Anda di halaman 1dari 55

KUMPULAN ARTIKEL INSISTS.CO.

ID

“50 HALAMAN
ARTIKEL PENDIDIKAN
INSISTS.CO.ID”
Dikumpulkan Oleh : ESP

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................. 2


Tujuan Pendidikan Dalam Islam ................................................................................................ 3
Reformasi Pendidikan Indonesia Memerlukan Lima Hal Penting –Catatan INSISTS
Saturday Forum (INSAF) 5/1/2019 ............................................................................................. 4
Epistemologi Pendidikan Pancasila ............................................................................................ 6
Pendidikan Karakter .................................................................................................................. 10
Pendidikan Karakter Barat ....................................................................................................... 12
Enam Prinsip Pendidikan Karakter Islami .............................................................................. 14
Pendidikan Islam Pasca 9/11 ..................................................................................................... 18
Pendidikan Multikulturalisme Perspektif Islam ..................................................................... 20
Pendidikan Spiritual? ................................................................................................................. 24
Pendidikan Karakter: Apa Lagi? .............................................................................................. 26
Jangan Lupa Tujuan Pendidikan ................................................................................................ 30
Merusak Pendidikan Agama ..................................................................................................... 34
Pemikiran Modern Ala Barat : Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia ..................... 38
Pendidikan Agama Kita ............................................................................................................... 44
Perlukah Pendidikan Berkarakter? .......................................................................................... 47
Dunia Pendidikan dan Misi Kristen.......................................................................................... 51

2
Tujuan Pendidikan Dalam Islam

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang
bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas,
namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab.
Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab,
terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup
dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang
terjadi.

Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi
dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang
bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan
dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar”
dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini
dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak
didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan
mereka sebagai individu-individu yang beradab.

Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari
paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang
tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari
hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki
pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang
baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan
rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang
pragmatis.

Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding
dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki
paradigma yang pragmatis.

Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan,
diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada
dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan
manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi pendidikan
memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya
manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Dalam pandangan Islam, manusia
bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh
sebab itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki
kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang

3
memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan
mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan
anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat dan jiwa
yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas,
yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan.

Oleh sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan seyogianya
dibangun di atas Wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum yang ada perlu
mencerminkan memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan hati. Pandangan hidup Islam
perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang kehidupan.

Dalam Islam, Realitas dan Kebenaran bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan
keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep
Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran
didasarkan kepada dunia yang nampak dan tidak nampak; mencakup dunia dan akhirat, yang aspek
dunia harus dikaitkan dengan aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan
final. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam).

Jadi, institusi pendidikan Islam perlu mengisoliir pandangan hidup sekular-liberal yang tersurat
dan tersirat dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan modern saat ini, dan sekaligus memasukkan unsur-
unsur Islam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Dengan perubahan-perubahan
kurikulum, lingkungan belajar yang agamis, kemantapan visi, misi dan tujuan pendidikan dalam Islam,
maka institusi-institusi pendidikan Islam akan membebaskan manusia dari kehidupan sekular menuju
kehidupan yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Institusi–institusi pendidikan
sepatutnya melahirkan individu-individu yang baik, memiliki budi pekerti, nilai-nilai luhur dan mulia,
yang dengan ikhlas menyadari tanggung-jawabnya terhadap Tuhannya, serta memahami dan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada dirinya dan yang lain dalam masyarakatnya, dan
berupaya terus-menerus untuk mengembangkan setiap aspek dari dirinya menuju kemajuan sebagai
manusia yang beradab.

Reformasi Pendidikan Indonesia Memerlukan Lima Hal Penting –Catatan


INSISTS Saturday Forum (INSAF) 5/1/2019

Tujuan pendidikan dalam Islam ialah membentuk manusia yang baik, sehingga manusia yang
baik itulah yang pada gilirannya mewujudkan masyarakat. Tetapi tujuan yang luhur ini justru asing di
kalangan terpelajar. “Betapa banyak sarjana yang tidak paham tujuan menuntut ilmunya, terutama
setelah lulus. Mereka terserang kondisi kebingungan,” demikian ungkap Dr. Adian Husaini, dalam
INSISTS Saturday Forum (INSAF) pekan lalu (5/1).

Kekacauan pendidikan hari ini masih harus ditambah dengan gelombang globalisasi
pendidikan dan Revolusi Industri 4.0. Tuntutan yang bergema mengacu pada pemenuhan kebutuhan
tenaga kerja semata. Ironisnya, fakta di lapangan mengemukakan bahwa perusahaan sulit mendapat

4
tenaga kerja siap pakai meski sarjana di Indonesia berlimpah. Berdasar penelitian yang termuat dalam
tulisan Prof. Satrio Sumantri Brojonegoro, Mempertanyakan Cetak Biru Pendidikan Indonesia,
karyawan Indonesia 92% sangat lemah dalam membaca, 90% lemah dalam menulis, 84% lemah dalam
etos kerja, 83% lemah dalam kemampuan komunikasi, dan 82% lemah dalam kemampuan bekerja
dalam tim. Kemampuan critical thinking, creativity, communication, dan collaboration sangat
diperlukan untuk berkembang di setiap kondisi zaman, terlebih era disrupsi.

Pemerintah menyatakan bahwa solusi kondisi demikian ialah dengan pendidikan karakter yang
tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan; moral knowing (knowing the good), moral feeling
(desiring the good), dan moral behavior (doing the good). “Pertanyaannya, apa rujukan dari standar
‘kebaikan’ tersebut?” tanya Dr. Adian. Jika mengacu pada konstitusi kita, Manusia Indonesia ideal
menurut UUD 1945 Pasal 31(c), UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Permendikbud No 20/2016 tentang Standar Kompetisi Lulusan menjadikan iman, takwa, dan akhlak
sebagai unsur utama. Pasal 31 tersebut dengan terang berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Konsep pendidikan demikian bahkan sudah lama dicanangkan pula oleh para tokoh-tokoh
pendidikan Indonesia terdahulu, di antaranya Ki Hajar Dewantara bahwa intisari pendidikan adalah
penanaman adab. Ki Hajar memberikan pengakuan yang besar pada system pendidikan pesantren yang
mengutamakan penanaman adab itu dalam waktu yang lama. KH. Hasyim Asy’ari mengikuti
pandangan Imam Ghazali, menyampaikan bahwa jika seseorang tidak beradab maka bisa menjadi
orang yang lebih buruk dari itu, yakni tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid. KH. Ahmad
Dahlan, A. Hassan, Raja Ali Haji, dan Moh. Natsir termasuk tokoh muslim yang berjuang
mengembangkan dunia pendidikan Indonesia.

Sebagai solusi, tutup Dr. Adian, reformasi pendidikan Indonesia memerlukan lima hal penting.
Pertama, reformasi worldview, yakni berlandasan pada pandangan Islam mengenai konsep-konsep
pendidikan, ilmu, kebahagiaan, tujuan hidup, dan seterusnya. Kedua, redefinisi istilah, ialah meletakkan
definisi secara tepat mengenai istilah pendidikan, ilmu, kebahagiaan, kesuksesan, dan lainnya. Ketiga,
reformasi kurikulum yakni kurikulum takwa, yang mengacu pada model konsep ilmu dan adab.
Keempat, reformasi kelembagaan, yaitu memberikan otonomi yang luas kepada lembaga pendidikan
dan pemberdayaan keluarga. Terakhir, reformasi pendidikan dan kedudukan guru.

Penulis : Isna Nur Fajria, Rizqi Fadhila, Syaidina Sapta Wilandra


Penyunting : Ismail Al-‘Alam

5
Epistemologi Pendidikan Pancasila

Oleh: Dr. Adian Husaini

Epistemologi, biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas tentang ilmu
pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Secara ringkas, epistemologi disebut sebagai ”theory
of knowledge”. (Lihat, J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kasinisius, 2002)).

Epistemologi berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih
ilmu. Sementara itu, knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar
dalam kehidupan manusia. Kaitan dengan judul tulisan ini ialah upaya untuk menggali konsep-konsep
atau ilmu pendidikan berdasarkan Pancasila. Kajian ini penting, karena berbagai pihak saat ini sedang
gencar-gencarnya bicara tentang Pancasila.

Jika ingin menyusun konsep pendidikan yang khas Indonesia berbasis Pancasila, sepatutnya
berangkat dari makna kata-kata penting dalam Pancasila dan juga konteks sejarah penyusunan naskah
Pembukaan UUD 1945, yang memuat naskah Pancasila. Jangan berangkat dari angan-angannya
sendiri.

Ambillah contoh sila kedua: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Para petinggi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu hafal betul bunyi sila tersebut. Tapi, bagaimana sepatutnya
kita memahami sila kedua itu? Apa arti kata ”kemanusiaan”, ”adil” dan juga kata ”beradab” dalam sila
tersebut? Mengapa rumusannya bukan: ”Kemanusiaan yang berbudaya”, atau ”Kemanusiaan yang
berbudi luhur”, atau ”Kemanusiaan yang berkarakter”? Mengapa?

Seperti diketahui, rumusan sila kedua itu merupakan bagian dari ’Piagam Jakarta’ yang
dilahirkan oleh Panitia Sembilan BPUPK, tahun 1945, dan kemudian disahkan lalu diterima
rumusannya oleh bangsa Indonesia, sampai hari ini. Sila kedua ini juga lolos dari sorotan berbagai
pihak yang keberatan terhadap sebagian isi Piagam Jakarta, terutama rumusan sila pertama yang
berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Jika dicermati, rumusan sila kedua Pancasila itu menunjukkan kuatnya pengaruh ’Pandangan
alam Islam” (Islamic worldview). Makna sila kedua itu sangat berbeda dengan rumusan yang diajukan
oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Bung Karno mengusulkan “lima
sila” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau
Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.

Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan yang
seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan
kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah yang bisa
menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat?

6
Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”. Sebab, kedua istilah itu – adil dan adab – merupakan
istilah yang berasal dari kosa kata dasar Islam (Islamic basic vocabularies). Cobalah simak dan cermati,
apakah ada padanan kata yang tepat untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di
wilayah Nusantara? Hingga kini! Apakah bahasa Jawanya kata ”adil”? Apakah bahasa Sundanya kata
”adab”? Bagaimana kita harus menerjemahkan sila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” ke dalam
bahasa Jawa?

Bisa disimpulkan, kedua istilah dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang
hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan karena itu penelusuran makna hakikinya tentu ditemukan
dalam pandangan alam (worldview) Islam. Minimal, tidaklah salah, jika orang Muslim Indonesia
menafsirkan kedua istilah itu secara Islami. Rumusan sila kedua Pancasila itu menunjukkan, bahwa
Pancasila sejatinya bukan sebuah konsep sekular atau konsep netral agama, sebagaimana sering
dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini.

Masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi
yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam pada rumusan Pembukaan
UUD 1945, yang memuat rumusan Pancasila. Itu juga ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah
kunci lain yang maknanya sangat khas Islam, seperti kata “hikmah” dan “musyawarah”.

Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai
contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil
dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang
dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).

Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak
membahas makna adab dalam pandangan Islam. Kata adab bisa ditemukan dalam sejumlah hadits
Nabi saw. Misalnya, Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Akrimū
aulādakum, wa-ahsinū adabahum.” Artinya, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka. (HR Ibn Majah).

Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul Ādabul
’Ālim wal-Muta’allim. Kyai Hasyim Asy’ari sangat menekankan pentingnya adab dalam ajaran Islam.
Beliau menulis:”At-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu
al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba,
faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul
Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H).

Jadi, menurut Kyai Hasyim, ”Siapa yang tidak mempunyai adab, sejatinya ia tidak bersyariat,
tidak beriman, dan tidak bertauhid.” Begitulah pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam,
sehingga aspek keimanan dan syariat pun perlu menyertakan adab. Dari judul Kitab Kyai Hasyim
Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, bisa dipahami, bahwa penerapan adab harus dimulai dari dunia
pendidikan. Sebab, itulah pondasi pembangunan manusia beradab dan juga asas untuk mewujudkan
peradaban mulia.

7
-

Begitu jelasnya bunyi sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab! Konsep adil dan adab itu
juga sejalan dengan pasal 31 ayat 3 UUD 1945: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Berikutnya, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun


2012 tentang Pendidikan Tinggi pun menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Jadi, ada keterpaduan konsep
tentang manusia Indonesia ideal – yang menjadi tujuan pendidikan — antara Pancasila, UUD 1945,
UU Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan yang tinggi.

Untuk membentuk ”insan mulia” — manusia adil dan beradab, atau manusia bertaqwa – itulah
tugas dunia pendidikan di Indonesia. Tujuan itu tidak mungkin diraih tanpa bimbingan wahyu Tuhan
Yang Maha Esa (Allah SWT). Maka, logisnya, konsep pendidikan dan keilmuan yang dikembangkan
dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, sepatutnya tidak bertentangan dengan
konsep pendidikan Nabi Muhammad saw – khususnya bagi orang Indonesia yang muslim.

Maka, sesuai dengan istilah penting dalam Pancasila, UUD 1945, dan UU Pendidikan Nasional,
seharusnya yang dikembangkan dan diaplikasikan adalah konsep pendidikan adab dan akhlak; bukan
konsep pendidikan karakter. Pendidikan adab dan akhlak mengacu kepada al-Quran, Sunnah, dan
tradisi pendidikan para ulama Islam, tanpa mengabaikan nilai-nilai positif pada budaya lokal.

Pendidikan adab dan akhlak juga punya suri tauladan (uswah hasanah) yang jelas, yaitu Nabi
Muhammad saw. Tentu bukan tanpa maksud, jika sejak era Bung Karno, dilanjutkan oleh Pak Harto
dan seterusnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad saw dilaksanakan di Istana Negara.

Dalam biografinya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran, (Jakarta: Kompas, 2006), saat
menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef mengaku pernah mengusulkan
kepada Presiden Soeharto agar di Istana Negara juga diadakan Perayaan Natal, bukan hanya Perayaan
Maulid Nabi Muhammad saw. Karena usulnya tidak dikabulkan Pak Harto, maka ia mengadakan
Perayaan Natal Bersama di Departemen P&K yang dipimpinnya.

Apakah adil dan beradab, jika Nabi Muhammad saw diperingati hari lahirnya, tetapi tidak
dijadikan sebagai suri tauladan dalam pendidikan dan kehidupan? Padahal, beliau diutus untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam. (QS 21:107). Beliau adalah manusia dengan akhlak paling mulia dan
sempurna. (QS 68:4).

Jadi, sangatlah adil dan beradab, jika kepada anak-anak muslim diajarkan konsep pendidikan
akhlak, dengan Nabi Muhammad saw sebagai contoh utamanya. Siapa manusia yang bisa dijadikan
suri tauladan dalam pendidikan karakter? Adakah manusia Indonesia yang berani mengaku ia lebih
hebat akhlaknya daripada Nabi Muhammad saw?

8
Epistemologi beradab

Merujuk kepada Pancasila dan UUD 1945, sepatutnya, Filsafat ilmu yang dijadikan sebagai
pijakan konsep pendidikan nasional Indonesia harusnya bukan Filsafat Ilmu sekuler, yang
mengabaikan atau mengecilkan konsep keilmuan berbasis wahyu (revealed knowledge). Dalam Aqaid
Nasafiah dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga: dengan panca indera, khabar shadiq
(termasuk wahyu), dan akal sehat.

Adab dalam keilmuan mengharuskan bahwa ilmu wahyu yang bersifat pasti (’ilm), tidak bisa
digusur oleh ilmu inderawi (empiris) yang bersifat dugaan dan spekulatif. Misal, teori bahwa manusia
Indonesia adalah keturunan Nabi Adam a.s., tidak bisa dikalahkan oleh ”teori” bahwa manusia
Indonesia berasal dari ’hominid’ (sebangsa kera).

Sebab, hingga kini, tidak ada seorang manusia pun bisa membuktikan, bahwa kera bisa menjadi
manusia. Atau, tidak ada manusia yang bisa membuktikan bahwa dirinya pernah menjadi kera. Pun,
hingga kini, belum ada profesor yang kawin dengan kera dan kemudian memiliki anak, 75% kera dan
25% manusia. Silakan buktikan!

Contoh lain adalah pelajaran tentang teori ”kebutuhan manusia”. Hingga kini, masih juga
diajarkan, bahwa kebutuhan primer manusia adalah makan, minum, sandang, dan papan. Belum
diajarkan di sekolah-sekolah bahwa yang juga termasuk dalam kebutuhan primer manusia adalah
berzikir kepada Allah SWT. Padahal, ayat al-Quran begitu jelas pesannya: ”Ingatlah, dengan berzikir
kepada Allah, hati akan menjadi tenang!” (QS 13:28). Jadi, berzikir itu merupakan kebutuhan primer
manusia, karena kebutuhan manusia bukan hanya aspek fisik!

