Anda di halaman 1dari 87

1

1
Risalatuna
Upaya Mengembalikan Kemurnian Islam
Di Atas Manhaj Para Sahabat

Yayasan Al-Ittiba’ Al-Islamy Palembang


Jl. Sultan M. Mansyur 128 Rt. 2/1
Bukit Besar Palembang
Telp. (0711) 440859 (Abu ‘Afifah)
[0711] 443529 (Adi Kurniadi)

[BACALAH DENGAN TELITI, SEMOGA ALLOH AZZA WA JALLA


MEMBERI KITA HIDAYAH] 2

1
Risalatuna ini adalah tulisan yang menjelaskan hal-hal yang terkait dengan
manhaj atau metode para Sahabat Rodhianllohu’anhum dalam beragama. Materi
ini diketik ulang dengan perbaikan pada kesalahan cara penulisan yang terjadi dari
sebuah makalah yang aku dapatkan sekitar tahun 2005, wallohu a’lam apakah
alamat di atas masih berlaku atau tidak. Pada beberapa tempat aku menambahkan
keterangan yang diperlukan. Demikian pula catatan kaki adalah tambahan dari
editor.
Peringatan dini:
Sebagian orang mungkin akan emosi atau bahkan marah membaca tulisan ini.
Maka sejak awal aku katakan, jika anda ingin menyanggah tulisan ini, maka
berargumenlah secara ilmiah dengan membawakan dalil-dalil yang ada. Dan
janganlah sikap fanatik kita kepada individu atau golongan tertentu membuat kita
enggan mengikuti kebenaran. Dan hanya Alloh lah yang memberi taufik.
2
Aku menduga yang menulis tulisan dalam kurung siku ini adalah sahabatku yang
memberikan makalah ini padaku, semoga Alloh menjaganya dan membalas
kebaikannya dengan yang lebih baik.
2

Bismillahirrohmanirrohim

Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Alloh,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari


golongan Muhajirin dan Anshor, serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh dan
Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar. (At Taubah: 100)

Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. (Luqman: 15)

Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An Nisaa’:
115)

Dan sunnguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalan-Nya. (Al An’am: 153)

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka


(terpecah) menjadi bergolong-golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Alloh,
kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka
perbuat. (Al An’am: 159)

Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh. Yaitu


orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka. (Ar Rum: 31-32)

Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang


yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya. (Al Kahfi: 103-104)
3

Pendahuluan

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Sesungguhnya segala puji bagi Alloh, kami memuji-Nya, kami memohon


pertolongan dan ampunan pada-Nya. Kami berlindung dari kejahatan diri kami
dan dari keburukan perbuatan kami. Barangsiapa memperoleh petunjuk Alloh,
maka tidak seorangpun dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan Alloh,
maka tidak seorangpun dapat menunjukinya.

Semoga sholawat dan salam dicurahkan kepada Rosululloh Sholallohu


‘alaihi wa sallam, keluarganya, as salaf ash sholih (sahabatnya ridhwanullohi
‘alaihim ajma’in, tabi’in, tabi’u at tabi’in), dan kaum muslimin yang ittiba’ dan
istiqomah sampai hari kiamat.

Akhi (dan Ukhti, ed), terlebih dahulu janganlah berburuk sangka pada
saya, dan saya minta maaf kalau kata-kata saya kurang berkenan di hati atau
menggurui. Dan saya harap akhi (dan ukhti, ed) membacanya dengan hati yang
ikhlas.

Ada begitu banyak penjelasan yang akan saya jelaskan di sini, jadi untuk
itu saya harap akhi (dan ukhti, ed) bisa mengerti dan memahaminya.

