Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami bersaksi tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad saw. adalah hamba dan utusannya. Beliaulah penutup dari
seluruh para nabi. Sebaik-baiknya perkataan adalah kalam Allah dan sebaik-
baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah saw.

Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan
Konseling Individual. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan
ilmu pengetahuan penulis, di mana penulis telah berusaha semaksimal mungkin
dengan bekal pengetahuan yang penulis miliki untuk mencapai hasil yang terbaik.
Maka demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini, kami terbuka untuk
menerima kritik-kritik yang konstruktif dari pembaca.

Semoga karya kecil ini dapat menjadi bekal ilmu pengetahuan bagi pembaca
dan menjadikan rahmat yang tak putus bagi penulis. Amin.

Wassalamualaikum wr. wb.

Polewali, Mei 2015


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau


menghitung. Dengan kata lain MUHASABAH bisa diartikan dengan EVALUASI
atau proses menilai diri sendiri. Muhasabah adalah salah satu ajaran Islam yang
dapat digunakan untuk membantu seseorang dalam menangani masalah. Ajaran
Islam seperti yang termuat dalam Alquran dan Hadis Rasulullah saw
memerintahkan supaya umat Islam selalu melakukan instropeksi dan evaluasi
terhadap dirinya sendiri.

Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang
muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang dapat menjalankan ketaatan
kepada Allah SWT dimanapun ia berada, hingga mampu mengantarkannya pada
derajat seorang mumin sejati. Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya sikap
seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang kemaksiatan kepada Allah
kendatipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya. Inilah urgensi sikap muraqabah
dalam kehidupan muslim.

B. Rumusan Masalah

1. Muhasabah Sebagai Psikoterapi Islam

2. Aspek-aspek Muhasabah

3. Muraqobah Kepada Allah Sebagai Penyempurnaan Seorang Hamba

C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Muhasabah Sebagai Psikioterapi Islam

2. Untuk Mengetahui Aspek-Aspek Muhasabah

3. Untuk Mengetahui Muraqobah Kepada Allah Sebagai Penyempurnaan Seorang


Hamba
BAB II

PEMBAHASAN

A. Muhasabah Sebagai Psikoterapi Islam.

Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau


menghitung. Dengan kata lain muhasabah bisa diartikan dengan evaluasi atau
proses menilai diri sendiri. Muhasabah adalah salah satu ajaran Islam yang dapat
digunakan untuk membantu seseorang dalam menangani masalah. Ajaran Islam
seperti yang termuat dalam Alquran dan Hadis Rasulullah saw memerintahkan
supaya umat Islam selalu melakukan instropeksi dan evaluasi terhadap dirinya
sendiri.

Menurut Prawitasari, 1993 (dalam Subandi, 2000) istilah psikoterapi (dan


konseling) memiliki pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan oleh para
profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru, dsb.) dengan tujuan untuk
menolong klien yang mengalami problematika psikologis. Lebih lanjut
Prawitasari menjelaskan tentang tujuan psikoterapi secara lebih spesifik meliputi
beberapa aspek kehidupan manusia antara lain:

a. Memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar,


b. Mengurangi tekanan emosi melalui pemberian kesempatan untuk
mengekspresikan perasaan yang dalam,
c. Membantu klien mengembangkan potensinya,
d. Mengubah kebiasaan dan membentuk tingkah laku baru,
e. Mengubah struktur kognitif,
f. Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan,
g. Meningkatkan pengetahuan diri dan insight,
h. Meningkatkan hubungan antar pribadi,
i. Mengubah lingkungan sosial individu.

Allah swt berfirman sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Hasyr ayat
18 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan

Selanjutnya Rasulullah saw., bersabda:

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, Orang yang
pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk
kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya
mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam
Turmudzi, ia berkata, Hadits ini adalah hadits hasan)

Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah


(bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya
hisabitu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab
(evaluasi) dirinya di dunia.

Berdasarkan ayat 18 surah al-Hasyr dan Hadis Rasulullah saw di atas, maka setiap
orang muslim dituntut untuk selalu melakukan muhasabah.