Lagu Indonesia Raya mengamanahkan: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Logisnya,


pemerintah kemudian mengembangkan konsep pembangunan jiwa bangsa, agar bangsa ini sehat jiwa
dan raganya; agar jiwanya jauh dari ciri utama manusia Indonesia – yakni MUNAFIK – sebagaimana
dipidatokan oleh budayawan Mochtar Lubis, di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Kata Mochtar
Lubis: “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK.
Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah
sejak lama…”

Al-Quran menyebut, bahwa ”pembangunan jiwa insan” itu adalah ”tazkiyatun nafs”. Manusia
yang beruntung adalah yang membersihkan jiwanya, dan manusia yang celaka adalah yang mengotori
jiwanya. (QS 91:9-10). Maka, sungguh tidak adil dan beradab, jika konsep pembangunan jiwa al-Quran
tidak diajarkan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi.

Meskipun bukan secara tegas ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara Islam, tetapi para
perumus Pembukaan UUD 1945, seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Wahid Hasyim, Haji Agus
Salim, dan sebagainya, telah berjuang agar negara ini berdasar kepada Ketuhanan Yang maha Esa.
Apalagi, Pak Jokowi, Pak Muhajir, Pak Nasir, Pak Yudi Latif, dan para pimpinan negeri ini adalah

9
muslim. Semua mereka, dan kita semua, kelak akan berdiri di depan Satu-Satunya Hakim yang Maha
adil, yaitu Allah SWT; mempertanggung jawabkan kebijakan dan amal kita.

Indah sekali pesan pujangga besar, Raja Ali Haji dalam Gurindam 12:
”Barangsiapa tiada memegang agama, maka sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama!” Wallahu a’lam
bish shawab.

Pendidikan Karakter

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika anak-anak sekolah hobi tawuran hingga baku bunuh; di saat anak-anak remaja
kecanduan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba); manakala kasus perkosaan biasa menimpa
remaja wanita bahkan anak-anak dibawah umur, orang lalu bertanya salah siapa?

Jika orang mencari kesalahan tuduhan pertama tentu mengarah pada pendidikan sekolah. Tapi
pihak sekolah pasti akan mengkritik pendidikan orang tua. Orang tua pun merasa tidak berdaya
melawan pengaruh kehidupan masyarakat yang rusak. Seperti sebuah lingkaran, orang tidak segera
menemukan sebab awalnya.

Kini solusi yang ditawarkan adalah pendidikan karakter (character education) yang dibebankan
ke pundak sekolah. Di Amerika pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelum terjadi hura hara
kekerasan di sekolah-sekolah Amerika, Horce Mann, tokoh pendidikan Amerika, sudah mendukung
dan mengarahkan adanya program pendidikan karakter di sekolah. Tapi ia bersama tokoh pendidikan
abad 20 ragu pendidikan karakter ini akan mengarah pendidikan moral. Sebab moral biasanya dikaitkan
dengan keluarga dan gereja.

Meski dikhawatirkan menjadi pendidikan moral atau agama, tapi pada tahun 1980 dan 1990an
pendidikan karakter di Amerika memperoleh perhatian kembali. Menurut Vessels, G. G ini untuk
pencegahan dekadensi moral (Character and community development: A school lanning and teacher
training handbook, 1998, hal.5). Tapi menurut Beach, W dan Lickona, T., ini bukan hanya mencegah
tapi sudah harus memperbaiki moral yang sudah merosot. (Lihat Beach, W. Ethical education in
American public schools. Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach
respect and responsibility).

Tapi karena inisiatif solusi ini tidak datang dari pendidik, penekanannya hanya pada perilaku
standar dan kebiasaan yang positif. Perhatian kembali ini didukung oleh para politisi dan pemimpin
Negara. Clinton, misalnya mengadakan lima konferensi tentang pendidikan karakter. Dilanjutkan oleh
George W Bush yang menjadikan pendidikan karakter sebagai fokus utama dalam agenda reformasi
pendidikan.

Tapi apa itu pendidikan karakter itu? Lockwood, A. T mengartikan pendidikan karakter sebagai
program sekolah, untuk membentuk anak-anak muda secara sistematis dengan nilai-nilai yang diyakini

10
dapat mengubah perilaku mereka. (Lockwood, A. T. Character education: Controversy and
consensus 1997, hal. 5-6). Namun secara luas diartikan pula sebagai penanaman sifat sopan, sehat,
kritis, dan sikap-sikap sosial seperti kewarganegaraan yang dapat diterima masyarakat.

Kekhawatiran Horace Mann terbukti. Pendidikan karakter dianggap sama dengan pendidikan
moral atau sekurangnya mirip. Maka para penganut Protestan di Amerika segera mencium bau
pendidikan moral dalam pendidikan karakter ini. Mereka pun protes. Ini mereka anggap sebagai
penjelmaan dari program pendidikan agama dan nilai yang dianggap telah gagal di masa lalu.

Untuk itu arti pendidikan moral mulai dikaburkan dari nilai-nilai agama dan diartikan sebagai
upaya sadar untuk membantu orang lain mencari pengetahuan, skill, tingkah laku, dan nilai untuk
kepentingan pribadi dan sosial (Kirschenbaum, 100 ways to enhance values and morality in school
and youth settings).

Tapi istilah dan konsep pendidikan karakter pun bukan tanpa masalah. Apa yang disebut baik
dan perilaku baik itu di Barat relatif. Nilai baik buruk berubah seiring dengan perubahan kehidupan.
Akhirnya pendidikan bukan untuk menanamkan nilai, tapi menggali nilai-nilai yang sesuai dengan nilai
mereka yang boleh jadi bersifat lokal. Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan
latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri.

Di Amerika isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi,


humanisme dan sebagainya. Maka arah pendidikan karakter di sana adalah untuk mencetak sumber
daya manusia yang pro gender, liberal, pluralis, demokratis, humanis agar sejalan dengan tuntutan
sosial, ekonomi, dan politik di Amerika. Tapi herannya mengapa di Indonesia yang problemnya
berbeda mesti harus menanamkan nilai-nilai dari negara asing

Berhasilkah pendidikan karakter ini menyelesaikan masalah bangsa Amerika? Ternyata tidak.
Pada tahun 2007 Kementerian Pendidikan Amerika Serikat melaporkan bahwa mayoritas pendidikan
karakter telah gagal meningkatkan efektifitasnya. Bulan oktober 2010 sebuah penelitian menemukan
bahwa program pendidikan karakter di sekolah-sekolah tidak dapat memperbaiki perilaku pelajar atau
meningkatkan prestasi akademik.

Ternyata dibalik itu terdapat beberapa masalah. Pertama tidak ada kesepakatan dari konseptor
dan programmer pendidikan karakter tentang nilai-nilai karakter apa yang bisa diterima bersama.
Karakter kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, keadilan, persamaan, sikap
hormat dan sebagainya secara istilah bisa diterima bersama. Namun, ketika dijabarkan secara detail
akan berbeda-berbeda dari satu bangsa dengan bangsa lain.

Masalah kedua, ketika harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik
kepentingan antara kepentingan agama dan kepentingan ideologi. Ketiga, konsep karakter masih

11
ambigu karena – merujuk pada wacana para psikolog – masih merupakan campuran antara kepribadian
(personality) dan perilaku (behaviour).

Persoalan keempat dan terakhir arti karakter dalam perspektif Islam hanyalah bagian kecil
dari akhlaq. Pendidikan karakter hanya menggarami lautan makna pendidikan akhlaq. Sebab akhlaq
berkaitan dengan iman, ilmu dan amal.

Semua perilaku dalam Islam harus berdasarkan standar syariah dan setiap syariah
berdimensi maslahat. Maslahat dalam syariah pasti sesuai dengan fitrah manusia untuk beragama (hifz
al-din), berkepribadian atau berjiwa (hifz al-nafs), berfikir (hifz al-‘aql), berkeluarga (hifz al-nasl) dan
berharta (hifz al-mal). Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan
lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita
sujudkan maslahat manusia untuk Tuhannya. Wallahu a’lam.*

Pendidikan Karakter Barat

Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania (Peneliti Insists)

Fritjof Capra seorang ilmuwan Barat mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya saat


ini, ahli-ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang
muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi, Onkolog
bingung tentang penyebab kanker; psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, dan polisi semakin tidak
berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. (Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban; Sains,
Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, cetakan keenam, Jakarta : Bentang Pustaka, 2004, hal. 8)

Problematika sosial tersebut akhirnya memunculkan pemberontakan-pemberontakan dalam


masyarakat modern. Barat kemudian berusaha mengembangkan pendidikan nilai atau karakter yang
berorientasi kepada nilai, etika dan moralitas yang diharapkan dapat memunculkan manusia-
manusia yang humanis.

Pendidikan karakter dikembangkan oleh Barat karena mereka percaya, sekolah memiliki
peranan penting dalam membentuk dan memperkuat karakter dasar yang akan mendukung
terciptanya masyakarat yang baik. Namun menurut James Arthur dalam bukunya Education with
Character, berbicara tentang pendidikan karakter berarti masuk ke dalam wilayah yang rawan dengan
pertentangan, yaitu pertentangan antar definisi dan ideologi. Hal tersebut tentunya tidak
mengherankan karena pendidikan karakter di Barat dikembangkan dan bersumber dari nilai-nilai
budaya. Nilai dalam kaitannya dengan budaya, merupakan ide tentang apa yang baik, buruk, dan
memadai. Menurut para ahli sosiologi Barat, nilai (value) dan moralitas tidak bersifat universal, namun
beragam atau berbeda-beda di tiap kultur sosial. Premis tentang nilai pun muncul dan berubah sesuai
dengan perubahan meta-ideologi dari lingkungan tempat nilai tersebut muncul. Sebagai
contoh, apabila sebuah masyarakat lebih dominan kepada agama akan condong kepada nilai-nilai
supranatural, sedangkan apabila nilai lebih berorientasi pada pada ekonomi pasar, maka moral akan

12
cendrung kepada uang, pendapatan dan kekayaan.(Hitlin, Steven dan Stephen Vaisey (ed), Handbook
of The Sociology of Morality, New York : Springer, 2010, hal. 126)

Peradaban Barat modern menganggap nilai sebagai produk rasionalitas individu-individu,


namun ketika nilai berada dalam konteks sosial dan budaya, maka nilai diartikan sebagai konsensus
bersama sekelompok manusia. Sebagaimana pandangan Weber, salah seorang tokoh sosiologi
Barat, yang menyatakan bahwa nilai itu ada secara objektif dalam subjektivitas manusia dan murni
menjadi milik dari pribadi-pribadi. (Ibid, hal. 39).

Dengan itu, konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika bersifat relatif dan sangat berbeda
bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Konsep tentang apa yang disebut baik dan
buruk merupakan kancah pertarungan pemikiran yang tak pernah henti dari filosof-filosof Barat, sejak
jaman Yunani sampai hari ini. Dari pendidikan yang berorientasi kepada etika Kristen sebagaimana
pemikiran Thomas Aquinas, kemudian berubah menjadi paham materiasme yang dikembangkan
Decartes. Sejak saat itu, ilmu diaggap sebagai value free atau bebas nilai sehingga pendidikan di Barat
dikembangkan “tanpa” nilai. Moral, etika, agama, kemudian dijauhkan dari kurikulum dengan harapan
manusia dapat lebih cerdas dan kreatif dalam menciptakan dan berinovasi di bidang sains dan
teknologi.

Hal tersebut merupakan konsenkuensi dari sekularisasi yang melanda Eropa setelah hilangnya
kepercayaan masyarakat Barat terhadap kepempinan gereja. Sekularisasi menyebabkan pengukuran
baik-buruk, benar-salah, semata-mata dilakukan melalui rasio dan pengalaman indera manusia.
Masyarakat Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang
dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal. Konsepsi nilai dalam peradaban
Barat terus berevolusi sesuai dengan tuntutan jaman akibat ketiadaan nilai absolut yang bersumber
dari wahyu yang mengatur kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan moralitas. Konsep nilai
berkembang sesuai dengan konsepsi masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama dan ilmu serta
kehidupan itu sendiri. Perkembangan konsep nilai ini menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan
berhenti merumuskan nilai-nilai yang dianggap baik bagi kehidupan masyarakatnya. Sejarah
memperlihatkan perubahan radikal konsep nilai di Barat, dimulai dari penerimaan pada etika moral
gereja, sampai akhirnya berujung kepada penghapusan unsur-unsur metafisika dalam etika moralnya.
Dahulu gereja mengharamkan tindakan homoseksual karena tidak sesuai dengan nilai etika agama
tersebut, namun saat ini dunia menyaksikan seorang homoseksual telah diangkat menjadi Uskup di
Gereja Angllikan, New Hamshire pada tahun 2003 lalu.

Hal tersebut tentunya berbeda dengan pendidikan karakter dalam Islam yang menekankan
pada konsep adab. Islam berbeda dengan Barat, mempunyai teladan manusia yang mempunyai
karakter sempurna, yaitu Rasulullah saw. Konsep adab dalam
Islam terkait dengan keyakinan bahwa dalam melakukan tindakan, manusia mempunyai rujukan
yang utama yaitu wahyu Allah swt dan sunnah Nabi-Nya. Konsep pendidikan karakter yang bercorak
sekuler-liberal tidak mungkin dapat mencetak manusia-manusia beradab. Menurut Prof al-Attas,
prinsip etika yang sejati dan universal hanya dapat dibangun oleh jiwa manusia yang bersifat spiritual.

13
Yaitu ketika jiwa mendapatkan ilmu yang benar dari Tuhannya. Sehingga merupakan sesuatu yang
memprihatinkan apabila umat Islam masih percaya bahwa etika universal dapat dibangun
menggunakan framework Barat modern yang menganggap Tuhan dan jiwa tidak memiliki
objektivitas dan nilai ilmiah sebagai sumber ilmu.*

Enam Prinsip Pendidikan Karakter Islami

Oleh: Erma Pawitasari (Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor)

Pendidikan karakter adalah sesuatu yang baik. Dalam Islam, karakter identik dengan akhlaq,
yaitu kecenderungan jiwa untuk bersikap/bertindak secara otomatis. Akhlaq yang sesuai ajaran Islam
disebut dengan akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of
Virtue, 1975), yang dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, bawaan lahir, sebagai karunia dari
Allah. Contohnya adalah akhlaq para nabi. Kedua, hasil usaha melalui pendidikan dan
penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, 1988).

Berdasarkan pengkajian penulis terhadap konsep akhlak Islam yang berlandaskan nash al-
Quran dan hadits Nabi serta konsep karakter dalam tradisi empiris-rasional Barat, program pendidikan
karakter yang baik seyogyanya memenuhi enam prinsip pendidikan akhlaq, yaitu:

1. Menjadikan Allah Sebagai Tujuan

Perbedaan mendasar antara masyarakat sekular dengan Islam terletak pada cara memandang
Tuhan. Masyarakat sekular hanya mengimani “ide ketuhanan” karena ide ini berpengaruh baik
bagi perilaku manusia. Mereka tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar wujud atau
sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, 1993). Sebuah penelitian
menunjukkan, 80% responden menyatakan bahwa mencuri tetap salah sekalipun diperintahkan
Tuhan (Larry Nucci, Handbook of Moral and Character Education, 2008). Kaum secular mengurung
agama dalam interpretasi kemanusiaan. Agama versi sekular tidak dapat menjelaskan keajaiban
yang dialami Nabi Ibrahim tatkala menerima wahyu untuk menyembelih putranya.

Islam mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud sehingga ketaatan kepadaNya menjadi
mutlak. Islam bukanlah agama sekular yang memasung agama dalam dinding kehidupan privat.
Agama tidak diakui sekedar diambil manfaatnya. Agama merupakan penuntun kehidupan dunia
menuju keridhaan Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah
kepada-Ku.” [QS. al-Dzaariyaat 56]

Keridhaan Allah merupakan kunci sukses kehidupan. Ilmu, kecerdasan, maupun


rizki hanya mungkin dicapai apabila Allah menganugerahkannya kepada manusia (Zibakalam-
Mofrad, 1999; Alavi, 1975). Untuk menggapai keridhaan Allah inilah, manusia wajib menghiasi
diri dengan akhlaq mulia (Sherif, 1975).

14
2. Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional

Perilaku manusia dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang hidup (an-
Nabhani, 2002). Pendidikan karakter tidak akan membawa kesuksesan apabila murid tidak
memahami makna-makna perilaku dalam kehidupannya. Untuk itu, Islam sangat menekankan
pendidikan akal. Allah Swt menyebutkan keutamaan orang-orang yang berpikir dan mempunyai
ilmu dalam berbagai ayat, salah satunya adalah QS. at-Thariq [86] ayat 5 (yang artinya): Maka
hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?

