Anda di halaman 1dari 4

Pemaknaan akan Iman

Penting untuk menjadi manusia yang banyak memberi manfaat, tidak hanya
kepada sesama manusia namun juga kepada sesama makhluk Tuhan. Esensinya
adalah mendudukan manusia pada posisinya sebagai “Khalifah Fil Ardhi” Pemimpin
di Muka Bumi ini. Mengapa demikian ?
Tengoklah burung yang tidak henti-hentinya memberi banyak manfaat kepada
alam sekitarnya dimulai dari menjadi perantara terjadinya penyerbukan, menjadi
bagian dari mata rantai makanan dengan memakan ulat atau serangga yang ada
pada ranting atau daun tanaman, kotorannya menyuburkan tanah, suaranya
memberikan keceriaan dan kebahagiaan pada manusia dan alam, gerakan
terbangnya memberi inspirasi manusia sehingga mampu menciptakan kapal
terbang. Apa yang dilakukan burung semata-mata melaksanakan tugasnya taat
kepada perintah Tuhan yang menciptakannya, tidak ada yang merugikan bagi
lingkungannya dan Tuhan berikan senantiasa rejeki untuknya dalam berbagai
kondisinya dihadapinya.
Apakah manusia harus kalah dari apa yang diberikan burung kepada alam?
Jawabnya seharusnya tidak. Tentunya manusia harus jauh lebih banyak
memberikan manfaat kepada alam sekitarnya melalui daya, upaya dan karyanya
tanpa harus memikirkan dahulu apakah harus dibayar atau tidak. Alangkah
bahagianya bila antar sesama manusia saling memberi, saling berbagi, saling
membantu dalam berbagai bentuk dan kesempatan yang dihadapinya. Semua itu
bisa dilakukan dari hal yang terkecil sekalipun.
Sesungguhnya alam sudah memberikan tanda tanda bagi mereka yang mau
memberi dan berbagi kebaikan kepada sesamanya. Beberapa ayat dalam Quran
dan hadits mengungkapkan tentang hal ini antara lain :
Barangsiapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu
keperluannya (HR Bukhari – Muslim)
Barangsiapa memudahkan orang lain yang sedang kesulitan niscaya Allah akan
memudahkan baginya di dunia dan di akhirat (HR Muslim)
Perbuatan baik senantiasa akan memberikan kebaikan pula cepat atau lambat bagi
mereka yang melakukannya sebagaimana disebutkan dalam Al Quran :
Barang siapa berbuat baik, sesungguhnya kebaikan itu untuk dirinya sendiri, dan
jika berbuat jahat maka kejahatan itu untuk dirinya sendiri (QS Al Isra ayat 7)
Perbanyaklah kebaikan dengan mengerjakan semua aktifitas dengan landasan
memberi manfaat kepada diri sendiri dan orang lain, dengan niat ibadah, sukarela
tanpa harus dibebani ada balasan materi dari sesama, niscaya kebaikan itu akan
memantulkan hasil baiknya. Semakin banyak karya yang diberikan, semakin
produktif dan semakin banyak output manfaat, akan semakin banyak amal
kebaikan dan semakin banyak pula keberkahan (kebaikan yang berkelanjutan).
Kiranya perlu menjadi renungan kita semua bahwa mengapa bangsa lain lebih
maju dari bangsa kita? Boleh jadi karena mereka lebih produktif, lebih banyak
memberi makna pada sesama, lebih banyak bersyukur dengan memanfaatkan apa
yang dimiliki, lebih hemat dan tidak boros, lebih banyak menghargai hak orang
lain, lebih banyak simpati dan empatinya serta lebih banyak amal kebaikannya
tanpa harus selalu disuruh. Marilah kita mulai perbaiki diri kita untuk menjadi lebih
baik lagi, karena sebaik-baiknya diri adalah yang hari ini jauh lebih baik dari hari
kemarin.

Ada sebuah pertanyaan besar dalam hidup setiap individu, misalnya?

“Kenapa ya, banyak orang saleh yang ngejar passion-nya nggak lebih niat
dibanding orang nggak saleh? Apa yang salah?”
Apa yang salah? Padahal iman sejatinya erat kaitannya dengan pengaruh dan
kebermanfaatan. Rasulullah pun dalam salah satu hadits yang sangat tidak asing
bagi kita, mengatakan bahwa manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain
adalah sebaik-baik manusia. Lebih jauh, Qur’an, dalam awalan surat Al-Mukminun,
mengatakan:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”

– Q.S. Al-Mukminun: 1

Ini adalah janji Allah kepada orang-orang (yang benar-benar) beriman. Ibnu
Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa orang-orang (yang benar-benar)
beriman telah mendapatkan kemenangan, kebahagiaan, serta memperoleh
keberuntungan, tidak hanya di akhirat, tapi juga di dunia. Tentu dari sini,
kemenangan, kebahagiaan, serta keberuntungan orang-orang beriman tidak
hanya terbatas di akhirat, kepada dirinya sendiri; tapi mereka memberikan
manfaat bagi dunia ini dan seisinya.