1. Ahlu Sunnah wal Jama’ah/Salafiyyah


2. Istilah Salafiyyah, Bid’ah?
3. Istilah Salaf Di Kalangan Ulama
4. Mengapa Kita Harus Bermanhaj Salaf
5. Pokok-Pokok Jalan Hidup dan Dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah
6. Makna Persatuan dan Perpecahan
7. Hikmah Diutusnya Para Rosul
8. Kekuasaan Bukanlah Tujuan Dakwah Para Rosul
9. Kekuasaan Adalah Suatu yang Telah Dijanjikan Bagi Kaum Muwahhidin
10. Hikmah yang Terkandung Dalam Surat Fushshilat
11. Mayoritas Pengikut Para Rosul Adalah Kaum Lemah
12. Kesalahpahaman Dalam Memahami Kalimat Tauhid
13. Demokrasi dan Demonstrasi Bukan Ajaran Islam
14. Aqidah Tauhid Terlebih Dahulu Ataukah Kekuasaan?
15. Hizbiyyah dan Dakwahnya yang Sirriyyah (Bersifat Rahasia)
16. Syubhat dan Bantahannya
17. Bila Berbeda Pendapat
18. ‘Katanya’, Orang Salaf Mewajibkan Cadar?
19. Nasyid Haram?

Pada risalah ini saya lebih memfokuskan pada pengertian manhaj


salaf/ahlu sunnah wal jama’ah, karena saya melihat fenomena yang muncul
dimasyarakat menganggap salaf adalah salah satu aliran dari sekian banyak aliran-
aliran sempalan dalam Islam. Padahal salaf atau istilah salaf sudah dikenal sejak
4

zaman Rosul Sholallohu ‘alahi wa sallam dan para imam-imam mazhab, sebagai
sinonim dari manhaj ahlus sunnah wal jama’ah.

Sedangkan tentang hukum nasyid, selain dari Kitabulloh dan Sunnah


Rosul-Nya, saya juga membawakan ucapan-ucapan para ulama yang terdiri dari
sahabatnya ridhwanullohi ‘alaihim ajma’in, tabi’in, tabi’u at tabi’in (generasi
salaf yang sholih), juga generasi setelah mereka termasuk imam-imam mazhab
yang biasa memberikan fatwa di segenap penjuru dunia. Dan dengan demikian
menjadi tahulah kelompok-kelompok tersebut bahwa mereka telah menyelisihi
ulama umat Islam dalam hal kebid’ahan mereka. Dan hanya Alloh-lah yang
memberi taufiq.

Sedangkan hukum cadar saya hanya menjelaskan secara garis besar saja,
karena timbul kesalahpahaman dari saudara-saudara kita yang mengatakan bahwa
orang-orang salaf menganggap cadar hukumnya wajib mutlak.

Saya pernah mendengar dan bahkan sering kali terdengar saudara-saudara


kita mengatakan kita (Islam) tidak usahlah saling gontok-gontokan, sebaiknya
bersatu, kira-kira seperti ini. Dan dari sini saya juga melihat bahwa mereka tidak
mengerti masalah dan bingung mana yang benar/selamat (ahlu sunnah wal
jama’ah) dengan banyaknya aliran-aliran sempalan dalam Islam seperti: IM, JT,
LDII, HT, NII, Sururiy, Ahmadiyah, Sufi, Syi’ah, dll., yang semuanya ‘mengaku’
berada di atas Al Qur’an dan Sunnah.

Seringnya kita mendengar slogan-slogan persatuan. Hampir setiap


kelompok manusia berbicara tentang hal ini. Bahkan terkenal di kalangan kita
suatu pepatah ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’. Tapi, siapa yang
dipersatukan dan atas dasar apa dipersatukan?

Kalau sekedar persatuan kelompok atau persatuan golongan, orang kafir


jahiliyah pun sudah berbicara tentang itu. Bahkan menuduh Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam yang mengajak kepada tauhid itu sebagai pemecah belah dan
perusak persatuan mereka. Kemudian muncul persatuan umat beragama untuk
menghadapi atheisme yang juga menganggap pengikut Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam yang mengajak kepada tauhid itu sebagai penghalangnya.