Akal adalah alat utama untuk mencapai keimanan. Akal harus diasah dengan baik sehingga
manusia memahami alasan perilaku baiknya. Pada tahap awal pendidikan, anak-anak memerlukan
doktrinasi. Orang tua tidak boleh membiarkan mereka memukul teman atau bermain api
walaupun mereka belum memahami alasan pelarangan itu. Namun, sejalan dengan usia, akal
manusia mulai mempertanyakan alasan rasional. Keingintahuan ini tidak boleh diabaikan. Salah
satu cara untuk mengasah akal adalah dengan perumpamaan dan dialog (Abdullah Nasih
Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, 1995). Rasulullah Saw sering melakukan dialog dengan para
sahabatnya dalam rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam
hadist berikut: “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai berada di depan pintu salah satu dari kalian,
sehingga ia mandi darinya sehari lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat
menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat
lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” [HR. Muslim]

Dialog antara pendidik dan anak didik harus selalu dipelihara. Pendidik harus cerdas sehingga
mampu mengimbangi pertanyaan-pertanyaan dari anak didik. Pendidik memberikan kesempatan
kepada anak didik untuk memikirkan persoalan yang dihadapi dan mengarahkannya pada solusi
Islam.

3. Memperhatikan Perkembangan Kecerdasan Emosi

Perilaku manusia banyak terpengaruh oleh kecenderungan emosinya (Elias dkk, 2008;
Narvaez, 2008). Pendidikan karakter yang baik memperhatikan pendidikan emosi, yaitu
bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Penelitian menunjukkan bahwa
program pendidikan karakter yang efektif harus disertai dengan pendidikan emosi (Elias dkk,
2008; Kessler & Fink, 2008).

Ketika seorang pemuda datang meminta ijin berzina, Rasulullah Saw tidak menghardik
pemuda ini atas kegagalannya memahami larangan zina secara kognitif. Nabi Saw menyentuh
faktor emosinya dengan mengatakan, “Sukakah dirimu jika seseorang menzinai ibumu?” Sang
pemuda menjawab, tidak. Maka Nabi mengatakan, “Sama, orang lain juga tidak suka ibunya kamu
zinai. Sukakah dirimu jika seseorang menzinai putrimu?” Sang pemuda terkejut dan secara tegas
menolaknya. Nabi Saw melanjutkan, “Sama, orang lain juga tidak suka jika putrinya kamu zinai.”
Nabi Saw memahami gejolak sang pemuda dan memilih menyentuh faktor emosinya. Sang

15
pemuda diarahkan untuk merasakan bahwa apa yang hendak dilakukannya akan menyakiti orang
lain.

Pembangunan kecerdasan emosi juga Rasulullah Saw lakukan melalui upaya meningkatkan
kedekatan hamba kepada Allah Swt. Disebutkan dalam sebuah hadits qudsi: “Jika seorang hamba
bertaqarrub kepadaKu sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekatiKu sehasta, Aku
medekatinya sedepa. Jika ia mendekatiKu dengan berjalan, maka Aku mendekatinya dengan
berlari.” (Shahih Bukhari)

Kecerdasan emosi anak didik harus mendapatkan perhatian. Emosi anak yang ditekan dapat
menjadikan anak tumbuh sebagai individu yang masa bodoh (al-Naqib, 1993). Kehebatan akal
yang tidak didukung dengan kecerdasan emosi menyebabkan manusia melakukan tindakan
spontan yang bertentangan dengan rasional dan nilai-nilai akhlaq.

4. Praktik Melalui Keteladanan dan Pembiasaan

Lingkungan masyarakat yang mempraktikkan akhlaqul karimah merupakan bentuk


keteladanan dan pembiasaan terbaik. Penelitian menyebutkan bahwa perilaku anak lebih
ditentukan oleh lingkungannya daripada kondisi internal si anak (Leming, 2008). Keteladanan dan
pembiasaan merupakan faktor utama dalam mengasah kecerdasan emosi (Narvaez, 2008).

Dalam mendidik karakter umat Islam, Rasulullah Saw menjadikan dirinya suri teladan
terlebih dahulu sebelum menuntut umatnya mempraktikkannya. Prinsip inilah yang harus
dipegang teguh oleh para pendidik. Bahkan, para teladan harus menunjukkan kebaikan yang lebih
besar dari apa yang dituntut atas anak-anak sehingga anak-anak menjadi lebih termotivasi dalam
menjalankan kebaikan.

Keteladanan Rasululullah Saw ditegaskan Allah Swt dalam firmanNya di Surat al-Ahzab ayat
21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah Saw selalu berpegang teguh kepada perilaku terpuji
sesuai ajaran Islam, sehingga Aisyah ra. menyatakan: “Akhlaq Rasulullah Saw adalah (sesuai)
al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Selain memberikan keteladanan, Rasulullah Saw menyuruh para orang tua untuk
membiasakan anak-anak menjalankan perintah agama sejak kecil, walaupun mereka baru terkena
beban agama setelah baligh. Dalam sebuah hadist Nabi Saw bersabda: “Perintahkanlah anak-
anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan
apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak
melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud & al-
Hakim)

16
Rasulullah Saw memberikan keteladanan sekaligus membiasakan perbuatan baik melalui
penerapan Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Larangan zina, misalnya, didukung dengan
langkah-langkah untuk menjauhkan manusia dari berzina, seperti larangan untuk berdua-duaan,
kewajiban untuk menutup aurat, serta pelaksanaan hukuman bagi pelaku zina.

5. Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan Hidup

Karakter tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Seseorang yang
beristri lebih mudah untuk menghalau keinginan berzina daripada mereka yang membujang.
Seseorang yang kenyang akan terhindar dari mencuri makanan. Tindakan kriminalitas sering
terjadi akibat tekanan kebutuhan.

Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Apabila


seseorang tidak mampu mendapatkan pekerjaan sendiri, maka negara wajib menyediakan
lapangan pekerjaan untuknya. Apabila seseorang tidak mampu bekerja (cacat, tua, gila, dsb) maka
Islam mewajibkan keluarganya untuk menanggung hidupnya. Apabila keluarganya tidak mampu
atau tidak memiliki keluarga, maka Islam mewajibkan negara untuk mengurusi segala
keperluannya (Abdul Aziz Al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, 1995). Rasulullah
Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli
warisnya. Dan barangsiapa mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka
akulah penanggungnya.” (HR. Muslim)

Jaminan atas kebutuhan dasar hidup memberikan rasa aman bagi tiap-tiap individu dalam
masyarakat. Masyarakat tidak lagi perlu khawatir biaya sekolah anak cucunya sehingga menumpuk
harta melebihi kebutuhannya, bahkan dengan cara-cara tidak halal. Masyarakat lebih rela
mengantri apabila ada jaminan bahwa mereka yang mengantri tidak akan kehabisan sembako,
tiket, atau kursi. Penumpang pesawat terbang bersedia mengantri dengan tertib karena jatah
kursinya sudah terjamin. Penumpang kereta ekonomi tidak mau mengantri karena mereka harus
berebut kursi.

6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas

Pendidikan karakter seringkali tidak efektif karena ada perbedaan prioritas dalam
memandang nilai. Ada seorang siswa laki-laki sekolah menengah trauma ke sekolah akibat
digundul secara paksa oleh gurunya. Perbedaan persepsi rambut panjang bahkan pernah berujung
menjadi tawuran antara orang tua murid dengan guru

Islam memiliki konsep prioritas perbuatan, yang terbagi dalam 5 (lima) kategori, yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas tidak terlepas dari kelima tingkatan
prioritas ini. Islam tidak melarang laki-laki berambut panjang, namun mewajibkan merapikan dan
menjaga kebersihannya (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1, 2011). Dalilnya adalah kisah Abu

17
Qatadah ra. yang memiliki rambut panjang dan menanyakan kebolehannya kepada Nabi. Beliau
Saw menyuruhnya untuk merapikan dan menyisirnya setiap hari.

Pendidik wajib mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengambilnya sebagai


aturan kedisiplinan. Dalam wilayah yang sunnah, mubah, dan makruh, apabila ada hal yang ingin
dijadikan aturan kedisiplinan, maka pendidik harus mengkomunikasikan dan mengikutsertakan
anak-anak dalam membuat keputusan sehingga mereka memaklumi manfaat aturan tersebut bagi
kelangsungan komunitas dan menjalankannya secara bersungguh-sungguh.

Demikianlah enam prinsip pendidikan karakter. Keenam prinsip ini harus dipenuhi agar
pendidikan karakter dapat mencapai kesuksesan.

Pendidikan Islam Pasca 9/11

Mantan Menhan AS, Paul Wolfowitz, pernah membuat pernyataan pada 2002, “This is a battle
of ideas and a battle for minds”. Katanya, yang terjadi saat ini adalah perang ide dan perang untuk
menaklukkan pemikiran.

Setahun sesudahnya, Condoleezza Rice setuju bahwa, “To win the war on terror, we must win a war
of ideas.” Jadi, kata Rice, untuk memenangkan peperangan melawan terorisme, kita harus
memenangkan peperangan pendapat.”

Memang, menurut laporan dari David E. Kaplan, segala pandangan, saran, rekomendasi dan
inisiatif kebijakan dan solusi, secara resmi telah diambil dan dijalankan dengam sungguh-sungguh oleh
AS sejak 2003 atas nama “perang melawan terorisme global” di bawah strategi besar yang disebut “The
Muslim World Outreach”.

Kaplan menuangkan strateginya secara ringkas dalam judul laporannya, “Hearts, Minds, and
Dollars: In an Unseen Front in the War on Terrorism, America is Spending Millions…To Change the Very Face
of Islam.” (Hati, Pikiran dan Dolar: Di front tak kasat mata dalam perang melawan terorisme, Amerika
mengeluarkan berjuta-juta…untuk mengubah wajah Islam sesungguhnya).

Cukup jelas bahwa tujuan utama reformasi pendidikan yang diminta adalah
bukanlah “reconstruct” (merekonstruksi, memperbaiki) tapi “deconstruct” (merombak), “change”
(mengganti) wajah Islam yang sebenarnya. Namun, akal sehat, mestinya penasaran dan
bertanya, apakah dalam kondisi demikian Islam akan tetap memiliki identitas utuhnya?

Patut diperhatikan, strategi ini dijalankan sepenuhnya melalui kemitraan atau “tenaga sewaan
lokal” yang dianggap menghargai nilai-nilai seperti demokrasi, hak perempuan, toleransi, dan
pluralisme. Untuk tujuan ini, Zeyno Baran, seorang analis terorisme dari the Nixon Centre yang
memberi masukan tentang strategi tersebut, mengusulkan: “Anda sediakan uang dan membantu
menciptakan ruang politik untuk kalangan Muslim moderat untuk dapat mengatur, menerbitkan, menyiarkan dan

18
menerjemahkan karya-karya mereka.” Baran juga menyerukan: “Perhatikan pada wilayah-wilayah pinggiran. Di
sanalah akan datang perubahan!”

Strategi ini mengungkap dengan jelas mengapa kekuatan global telah sedemikian kuat
mencengkeram negara-negara Muslim seperti Indonesia, Pakistan, dan Turki. Juga, bagian kutipan dari
laporan Kaplan perlu dicermati:
Tidak ada upaya yang lebih menonjol dari di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di
dunia, dengan jumlah penduduk 240 juta. Meskipun merupakan benteng Islam moderat, negara ini
telah melahirkan beberapa grup Islam radikal yang mencakup lepasan al Qaeda yaitu Jemaah Islamiyah,
yang bertanggung jawab atas Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang. Dengan bekerja di belakang
layar, USAID kini membantu pendanaan lebih dari 30 organisasi Muslim di negri ini.

Termasuk dalam daftar bantuan dana: think tank Islam yang membantu perkembangan
penelitian ilmiah yang menunjukkan kompatibilitas Islam liberal dengan demokrasi dan HAM.

Laporan 2005 ini dikonfirmasi dan ditekankan lebih jauh oleh Angel Rabasa et al. dari RAND
dalam monograf mereka pada 2007 dengan judul Building Moderate Muslim Networks (Membangun
Jejaring Muslim Moderat). Berikut sebagian analisis dan sarannya:
“Asia Tenggara memiliki lembaga-lembaga pendidikan Islam yang strukturnya amat sangat besar dan matang yang
dapat menjadi sumber daya yang kritis dan penting dalam berlangsungnya peperangan gpendapat di dalam dunia
Muslim world, sekaligus dalam upaya membangun jejaring Muslim moderat yang diusulkan dalam studi. Sehubungan
dengan fokus geografis, kami mengusulkan pergeseran prioritas dari wilayah Timur Tengah ke wilayah Muslim yang
memungkinkan adanya kebebasan gerak yang lebih besar, lingkungannya lebih terbuka terhadap kegiatan
yang pengaruh, dan keberhasilannya lebih memungkinkan dan jelas. Pendakatan saat ini berfokus pada Timur
Tengah, dengan mengakui bahwa pendapat-pendapat radikal berasal dari Timur Tengah dan dari sana disebarkan
ke seluruh penjuru dunia Muslim, termasuk komunitas Muslim diaspora di Eropah dan Amerika Utara. Pendekatan
alternatif adalah untuk mencari arah kebalikannya dari pendapat-pendapat tersebut. Teks-teks penting yang berasal
dari para pemikir, intelektual, aktivis, dan pemimpin di Muslim diaspora, Turki, Indonesia dan tempat lainnya harus
diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan seluasnya disebarkan.” (Angel Rabasa et al., Building Moderate
Muslim Networks, 109).

Singkatnya, dunia pendidikan di dunia Muslim kini secara halus atau terbuka diminta oleh
“Sang Tuan” untuk secara “sukarela” meliberalkan diri dengan mempromosikan berbagai proyek
pendidikan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, multikulturalisme, kesetaraan gender, dan
sebagainya. Bukan menjadikan Islam sebagai “kacamata” atau “cara pandang” dalam menilai paham-
paham yang dating dari luar Islam. Tapi, sebaliknya! Paham-paham dari luar itulah yang harus dijadikan
sebagai basis atau tolok ukur dalam menilai ajaran Islam. Apakah ajaran-ajaran Islam itu masih layak
atau sudah using di mata Barat. Jika perlu, carikan dalil-nya dalam al-Quran dan hadits Nabi atau tradisi
keilmuan Islam.

Lebih jauh tentang kajian masalah ini, silakan dirujuk buku dan artikel-artikel berikut ini:

19
Roger C. Molander et al., Strategic Information Warfare: A New Face of War (dibuat oleh Kementrian
Pertahanan), (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 1996)
Edward P. Djerejian (ketua), “Changing Minds Winning Peace: A New Strategic Direction for U.S. Public
Diplomacy in the Arab & Muslim World,” Laporan dari Grup Penasihat untuk Diplomasi Publik
bagi Dunia Arab dan Muslim (the Advisory Group on Public Diplomacy for the Arab and Muslim World)
(Diserahkan kepada Committee on Appropriations, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika (U.S. House
of Representatives), pada 1 Oktober, 2003), hlm. 15, 22, 49;
Cheryl Benard, Civil Democratic Islam: Partenrs, Resources, and Strategies (Santa Monica, CA: RAND
Corporation, 2003), hlm. 65-66;
Angel Rabasa et al., The Muslim World after 9/11, (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2004),
passim; ——– et al., Building Moderate Muslim Networks (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2007),
passim; ——–, Radical Islam in East Africa (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2009), pp. 37, 39;
David smock and Qamar-ul Huda, “Islamic Peacemaking Since 9/11” (Laporan Khusus), (Washington ,
DC: USIP, 2009).
Wallahu a’lam bil-shawab. (***)

Pendidikan Multikulturalisme Perspektif Islam

Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah)


dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan
penyebaran isu pendahuluan: banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal di
tengah masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras dan
diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan.

Lebih jauh lagi, kini, paham multikulturalisme mulai diintegrasikan pada ranah
pendidikan agama. Alasannya, seperti dikemukakan dalam buku Pendidikan Multikultural; Konsep
dan Aplikasi, Pendidikan Agama Islam yang ada saat ini dianggap sudah tidak relevan dan telah gagal
menciptakan harmoni kehidupan dan bahkan menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat plural
(Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, 2008:15).

Kementerian Agama RI pun telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Panduan Integrasi Nilai
Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK” – selanjutnya disingkat Panduan
Integrasi. (Diterbitkan dengan kerjasama dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia
(AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).
Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme – apalagi dalam ranah Pendidikan Agama
Islam – sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam
perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Berikut ini sejumlah catatan
kritis atas multikulturalisme:

20
Pertama, persoalan makna istilah. Multikulturalisme memiliki rentang definisi yang beragam
mulai dari sekedar pengakuan terhadap realitas multikultural masyarakat dunia saat ini; upaya untuk
menerima dan menghormati realitas itu; hingga pada pengertian yang merefleksikan relativisme
kebenaran dan relativisme agama. Kecenderungan dominan dalam beberapa buku, semisal buku
berjudul Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, istilah ini merefleksikan relativisme kebenaran
dan agama. Ini karena, multikulturalisme hakikatnya merupakan kelanjutan dari paham inklusivisme
dan pluralisme agama (Baidhawy, 2005: 69 & 117).
Jika pada inklusivisme, integritas agama tertentu masih dipertahankan sekalipun ada pengakuan
kebenaran pada yang lain, maka multikulturalisme dalam makna ini bergerak lebih jauh lagi:
memungkinkan berbagi agama dengan yang lain. Dalam ide ini terkandung muatan sinkretisme agama.
Bahkan, bukan tidak mungkin, memunculkan agama baru bernama multikulturalisme.