Jika dibenturkan dengan kenyataan saat ini, tentu kemenangan orang-orang


yang beriman masih jauh dari ideal. Identitas Islam sebagai agama dan Muslim
sebagai kelompok di dunia ini, masih jauh dari citra yang baik. Hanya sedikit
tokoh Muslim yang diakui dunia. Islam seringkali dilabel dan dicap teroris.
Sampai, hal sehari-hari yang terjangkau oleh kita: sebagian dari kita masih tidak
seimbang antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, atau malah kurang
dalam kedua jenis ibadah tersebut; ihsan dan itqan–yang seharusnya dimaknai
sebagai prinsip yang dipegang teguh umat Islam dalam bekerja, sekarang
bagaikan sunnah yang terlupakan.

saya teringat akan konsep ikigai.

konsep–yang berasal dari Jepang–ini dari buku IKIGAI karangan Hector Garcia
dan Francesc Miralles. Singkatnya, ikigai adalah a reason for being: alasan untuk
hidup; sesuatu yang bisa bikin kita semangat bangun di pagi hari

menurut orang Jepang, semua orang memiliki ikigai seperti yang biasa disebut
oleh seorang filsuf Prancis sebagai raison d’etre ( Alasan sebuah keberadaan-ed)
Ikigai berasal dari kata “Iki” yang berarti KEHIDUPAN dan “gai” yang berarti nilai

Ikigai lebih dari sekadar passion, lebih dari sekadar mission. Ikigai adalah irisan
antara berbagai dimensi yang penting bagi pemaknaan hidup seorang manusia;
dalam bertahan hidup, mencintai hidup, menjalani hidup, serta memberikan
manfaat kepada dunia ini. Irisan antara money, love, skill, dan needs sejatinya
dapat memberikan reason for being yang luar biasa. Seseorang yang menemukan
ikigai-nya, dapat memberikan manfaat kepada dunia ini sebagai versi terbaik
dari dirinya–hingga potensi kebaikan yang diberikan tentunya bisa makin
berdampak.

Tim Cook, CEO Apple saat ini, dalam commencement speech-nya di MIT,
mengatakan bahwa ia baru menemukan ‘ikigai’-nya saat ia bekerja di Apple,
setelah sebelumnya bekerja di beberapa perusahaan teknologi seperti IBM dan
Compaq. Tidak semua orang seperti Steve Jobs yang beruntung menemukan
ikigai-nya di awal kehidupannya, menemukan ikigai kadang butuh waktu dan
proses yang cukup panjang seperti Cook.

Bagaimanakah Ikigai dan Pemaknaan akan Iman?

Sebagai seorang Muslim, kita wajib meyakini bahwa Islam, beserta seluruh
ajarannya, adalah kebenaran. Islam adalah agama yang mengatur segala pilar
kehidupan; dan tentu, sekali lagi, Islam tidak hanya terbatas pada ibadah
mahdhah. Karena itu, kesalehan tanpa positive impact adalah pemaknaan akan
iman yang parsial.

Kristalisasi identitas (secara singkat) bagi seorang Muslim adalah keimanan dan
ketakwaan dirinya; yang sejatinya juga menjadi tolok ukur derajat seorang Muslim
di mata Allah (juga seharusnya di mata manusia). Korelasi antara indikator
kebermanfaatan dan parameter sebaik-baik manusia, yang telah dipaparkan
Rasulullah sejatinya tidak dapat terpisahkan dari orientasi dan tujuan hidup
seorang Muslim.

Ikigai, adalah konsep yang sangat keren. Apalagi jika ditambah satu variabel lagi:
keimanan. Dilengkapi dengan ketakwaan. Sehingga reason for being kita tidak
hanya berfokus pada dunia-sentris dan pribadi-sentris saja, namun berorientasi
utama kepada esensi dan alasan sejati kehidupan seorang manusia untuk
beribadah.

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.”

– Q.S. Adz-Dzariyat : 56
Semoga kita semua segera menemukan ikigai (yang didasari-dilengkapi oleh
pondasi keimanan) kita masing-masing. Aamiin

Anda mungkin juga menyukai