Oleh : Tiorivaldi
Manusia merupakan suatu bentuk sampel kehidupan yang bercorak dalam segi sosial,
budaya, sifat, perawakan, dan lain sebagainya. Ada seseorang yang disebut makhluk
sosial dan ada juga yang anti sosial. Yang akan kita bahas dan kita analisis pada
kali ini terkait sebuah kritikan dalam perilaku sosial.
Kita sering kali melihat dan mendengar sebuah kritikan dari seseorang kepada orang
lainnya. Tapi masih saja ada seseorang yang anti dalam masalah kritikan,
menggambarkan bahwasanya "diriku terserah bagaimana idealnya aku". Tetapi karena
sebuah standar ideal yang di bangun oleh dirinya sendiri tersebut, bisa memberi
dampak munculnya sifat anti atau tidak mau di kritik.
Ini merupakan perilaku yang sangat salah kerika kita menganggap diri kita sebagai
makhluk sosial. Karena untuk menjadi seorang makhluk sosial, maka kita harus
menerima lingkup sosial yang kita jalani tersebut. Tetapi memiliki standar ideal
juga tidak sepenuhnya buruk, bahkan perlu untuk dimiliki oleh setiap orang.
Semisalnya, saya merasa idealnya adalah seorang muslim. Standar yang saya buat
adalah apa yang menjadi rujukan dalam berhukum agama Islam, yaitu Al-Qur'an,
Hadits, Ijma', dan Qiyas. Selain dari itu saya akan menjadi seseorang yang anti
terhadap perilaku yang menyimpang dari standar tersebut. Perlu di garis bawahkan,
menyimpang itu bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalam rujukan tersebut, tetapi
menyimpang adalah yang bertolak belakang atau melawan dari rujukan tersebut.
Kembali ke pembahasan utama.
Lalu bagaimana memposisikan diri kita, ketika ada seseorang yang mengkritik kita ?
Lantas harus kita pahami dulu posisi pada saat itu, apakah itu hal yang sampai
membuat goyah standarmu atau hanya sebatas hal yang tidak berkaitan dengan hal
tersebut sama sekali. Saya sangat tertarik dengan perilaku para seniman, karena
mereka sangat ingin untuk di kritik. Mereka tidak bekerja atas dasar pujian, tetapi
hasil dari apa yang dikaryakan tersebut mereka meminta pada orang lainnya untuk
mengkritik kekurangan dan sekaligus meminta saran terhadap kekurangan itu. Ini
merupakan contoh perilaku yang selalu ingin semakin berkembang baik
Jadi kita analogikan seperti ini, saya semisalnya hendak membuat sebuah lukisan
yang pada rencananya beraliran ekspresionis. Setelah lukisan tersebut jadi, awalnya
saya akan merasa puas pada lukisan tersebut. Namun, ketika saya meminta krisar
(kritik dan saran) kepada banyak orang. Ada berbagai kesalahan yang sebenarnya
dalam benak awalku itu tidak ada kesalahan sama sekali, lalu pada akhirnya
kesadaran akan kesalahan yang saya perbuat akan mulai bermunculan dalam benakku.
Ini yang dinamakan blind spot (titik buta), ada suatu kesalahan yang kita sendiri
sebagai pembuatnya bahkan tidak memahami akan hal tersebut. Maka, di saat posisi
tersebut perilaku yang kita lakukan seharusnya senang, hingga di waktu saya hendak
membuat sebuah lukisan lagi kritik dan saran yang orang berikan itu akan selalu
terbenang dalam benakku agar tidak terjadi kesalahan yang sama.
Perlu saudara-saudara semua ketahui bahwasanya tidak ada sebuah kritik yang
bernilai sepenuhnya salah. Anda mungkin bisa saja mengatakan kepada orang yang
mengkritik itu seperti ini, "Anda itu tidak tahu apa-apa, jadi tidak usah banyak
kritik". Tapi saya ingin bertanya kepada anda, apakah berarti yang salah itu adalah
dia yang mengkritik itu atau mungkin sebenarnya anda yang salah ? Saat kita
berbicara pada konteks organisasi, ketika ada salah satu anggota organisasi yang
mengkritik atas kebijakan dan program yang anda jalankan. Saat anda mengatakan
seperti halnya tadi, seharusnya itu malah jadi intropeksi diri anda, "Oh ya
sebenarnya saya yang salah, karena tidak memberi pemahaman yang jelas dan lugas
sehingga orang tersebut tidak akan mengatakan seperti halnya itu". Selanjutnya anda
tidak harus memburuk-burukkan perkataan orang tadi, tetapi hanya tinggal memberikan
pemahaman yang benar agar tidak menciderai hubungan yang baik, "Gini lo mas,
sebenarnya anda itu salah kaprah dalam memberikan kesimpulan terkait hal ini.
Maksud saya itu .............". Hal-hal seperti ini insyaAllah akan lebih diterima
oleh mereka ketimbang mengatakan perkataan tidak tahu apa-apa atau semacamnya. Saya
pribadi sering banyak berinteraksi dengan berbagai macam bentuk sikap sosial
manusia, kalau bahasa mahasiswanya ideologi kanan dan kiri. Salah satu hal yang
sering saya tangkap terkait kritikan-kritikan mereka terhadap sikap sosial orang-
orang muslim, itu karena kurangnya sebuah informasi mereka terhadap sikap sosial
kita. Mereka sama kasus seperti di awal paragraf tadi, memberikan kesimpulan tanpa
mencari dan menggali informasi sedalam-dalamnya terlebih dahulu
Cobalah mulai dari saat ini kita menjadi seseorang yang lapang dan senang dalam
kritikan, terlebih ketika anda menjadi seorang pemimpin. Kata "pemimpin" itu bisa
berubah makna terkait bagaimana pemimpin tersebut menangani suatu permasalahan.
Pemimpin itu bisa dimaknai sebagai penguasa ataupun otoriter, ketika dia menjadi
orang yang anti dalam kritikan. Kebijakan dan perbuatan yang dia lakukan itu mutlak
tidak boleh ada kritikan, wajib dilaksanakan. Yang terbaik itu adalah saat pemimpin
itu dimaknai sebagai pelayan. Pelayan ? Iya, pelayan. Seperti halnya lembaga
pelayanan, yang selalu siap mendengarkan dan berusaha yang terbaik terhadap
keinginan dari pelanggannya. Seperti halnya juga pelayan restoran, pelanggan bisa
meminta apa yang menjadi keinginannya,
"Pak, saya pesan nasi goreng"
"Oh ya, pakai telur atau tidak dek ?"
"Pakai pak"
"Nasinya pedas atau sedang dek ?"
"Yang pedas pak"
Seperti itu lah pelayan, bahkan tidak hanya mendengarkan keinginan dari
pelanggannya, dia juga mencoba mengetahui serinci mungkin keinginan dari
pelanggannya. Sehingga terjadilah simbiosis mutualisme antara pelayan restoran dan
pelanggan makanan. Pelayan bisa memperoleh pelanggan lebih banyak ketika memberikan
pelayanan yang baik, dan pelanggan mendapatkan kepuasan makanan dan minuman yang
sesuai dengan keinginannya.