Anda di halaman 1dari 2

Pengembangan Intelektual sebagai Acuan Mentransformasikan Pola

Berpikir Masyarakat Islam.


Oleh Aditiya Prasetiyo

Masyarakat Islam senantiasa memiliki sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi nilai-
nilai kebajikan yang diajarkan oleh Islam. Setiap anggota masyarakatnya memainkan peran
masing-masing untuk membangun masyarakat secara harmonis dengan mencerminkan
kerukunan.1 Dalam pola keharmonisannya, terkadang masyarakat masih berpikir kolot dalam
meraih kerukunannya. Alhasil, masyarakat akan menjadi stagnan ketika dihadapkan dengan
tantangan zaman. Ada sesuatu yang mesti diubah dalam pola berpikirnya, yaitu intelektual
berlandaskan Islam. Pada dewasa ini, agama Islam kerap kali dianggap sebagai agama yang
kasar. Sejatinya itu disebabkan oleh salah satu faktor seorang muslim yang tidak mampu
dalam mengembangkan pemikirannya sesuai dengan kondisi lingkungan hari ini. Maka dari
itu, perlu adanya pengembangan intelektual yang benar dan dilakukan secara kontinyu hingga
mencapai titik kata “kewajiban” seorang muslim untuk mengupgrade dirinya.
Dalam pengembangannya, diperlukan perangkat modal intelektual sebagai asas
perubahan. Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses (key success
factor) yang penting dan karenanya bakal semakin menjadi suatu pumpunan perhatian dalam
kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini dibasiskan di
atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi
yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and
Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen). Namun, pengalaman-pengalaman pada aras
mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada konteks kemasyarakatan atau
pembangunan pada umumnya. Untuk pertama mungkin dapat merujuk dari fenomena
pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan.
Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan
pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society). Dalam era masyarakat
tipe tersebut, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan
berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak
perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan
(knowledge worker) menjadi aktor utamanya.2 Hal ini berelevansi dengan fungsi manusia di
muka bumi, yakni sebagai khalifah yaitu membangun dan mengelola segala potensi alam
sesuai dengan kehendak Allah SWT.3
Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat yang tinggi,
bertanggung jawab atas segala yang diperbuat, serta merupakan makhluk pemikul amanat
yang berat. Apapun perbuatan manusia, termasuk di dalamnya perbuatan hina,
karakteristiknya tetap dihargai sebagai manusia, bukan diidentikkan dengan hewan, walaupun

1
Diponegoro, M. (2020). Al-Qur’an dan Karakteristik Masyarakat Muslim. Jurnal Keislaman, 3(2), 148-158.
2
Diungkapkan Drucker bahwa, the basic economic resource… is and will be knowledge… (dalam Malhotra
2003). Knowledge is now fast becoming the sole factor of production, sidelining both capital and labor (dalam
Boudreau and Ramstad 1996).
3
Sami’uddin, “FUNGSI DAN TUJUAN KEHIDUPAN MANUSIA”. PANCAWAHANA: Jurnal Studi Islam
Vol.14, No.2, Desember 2019
seperti (perbuatan) hewan dari segi sifatnya, tetapi substansinya tetap berbeda. 4 Dalam pola
berpikir pun manusia diberikan ilham berupa akal oleh Allah SWT dalam melakukan
perbaikan di lingkungan demi terciptanya lingkungan dengan pola berpikir yang baik. Oleh
mahasiswa PMI, tentunya fenomena tersebut menjadikan ladang sebagai dakwah, yakni
dengan intelektualisasi terhadap pola pikir masyarakat yang tergolong kolot dalam
menerapkan nilai-nilai Islamnya.
Intelektualisasi ini dapat berupa memberikan pemahaman bahwasanya agama Islam
itu agama yang luas dan sempurna, tanamkan pemahaman tersebut ke dalam benak
masyarakat. Lalu bisa pula berbentuk implementasi dalam memunculkan karakteristik
seorang muslim di lingkungan, sehingga mereka akan berpikir bahwasanya mahasiswa PMI
ini benar-benar membawakan nilai keislaman yang modern. Kemudian dapat pula berbentuk
membawakan diskusi-diskusi kecil dengan stackholder masyarakat. Hal demikianlah yang
bisa memacu pola pikir masyarakat untuk berubah.
Pada dasarnya, kegiatan intelektualisasi perlu adanya dalam mengubah pola pikir
masyarakat yang kolot menjadi lebih modern. Mahasiswa PMI yang di ilhami oleh Tuhan
datang sebagai utusan untuk mengelola kerangka berpikir masyarakat yang masih kurang
baik, seperti jauh dari karakteristik seorang muslim. Dalam penerapannya pun mesti
didampingi mahasiswa PMI, agar masyarakat terbiasa dengan perubahan-perubahan yang
dibawa mahasiswa PMI. Ketika sudah terbiasa, maka akan timbul keharusan masyarakat
untuk memiliki intelektual yang mempuni seperti seorang muslim sejati.

4
Ibid, Sami’uddin,.

Anda mungkin juga menyukai