Kedua, kekeliruan memahami agama Islam. Konsep multikulturalisme mendudukan Islam


sebagai agama yang sama dan sederajat dengan agama yang lain. Padahal Islam sebagai agama (ad-din)
berbeda dengan agama-agama yang ada di dunia ini. Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang
sampai sekarang orisinalitasnya terjaga. Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas: “Islam is the only genuine
revealed religion.” (al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam)

Islam bukan agama budaya dan bukan agama yang dihasilkan oleh proses evolusi budaya.
Demikian pula, sistem nilai dan sistem pemikiran Islam bukan semata berasal dari unsur-unsur budaya
dan folosofis yang dibantu sains, tetapi berasal dari sumbernya yang asli yaitu wahyu, dikonfirmasi
oleh agama serta didukung oleh akal dan intuisi. Islam sebagai agama final dan matang dari sejak
diturunkannya, tidak mengenal adanya proses penyempurnaan. Islam berbeda dengan agama-agama
lainnya -terutama agama bumi- di dunia ini yang lahir dari sebuah evolusi. Sehingga, ketentuan-
ketentuan yang sudah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya adalah ketentuan final sebagai syari’at hidup
manusia menjalani penghambaan dan pengabdiannya kepada sang Khaliq. Sebagaimana tercantum
dalam surat Al-Maidah (5) ayat 3. Sementara agama lain, hanyalah berupa pengalaman spiritual
seseorang atau sekelompok orang dalam mencari sisi-sisi transenden untuk melengkapi kekosongan
nilai spiritual yang ada dalam dirinya.

Islam juga bukan agama sejarah (historical religion). Islam adalah agama yang mengatasi dan
melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan
hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang terdapat dalam Islam
berlaku sepanjang masa. Islam memiliki pandangan-alam mutlaknya sendiri yang berbeda dengan
agama lain. Pandangan-alam (worldview) ini meliputi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam
semesta, dan lain sebagainya.

Ketiga, kekeliruan memahami konsep-konsep penting dalam agama. Pemahaman keliru ini
berimbas pada sikap yang tidak tepat dalam mengatasi berbagai problema di masyarakat terkait
kehidupan beragama. Konsep-konsep yang dipahami keliru itu seperti konsep Tuhan, konsep Wahyu
(al-Qur’an dan al-Hadits), konsep truth claim (klaim kebenaran agama), toleransi, agama sama dengan
budaya, kalimatun sawa, dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.

21
Sebagai contoh, dalam pemahaman multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) tidak
boleh lagi digaungkan. Mereka beralasan bahwa klaim kebenaran merupakan puncak dari semangat
egosentrisme, etnosentrisme, dan chauvinisme. Klaim kebenaran bagi paham ini dianggap sebagai
kelainan jiwa yang disebut narsisme (sikap membanggakan dan mengunggulkan diri). Sikap klaim
kebenaran inilah yang menurut kalangan penggagas pendidikan multikulturalisme ini yang akan
menghasilkan friksi di masyarakat dan menimbulkan konflik. (Choirul Mahfud,2009: 9).

Padahal dalam Islam, mengakui dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang
benar dan mempersaksikan keyakinan tersebut dihadapan Allah SWT juga di hadapan manusia lainnya
adalah keniscayaan yang harus dilakukan. Selain sebagai bagian dari deklarasi kemusliman serta
kesiapan untuk tunduk dan patuh, persaksian tersebut menjadi media dakwah pada manusia yang lain
untuk sama-sama beriman dan berislam. Islam mengajarkan prinsip hidup toleran tanpa harus
meniadakan kebenaran prinsip yang dipegang. Toleransi dalam Islam bukan berarti sepakat, setuju,
membenarkan ajaran agama lain, melainkan menghormati pemeluk dan ajaran agama lain sesuai
proporsinya. Proses saling menghargai dan menghormati ini dilakukan sambil menegakkan prinsip
ajaran agama, nilai-nilai agama, dan kewajiban berdakwah dalam bingkai-bingkai yang dianjurkan oleh
agama itu sendiri.

Keempat, kekeliruan memahami budaya dan kesederajatan. Konsep multikulturalisme tidak


dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri
masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. (Choirul Mahfud, 2009: 95).

Pemahaman seperti ini mengharuskan masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis
diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Karena
semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-
kearifan (baca: ajaran, nilai-nilai, kandungan, dan lain-lain) tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif-
negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh
sudut pandang dan akar baik-buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula.

Budaya versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi mencakup segala hal yang
menjadi proses dan produk sebuah komunitas, meliputi agama, ideologi, sistem hukum, sistem
pembangunan, dan sebagainya. (Choirul Mahfud, 2009: 205). Kalangan multikulturalis memaknai
budaya secara luas, bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam, Kristen, hindu, budha,
jawa, sunda, batak, kapitalisme, sosialisme, dan berbagai produk komunitas lainnya adalah budaya dan
posisinya sejajar dan sederajat. Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat menilai baik
atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula, Islam tidak boleh mengklaim sebagai satu-
satunya agama yang benar disisi Tuhan karena hal demikian akan mencenderai semangat toleransi
dalam bingkai multikulturalisme.

Paham ini tidak membedakan antara budaya baik dan budaya buruk karena semuanya dalam
bingkai kesederajatan. Sementara agama Islam tidaklah demikian. Islam memandang tinggi budaya
baik dan memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam, persoalan budaya pun tetap dibingkai
22
oleh nilai-nilai Ilahi yang sifatnya mutlak dan harus jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya
individu maupun kelompok.

Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus
dipertahankan, termasuk agama di dalamnya. Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreatifitas
masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip yang berbeda yang kemudian membentuk
sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti,
budaya tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang tentunya
dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya (Wahid, 2001: 77).

Jika pemahaman ini diaplikasikan, maka yang terjadi adalah agama dan nilai-nilai yang
terkandung didalamnya bukanlah sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau kandungannya akan
dan harus selalu berevolusi seiring sejalan dengan evolusi masyarakat yang berbeda dari waktu ke
waktu. Jika demikian yang terjadi, sendi-sendi ajaran agama khususnya Islam lambat laun akan hilang
dan punah. Terganti oleh nilai-nilai kreatif buatan manusia yang justeru akan membahayakan eksistensi
kemanusiaannya itu sendiri dan eksistensi kehidupan secara keseluruhan.

Kelima, agenda buruk globalisasi. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama patut
diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekular-liberal di era
globalisasi. Nilai-nilai sekular-liberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan
umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan
pemikiran, budaya, nilai dan tradisi.

****
Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa negara sekuler-liberal
merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian
karena menurut mereka negara sekular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal
opportunity kepada keanekaragaman agama.
Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragama umat Islam yang
benar yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman
keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia
semata. Maka, ketika proses ini berhasil dijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk
melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim.

Jika konsep pendidikan multikulturalisme seperti hasil temuan penulis yang diutarakan di atas,
maka pendidikan ini akan sangat berbahaya pagi siswa didik muslim. Dengan paham semacam ini,
peserta didik dijauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama Islam sejatinya adalah
upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati,
mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab
suci Al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan
pengalaman. (Ramayulis, 2010: 21).

23
Pendidikan agama dalam Islam adalah pendidikan agama yang berbasis tauhidullah dilandasi
oleh semangat beribadah dan semangat dakwah dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Dalam
Islam, seluruh perbuatan manusia termasuk pendidikan, dibingkai oleh motivasi penyerahan total
dirinya sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Inilah hakikat pendidikan dalam pandangan alam Islami
yang perlu diejawantahkan dalam dunia pendidikan dewasa ini.

Secara konseptual dan fakta sejarah, Tauhid Islam senantiasa sinergi dengan kerukunan.
Karena itu – berbeda dengan kondisi di dunia Barat – wacana multikulturalisme tidak menduduki
tempat penting. Maka, seyogyanya, para cendekiawan Muslim tidak mudah hanyut dalam gegap
gempita paham-paham baru yang dapat berdampak negatif pada pemahaman Islam yang benar.
Wallahu’alam bil-shawab.***

Pendidikan Spiritual?
Peradaban Islam adalah peradaban ilmu yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas
utama dari pembangunan masyarakatnya. Islam menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai suatu
ibadah dan merupakan kewajiban bagi tiap individu. Ibn Khaldun mengatakan pendidikan haruslah
diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan.
Namun, nilai ideal pendidikan Islam yang bersifat transenden dan integral, tidak memisahkan antara
alam fisik dan alam metafisik, harus tersingkir akibat beberapa faktor eksternal maupun internal yang
dialami oleh umat Islam.

Peradaban Barat yang sekular-liberal kemudian berhasil menyebarkan worldviewnya melalui


ilmu pengetahuan, baik sains maupun humaniora, ke hampir seluruh wilayah dunia dan terjadilah
seperti apa yang dibayangan filsuf asal Perancis, Auguste Comte, pada abad ke 19, bahwa kebangkitan
sains Barat akan menggantikan agama dari peradaban.

Kebangkitan sains di Barat juga telah menggantikan jiwa manusia dengan akal pikirannya.
Tubuh manusia dianggap tak lebih dari sebuah mesin yang sempurna diatur, dan bekerja dengan
prinsip-prinsip hukum matematika. Fritjof Capra seorang ilmuwan Barat dalam bukunya The Turning
Point mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya, saat ini para ahli dalam berbagai bidang tidak lagi
mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para
ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi pit yang tidak cukup untuk menyelesaikan masalah2C
onkolog bingung tentang penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, polisi semakin
tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. Ia menambahkan bahwa sebagian besar
akademisi menganut persepsi-persepsi realitas yang sem-masalah besar yang merupakan masalah
sistemik, artinya, persoalan tersebut saling berhubungan dan saling bergantung (Capra, 2004 : 8-9)

Problematika dunia Barat bukan sekedar problem intelektual, melainkan lebih pada krisis
emosional atau lebih tepatnya krisis eksistensial. Ketika sains menjadi menjadi agama baru maka
timbulah spiritual phatology, krisis makna, dan masalah kejiwaan lainnya. Agama Kristen telah lama
ditinggalkan oleh pengikutnya sehingga Barat sangat bergantung kepada psikologi untuk memahami

24
manusia dengan segala problematikanya. Psikologi klasik di Barat pada awalnya terkait erat dengan
agama Kristen, yaitu ketika pada abad ke 13, Thomas Aquinas memadukan psikologi dengan teologi
dan etika Kristiani.

Namun akhirnya psikologi berangsur-angsur mengadopsi filsafat materialisme dengan


munculnya pemikiran Decardes, dan positivisme dari tradisi sains Cartesian-Newtonian yang
mengubah secara radikal pokok kajian dan metode psikologi. Kemudian lahirlah aliran psikologi
seperti behaviorisme dalam tradisi Watson dan Skinner, dan psikoanalisis yang berasal dari Freud.
Sehingga Pada awal abad ke 20, buku-buku teks psikologi telah kehilangan semua referensi tentang
kesadaran emosi, dan kehendak .(Graham, 2005 : 34).

Selanjutnya masyarakat Barat yang rasional dan memuja metode ilmiah, tertawan oleh ide
spiritualitas dan mengadopsi budaya mistis Timur seperti Tao, Budhisme, Zen, Yoga dan berbagai
bentuk meditasi lainnya. Persentuhan tersebut memunculkan aliran psikologi seperti psikologi
humanistik serta psikologi transpersonal atau transhuman yang lebih berpusat pada alam semesta
(cosmos) dari pada kebutuhan atau kepentingan manusia. Sebuah intitusi pendidikan di Amerika, yaitu
Institut Esalen di Big Sur, California, pada awal pendiriannya di tahun 1966, mengundang eksponen
dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari Kebudayaan Timur dan Barat, termasuk Yoga, meditasi,
pengubah kondisi kesadaran, seni bela diri, tarian, pemuka agama, filsuf, artis, ilmuwan, dan psikolog
untuk bertukar pandangan dalam seminar dan workshop serta program-program lainnya dalam rangka
mewujudkan tujuan Institusi ini sebagai pusat pendidikan yang mencakup dimensi spiritual dan
intelektual. Pertemuan ini diklaim telah menghasilkan berbagai pendekatan, dan juga teknik-teknik
yang diturunkan dari filsafat dan agama-agama Timur atau tradisi esoteris yang dicangkokkan pada
psikologi Barat (Graham, 2005: 73).

Topik mengenai spiritualitas kemudian bermunculan dan menjadi cover story majalah terkenal
di Amerika seperti USA Today dan Newsweek. Majalah Time pada tahun 2003 melaporkan bahwa di
Amerika, meditasi diajarkan di sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, firma-firma hukum, institusi
pemerintahan, kantor-kantor korporasi, dan penjara. Bahkan Hotel-hotel di wilyah Catskills, New
York, berubah menjadi tempat-tempat meditasi dengan begitu cepat sehingga menurut Joel Stein,
seorang penulis di Time, kawasan Borscht Belt beralih nama menjadi Buddhist Belt (Aburdene, 2006
: 7).

Fenomena di atas tidaklah mengherankan, karena Barat memang memiliki kerancuan dalam
mengkonsepsikan spiritualitas dan agama disebabkan pemikiran mereka yang dualistik, yaitu
memisahkan antara dunia material dan spiritual. Sebagian besar ahli psikologi Barat memandang
spiritualitas bersifat personal dan berada pada ranah psikologis, sedangkan agama bersifat institusional
dan pada ranah sosiologis. Beberapa menyatakan bahwa agama diasosiasikan dengan konservatif
(conservatism) dan spiritualitas dikaitkan dengan keterbukaan untuk berubah (openes to change)
(Hood, 2009 : 9-10). Konsekuensinya, spiritualitas bisa dicapai dengan atau tanpa melalui agama.
Dalam konsep spiritual Barat, spiritualitas dapat dibangun melalui banyak cara, sebagai contoh, melalui
agama, pemikiran, doa, meditasi atau ritual (Best, 2000 : 10)

25
Konsepsi Barat tentang spritualitas yang problematis telah melatarbelakangi munculnya model
pendidikan dan pelatihan spiritual yang mengkombinasikan berbagai macam ajaran mistis, sains,
psikologi, dalam rangka membangun kecerdasan spiritual (SQ) manusia. Konsep SQ sendiri lahir dari
rahim Barat sehingga upaya-upaya meningkatkan kecerdasan spiritual ala Barat pada umumnya tidak
mengajarkan manusia menjadi makhluk yang mengakui kebesaran Tuhan dan tunduk pada syariat yang
diturunkan-Nya. Menurut Zohar, SQ merupakan perangkat kejiwaan hasil evolusi selama jutaan tahun,
yang memungkinkan manusia modern melepaskan kerinduan spiritual mereka tanpa melalui agama
formal. SQ adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya
adalah inti alam semesta itu sendiri, begitu pendapat Zohar dalam bukunya Spiritual Intelligence yang
telah diterjemahkan di Indonesia .

Dalam pandangan Islam, spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari Tuhan dan agama (religion).
Spiritualitas hanya dapat diperoleh melalui jalan syariah Islam yang bersumber dalam al Quran dan
Hadits serta telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sahabat dan generasi salafusalih. Jalan-jalan
spiritualitas dengan mengabaikan syariah akan membuat pengikutnya jauh dari kebenaran Islam dan
pelakunya tidak akan memperoleh kedamaian hakiki di dunia maupun akhirat.

Konsep kecerdasan spiritual dalam Islam juga sangat jauh berbeda dengan Barat karena SQ di
Barat hanya berhenti pada kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari sesuatu yang besar yaitu
alam semesta, sedangkan Islam menganggap alam semesta hanyalah makhluk Allah sebagaimana
manusia, yang tunduk kepada aturan dan perintah Allah. Oleh karena itu tujuan pendidikan spiritual
dalam Islam harus mampu membentuk individu-individu muslim yang paham hakikat eksistensinya di
dunia ini serta tidak melupakan hari akhir dimana dirinya akan kembali. Sebagaimana dikatakan oleh
Imam al-Ghazali bahwa pendidikan harus diarahkan kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak,
dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah, dan bukan untuk
mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.

Pendidikan Karakter: Apa Lagi?

Pendidikan karakter! Dua kata ini, sejak 2009 seolah menjadi primadona, khususnya dalam
dunia pendidikan. Berbagai diskusi, seminar, ceramah, dan bedah buku dilakukan untuk membahas
dua kata tersebut.

Maklum, belakangan, marak berbagai peristiwa yang mempertanyakan moral atau karakter
bangsa Indonesia. Media TV nyaris tiap hari diserbu tayangan-tayangan kekerasan. Terbongkarnya
manipulasi pajak seorang pegawai golongan rendah bernilai puluhan milyar rupiah membelalakkan
mata banyak orang. Berita pelesiran sejumlah wakil rakyat “yang terhormat” dengan menghambur-
hamburkan uang rakyat menambah perut rakyat semakin mules. Kasus video porno tiga orang artis
terkenal dan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja semakin membetot perhatian pelaku dan
praktisi pendidikan.

26
Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency
International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang
sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional
(BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara
mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika
online, 26/06/2009).

Apa yang salah dengan pendidikan kita?