Kemudian muncul pula persatuan agama samawi (Islam, Nashrani,


Yahudi) yang pernah muncul di Mesir dan kembali mereka menganggap kaum
muslimin yang berpegang teguh dengan ajaran Nabinya dan mengibarkan bendera
al wala’ (loyalitas (sesama kaum muslimin, ed)) wal baro’ (belepas diri (terhadap
kesyirikan dan pelakunya, ed)) sebagai penghalang utamanya. Itu semua jelas-
jelas batil dan sesat!!

Namun demikian, yang jadi masalah bagi kita sekarang adalah munculnya
berbagai macam syubhat-syubhat (kerancuan berpikir, ed) persatuan di kalangan
kaum muslimin yang tidak jelas dasar persatuannya. Sebagian mereka
mengajak kepada persatuan kelompoknya atau organisasinya dan menganggap
mereka yang tidak ikut ke dalam kelompoknya berarti tidak mau bersatu. Ada
5

pula yang mengutamakan persatuan di atas urusan tauhid-syirik atau sunnah-


bid’ah. Maka kita dapati sebagian mereka tidak berani bicara tentang Tauhid
Uluhiyah dan membiarkan kesyirikan, karena takut dan khawatir akan terjadi
perpecahan. Dan kita dapati yang lain juga tidak mau berbicara tentang bid’ah dan
ahli bid’ah, bahkan mengajak untuk bersikap toleransi dan netral kepada mereka
juga dengan alasan persatuan dan menghindari tafarruq (perpecahan).

Akhirnya, yang terjadi adalah persatuan antara kaum Muwahhidin (yang


memurnikan ketauhidan hanya untuk Alloh, ed) dengan Musyrikin atau antara
Ahlu Bid’ah dan Ahlu Sunnah. Dan Ahlu Sunnah yang membantah kesyirikan dan
kebid’ahan dicap sebagai pemecah belah persatuan dan kesatuan, kaku, tekstual,
tidak memahami strategi dakwah dll. Maka melalui risalah ini saya akan berusaha
untuk menjawab dan menjelaskannya.

Agar penjelasan ini objektif, maka saya perlu memberi barometer


kebenaran yang paling benar dan adil terlebih dahulu. bahwasanya ketika ada
perselisihan wajiblah kita kembalikan perkaranya kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Yang demikian itu merupakan konsekuensi iman kita kepada Alloh dan hari
akhir. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul, (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa’: 59)

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. (Al Ahzab: 36)

Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisaa: 65)

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku


(Rosululloh), niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Alloh
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imron: 31)

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rosul) takut akan


ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An Nuur: 63)

Dan apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Al Hasyr: 7)
6

Ayat-ayat ini menunjukkan juga bahwa as sunnah/al hadits adalah salah


satu dari sumber hukum Islam yang tidak boleh ditinggalkan, dalilnya:

Dari Abu Huroiroh Rhodiallohu’anhu, bahwasanya Rosululloh Sholallohu ‘alaihi


wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”.
Mereka (Sahabat) bertanya, “Siapa yang enggan itu?”. Jawab beliau,
“Barangsiapa yang menaatiku pasti masuk surga dan barangsiapa yang
mendurhakaiku maka sungguh ia telah enggan.” (HR. Bukhori)

“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat
selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabulloh dan sunnahku.
Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di telaga
Haudl.” (HR. Malik dan Hakim, Hasan)

Dan juga perkataanya para ulama (4 imam mazhab khususnya):

Imam Abu Hanifah Rohimahulloh, berkata:

1. Haram bagi yang tidak mengetahui dalil saya kemudian memberi fatwa dengan
kata-kata saya, karena saya adalah manusia biasa (maksudnya bisa salah), yang
sekarang bicara sesuatu dan besok tidak bicara itu lagi.

2. Jika saya mengucapkan pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an serta


hadits Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam maka tinggalkanlah perkataan saya.