Muhasabah artinya mengadakan perhitungan dan kritik, atau evaluasi oleh


dirinya sendiri terhadap apa yang sudah, sedang, dan akan dikerjakannya (Jaelani,
2000). Evaluasi terhadap diri sendiri meliputi evaluasi terhadap pemanfaatan
umurnya dari waktu ke waktu dan hal-hal yang telah dilakukan oleh anggota
tubuhnya, termasuk oleh fikirannya, kata-katanya, dan sebagainya. Kita bisa
memulai proses muhasabah dengan melangkah mundur dari kehidupan kita dan
mengamati keadaan yang melibatkan diri kita sekaranghubungan kita dengan
orang-orang, pekerjaan, rumah, dan komunitas sosial yang lebih luas. Sediakan
waktu untuk memeriksa motif-motif yang menyertai keterlibatan diri kita dalam
aktivitas-aktivitas tertentu; selamilah harapan-harapan kita terhadap orang-orang
tertentu; tanyakan mengapa kita memprakarsai cara-cara tertentu dalam bertindak.
Rasululloh SAW menyuruh kita ber-muhasabah setiap hari. Terlebih menjelang
tidur, sebagai sarana kita menutup hari dengan syukur (ketika menemukan
kebaikan telah kita lakukan) atau taubat (ketika menjumpai dosa dan kesalahan
telah dikerjakan). Kita menghitung apa saja kebaikan yang sudah dikerjakan hari
ini dan keburukan apa saja yang telah dilakukan. Kemudian berpikir untuk
menentukan langkah apa yang akan kita lakukan untuk meningkatkan kebaikan di
hari esok dan mencegah agar tak mengulang melakukan dosa. Semakin sering kita
melakukan muhasabah, kita akan semakin lebih berhati-hati dalam berbuat.

Muhasabah dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagaimana


yang dianjurkan oleh Al-Ghazali (1989: 430) yang menyatakan bahwa muhasabah
dapat dilakukan setiap menjelang tidur di tempat pembaringan dengan posisi
terlentang. Sambil berbaring terlentang di tempat tidur, seseorang dianjurkan
untuk mengenali dan memahami keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada
dirinya sendiri, juga mengevaluasi hal-hal yang pernah ia dilakukan, apa
kesalahan dan kekurangannya, dan mengapa ia berbuat begitu. Jika hal-hal yang
telah diperbuatnya ditemukan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan,
maka seharusnya ia berusaha memperbaiki kekurangan-kekurangan dan
kesalahan-kesalahan tersebut untuk diperbaiki di masa yang akan datang.

Muhasabah seperti yang dianjurkan oleh agama Islam di atas agaknya mirip
dengan teknik self-observation, teknik self-evaluation, atau teknik self-criticism
dalam istilah psikologi, atau teknik self-analysis dalam Psikoanalisa, yaitu suatu
usaha individu untuk memahami diri sendiri, serta mengenali kelemahan atau
keterbatasan dirinya (Chaplin, 1997).

B. Aspek-Aspek Muhasabah.

Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim.

a. Aspek Ibadah

Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah.
Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini.
[QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]

b. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki


Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan
ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap
bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada
aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

Dari Ibnu Masud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, Tidak
akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5
perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana
dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana
dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya. (HR. Turmudzi)

c. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman

Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan
sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama
manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang
digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, Tahukah kalian siapakah
orang yang bangkrut itu? Sahabat menjawab, Orang yang bangkrut diantara
kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.
Rasulullah saw. bersabda, Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang
datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga
datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain,
memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan
pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah
habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan
dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR.
Muslim)

Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana


digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan
membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu,
ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya
yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah,
memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya
habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup
untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang
dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki
apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini.