Padahal, di atas kertas, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-
Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah ideal:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Karena tidak “nyambung” antara cita dan fakta itu lalu sejumlah tokoh pendidikan dan
pemerintah menggelorakan slogan besar: kita perlu Pendidikan Karakter! Dulu sudah pernah ada
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), ada Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, Pendidikan
Kewarganegaraan, dan sebagainya.

Lalu, apalagi “makhluk” yang bernama Pendidikan Karakter ini?

Pentingnya karakter

Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka bagaimana
mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang baik. Barat
mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan Islam mengajarkan
manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-Sunnah. Akhlak atau karakter
Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian” sesuai dengan makna
dasar dari kata Islam.

Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh (uswah
hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran.

Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn
Miskawaih ((320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika sehingga
dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih
mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan
melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya, akhlak adalah
“keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia
menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang

27
pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah, sabar,
benar, tawakal, dan kerja keras. (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar el Kutb al-Taymiyyah,
1405H/1985M)

Al-Ghazali (1058-1111M) yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-
Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak yang mirip dengan Ibn Miskawaih, yaitu bahwa akhlak
harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
yang mendalam atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan “perbuatan”, bukan
“kekuatan”, bukan “ma’rifah” (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu
adalah “hal” keadaan atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah”.(Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 2,
Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa, 2000, hlm.599)

Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir.
Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang
keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus
atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin,
Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey
Bass, 2001, hlm.1)

Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar
membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is knowledge … to be good at
something os a matter of knowledge”. (G.M.A. Grube, Plato’s Thought , USA: Hackett Publishing Company,
1980, hlm. 216-217). Plato (428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal
yang lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi negarawan yang baik . Dalam bukunya yang
terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya tentang pendidikan, bahwa agar anak dapat meraih
kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam
kehidupan.

Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau
nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan
moral. “Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as
a result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).

Emile Durkheim (1858 –1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat
harus memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia mengatakan,“Society
must have some good to achieve, an original contribution to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad
counselor for collectivities as well was individual. When individual activity does not know where to take hold, it turns
against itself. When the moral forces of a society remain unemployed, when they are not engaged in some work to
accomplish, they deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile Durkheim,
Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p. 13)

Karakter atau kehancuran

28
Thomas Lickona seorang pendidik karakter dari Cortland University, dikenal sebagai Bapak
Pendidikan Karakter Amerika. Ide-idenya diterapkan pada level pendidikan dasar dan mengengah.
Lickona mengungkapkan, bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki
sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, membudayanya
ketidak jujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/peer group, rendahnya rasa hormat kepada orang
tua dan guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang memburuk,
meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, rendahnya
rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja, dan adanya
rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.(Thomas Lickona, Educating For
Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York:Bantam Books,1992
,hlm 12-22).

Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons
situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip
dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau
kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik
karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya
keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan
pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.(Ibid, hlm.23).

Sebenarnya, secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah


tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya. Namun seperti halnya
banyak mata pelajaran lainnya, mata ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif
melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi
pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap
proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan. Jika ini dibiarkan terus-menerus maka
kesenjangan antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar.

Oleh karenanya diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan
moral dan karakter yang diajarkan di sekolah, dan bagaimana praktek yang terjadi dalam keseharian
siswa di sekolah. Teori, yaitu mencakup dimensi dan kurikulum pendidikan karakter apa saja yang
diajarkan di sekolah, bagaimana kualifikasi atau kriteria pendidik yang semestinya, bagaimana hal
tersebut diajarkan, bagaimana sistem penilaian keberhasilan pendidikan karakter tersebut. Lalu, lebih
penting lagi, bagaimana praktek nyata dari teori-teori itu dalam bentuk perilaku guru dan siswa di
sekolah.

Juga, yang terpenting, adalah keteladanan pemimpin dan guru. Guru harus bisa menjadi
contoh. Jika guru gagal menjadi teladan, jangan heran, jika pepatah klasik berubah ekstrim: guru
kencing berlari, murid bisa mengencingi gurunya.

29
Jika tiada kesungguhan keteladanan, maka Pendidikan Karakter hanya akan menjadi slogan
dan menambah daftar panjang daftar kefrustrasian program pendidikan. Na’udzubillahi min dzalika.
(***)

Jangan Lupa Tujuan Pendidikan

PADA Hari Senin (12/7/2010), anak-anak sekolah kembali ke bangku sekolah, setelah
menjalani libur panjang. Sebagian mereka adalah murid-murid yang menapaki jenjang pendidikan baru.
Sebagian lain, hanya menjalani kenaikan kelas. Dalam situasi seperti ini, meskipun sudah pernah kita
singgung sebelumnya, ada baiknya, kita semua – terutama orang tua dan guru – benar-benar menyadari
apa tujuan sebenarnya dari sebuah proses pendidikan menurut pandangan Islam.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, (Kuala
Lumpur, ISTAC, 1993), merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang
baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce
a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the
inculcation of adab.” (hal. 150-151).

Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia
seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad
saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang
baik lainnya. Manusia yang baik juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan
potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah SWT.

Dalam al-Quran dikatakan, manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-
Dzariyat: 56) dan menjadi khalifah Allah di muka bumi (QS al-Baqarah: 30). Manusia dikaruniai akal,
bukan hanya hawa nafsu dan naluri. Tugas manusia di bumi berbeda dengan binatang. Manusia bukan
hanya hidup untuk memenuhi syahwat atau kepuasan jasadiahnya semata. Ada kebutuhan-kebutuhan
ruhaniah yang harus dipenuhinya juga. Semua fungsi dan tugas manusia itu akan bisa dijalankan dengan
baik dan benar jika manusia menjadi seorang yang beradab.

Banyak orang Indonesia hafal bunyi sila kedua dari Pancasila, yaitu: “Kemanusiaan yang adil
dan beradab.” Tapi, apakah banyak yang paham, sebenarnya, apa arti kata ”adil” dan kata ”beradab”
dalam sila tersebut? Mungkin Presiden atau para pejabat negara juga tidak paham benar apa makna
kata-kata “adil” dan “beradab”, sebab faktanya, banyak pejabat yang perilaku dan kebijakannya tidak
adil dan tidak beradab. Lihatlah, banyak pejabat menggunakan mobil dan sarana mewah dengan uang
rakyat, padahal begitu banyak rakyat yang kelaparan, kurang gizi, tidak bisa berobat dan kesulitan biaya
pendidikan.

Di tengah jeritan banyak orang yang kesulitan biaya pendidikan sekolah anak-anaknya, muncul
kebijakan membuat patung-patung di berbagai tempat dan program pelesiran ke berbagai negara.
Tentu dengan uang rakyat. Saya pernah SMS seorang menteri karena meresmikan sebuah patung

30
bernilai Rp 2 milyar. Ia menjawab, bahwa patung itu dibiayai oleh pengusaha, bukan dari anggaran
negara. Meskipun begitu, menurut saya, tidak sepatutnya sang menteri meresmikan patung tersebut.
Kita semakin sering mendengar pejabat berteriak, mari rakyat hemat BBM (Bahan Bakar Minyak),
karena subsidi BBM sudah terlalu berat. Tapi, tengoklah, apakah mobil pejabat tersebut hemat BBM?
Mobilnya impor; biaya operasionalnya ditanggung oleh uang rakyat, dan itu jelas boros. Kenapa
Presiden dan para pejabat tidak menggunakan mobil yang sederhana dan hemat BBM? Tentu tidak
menjadi soal jika mobil itu dibeli dengan uangnya sendiri dan BBM-nya juga beli sendiri, tidak
menggunakan uang rakyat.

Mari kita lihat contoh lagi! Ini terjadi bukan hanya di kalangan pejabat, bahkan di kalangan
ulama dan tokoh agama. Begitu sering kita mendengar seruan untuk menjadi orang taqwa. Kata
”taqwa” begitu mudah diucapkan; lancar didengarkan; pejabat bicara taqwa, ulama berkhutbah
meyerukan taqwa. Ayat al-Quran juga sering dilantunkan: Yang paling mulia di antara kamu adalah
orang yang taqwa (Inna akramakum ’inda-Allaahi atqaakum).

Bicara dan ngomong taqwa memang mudah. Tapi, apa benar-benar seruan taqwa itu
dijalankan, bahkan oleh para ulama dan tokoh agama? Allah menyebutkan, bahwa yang paling mulia
adalah yang paling taqwa, bukan yang paling banyak hartanya, bukan yang paling cantik wajahnya,
bukan yang paling populer, dan juga bukan yang paling tinggi jabatannya. Pesan al-Quran jelas:
hormatilah yang paling taqwa! Tapi, lihatlah contoh-contoh dalam kehidupan nyata.

Lihatlah, saat para tokoh agama menggelar hajatan perkawinan buat anak-nya. Apakah orang
taqwa yang didahulukan untuk bersalaman atau pejabat tinggi yang dihormati dan didahulukan.
Kadangkala, banyak orang-orang ”kecil” yang sudah mengantri selama berpuluh-puluh menit, bahkan
berjam-jam, kemudian harus dihentikan, karena ada pejabat atau mantan pejabat datang; ada orang
terkenal datang.

Apakah perilaku seperti itu adil dan beradab? Suatu ketika kepada pimpinan suatu partai Islam
saya usulkan, agar jangan banyak-banyak membuat bendera dan spanduk kampanye, karena begitu
banyak jalan di sekitar kediaman calon-calon legislatif partai itu yang rusak dan berlobang. Lucunya,
sang calon bukan membeli semen atau aspal untuk m memperpaiki jalan, tetapi malah mencetak poster
dan profil dirinya lalu dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitarnya. Seorang Ustad di Depok bercerita
kepada saya, ia juga pernah menasehati seorang calon anggota legislatif yang datang kepada dirinya,
meminta dukungan. Ustad itu menasehati sang calon, gunakan uang kampanye Anda untuk membantu
pedagang-pedagang muslim di pasar-pasar rakyat yang kini terjepit rentenir. Ini nasehat yang sangat
baik, agar seorang aktivis politik muslim bersikap adil dan beradab.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan makna ”adil” dan ”beradab” dalam sila kedua Pancasila?

Seperti diketahui, rumusan sila kedua itu merupakan bagian dari Piagam Jakarta yang dilahirkan
oleh Panitia Sembilan BPUPK, tahun 1945, dan kemudian disahkan dan diterima oleh bangsa
Indonesia, sampai hari ini. Sila kedua ini juga lolos dari sorotan berbagai pihak yang keberatan

31
terhadap sebagian isi Piagam Jakarta, terutama rumusan sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Jika dicermati dalam sudut ”pandangan-alam Islam” (Islamic worldview), lolosnya sila kedua
sebagai bagian dari Pancasila, itu cukup menarik. Itu menunjukkan, pengaruh besar dari konsep Islam
terhadap rumusan sila kedua tersebut. Perlu dicatat, rumusan sila kedua itu sangat berbeda dengan
rumusan yang diajukan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Bung
Karno mengusulkan “lima sila” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2)
Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5)
Ketuhanan.

Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan yang
seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan
kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah yang bisa
menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat? Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”.
Sebab, kedua istilah dan konsep itu memang istilah yang khas Islam. Cobalah simak dan cermati,
apakah ada padanan kata yang tepat untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di
wilayah Nusantara? Apakah bahasa Jawanya ”adil”? Apakah bahasa Sundanya ”adab”?

Bisa disimpulkan, kedua istilah dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang
hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan karena itu harus dicarikan maknanya dalam Islam. Minimal,
tidaklah salah, jika orang Muslim di Indonesia menafsirkan kedua istilah itu secara Islami. Rumusan
sila kedua Pancasila itu menunjukkan, bahwa Pancasila sejatinya bukan sebuah konsep sekular atau
konsep netral agama, sebagaimana sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini.

Masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi
yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam (Islamic worldview) pada
rumusan Pancasila. Itu juga ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang maknanya
sangat khas Islam, seperti kata “hikmah” dan “musyawarah”. Karena dua kata – adil dan adab — ini
jelas berasal dari kosakata Islam, yang memiliki makna khusus (istilaahan), maka hanya bisa dipahami
dengan tepat jika dirunut pada pandangan-alam Islam.

Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai
contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku
adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji,
dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).

Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini,
yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar,
mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah
zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri;
mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri.

32
“Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama
itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis Hamka.

Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang
Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini terikat dengan
konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil dipahami dalam kerangka pandangan-alam Barat
(western worldview), maka akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis ”Kesetaraan Gender” atau
feminis liberal, yang berpedoman pada konsep “setara” menurut pandangan-alam Barat, misalnya,
mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang dinilai menerapkan diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan.

Dipertanyakan, misalnya, mengapa aqiqah untuk bayi laki-laki, misalnya, adalah dua kambing
dan aqiqah untuk bayi perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif.
Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Menurut
konsep yang lain, bisa dikatakan tidak adil. Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan
antara hak “orang jahat” dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika Presiden – yang tidak ada hubungan
keluarga apa pun – berhak memberikan grasi kepada seorang terhukum.

Tetapi, dalam Islam, yang lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada
keluarga korban kejahatan. Jadi, kata adil, memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-
alam apa yang digunakan. Sejumlah kalangan, dengan alasan HAM, menilai aturan Islam tidak adil,
karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Juga dengan dasar yang
sama, mereka menuntut keadilan, agar kaum homoseksual dan lesbian juga diberikan hak yang sama
untuk diakui keabsahan pernikahan mereka, sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa
juga mereka menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan,
tidak mengganggu orang lain. Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup. Dan
sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kemanusiaan yang adil dan beradab –
dilepaskan maknanya dari sudut pandangan-alam Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang
hakiki.

Bagi kaum Muslim, khususnya, cendekiawan Muslim Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas
mengingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam
Islam dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami
Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut Prof. Naquib, banyak istilah kunci
dalam Islam yang kini menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari
makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of
language).

Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan
sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa batasan, atau sebagai
tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah adab, yang diartikan hanya sebagai adat

33
peraturan mengenai kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Lihat, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti
Sains Malaysia, 2007)).

Mudah-mudahan rumah tangga kaum Muslim dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di


Indonesia benar-benar mampu melahirkan manusia-manusia yang adil dan beradab, sebagaimana yang
telah dikonsepkan dalam Islam; bukan manusia yang zalim dan biadab! [Bogor, Juli
2010/hidayatullah.com]

Merusak Pendidikan Agama

“Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Itulah judul sebuah buku yang ditulis
seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah. Dalam kata pengantarnya untuk
buku ini, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyatakan, bahwa buku
ini memiliki arti penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama. Azra mendefinisikan
‘Pendidikan Multukultural’ sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam
meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia
secara keseluruhan.”

Buku ini penting untuk kita cermati, karena menyuguhkan satu wacana tentang Pendidikan
Agama di Indonesia. Ajaibnya, buku ini bukan memberikan suatu pemahaman tentang Pendidikan
Agama yang benar, tetapi justru menyuguhkan suatu pemahaman yang merusak aqidah Islam itu
sendiri. Maka, seharusnya, seorang profesor kenamaan tidak sampai terjebak untuk memuji-muji buku
seperti ini. Apalagi, si profesor juga dikenal sebagai pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim se-
Indonesia (ICMI). Mungkin Sang Profesor tidak membaca isinya dengan teliti, atau mungkin memang
dia sendiri setuju dengan isi buku tersebut.

Sebenarnya, istilah yang digunakan, yakni ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, itu
sendiri sudah bermasalah. Istilah itu mengesankan, seolah-olah selama ini, umat Islam tidak
mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat. Bahkan,
seperti pernah kita bahas dalam sejumlah CAP, istilah dan makna ”multikulturalisme” itu sendiri –
seperti dijelaskan oleh para pendukungnya — sudah sangat bermasalah.

Tetapi, kita sangat memahami, karena paham ini sedang menjadi proyek global – yang tentu
saja ada kucuran dana yang sangat besar – maka wacana multikulturalisme terus dijejalkan kepada
kaum Muslim Indonesia. Badan Litbang Departemen Agama telah meluncurkan program pembinaan
dai-dai multikultural dan menyebarkan buku-buku tentang multikulturalisme. Para santri dan kyai di
berbagai pesantren, khususnya di Jawa Barat, juga telah dijejali paham ini oleh agen liberal, seperti
International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Berbagai seminar tentang multikulturalisme pun
digelar, seolah-olah, inilah agenda penting yang harus ditelan umat Islam Indonesia saat ini. Seolah-
olah, umat Islam selama ini tidak memahami keragaman budaya dan agama. Seolah-olah umat Islam
selama ini tidak toleran dengan agama lain, dan sebagainya.

34
Kita pernah membahas apa makna ”Multikulturalisme” dalam pandangan Litbang
Departemen Agama, yang merupakan hasil penelitian Litbang Depag tentang “Pemahaman Nilai-nilai
Multikultural Para Da’i”. Dijelaskan, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat
menjadi faktor dis-integrasi. Konflik antar-umat beragama dapat terjadi karena — salah satunya —
disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini
dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya
agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan
dianggap sesat.