3. Ibnu Abidin berkata dalam bukunya: “Jika hadits itu shohih dan bertentangan
dengan mazhab, maka hadits lah yang dipakai dan itulah mazhabnya dan dengan
mengikuti hadits itu tidak berarti penganutnya telah keluar dari pengikut Hanafi.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau pernah berkata: “Jika hadits itu
benar maka itulah mazhab saya.”

Imam Malik Rohimahulloh, berkata:

1. Sesungguhnya saya adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Maka
perhatikanlah secara kritis pendapatku, yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah
ambillah dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengannya tinggalkanlah.

2. Setiap orang sesudah Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam ada yang diambil
omongannya dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi Sholallohu ‘alaihi wa
sallam.

Imam Syafi’i Rohimahulloh, berkata:

1. Setiap orang ada pendapatnya yang sesuai dengan sunnah Rosululloh dan ada
yang tidak sesuai, meskipun saya berkata dengan suatu pendapat atau berdasarkan
sesuatu pendapat dari Rosululloh tapi kenyataannya bertentangan dengan ucapan
Rosululloh, maka pendapat yang benar adalah ucapan Rosululloh dan itulah
pendapat saya
7

2. Orang-orang Islam telah melakukan ijma’ (kesepakatan, ed) bahwa


barangsiapa yang jelas mempunyai dalil berupa sunnah Rosululloh, maka tidak
dihalalkan bagi seorangpun untuk meninggalkannya karena omongan orang lain.

3. Jika kamu mendapatkan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah Rosululloh


dalam buku saya maka ikutilah ucapan Rosululloh dan itulah pendapat saya juga.

4. Apabila hadits itu shohih, maka dia adalah mazhabku.

5. Beliau berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal:


“Anda lebih pandai dari saya tentang hadits dan keadaan para perawi hadits, jika
anda tahu sesuatu hadits itu shohih maka beritahukan kepada saya sehingga saya
akan berpendapat dengan hadits itu.”

6. Setiap masalah yang mempunyai hadits shohih menurut ulama ahli hadits,
yang bertentangan dengan pendapat saya maka saya akan kembali pada hadits
tersebut selama hidup saya atau sesudah mati.

Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahulloh, berkata:

1. Jangan engkau melakukan taklid kepadaku atau Imam malik atau Imam Syafi’i
atau Imam Auza’y atau Imam Ats Tsaury, tapi ambillah dari mana asal mereka
mengambil.

2. Barangsiapa menolak hadits Rosululloh, maka ia berada di tepi kehancuran.

Ketahuilah akhi (dan ukhti, ed), syari’at Islam menentukan bahwa suatu
amalan akan bernilai shohih dan dianggap dapat mendekatkan diri kepada Alloh
serta diterima di sisi-Nya apabila memenuhi dua persyaratan: Pertama, amalan
tersebut harus diperuntukkan kepada Alloh semata (ikhlas). Kedua, amalan
tersebut harus sesuai dengan Al Qur’an dan Al hadits. Jika salah satunya tidak
ada, maka amalan tersebut tidak bernilai ibadah dihadapan Alloh dan tertolak.

Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang


yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya. (Al Kahfi: 103-104)

“Barangsiapa melakukan suatu amalan (dalam agama ini) yang tidak ada
contohnya dari kami, maka tertolak. (HR. Muslim)

Al Hafidz Ibnu Katsir Rohimahulloh berkata, “Inilah dua landasan amal


yang diterima. Harus ikhlas karena Alloh dan sesuai dengan syari’at Rosul-Nya.”
Dalilnya:

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia


mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadah kepada Robbnya. (Al Kahfi: 110)
8

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang paling baik amalnya. (Al Mulk: 2)

Dari ayat ini yang dinilai Alloh adalah baiknya suatu amal bukan
banyaknya amal tersebut. Akan tetapi amalan yang baik dan banyak tentu lebih
utama daripada baik tapi sedikit.