C. Muroqobah Kepada Allah Sebagai Upaya Penyempurnaan Seorang Hamba

Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang
muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang dapat menjalankan ketaatan
kepada Allah SWT dimanapun ia berada, hingga mampu mengantarkannya pada
derajat seorang mumin sejati. Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya sikap
seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang kemaksiatan kepada Allah
kendatipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya. Inilah urgensi sikap muraqabah
dalam kehidupan muslim.

Pernah suatu ketika, seorang istri yang lama ditinggal pergi suaminya;
bersyair pada tengah malam, yang kebetulan di dengar oleh Umar bin Khatab ra.
Ia mengutarakan kegundahan hatinya yang kesepian karena tiada suami yang
mendampinginya. Ia mengatakan:

Sungguh terasa teramat panjangnya malam ini, juga teramat sunyi. Lebih
membuatku gundah lagi, tiada suami yang mencumbuiku Namun demi Allah,
sekiranya bukan karena takut terhadap Allah. Pasti ranjang ini telah bergetar
karena kemaksiatan

Demikianlah, karena merasa bahwa Allah akan mengetahuinya jika ia


melakukan perbuatan maksiat, dan juga karena takut terhadap azab Allah, ia pun
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, kendatipun ia tengah kesepian ditinggal
sang suami. Dari sinilah, kita dapat membayangkan sekiranya seluruh pemimpin,
pejabat, ulama, karyawan dan seluruh kaum muslimin dapat memberikan sikap
seperti ini dalam diri mereka, tentulah akan tercipta kehidupan yang adil, makmur,
sederhana dan diridhai Allah SWT.
1. Makna Muraqabah

1.Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap
muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan dan pemantauan Allah
terhadap dirinya.

2.Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki
seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya,
mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap
waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.

3.Syekh Ibrahim bin Khawas, mengatakan bahwa muraqabah adalah bersihnya


segala amalan, baik yang sembunyi-sembunyi atau yang terang-terangan hanya
kepada Allah. Beliau mengemukakan hal seperti ini karena konsekwensi sifat
muraqabah adalah berperilaku baik dan bersih hanya karena Allah, dimanapun
dan kapanpun.

4. Salah seorang ulama juga mengungkapkan bahwa muraqabah ini merupakan


salah satu bentuk ibadah kepada Allah dengan pemahaman sifat Arraqib, Al-
Alim, Assami dan Al-Bashir pada Allah SWT. Maka barang siapa yang
memahami Sifat Allah ini dan beribadah atas dasar konsekwensi Sifat-sifat-Nya
ini; akan terwujud dalam dirinya sifat muraqabah.

Pada intinya, sikap ini mencerminkan keimanan kepada Allah yang besar,
hingga menyadari dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, tanpa kebimbangan,
bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-geriknya, setiap langkahnya,
setiap pandangannya, setiap pendengarannya, setiap yang terlintas dalam hatinya,
bahkan setiap keinginannya yang belum terlintas dalam dirinya. Sehingga dari
sifat ini, akan muncul pengamalan yang maksimal dalam beribadah kepada Allah
SWT, dimanapun ia berada, atau kapanpun ia beramal dalam kondisi seorang diri,
ataupun ketika berada di tengah-tengah keramaian orang.
2. Urgensi Sifat Muraqabah

1. Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat seperti ini adalah optimalnya
ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan. Karena ia
menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasinya.

2. Urgensi lainnya dari sifat muraqabah ini adalah rasa kedekatan kepada Allah
SWT. Dalam al-Quranpun Allah pernah mengatakan, Dan Kami lebih dekat
padanya dari pada urat lehernya sendiri. Sehingga dari sini pula akan timbul
kecintaan yang membara untuk bertemu dengan-Nya. Ia pun akan memandang
dunia hanya sebagai ladang untuk memetik hasilnya di akhirat, untuk bertemu
dengan Sang Kekasih, yaitu Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
mengatakan :

Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allah pun
akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa yang tidak
menyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak menyukai pertemuan
dengannya (HR. Bukhari).