Jadi, dalam wacana multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya
sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menjadi sebab terjadinya konflik antar-umat beragama. Logika
selanjutnya adalah, agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri.
Umat beragama diajak untuk mengakui kebenaran semua agama. Minimal, jangan menyalahkan agama
dan kepercayaan di luar agamanya.

Tentu saja kesimpulan semacam ini sangat keliru. Sebab, setiap orang yang beragama – jika
masih berpegang pada keyakinan agamanya – pasti meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jika dia
meyakini kebenaran semua agama, maka dia sejatinya sudah tidak beragama. Kita ingat jargon populer
kaum Pluralis Agama, yakni ”All paths lead to the same summit” (semua jalan akan menuju puncak
yang sama). Maksudnya, agama apa pun sebenarnya menuju pada Tuhan yang sama. Tokoh pluralis
lain menggambarkan agama-agama laksana jari-jari sebuah roda yang semua menuju pada poros yang
sama. Poros itulah, menurut dia, adalah Tuhan.

Semangat humanisme sekular tanpa diskriminasi agama inilah yang juga ditekankan dalam
buku ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Misinya adalah membangun persaudaraan
universal tanpa membedakan lagi faktor agama, sebagaimana misi yang digelorakan oleh Free Masonry,
Theosofie, dan sebagainya. Misalnya ditulis dalam buku ini:

”Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia,
termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan
kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan
agama… Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua
penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural
(kalimatun sawa’) antara kami dan kami… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya
mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong
kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan
mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality)
dan sama martabatnya (dignity).” (hal. 45-46).

35
Bagi yang memahami tafsir al-Quran, pemaknaan terhadap QS 3:64 tentang kalimatun
sawa’ semacam itu tentulah dan ngawur. Sebab, ayat itu sendiri sangat jelas maknanya, yakni perintah
kepada Nabi Muhammad saw agar mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Disebutkan dalam ayat tersebut (yang artinya):

”Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuat upun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai Tuhan selain daripada Allah.”

Jadi, QS 3:64 tersebut jelas-jelas seruan kepada tauhid, bukan kepada paham Multikulturalisme.
Meskipun maknanya sudah begitu jelas, tapi para pendukung paham Multikulturalisme ini dengan
sangat berani dan gegabah membuat makna sendiri. Karena menjadikan paham Multikulturalisme
sebagai dasar keimanannya, maka Tauhid pun dimaknai secara keliru dan diselewengkan maknanya.
Padahal, Tauhid jelas berlawanan dengan syirik. Musuh utama Tauhid adalah syirik. Karena itu, Allah
sangat murka dengan tindakan syirik, dan disebut sebagai ”kezaliman yang besar” (zhulmun
’azhimun). Karena itu, di dalam al-Quran disebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka, karena dituduh
mempunyai anak (QS 19:88-91).

Tetapi, dalam paham Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, justru
keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri dilarang:

”Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan

klaim kesesatan kelompok-kelompok agama lain, bisa membangkitkan sentimen permusuhan


antarumat beragama dan antarkelompok. Penganjur-penganjur agama yang mempunyai corak
pemahaman teologi dogmatis semacam itu dapat dengan mudah membawa dan memicu
konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya semua mengatasnamakan Tuhan.”
(hal. 48)

Tidak sulit untuk menyimpulkan, bahwa sadar atau tidak, misi buku Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural ini memang jelas-jelas merusak aqidah Islam. Agar memiliki daya rusak
yang tinggi, maka digunakanlah salah satu aspek strategis, yakni ”Pendidikan Agama”. Daya rusak itu
tentu saja semakin tinggi dengan dukungan profesor kenamaan yang memiliki kekuasaan tinggi di
Perguruan Tinggi dan organisasi cendekiawan Muslim.

Buku Pendidikan Agama jenis ini memang jelas-jelas menyebarkan ’paham syirik’ Pluralisme
Agama. Sebab, buku ini membenarkan semua paham syirik yang dengan tegas telah dikecam dalam al-
Quran. Ditulis, misalnya: ”Jadi, semua agama adalah sebuah totalitas sosio-kultural yang merupakan
jalan-jalan yang berbeda dalam mengalami dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Yang

36
menyebabkan perbedaan itu adalah bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, namun hanya faktor-faktor
partikular yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan.” (hal. 50).

Lebih jauh dijabarkan bahwa: ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural mengandaikan


suatu pengajaran efektif (effective teaching) dan belajar aktif (active learning) dengan memperhatikan
keragaman agama-agama siswa. Dalam hal ini, proses mengajar lebih menekankan pada bagaimana
mengajarkan tentang agama (teaching about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of
religion), karena yang pertama melibatkan pendekatan kesejarahan (historical approach) dan
pendekatan perbandingan (comparative approach), sedangkan yang kedua melibatkan indoktrinasi
dogmatik pada siswa sehingga secara praktis ia tidak memberikan sarana yang memadai untuk
menentukan palajaran/kuliah mana yang dapat diterima dan mana yang perlu ditolak.” (hal. 102).

Untuk menjalankan misi Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural tersebut, maka juga
diperlukan guru-guru yang memiliki pemahaman yang sama. ”Guru penganut suatu agama yang
meyakini hanya ada satu kebenaran dan satu keselamatan, tertutup kemungkinan untuk menerima
validitas kepercayaan-kepercayaan alternatif dan gagal mengajarkan toleransi dan saling menghargai
antar sesama penganut agama.” (hal. 103).

Jadi, jelaslah, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural memang berusaha menggerus


keyakinan ekslusif tiap agama, khususnya aqidah umat Islam. Untuk itu, penulis buku yang sudah
sangat populer keliberalannya ini memang tidak takut-takut untuk merusak tafsir al-Quran,
sebagaimana contoh terdahulu. Sejumlah ayat al-Quran lainnya juga dia tafsirkan dengan semena-
mena.

Misalnya, dengan seenak perutnya sendiri, ia mengubah makna ”taqwa” dalam QS 49:13.
Kaum Muslim memahami bahwa makna ’taqwa’ adalah taat kepada perintah Allah dan menjauhi
larang-larangan-Nya. Tapi, oleh penganut paham multikulturalisme, istilah ’taqwa’ diartikan sebagai
”yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan pendapat.” Buku Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural ini menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut:

”Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan
kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling menghargai.
Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan
menghargai perbedaan di antara kamu.” (hal. 49).

Sebagai kaum Muslim, kita diperintahkan untuk sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-
Quran. Dalam acara ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam” di Universitas Muhammadiyah
Malang, 11-13 Februari 2008, tokoh Muhammadiyah Ustad Muammal Hamidy mengingatkan, bahwa
para sahabat Rasulullah saw dan para ulama ahli tafsir senantiasa sangat berhati-hati menafsirkan al-
Quran.

37
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang
akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak
aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang
mengucapkan (sesuatu) tentang al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak
dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud,
Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia
merupakan pemaparan tentang Allah.”

Mencermati isi buku ini tidaklah sulit bagi kita untuk menilai, bahwa buku Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural ini memang merusak aqidah Islam dan Tafsir al-Quran. Namun,
Professor sekaliber Azyumardi Azra justru memberikan pujiannya. Penulis buku ini, menurut sang
Professor UIN Jakarta ini,”telah membuka pintu masa depan kajian pendidikan agama bercorak
multikulturalisme di Indonesia”.

Jadi, pintu untuk merusak Pendidikan Agama di Indonesia sudah resmi dibuka! Lalu, apa
tindakan kita? (Depok, 7 Juli 2008).

Pemikiran Modern Ala Barat : Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia


Harian Suara Karya, Jumat 11 Oktober 1985, memuat tulisan Prof. Dr. Harun Nasution yang
menekankan perlunya umat Islam mengubah pola pikirnya mengikuti pola pikir Barat modern. Artikel
itu berjudul ”Ajaran Islam tentang Akal dan Akhlak”. Harun menulis, bahwa ia pernah mendapat
pertanyaan dari Madame Haydar, istri seorang koleganya dari Kedubes Libanon di Brussel, Belgia:

”Mengapa orang-orang Nasrani umumnya berkelakuan baik, berpengetahuan tinggi dan


menghargai kebersihan, sedang kita orang Islam umumnya kurang dapat dipercayai bodoh-
bodoh dan tidak tahu kebersihan?”

Harun bertanya kepada Madame Haidar:

”Yang Anda maksud barangkali orang-orang Eropa dan bukan orang-orang Nasrani. Eropa
memang sedang berada dalam zaman kemajuannya, sedang Timur masih dalam zaman
kemunduran. Ekonomi Eropa yang maju mmebuat orang-orangnya mempunyai kesempatan
untuk memperoleh pendidikan baik lebih tinggi sedang Timur yang miskin, orang-orangnya
kebanyakan tinggal dalam ketidaktahuan.”

Lalu, Madame Haidar melanjutkan lagi:

”Yang saya maksud bukan orang Eropa, tapi orang Nasrani. Apa yang saya sebut adalah
kenyataan di negeri saya sendiri, Libanon. Kalau kita perhatikan orang Islam yang pergi ke

38
mesjid, kita lihat wajah mereka tidak berseri dan pakaiannya kotor-kotor. Tetapi sebaliknya
orang-orang Nasrani yang pergi ke gereja bersih wajah dan pakaiannya. Ekonomi mereka lebih
baik dari ekonomi orang Islam. Demikian juga pendidikan mereka lebih tinggi. Orang –orang
Islam ketinggalan.”

Terhadap pernyataan Madame Haidar itu, Harun Nasution menyatakan persetujuannya. Dia
menulis dalam artikelnya tersebut:

” Keadaan umat Islam sebagai digambarkan Madame Haidar itu bukan hanya terbatas bagi
umat Islam di Libanon. Hal serupa juga kita alami di Indonesia. Umat Islam di negeri kita lebih
rendah ekonomi dan pendidikannya dari umat lain. Masalah kita di Indonesia ialah umat Islam
yang berjumlah besar, tetapi ekonominya lemah dan pendidikannya tidak tinggi. Sedang umat
lain sungguhpun minoritas mempunyai kekuatan ekonomi dan pendidikan yang baik. Di pusat
lahirnya Islam, di Mekah dan Medinah, kita jumpai juga umat Islam tidak mempunyai
kemajuan dan dari segi budi pekerti juga tidak menggembirakan. Di Mesir hal yang sama kita
jumpai. Umatnya diperbandingkan dengan umat lain yang ada di sana, yaitu sebelum orang-
orang Yahudi, Yunani dan lain-lain meninggalkan negeri itu, jauh ketinggalan dalam soal
ekonomi, pendidikan dan budi pekerti. Di Turki, Suria, Yordan, Aljazair, India dan Pakistan
hal yang sama dijumpai. Maka pengamatan Madame Haidar dalam pertanyaan yang
dimajukannya adalah benar untuk dunia Islam pada umumnya. Dialog itu menyadarkan saya
bahwa persoalannya bukanlah semata-mata persoalan kebudayaan, tetapi adalah pula masalah
agama.”

Demikianlah dialog Harun Nasution dan Madame Haidar yang diungkapkan Harun Nasution
dalam artikelnya di Harian Suara Karya.

Setelah menunggu selama tiga minggu dan tidak ada seorang pun yang mengkritik artikel Prof.
Harun tersebut, Prof. HM Rasjidi akhirnya memaksakan diri mengangkat pena dan memberikan
kritiknya. Saat menjadi Associate Professor di McGill University, Rasjidi adalah orang yang
mengusahakan agar Harun dapat melanjutkan studinya di McGill. Tapi, seperti pernah kita bahas
dalam beberapa tulisan, belakangan, Rasjidi banyak mengkritik pemikiran Harun Nasution yang
dinilainya terlalu berorientasi ke Barat.

Dalam tanggapannya, Prof. Rasjidi menulis:

”Membaca tulisan Prof. Harun tersebut, saya menjadi sesak nafas, dan bertanya-tanya:
Mengapa dengan mudah menerima segala cacian dan penghinaan kepada umat Islam. Kalau
dari permulaan kita sudah bersikap: menyerah, tidak percaya diri sendiri, maka tak mungkin

39
kita dapat mempertahankan diri kita. Kalau seorang petinju, sebelum memasuki gelanggang
pertarungan, sudah menggambarkan bahwa musuhnya kuat, tak dapat dikalahkan, bahwa
pukulannya sangat jitu dan berbahaya, maka mustahillah ia akan memenangkan pertandingan.
Rasa kesal saya bertambah ketika membaca paragraf selanjutnya, karena paragraf itu berbunyi:
Dialog itu menyadarkan bahwa ”persoalan bukan semata-mata persoalan kebudayaan, tetapi
adalah pula masalah agama.”

Rasjidi yang menyelesikan disertasi doktornya dalam studi Islam di Sorbone University, Paris,
lalu memaparkan bahwa soal kebodohan dan kekotoran adalah masalah yang dihadapi oleh tiap-tiap
umat beragama, bukan hanya persoalan umat Islam. Tapi, kata Rasjidi, ”… hal pertama yang sangat
penting adalah: Kita harus mempunyai harga diri.” Dialog antara Harun dengan Madame Haidar, kata
Rasjidi, ”Adalah dialog antara dua jiwa yang banyak persamaannya, ya’ni jiwa yang kena cekokan dari
Barat bahwa Kristen itu bersih, pandai dan mempunyai sifat-sifat yang baik, sedang Islam adalah kotor,
bodoh, perangai jahat dan seterusnya.”

Kritik Prof. Rasjidi terhadap artikel Harun Nasution tersebut sangat penting kita telaah, sebab
membuka mata kita, bahwa dalam soal pemikiran Islam, persoalannya bukan semata-mata logika,
tetapi ada faktor lain yang juga perlu ditelaah, yaitu soal mental, ”aspek kejiwaan”. Mental minder,
mental rendah diri dalam melihat peradaban Barat itulah yang menjadi faktor penting, sehingga
seringkali menutup seluruh logika yang sehat.

Dengan posisinya sebagai Rektor IAIN Jakarta dan kemudian sebagai Direktur Program Pasca
Sarjana IAIN Jakarta, Harun senantiasa dianggap sebagai peletak dasar pembaruan pendidikan Islam
di Indonesia, yang dilakukan melalui IAIN Jakarta. Tahun 1973, bukunya ”Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya” dijadikan sebagai buku rujukan wajib di seluruh Perguruan Tinggi Islam.
Dengan dukungan Menteri Agama Mukti Ali – yang juga alumnus McGill University — proyek
pembaratan (Westernisasi) IAIN kemudian dilakukan secara sistematis. Pelan tapi pasti, sejak 35 tahun
lalu (tahun 1973), kiblat studi Islam di IAIN diarahkan ke Barat.

Dalam kaitan inilah, peran pusat Studi Islam McGill Kanada yang didirikan oleh Prof. Wlfred
Cantwell Smith sangat signifikan. Peran besar McGill dalam pembaratan studi Islam di Indonesia
dijelaskan dalam buku ”Paradigma Baru Pendidikan Islam”, yang diterbitkan oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI tahun 2008.
Ditulis dalam buku ini:

”Melalui pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat masif dari
seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang
tradisional studi Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling
menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan
tingkat grass root.” (hal. 6, cetak tebal dan miring dari saya, Adian).

40
Tentang peran Harun Nasution dalam pembaratan IAIN ditulis dalam buku ini:

”Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia mengenalkan multi pendekatan dan
memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan
STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang.” (hal. 7)

Ditulis dalam buku ini, bahwa pembaruan Islam perlu dilakukan, karena yang menjadi masalah
umat Islam Indonesia adalah bahwa sampai saat ini adalah kurang berkembangnya pandangan
pluralistik atau penghargaan atas perbedaan di kalangan umat. Pada zaman Harun, tulis buku ini,
pengajaran keagamaan sangat normatif dan terpaku pada salah satu paham atau aliran pemikiran, atau
bahkan kelompok atau pemikiran orang tertentu dan sangat fiqih oriented. Model pendidikan yang
seperti itu dapat dipastikan akan menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan
agama yang sempit. ”Dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat
segala hal yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan bahkan sesat.” (hal.
8).

Untuk melakukan pembaruan pemikiran Islam di IAIN, Harun Nasution mencari akar
pembenarannya dalam teologi rasional ala Mu’tazilah dan mengenalkannya kepada masyarakat lewat
buku dan pengajarannya di IAIN dan program pascasarjana IAIN Jakarta. ”Selama menjadi rektor
(1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur pada program studi lanjutan
pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam rasional dan
menjadikan program S1 dan pasca sarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam
Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan keislaman yang baru.” (hal. 8).

Membaca buku ”Paradigma Baru Pendidikan Islam” yang diterbitkan Departemen Agama
ini kita menjadi paham, bagaimana proyek pembaratan IAIN ini secara sistematis dijalankan selama
lebih dari 30 tahun. Pemuktazilahan IAIN seperti digambarkan dalam pemikiran Harun hanyalah
slogan, karena faktanya adalah pembaratan, seperti yang dibanggakan sebagai bentuk kemajuan dalam
pendidikan Islam. Inilah yang dikatakan sebagai ”Paradigma Baru Pendidikan Islam”.