Fudhail bin Iyadl Rhodiallohu’anhu, seorang sahabat Rosululloh


Sholallohu ‘alaihi wa sallam sekaligus ulama hadits generasi tabi’in mengatakan,
“Amal yang paling baik ialah yang paling ikhlas dan benar. Dianggap benar
apabila sesuai dengan sunnah.”
9

Pertama, Tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah/Salafiyyah

Terlebih dahulu akan saya jelaskan ‘hakikat manhaj salaf’, karena itu akan
saya bagi jadi dua pokok pembahasan, yaitu: Pengertian Salaf dan Manhaj Salaf.

Pengertian Salaf

A. Menurut Bahasa

Kata Salaf menurut bahasa (Arab) yang memiliki arti perihal mendahului.
Ibnu Faris berkata: “Sesungguhnya laam-faa’, asal kata yang mengandung makna
mendahului.”

Di antaranya, salaf artinya orang-orang yang mendahului, dan Qaum as


Sullaf artinya kaum yang mendahului. (Lihat Luzumul Jama’ah, dari Maqayisul
Lughat asal kata sim-laam-faa’).

Salim al Hilali hafizhahulloh berkata: “Di antaranya adalah sabda


Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Muhammad
Rhodiallou’anha:

“Sesungguhnya sebaik-baik Salaf (Pendahulu) bagi kamu, adalah Saya. (HR.


Muslim]

B. Menurut Istilah

Banyak perkataan ulama dalam mengartikan istilah salaf, akan tetapi ada
tiga yang terpenting, yaitu:

1. Salaf adalah para Sahabat Rhodiallohu’anhum

Al Qalsyani berkata: “As Salaf ash Shahih adalah generasi pertama yang
mendalam ilmunya, mengikuti petunjuk Nabi serta menjaga Sunnahnya. Alloh
telah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi dan telah memilih mereka
untuk menegakkan agama-Nya. Alloh telah ridho kepada mereka sebagai imam-
imam umat. Mereka telah berjihad di jalan Alloh dengan sebenar-benarnya,
menghabiskan umurnya untuk memberikan nasihat dan manfaat kepada umat,
serta mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoan Alloh.”

Salim al Hilali Hafizhahulloh berkata: “Para ulama dari generasi terdahulu


yang memiliki keutamaan, telah menukil istilah salaf yang menunjukkan kepada
masa periode sahabat dan manhajnya.”

Imam Bukhori Roimahulloh berkata: “Rasyid bin Sa’d berkata: “Dulu


orang-orang salaf menyukai kuda jantan, karena ia lebih cepat dan kuat.”” Salim
al Hilali Hafizhahulloh berkata yang dimaksud salaf di sini ialah sahabat karena
Rasyid bin Sa’d Rhodiallohu’anhu adalah tabi’in.
10

Imam Bukhori Rohimahulloh berkata: “Bab tentang apa yang disimpan


oleh orang-orang salaf di rumah mereka dan ketika bepergian berupa makanan,
daging, dan lain-lain.” Salim bin Hilali Hafizhahulloh berkata: “Dimaksudkan
dengan salaf adalah para sahabat.”

Imam Bukhori Rohimahulloh berkata: “Dan az Zuhri berkata tentang


tulang binatang-binatang yang sudah mati seperti gajah dan lain-lain. Saya
menjumpai ulama salaf berminyak dan bersisir dengan tulang binatang yang
sudah mati. Mereka tidak mempersoalkan hal itu.” Salim al Hilali Hafizhahulloh
berkata, yang dimaksud salaf adalah sahabat karena az Zuhri Rhodiallohu’anhu
adalah dari golongan tabi’in.

Imam Muslim Rohimahulloh meriwayatkan di dalam muqaddimah


shahihnya dari jalan Muhammad bin Abdulloh, dia berkata: “Saya telah
mendengar Ali bin Syaqiq berkata: “Saya telah mendengar Abdulloh bin Mubaroq
berkata di tengah orang-orang: “Tinggalkan Amr bin Tsabit karena dia mencela
salaf.””” Salim al Hilali berkata yang dimaksud dengan salaf adalah sahabat.

Al Auza’y Rohimahulloh berkata: “Bersabarlah dirimu di atas as sunnah,


tetaplah berdiri di tempat mereka (sahabat) berdiri, katakanlah apa yang mereka
katakan, tinggalkanlah apa yang mereka tinggalkan, dan tempuhlah jalan as salaf
ash sholih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.”
Salim al Hilali berkata: “Yang dimaksud as salaf ash shohih adalah para sahabat
Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan keterangan-keterangan istilah di atas menunjukkan kepada


makna sahabat dan bukan yang lainnya.

2. Salaf adalah Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in

Salim al Hilali Hafizhahulloh berkata: “Adapun dari sisi periode, kata


salaf digunakan untuk menunjukkan pada generasi-generasi terbaik yang lebih
objektif, ilmiah, bijaksana, dan selamat untuk dicontoh dan diteladani, yaitu
tiga geberasi pertama yang disaksikan kebaikannya (keutamaannya) oleh manusia
terbaik, Nabi Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa sallam, dengan sabdanya:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian


sesudahnya lagi. Setelah itu akan datang orang-orang yang persaksian mereka
mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya. (Hadits
Mutawatir)

Akan tetapi, pengertian salaf bila hanya ditinjau dari periodesasi pada
masa itu, tidak cukup untuk menunjukkan makna salaf secara sempurna kecuali
dikatakan bermanhaj salaf bila dalam pemahaman Al Qur’an dan As Sunnah
sesuai dengan pemahaman para Sahabat. Untuk itu banyak ulama
menambahkan penyebutan ash sholih untuk menunjukkan batasan yang jelas
kepada orang-orang yang mengikuti manhaj sahabat, yakni as salaf ash sholih.
11

Kemudian istilah ini dikenal dengan cara pemahaman para sahabat,


tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dari generasi yang utama terhadapat agama Islam.
Generasi yang keimanan, kebaikannya, dan kelebihannya tidak diragukan lagi,
bukan generasi yang mendapat predikat selalu mengadakan hal baru dalam agama
atau generasi yang dituduh sering mengadakan pemutar balikan ajaran Islam.
Generasi yang mencerminkan kesucian sumber, kebersihan manhaj yang diterima
dari pilar kenabian, sehingga rasanya tawar, manis, segar, dan tidak asin. Manhaj
yang tidak bisa dikotori oleh kotoran apapun. Generasi yang pada diri mereka
terhimpun kematangan ilmu, amal, dan keluhuran budi. Mereka adalah orang-
orang yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling tajam analisanya,
paling menyeluruh jangkauannya, dan paling lembut pemahamannya. Adapun
yang paling menonjol manhaj yang ditempuh mereka adalah pemahaman yang
menyeluruh, mempunyai konsep yang bersih, aqidah yang benar, pemikiran yang
lurus, perilaku yang seimbang, pembinaan yang konprehensif, selalu
memperhatikan yang prioritas, ada tahapan-tahapan dalam pembinaan,
mengikuti dalil, komitmen terhadap kebenaran, membuang jauh-jauh hawa
nafsu, berpaling dari sesuatu yang tidak dibangun di atas amal Islami,
menghindari sikap rekayasa, selalu menghadapi perkembangan zaman,
menjauhkan diri dari bid’ah-bid’ah, berusaha keras demi mewujudkan
kemaslahatan umat Islam, mencurahkan kemampuan untuk memberi nasehat
kepada mereka, menyatakan kalimat kebenaran, memerangi semua kebatilan,
mereka gembira dalam menjalankan ketaatan-ketaatan kepada Alloh,
memberikan loyalitas, memusuhi lawan, mencintai seseorang, dan
membencinya semata-mata karena Alloh. Karena itu mereka pantas untuk
menyandang sebagai umat yang terbaik yang dilahirkan untuk kepentingan orang
lain sebagaimana yang ditegaskan Alloh dalam Al Qur’an. (Manhaj Aqidah Imam
Hasan al Banna, Dr. Isham Ahmad Basyir, Titian Ilahi Press)