3. Sesorang yang bermuraqabah kepada Allah, akan memiliki firasat yang


benar. Al-Imam al-Kirmani mengatakan, Barang siapa yang memakmurkan
dirinya secara dzahir dengan ittiba sunnah, secara batin dengan muraqabah,
menjaga dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya dari keharaman, dan
membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang halal, maka firasatnya tidak
akan salah. (Ighatsatul Lahfan, juz I/ 48)

4. Muraqabah merupakan sunnah perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits


beliau mengatakan:

Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan


buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut,
serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik. (HR. Tirmidzi)
3. Macam-macam Sifat Muraqabah

Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan dalam Tarbiyah Ruhiyah;


Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa ; ada empat macam bentuk
muraqabah, yaitu:

a. Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan


dalam menjalankan segala perintah-Nya Seperti benar-benar menfokuskan tujuan
amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah, dan bukan karena faktor-
faktor lainnya. Karena ia menyadari bahwa Allah Maha mengetahui segala niatan
amalnya yang tersembunyi di balik relung-relung hatinya yang paling dalam
sekalipun. Sehingga ia mampu beribadah secara maksimal, baik ketika sendirian
ataupun di tengah-tengah keramaian.

b. Muraqabah dalam kemaksiatan, dengan menjauhi perbuatan maksiat,


bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain
sebagainya. Sikap seperti berangkat dari keyakinannya bahwa Allah
mengetahuinya, dan Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melakukan perbuatan
maksiat. Sekiranya pun ia telah melakukan maksiat, ia akan bertaubat dengan
sepenuh hati kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam, karena Allah akan
murka pada dirinya dengan kemaksiatannya itu.

c. Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah, seprti menjaga adab-adab


terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada
kita, bermuamalah yang baik kepada setiap insan, jujur, amanah, tanggung jawab,
lemah lembut, perhatian, sederhana, ulet, berani dan lain sebagainya. Sehingga
seorang muslim akan tampil dengan kepribadian yang menyenangkan terhadap
setiap orang yang dijumpainya. Dan jadilah ia sebagai seorang dai yang disukai
umatnya.

d. Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada


ketentuan Allah SWT serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
Ia yakin bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari Allah dan
menjadi hal yang terbaik bagi dirinya, dan oleh karenanya ia akan bersabar
terhadap sesuatu yang menimpanya.
Muroqobah : Pengawasan berfungsi sebagai pengendalian, diperlukanuntuk :

a. Mengetahui kesiapan dan persiapan yang matang dalam rangka


untukmenentukan perencanaan.

b. Menjaga agar perjalananya tetap konsisten berada tepat dalam rel yangbenar
dan tidak melenceng.

c. pengendalian diri agar tidak terlalu sulit untuk kembali kepada jalan yangbenar,
untuk meraih tujuan dan meraih ridho Allah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Muhasabah dapat dikatakan sebagai bentuk tahapan psikoterapi islam.


Karena dalam muhasabah, seseorang membersihkan dirinya, serta
mengevaluasi.Secara khusus memiliki tujuan untuk dapat mengenali menguasai
dan membersihkan diri dari sifat-sifat, cara berpikir, atau kebiasaan buruk yang
sudah melekat dalam diri seseorang.

Ketika seseorang sedang mengalami sakit (sakit mental atau pun fisik),
maka dianjurkan untuk bermuhasabah agar mengenali dan memahami
keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada dirinya sendiri, juga mengevaluasi
hal-hal yang pernah ia dilakukan, apa kesalahan dan kekurangannya, dan mengapa
ia berbuat begitu. Jika hal-hal yang telah diperbuatnya ditemukan kekurangan-
kekurangan dan kesalahan-kesalahan, maka seharusnya ia berusaha memperbaiki
kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan tersebut untuk diperbaiki di
masa yang akan datang.

B. Saran

Melalui makalah ini, kami berharap pembaca maupun pendengar dapat


memahami bagaimana muhasabah dan muraqobah tersebut. Dan jika dalam
penulisan makalah terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan, maka kami
memohon maaf atas segalanya. Hal tersebut semata-mata agar menjadi suatu
evaluasi dalam pembuatan makalah ini.
Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai