberapa pendekatan, yaitu sebagai berikut.

 Pendekatan individual
 Pendekatan kelompok
 Pendekatan bervariasi
 Pendekatan edukatif

Menurut Athiyah Al-Abrasyi, pendidik itu ada tiga macam, yaitu:

1. Pendidik kuttab.
Pendidik kuttab ialah pendidik yang mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak
di kuttab. Sebagian diantara mereka hanya mengajar membaca, menulis, dan
menghafal Al-Quran serta mengajar untuk kepentingan duniawi atau mencari
penghidupan saja sehingga kurang mendapat kehormatan dari masyarakat. Namun,
ada pula yang berilmu pengetahuan luas dan mengajar secara ikhlas sehingga
mendapat kehormatan dan penghargaan yang mulia. Diantara mereka seperti Al-
Hajaj, Al-Kumait, Al-Khatib Atha bin Abi Rabah, dan lain-lain.
2. Pendidik umum

Pendidik umum ialah pendidik pada umumnya, ia mengajar di lembaga-


lembaga pendidikan dan mengelola atau melaksanakan pendidikan Islam secara
formal, seperti madrasah, pondok pesantren, pendidikan di masjid, surau, ataupun
pendidikan informal seperti keluarga.

3. Pendidik khusus

Pendidik khusus atau seringkali disebut muadib, yaitu pendidik yang


memberikan pelajaran khusus kepada seorang atau lebih dari seorang anak pembesar,
pemimpin negara atau khalifah seperti pendidikan yang dilaksanakan di rumah-rumah
tertentu di istana.
Guru bertugas dan berperan sebagai berikut :

a) Korektor
b) Inspirator
c) Informator
d) Organisator
e) Motivator
f) Inisiator
g) Fasilitator
h) Pembimbing
i) Demonstator
j) Pengelola kelas
k) Mediator
l) Supervisor
m) Evaluator

D. HAKIKAT ANAK DIDIK

Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari
beberapa macam :

a) Anak didik adalah darah daging sendiri,orang tua adalah pendidik bagi anak-
anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
b) Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di
lembaga pendidikan formal maupun nonformal.
c) Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan
tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan
berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Keberhasilan belajar anak didik ditentukan tiga hal yang mendasar, yaitu:
a) Sikap anak didik yang mencintai ilmu dan para pendidiknya.
b) Sikap anak didik yang selalu konsentrasi dalam belajar.
c) Tumbuhnya sikap mental yang dewasa dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan
dalam kehidupan.

Pendekatan filosofis dalam memahami karakteristik anak didik adalah tiga


perbedaan anak didik yang dihadapi. Tiga perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Perbedaan Biologis
Perbedaan biologis berkaitan dengan keadaan jasmani anak didik karena tidak
semua anak didik memiliki jasmani yang normal, mungkin ada yang tubuhnya cacat,
dan keadaan biologis lainnya. Jika pendidik kurang memerhatikan perihal tersebut,
pendidikan berjalan kurang sempurna.
2. Perbedaan intelektual
Inteligensi adalah kemampuan untukmemahami dan beradaptasi dengan
situasi yang baru dengan cepat dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep
yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan
mempelajarinya dengan cepat.
Untuk mengetahui tinggi rendahnya inteligensi seseorang, dikembangkanlah
instrumen yang dikenal dengan istilah tes inteligensi dan gambaran mengenai hasil
pengetesan kemudian dikenal dengan intellegence quotient, disingkat dengan IQ.
3. Perbedaan psikologis
Keadaan psikologis anak didik dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,
lingkungan sosial, dan tentu oleh lingkungan sekolahnya. Para pedidik secara
langsung dapat memengaruhi psikologis anak didik, misalnya pendidik yang terkesan
galak, mudah tersinggung dan kurang kreatif, akan menyebabkan anak didiknya
menjadi kurang menyukai mata pelajaran yang disampaika atau kurang menyukai
pendidiknya secara pribadi. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergitas antara anak didik
dengan semua lingkungan disekitarnya.
BAB 4

ETIKA KEILMUAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A. ETIKA PRAGMATIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Filsuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James
dan John Dewey. Secara umum, pragmatisme berarti hanya idea yang dapat dipraktikan
yang benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada di dalam idea (seperti idea pada
Plato, pengertian umum pada Socrates, definisi pada Aristoteles), juga kebimbangan
terhadap realitas objek indra (pada Descartes), semua itu nonsense bagi pragmatisme.
Yang ada ialah apa yang real ada, demikian kata James tatkala ia membantah Zeno
yang mengaburkan arti gerak.
B. POSITIVISME DALAM ETIKA KEILMUAN
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang
dalam karya utama Auguste Comte adalah Course de Philosophic Positive, yaitu
Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan
faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita
tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Etika keilmuan yang menganut
positivisme akan mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta
yang konkret dan indrawi.
Hukum itu menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap
utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan teologis,
metafisik, dan postif.
 Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia,
yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat
singkatnya, pengetahuan absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan
oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural.
 Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari pertaa, akal
budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan
abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-
abstraksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu menghasilkan semua
gejala.
 Dalam fase terakhir, yaitu fase positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian
yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam
semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi
tentang hukum-hukumnya yaitu hubungan-hubungan urutan dan persamaannya
yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat,
merupakan sarana-sarana pengetahuan ini. (Doyle Paul Jhonson, 1987:85).

C. ETIKA KEILMUAN PADA ZAMAN RENAISSANCE DAN HUMANISME


Istilah Renaissance berasal dari bahasa Perancis yang berarti kebangkitan
kembali. Para sejarawan menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan berbagai
periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa. Orang yang
pertama menggunakan istilah tersebut adalah Jules Michelet, seorang sejarawan
Perancis yang terkenal. Menurutnya, Renaissance ialah periode penemuan manusia
dan dunia, bukan bukan sekedar kebangkitan kembali yang merupakan permulaan
kebangkitan modern.
Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes
(1596-1650 M) untuk memberikan suatu bangunan yang baru kepada filsafat.
Humanisme dan Individualisme merupakan ciri Renaissance yang penting.
Humanisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya. Ini
suatu pandangan yang tidak menyenangkan bagi orang-orang yang beragama. Oleh
karena itu, zaman itu sering disebut sebagai zaman humanisme.
Etika keilmuan yang harus dibangun adalah sebagai berikut :
1. Semua ilmu bersumber dari Allah SWT. Karena Allah Rabbul alamin.
2. Semua ilmu wajib digali dan dicari sebanyak mungkin karena Islam mewajibkan
mencari ilmu sejak manusia dari buaian hingga ke liang lahat.
3. Setiap ilmu yang dimiliki sekecil apapun harus diamalkan dalam hidup.
4. Setiap ilmu yang dimiliki harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan
menolong orang-orang yang masih bodoh atau awam.
5. Setiap ilmu yang dimiliki harus disebarkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan
umum.
6. Setiap ilmu yang dikembangkan harus mempermudah usaha manusia dalam
mempertahankan kehidupannya dan tidak mendatangkan kemadharatan.

Anda mungkin juga menyukai