Jika kita membaca buku yang disusun para alumni Studi Islam McGill ini, yang dikatakan
sebagai ”Paradigma Baru” dalam pendekatan studi Islam tidak lain adalah mengikuti pendekatan studi
Islam yang menekankan pada pendekatan sejarah (historis) dan bukan pendekatan normatif. Metode
pendekatan sejarah ini digunakan antara lain karena kekaguman Mukti Ali terhadap gurunya di McGill,
yaitu Prof. Wilfred Cantwell Smith, seperti ditulis dalam buku ini:

”Smith adalah sosok yang kemudian selalu dikagumi Mukti Ali karena sikap ramahnya
terhadap Islam dan metodologi yang dipakainya dalam mempelajari Islam. Menurut Mukti Ali,
Smith tidak hanya menarik dari sisi simpatiknya terhadap Islam tetapi juga dari pendekatan
holistik yang digunakannya. Bahwa Islam tidak semata fenomena normatif, tetapi harus
dipandang dari sudut lain, sebagai fakta sejarah dan sebagaimana agama-agama lain di dunia,

41
Islam muncul dalam peradaban manusia. Maka pendekatan yang digunakan pun pendekatan
kemanusiaan. Empiris kemanusiaan menjadi pendekatan yang dipilih untuk mendekati ajaran
Islam dan fenomena umatnya.” (hal. 10).

Buku ini sebenarnya menceritakan kesuksesan proyek kerjasama McGill dengan UIN Jakarta
dan UIN Yogya. Karenanya proyek ini akan diteruskan. Ada dua hal penting yang dikembangkan
dalam kerjasama ini. Yaitu penyelenggaraan proram Kajian Antar Bidang dalam studi Islam
(Interdisciplinary Islamic Studies/IIS) dan pengembangan kurikulum berbasis gender. Dalam IIS,
yang ditekankan adalah kajian Islam yang menekankan pada konteks sosial dan historis. ”Oleh karena
itu, kajian Islam yang memperhatikan konteks sosial dan historis serta menggunakan pendekatan-
pendekatan ilmu sosial sangatlah dibutuhkan.” (hal. 168).

Marilah kita simak betapa naifnya alasan dan tujuan penggunaan metode studi Islam model
Barat ini:

”Terlebih selama ini pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan secara dominan
masih bersifat normatif dan kurang historis. Dengan demikian, program ini akan menghasilkan sumber
daya manusia yang memiliki paradigma historis dalam kajian Islam. Pendekatan historis dan empirik
dalam kajian agama akan dipandang penting untuk meningkatkan tradisi keilmuan dan menciptakan
model pemahaman keagamaan yang bijak, demokratis dan toleran.”

Membaca buku ini kita menjadi lebih paham, mengapa buku-buku Studi Islam di Perguruan
Tinggi saat ini semakin banyak dijejali dengan pendekatan historis ala Barat. Ternyata, memang semua
ini adalah proyek pembaratan secara sistematis. Metode ini telah mengubah cara pikir begitu banyak
cendekiawan yang terjebak kepada ”penyamaan” Islam dengan agama-agama lain, dengan
menempatkan Islam sebagai bagian dari produk sejarah. Padahal, Islam adalah agama wahyu yang
memiliki karakter yang khas, yang berbeda dengan agama-agama lain. Al-Quran juga merupakan teks
wahyu yang tidak sama dengan kitab-kitab lain yang merupakan teks manusia dan teks sejarah. Karena
itu, metode pemahamannya juga tidak bisa begitu saja menggunakan pendekatan pemahaman
historisitas yang serba relatif.

Kita sudah beberapa kali disuguhi pemikiran yang menggelikan dari sejumlah dosen
UIN/IAIN yang menggunakan metode pendekatan historis kontekstual dalam studi Islam. Misalnya,
mereka menghalalkan perkawinan antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dengan alasan hal itu
tergantung konteks sejarah dan budaya Arab yang patriarki. Ada juga dosen syariah IAIN Semarang –
yang menggunakan pendekatan sejarah – yang kemudian berpendapat bahwa mahar dalam perkawinan
bisa juga diberikan oleh mempelai wanita, tergantung situasi sosial dan budayanya. Keharusan
memberikan mahar bagi laki-laki, menurut dia, adalah kaena ayat al-Quran turun di Arab yang
budayanya patriarki.

Menyimak semua ini tidak sulit bagi kita untuk melihat sebuah bentuk penjajahan intelektual
yang sangat sistematis dalam merusak pemikiran Islam. Dengan pendekatan historis kontekstual ini,

42
tidaklah sulit bagi kita untuk memahami, kemana arah tujuan studi Islam ala Barat ini dikembangkan.
Yaitu, tirulah cara berpikir Barat yang serba relatif. Kebenaran tergantung pada situasi sosial dan
budaya. Tidak ada kebenaran yang tetap. Dalam kasus ”aurat wanita”, misalnya, akan dikatakan bahwa
aurat itu fleksibel tergantung situasi sosial dan budaya. Begitu juga dalam soal-soal ajaran dan hukum
Islam lainnya. Ujung-ujungnya, para mahasiswa dan sarjana digiring untuk berpikir ala Barat yang
bersikap netral terhadap ”al-Haq dan al-Bathil”; yang tidak bicara lagi soal ”Iman dan kufur”, ”tauhid
dan syirik”, dan sebagainya. Semua itu dianggap sebagai hal normatif.

Kita mengimbau kiranya pejabat dan para cendekiawan kita sadar akan kekeliruan dan bahaya
besar dalam pengembangan studi Islam model Barat di perguruan Tinggi Islam. Sangat
memprihatinkan jika ternyata yang disebut sebagai ”Paradigma Baru Studi Islam” adalah
”Paradigma Pemikiran Modern Ala Barat” seperti yang dipaparkan dalam buku ini.

Kita melihat hal yang sangat ironis. Begitu mudahnya para cendekiawan itu dicekoki
pemahaman yang sangat naif dan tidak realistis bahwa masalah utama umat Islam Indonesia adalah
kurangnya pemahaman Islam yang pluralis, pemahaman yang historis; bahwa kajian Islam yang
normatif adalah sumber masalah, sumber intoleransi umat beragama, dan sebagainya. Karena itu,
perlu digunakan ilmu-ilmu sosial Barat dalam studi Islam, agar menghasilkan pemahaman yang tidak
mutlak, yang toleran, dan seterusnya!

Bukankah ini logika yang naif! Bukankan Barat sendiri terbukti sangat tidak toleran, karena
terus-menerus memaksakan sekularisme, liberalisme, pluralisme dan paham Barat lain kepada seluruh
umat manusia. Mereka yang ingin menerapkan ajaran Islam dalam kehidupannya, yang menolak
pandangan hidup Barat, secara serampangan lalu diberi cap ”fundamentalis”, ”radikal”, ”konservatif”,
dan seabrek ’julukan miring’ lainnya. Yang mau ikut Barat dipuji-puji sebagai kaum intelektual yang
toleran, progresif, dan sebagainya. Jangan heran, jika di antara mereka, lahir orang-orang seperti Geert
Wilders, sutradara film Fitna, yang menyampaikan pesan di akhir film-nya: ”Stop
Islamization. Defend our freedom!”. Peradaban seperti inikah yang disebut toleran?

Dalam artikelnya di Majalah ISLAMIA (edisi 1/2004), Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, guru
besar bidang pendidikan dan pemikiran Islam di Universitas Islam Internasional Malaysia,
mengingatkan dampak besar penggunaan metode Barat dalam pemahaman Islam, seperti
hermeneutika: ”Jika kita mengadopsi satu kaedah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar-belakang
sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan metode kita
sendiri yang telah begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah
membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul dan lama.”

Seabrek argumentasi bisa kita berikan tentang perlunya umat Islam tidak tunduk kepada
metode Barat dalam memahami Islam. Tapi, seperti disampaikan Prof. HM Rasjidi saat mengkritik
Prof. Harun Nasution, bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada soal logika, tapi ada aspek
”kejiwaan” yang terlibat di dalamnya.

43
Ada baiknya kita hayati nasehat Pak Rasjidi, ”Kita harus mempunyai harga diri!” (Jakarta, 11
Rabiulakhir 1429 H/18 April 2008).

Pendidikan Agama Kita


Pekan lalu saya diminta mengisi acara diskusi untuk guru-guru agama tingkat SMA di wilayah
Jakarta. Mengingat pentingnya acara ini, saya menyempatkan diri untuk membeli sejumlah buku
Pendidikan Agama Islam yang diajarkan kepada anak-anak tingkat SMA. Setelah membacanya, ada
sejumlah isi buku kiranya perlu mendapatkan perhatian serius dari umat Islam. Secara umum, tampak
bahwa pemikiran-pemikiran liberal yang sudah berkembang di berbagai Perguruan Tinggi Islam,
belum memasuki buku-buku Pelajaran Agama tingkat SMA. Namun, yang perlu diperhatikan adalah
soal kualitas dan beberapa kekeliruan isi buku.

Kita akan membahas sejumlah contoh berikut ini:

Dalam masalah toleransi dan aqidah, sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 3
SMA keluaran sebuah penerbit di Solo mengajarkan hal yang tegas dalam soal aqidah: ”Dalam hal
akidah, seorang muslim dilarang bekerja sama dengan nonmuslim.” Juga disebutkan, bahwa ikut
merayakan hari besar nonmuslim berarti telah mencampuradukkan ajaran agama.”(hal. 5). Lebih jauh
dikatakan, bahwa seorang muslim wajib mengajak orang lain untuk masuk dan mengikuti ajaran Islam.
Akan tetapi, hal itu tidak boleh dipaksakan. Kewajiban seorang muslim hanya mengajak. (hal. 9).

Meskipun cukup tegas dalam menyajikan materi aqidah, buku ini mempunyai kelemahan dalam
menyajikan materi tentang pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada bagian
pengembangan IPTEK, hanya disebutkan sejumlah ayat yang mendorong kaum Muslim untuk
berpikir dan nama-nama sejumlah ilmuwan Muslim di masa lalu, seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn
Rusyd, al-Khawarizmi, Ibn Batutah, dan sebagainya. Secara verbal, dorongan untuk menunut ilmu
diberikan, tetapi cara penyajian materi IPTEK dalam buku ini tampak sangat lemah.

Harusnya, sebuah buku pelajaran juga menyajikan, bagaimana contoh kegigihan, ketinggian,
dan kehebatan, ilmuwan muslim dalam mengejar ilmu pengatahuan. Dengan demikian, para siswa
bukan hanya dipaksa untuk menghafal nama-nama ilmuwan, tetapi juga memahami dan menghayati,
bahkan tertarik untuk meneladani kehidupan ilmuwan muslim.

Anehnya, buku ini justru memuat cerita tentang seorang anak yang sakit setelah mengikuti
orang tuanya pindah ke rumah barunya. Konon, rumah tersebut angker, sehingga dia disarankan oleh
tetangganya untuk pindah rumah saja. Setelah pindah, satu hari saja, anaknya langsung sembuh. Ditulis
oleh buku ini, bahwa apa yang terjadi itu kelihatannya ajaib, tidak masuk akal, dan membenarkan
anggapan bahwa rumah tersebut memang angker. Akan tetapi, sebenarnya peristiwa itu adalah hal yang
logis dan masuk akal. Para ahli mengatakan bahwa pada tempat-tempat tertentu terdapat gaya medan
magnet bumi. Gaya itu memengaruhi fisik dan kejiwaan orang-orang tertentu pula. Bahkan, gaya itu
juga dapat memengaruhi kendaraan yang berlalu lalang di atasnya. Oleh karena itu, di tempat-tempat

44
tertentu sering terjadi kecelakaan yang melibatkan kendaraan atau orang-orang tertentu pula. Hal ini
sering kali menjadi sebab munculnya takhayul. (hal. 111).

Penulisan masalah IPTEK untuk pelajaran agama tingkat SMA harusnya dilakukan dengan
memberikan data-data ilmiah yang memadai, baik data tentang sains klasik maupun modern. Jika
penulis buku Pendidikan Agama tidak memahami masalah-masalah IPTEK, seharusnya berkonsultasi
dengan pakar di bidangnya, agar tidak keliru ketika menulis tentang IPTEK. Pemuatan cerita tentang
anak sakit ketika pindah rumah itu tidak disertai dengan data-data ilmiah, dimana terjadinya, dan
apakah rumah itu memang sudah diteliti secara ilmiah, dan terbukti di situ terdapat ”gaya medan
magnit bumi”. Cerita semacam ini harusnya diberikan referensi dari pakar fisika atau buku tertentu
yang membuktikan ada kebenaran cerita semacam itu.

Ada lagi yang perlu ditinjau dari buku Pelajaran Agama semacam ini, yaitu begitu beratnya
materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa-siswa SMA, seperti pembahasan satu bab khusus
tentang hukum waris. Tentu ini materi yang baik. Tetapi, apa perlunya anak-anak SMA harus
menguasai secara mendetail hukum-hukum waris. Mestinya, cukup diberikan filosofi dasar hukum
waris dan keadilan hukum waris dalam Islam, agar nantinya anak-anak tertarik untuk mendalami
hukum waris lebih jauh.

Bagian lain yang perlu mendapat catatan adalah penyajian materi tentang sejarah Islam.
Biasanya cerita yang diberikan kepada siswa adalah bahwasanya Islam memasuki Indonesia dibawa
oleh pedagang-pedagang Arab. Cerita ini memberikan kesan bahwa yang datang ke wilayah Nusantara
bukanlah para dai yang sungguh-sungguh ingin menyebarkan Islam, tetapi dakwah adalah pekerjaaan
sambilan para pedagang Arab itu. Padahal, para wali yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa, misalnya,
adalah para ulama yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ada lagi sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 2 SMA keluaran sebuah penerbit
di Bandung, yang dengan gegabah menyajikan materi sejarah Islam Indonesia. Sebagaimana
buku ’Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’ karya Prof. Harun Nasution, yang dijadikan sebagai
buku pegangan Studi Islam di Perguruan Tinggi Islam, buku untuk anak SMA ini juga menyajikan
perkembangan sejarah Islam pada Abad Pertengahan. Istilah ’Islam Abad Pertengahan’ ini jelas
mencontoh periodisasi sejarah peradaban Barat yang kelam. Barat menyebut periode pertengahan ini
sebagai ’The Dark Ages’, zaman kegelapan.

Mengacu pada sifat peradaban Barat tersebut, buku pelajaran untuk anak SMA ini juga
menceritakan wajah kelam Islam pada Zaman Pertengahan Islam (1250-1800 – tahun ini sama persis
dengan yang tertulis dalam buku Harun Nasution). Buku ini memberikan gambaran kelam tentang
perkembangan ilmu pengetahuan Islam: ”Perkembangan ajaran Islam pada abad ini tidak sepesat
beberapa abad sebelumnya. Ajaran Islam hanya dipandang sebagai pelengkap kehidupan rohani
semata. Sehingga ilmu pengetahuan Islam hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti.” Juga
ditulis: ”Dapat dikatakan, ajaran Islam yang berkembang pada abad pertengahan adalah ajaran tasawuf
dan tarekat, yang cenderung mengungkung orang untuk berkreatifitas dan berkarya secara bebas.”

45
Pada bagian berikutnya dari buku ini dibahas tentang ”Pengaruh Perkembangan Dunia Islam
Abad Pertengahan terhadap Islam dan Umat Islam di Indonesia.” Pada bagian ini, penulisnya memberi
catatan hitam atas perkembangan Islam di Indonesia. Ia memaparkan:

”Dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu Islam yang berkembang pada masa itu, hanyalah ilmu
tasawuf dan tarekat, disamping ilmu fiqih dan tauhid sebagai sekedar pelengkap ibadah semata.
Para tokoh dan ulama yang muncul pada masa itu juga hanya ulama-ulama tasawuf dan tokoh-
tokoh tarekat. Hampir tidak ditemukan nama-nama ulama fiqih, hadits, tafsir, dan yang
lainnya. Di Aceh dan Sumatera misalnya, muncul beberapa ulama nusantara kenamaan, seperti
Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Abdurrauf Singkel, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Syaikh
Syamsuddin As-Sumatrani, Abdusshamad Al-Falimbani yang nota bene semua adalah ulama
tasawuf dan tokoh tarekat tertentu. Di Jawa juga muncul beberapa ulama seperti Syaikh
Nawawi Al-Bantani, Syaikh Siti Jenar dengan kelompok wali songonya, yang juga dapat
dikatakan sebagai tokoh tasawuf dan penganut tarekat tertentu. Begitu juga di Sulawesi dan
Kalimantan, terdapat nama-nama besar ulama tasawuf dan tokoh-tokoh tarekat. Misalnya,
Syaikh Yusuf al-Makassari, Syaikh Arsyad al-Banjari, dan Syaikh Ahmad Khatib Syambas.
Mereka telah belajar cukup lama di kawasan dunia Islam, dan pulang ke tanah air sebagai tokoh
tasawuf dan tarekat.” (hal. 87-90).

Cara menyajikan sejarah para ulama Indonesia seperti itu sangatlah tidak bijak, sebab terlalu
mudah mengecilkan karya-karya mereka. Hingga kini, ratusan karya tulis para ulama itu masih bisa
dikaji dan terus menjadi bahan penelitian di berbagai universitas di dunia. Menyamakan kedudukan
Siti Jenar dengan walisongo yang lain juga kekeliruan dan kecerobohan. Penulis buku Pendidikan
Agama Islam ini pun tampak begitu sengit dengan paham tasawuf, tanpa melalukan penelitian yang
mendalam tentang apa itu tasawuf. Sultan Muhammad al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel
tahun 1453 adalah pengikut tasawuf.

Jika ulama-ulama di Nusantara itu dikecilkan semua kualitas keilmuannya, maka siapa lagi yang
dipandang berjasa menyebarkan Islam di Indonesia. Bentuk pengajaran sejarah Islam seperti ini,
sangatlah tidak mendidik para siswa SMA untuk mencintai khazanah Islam Indonesia. Harusnya,
diberikan contoh karya ulama-ulama Nusantara dalam berbagai bidang keilmuan, agar para siswa
nantinya berminat menekuni bidang sejarah Islam dan bangga sebagai Muslim Indonesia yang memiliki
sejarah yang gemilang. Dari paparan tentang sejarah Islam Indonesia tersebut, tampak jelas, bahwa si
penulis buku Pendidikan Agama Islam ini tidak mempunyai visi dan misi yang jelas tentang sejarah
Islam Indonesia, sehingga begitu mudah mengecilkan kualitas karya-karya para ulama yang telah
berjasa besar dalam menyebarkan Islam di bumi nusantara ini.

Inilah contoh-contoh materi Pendidikan Agama Islam untuk tingkat SMA. Kita bisa
melanjutkan penelitian ke berbagai buku Pendidikan Agama Islam pada tingkat pendidikan lainnya.
Contoh ini, mudah-mudahan sedikit menggugah kita untuk melihat kenyataan, bahwa selama ini umat

46
Islam Indonesia sebenarnya belum melakukan upaya yang serius dalam pembenahan pendidikan
Agama Islam di sekolah-sekolah. Padahal, usaha untuk memasukkan Pendidikan Agama sebagai mata
pelajaran wajib di sekolah-sekolah, selama ini membutuhkan usaha keras. Berbagai organisasi dan
tokoh Islam sampai harus terjun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demonstrasi mendukung RUU
Sisdiknas yang menjadikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah.

Hingga kini, usaha untuk menggusur Pendidikan Agama di sekolah terus dilakukan dengan
gencar. Interfidei Yogya, misalnya, baru menerbitkan sebuah buku berjudul ”Problematika
Pendidikan Agama di Sekolah” (2007). Buku ini merupakan hasil penelitian tentang Pendidikan
Agama di Yogyakarta tahun 2004-2006. Buku ini antara lain merekomendasikan: ”Pemisahan siswa
berdasarkan perbedaan agama pada pelajaran agama sangat layak untuk dikaji ulang. Dalam hal ini
perlu diteliti dengan cermat tentang dampak sosial pada masa depan, karena terdapat temuan dalam
penelitian ini yang menunjukkan makin tinggi level pendidikan siswa tampak besar kecenderungan
untuk tidak santai dengan perbedaan agama.” Juga dikatakan seorang Profesor yang memberi kata
pengantar buku ini, bahwa Pendidikan Keagamaan kita belum memberikan kondisi mempersatukan
bangsa dalam corak multikulturalisme bangsa untuk menyikapi ragam Agama di Indonesia, melainkan
justru memperuncing perbedaan antar Agama.

Suara-suara yang menolak pendidikan Agama di sekolah-sekolah seperti itu, memang sulit kita
terima. Tetapi, kita perlu mengakui, bahwa selama ini, mutu dan kualitas pendidikan Agama di sekolah-
sekolah itu masih amat sangat perlu ditingkatkan. Dalam acara diskusi itu, saya mengajak para guru
agama di wilayah DKI yang hadir dalam acara tersebut, untuk bersama-sama berusaha keras
menjadikan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran yang paling bermutu,
paling menarik, dan paling diminati oleh para siswa sekolah. Ini perlu kerja keras dan perlu guru-guru
agama yang berkualitas tinggi. Wallahu a’lam. (Depok, 28 September 2007).

Perlukah Pendidikan Berkarakter?

PEMERINTAH, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan


pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas,
Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah
terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter
seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas
mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan
(Unimed), Sabtu (15/4/2010).

Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa
dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun
manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal
membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian,
berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.

47
Bahkan, bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang
sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan
sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana
mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.

Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga
Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan
karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak
melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses
pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir
menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010),
Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi
menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku,
bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau
pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama
keberhasilan pendidikan karakter.

Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak
dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang
plural. “Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan,
namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai
agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh
kultur yang kuat pada mereka yang lemah,” tulisnya.

Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam
membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial
yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih
operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa
menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan
dialogis.

Sebagai Muslim, kita tentu tidak sependapat dengan pandangan Doni K. Albertus semacam
itu. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa
menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd
saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural.
Tentu kita memahami pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.

Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam
dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan.
Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen

48
pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa
jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-
masing.

Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang


memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan
tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan,
berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila
dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang
sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam
program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan.
Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!

Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan
peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana
siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orangtua. Guru tidak berdaya. Kebijakan
sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu
memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan
Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat
pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.

*****
Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan
Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan
guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”

Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka,
awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru
yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin,
orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru”
(dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi
diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di
fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia
pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih
terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung.
Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota
mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan
untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.

49
Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada
murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa
Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang
ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).

Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah
dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan
bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian
untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya
demi kemajuan masyarakatnya.

*****
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah
artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”,
Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat
pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia
pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia
sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah.
Natsir menulis:

“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya
tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam
satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus
tahun yang lampau… semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta
dihargai…sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat
serakah… tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari
untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya…”

Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya
para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di
dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi
bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah
cendekiawan yang mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya,
adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh, kata Natsir:

”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak
kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa orde lama (kecuali pada sebagian kecil
elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat
perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan
berkembang terus, maka bukan saja umat islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa
islam di spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang
cukup serius.”

50
*****
Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya.
Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas
kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan
berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia
akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah.
Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!

Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang
cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat
pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya,
sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan
Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus
memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan
jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai
oleh rakyat – adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.

Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah tangga,
juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan
sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak
pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu
adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang
mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam
mengantri untuk bersalaman.

Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang
ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan Karakter yang
diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan! [Depok, Juni
2010/hidayatullah.com]

Dunia Pendidikan dan Misi Kristen

Untuk beberapa waktu (di sekitar Mei 2003), masalah RUU Sisdiknas (Sistem Pendidikan
Nasional) menjadi perhatian besar masyarakat, karena 10 Juni 2003 merupakan tanggal yang
direncanakan untuk mengesahkan RUU tersebut. Berbagai media massa telah melakukan polling
untuk menjaring pendapat masyarakat, meskipun terkadang polling itu seperti sengaja direkayasa untuk
memojokkan posisi yang mendukung RUU Sisdiknas.

51
Yang juga berlangsung seru adalah diskusi melalui jaringan internet. Dari sejumlah email
tentang RUU Sisdiknas yang saya terima, ada dua email yang menarik. Satu berjudul RUU Sisdiknas:
Sebuah Tuntutan Kekanak-Kanakan, ditulis oleh Augustinus Simanjuntak, dan satunya lagi berjudul
“RUU Sisdiknas, Bukti Umat Islam Tidak Dewasa!” ditulis oleh Malik Malaya. (Sayangnya, email yang
dirilis oleh sebuah kelompok Dialog antar Agama itu tidak memberikan identitas penulisnya, hanya
Malik Malaya mengaku Muslim).

Dalam tulisan pertama terdapat kalimat: “Uraian di atas sekedar gambaran betapa RUU
Sisdiknas adalah sebuah tuntutan yang kekanak-kanakan dari sekelompok masyarakat yang
menganggap lembaga-lembaga pendidikan Kristen (langsung saja tunjuk) tidak memberikan
pendidikan agama yang sesuai dengan imannya bagi siswa atau mahasiswa non Kristen/Katolik selama
ini.”

Sedangkan pada email yang kedua, terdapat ungkapan: “Sungguh menggelikan ketika
mendengar bahwa golongan nasrani yang menolak RUU itu dituduh ingin melakukan misi kristenisasi
atau misi pemurtadan melalui kurikulum sekolah swasta kristennya. Lho, bukankah memang yang
namanya sekolah kristen (berbasis agama kristen) meskipun bukan sekolah teologi sudah sewajarnya
menentukan kurikulumnya sendiri, begitu pun dengan sekolah Islam? Lalu apa hak umat Islam
mencampuri urusan internal mereka apalagi memaksakan perlunya kurikulum agama islam di sekolah
kristen? Ini sama halnya seperti anda tidak mungkin memasang kaligrafi Allah di gereja sebagaimana
mereka tidak bisa memasang salib di dalam mesjid.”
Kemelut tentang RUU Sisdiknas memang tidak syak lagi merupakan bagian dari persoalan hubungan
antar-agama, khususnya Islam-Kristen di Indonesia. Yang diributkan besar-besaran sejak awalnya
adalah soal pendidikan agama (pasal 12 ayat 1).

Kasus ini membuktikan, bahwa soal agama masih menjadi isu yang sangat sensitif di
Indonesia. Karena itu, untuk memahami fenomena kemelut RUU Sisdiknas, tidak bisa tidak, perlu
meninjau perkembangan sejarah hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Sejarah hubungan Islam-
Kristen di Indonesia berakar saat datangnya penjajah Belanda dan Portugis. Sejarawan KM Panikkar
mencatat: “Yang mendorong bangsa Portugal (untuk menjajah di Asia adalah) strategi besar melawan
kekuatan politik Islam, melakukan Kristenisasi, dan keinginan untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah…. Islam adalah musuh dan harus diperangi di mana-mana.” (Bilver Singh, 1998).

Mengutip pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van
Limburg Stirum, Aqib Suminto mencatat: “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua
yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan
zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan
membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.” (Aqib Suminto,
1985).Menjelang kemerdekaan, umat Islam yang merasa memiliki andil besar dalam menentang
penjajahan, mengajukan usul, agar negara Indonesia merdeka nantinya berdasarkan Islam. Namun,
usulan ini kandas, sehingga tercapai kompromi dalam Piagam Jakarta. Pada 11 Juli 1945, menghadapi

52
gugatan Latuharhary terhadap Piagam Jakarta, Soekarno menegaskan, bahwa Piagam Jakarta adalah
“satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama.”
Pada 18-8 1945, tokoh-tokoh Islam menerima kompromi, untuk meninggalkan kesepakatan yang oleh
Soekarno dikatakan telah dicapai dengan “berkeringat-keringat”. Prof. Kasman Singodimejo
menyebut kesepakatan itu sebagai “Gentlemen’s Agreement” bangsa Indonesia.

Ketika itulah sejarah mencatat, adanya ultimatum pihak Kristen, bahwa kaum Kristen
Indonesia Timur menolak bergabung dengan Indonesia jika Piagam Jakarta tetap diberlakukan.
Padahal, sampai dengan rapat terakhir BPUPKI tgl 16 Juli 1945, Soekarno masih menegaskan
disepakatinya klausul: “Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam.” Dan
pasal 28 tetap berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Terakhir, ketua BPUPKI yang merupakan aktivis Gerakan Teosofi,
yaitu dr. Radjiman Widijodiningrat, menyimpulkan: “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya…
dengan suara bulat diterima Undang-undang Dasar ini.”

Dr. Mohammad Natsir menyebut peristitiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai “Peristiwa ultimatum
terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan”. Mengomentari ultimatum pihak Kristen
pada tahun 1945 itu, Natsir menulis: “Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang
persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah
pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum, bukan
saja terhadap warga negara yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakekatnya terhadap
Republik Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi,
hari raya kita. Hari raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian Timur.
Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua
sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita ber-tahmied.
Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita ber-istighfar. Insyaallah umat Islam tidak akan lupa.”

Menurut Natsir, kaum Kristen sangat konsisten dalam menjalankan ultimatum 18 Agustus
1945. “Sungguhpun tujuh kata-kata itu sudah digugurkan. Tetapi mereka tidak puas begitu saja,” kata
Natsir. Di bidang legislatif, kaum Kristen berusaha keras menggagalkan setiap usaha pengesahan
Undang-undang yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran agama
mereka.

Di masa Orde Baru, ada upaya mencari “titik-temu” atau Gentlemen’s Agreement antara
Islam-Kristen melalui Musyawarah antar-umat Beragama pada 30 November 1967. Namun,
musyawarah itu gagal, karena pihak Kristen menolak sebuah klausul: “… dan tidak menjadikan umat
yang beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing.” Anak kalimat itu dianggap
bertentangan dengan perintah Injil: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada seluruh
makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan
dihukum.” (Markus 16:15-16).

Aturan-aturan pemerintah yang sudah ditetapkan sebagai dasar pijakan untuk menciptakan
kerukunan kehidupan beragama di Indonesia juga ditolak. Tahun 1969, pemerintah mengeluarkan
53
SKB No 1/ 1969, antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, yang mengatur pembangunan
rumah ibadah di Indonesia. Seorang tokoh Kristen, Prof. Dr. Sahetapy, menyatakan, SKB 1/1969
memasung kebebasan HAM, bertentangan dengan Pancasila, dan UUD 1945, karena itu harus ditolak
karena batal demi hukum. Bahkan, kata Sahetapy, SKB 1/1969 merupakan bentuk “penjajahan
terselubung” yang bertentangan dengan makna “kemerdekaan” sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. (FKKI-FKKS, Beginikah Kemerdekaan Kita, 1997).

“Ultimatum pihak Kristen”, seperti disebutkan Natsir, tetap berjalan saat diluncurkannya RUU
No 2/1989 tentang Sisdiknas dan RUU No 7/1989tentang Sistem Peradilan Agama (RUU-PA).
Berbagai ancaman diluncurkan, bahwa RUU itu hanya akan mengancam integrasi nasional.
Ketika itu, berbagai tuduhan ditujukan terhadap RUU-PA: bahwa RUUPA bertentangan dengan
Pancasila, bertentangan dengan UUD ‘45, dan bertentangan dengan Wawasan Nusantara.

Juga, dituduhkan bahwa RUU-PA merupakan tahapan menuju negara Islam. Bahkan, ada yang
menghubung-hubungkannya dengan usaha DI-TII, kegagalan Konstituante, atau ada hubungan
dengan aspirasi kelompok ekstrim kanan. Seorang pastor menulis di majalah Katolik: “Tiada Toleransi
untuk Piagam Jakarta”. Katanya kemudian, “Apakah kita semua ingin berbudaya dan beradat asing
berselubung agama?”

Toh, ketika RUU PA disahkan menjadi UU PA, tidak terjadi hal-hal seperti yang dituduhkan.
Siapa yang tidak toleran? Siapa yang tidak dewasa? Umat Islam melihat dan memiliki bukti-bukti kuat,
bahwa sekolah-sekolah Kristen menjadi ujung tombak misi Kristenisasi. Dan itu bukan soal sepele.
Tahun 1999, Yakoma PGI mengeluarkan satu buku berjudul Gereja dan Reformasi, yang
menyebutkan, jumlah orang Kristen (Protestan) di Indonesia sudah lebih dari 20 persen. Dan itu
adalah berkat dari “terjadinya pembaptisan-pembaptisan massal di berbagai tempat” (hal. 31-32).

Global Evangelization Movement Database, juga menyatakan, jumlah orang Kristen di


Indonesia sudah lebih dari 40 juta. Secara internasional, jumlah umat Kristen setiap tahun meningkat
6,9 persen, sehingga sekarang jumlahnya sudah mencapai 2 milyar jiwa lebih. (Majalah Rohani Populer
BAHANA, September 2002).

Mohammat Natsir mencatat soal Kristenisasi ini, “Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu
bi anna muslimuun. Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang
sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan
identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini…Kami
ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas
pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang menganggu agama kami, agama
Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (almumtahinah)… kalaulah ada sesuatu
harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami
wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan
ini.”

54
Sudah lama umat Islam merasakan kepedihan dalam bebagai hal. Tapi, ketika umat Islam
meminta, berilah pendidikan agama kepada anak-anak Muslim sesuai dengan agamanya, lalu dituduh
kekanak-kanakan, tidak dewasa, dan lain-lain. Ketika pihak lain memberikan ultimatum: tolak ini, tolak
itu, kalau tidak kami keluar dari NKRI, itu dipandang sebagai sikap dewasa. Inikah yang namanya
dewasa dalam berbangsa dan bernegara?

Umat Islam Indonesia telah lama menerima tampilnya orang-orang Kristen dalam elite
pemerintahan –sesuatu yang masih mustahil di negara-negara Kristen Barat-. Tidak wajarkah, di negeri
yang mayoritas Muslim, umat Islam meminta: agar setiap Muslim mendapatkan pelajaran agama Islam
di sekolah? Apa imbauan seperti ini berlebihan dan kekanak-kanakan? Sungguh sulit dipahami!

55

Anda mungkin juga menyukai