Isi buku ini dalam rangka pembelaan terhadap tokoh IM, Hasan Al Banna,
karena ada yang menuduh bahwa dalam memahami asma dan sifat-sifat Alloh, Al
Banna sama sekali tidak berdasarkan kepada manhaj yang ditempuh oleh ulama
salaf. “Padahal di antara karakter manhaj yang ditempuh oleh Hasan Al Banna
adalah dia berusaha keras untuk tetap konsisten terhadap manhaj yang ditempuh
oleh ulama Salafus Sholih dalam memahami aqidah. Dia juga selalu mendorong
kepada umat agar tetap berpegang teguh kepada manhaj ulama salaf
tersebut. Bahkan dia memandang bahwa manhaj salaf itu merupakan
manhaj (jalan) yang lurus.”

Tetapi yang sangat-sangat mengherankan mengapa pergerakan IM dulu


dan sekarang tidak sesuai bahkan jauh dari manhaj salaf?!?

3. Salaf adalah orang-orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj


Islam, sesuai dengan pemahaman-pemahaman generasi terdahulu yang
memiliki keutamaan

Pengertian ini muncul setelah adanya firqoh-firqoh dan perpecahan.


Sebagian ulama menganggap kata salaf adalah sinonim nama-nama syar’i lainnya
dari ahlus sunnah wal jama’ah, ahlu hadits, firqoh najiyah, thoifah manshuroh.
12

Sedang orang-orang yang mengikutinya (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in)


disebut salafiyyun.

Manhaj Salaf

Manhaj salaf atau salafiyyah adalah jalan yang ditempuh oleh


Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, sahabat, generasi tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in Rhodiallou’anhum serta orang-orang yang mengikuti manhaj mereka
hingga hari kiamat. Inilah jalan petunjuk dan jalan untuk mendapatkan
petunjuk.

Dr. Muhammad bin Khalifah At Tamimi Hafizhahulloh berkata:


“Salafiyyah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam
dan generasi-generasi yang memiliki keutamaan-keutamaan sesudah beliau dan
orang-orang yang diberitakan oleh Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam, bahwa
mereka senantiasa ada di atas kebenaran sampai hari kiamat, karena hadits:

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tegak di atas kebenaran,
tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai datang
perkara Alloh (kiamat). Dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR. Muslim)

Salim al Hilali Hafizhahulloh berkata: “Sesungguhnya telah menyangka


sebagian dari orang-orang yang mengetahui, tetapi mereka menyelewengkan
ketika menyebut istilah Salafiyyah. Mereka beranggapan, bahwa salafiyyah
merupakan perkembangan baru sebuah jama’ah Islamiyah yang satu, dan jama’ah
tersebut mengambil untuk dirinya pemahaman tertentu dari nama Salafiyyah yang
berbeda dengan kaum muslimin umumnya dalam masalah hukum,
kecenderungan-kecenderungan, bahkan dalam tabiat dan norma-norma akhlaknya.
Persangkaan yang demikian itu tidak ada dalam manhaj salaf, karena Salafiyyah
adalah Islam yang bersih dari pengaruh-pengaruh peradaban lama dan
firqoh-firqoh sesat yang banyak jumlahnya. Dan Islam yang secara
sempurna dan menyeluruh berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf yang dipuji oleh Al Qur’an dan As Sunnah.”
13

Kedua, Istilah Salafiyyah, Bid’ah?

Firqoh najiyah (golongan yang selamat) adalah 1 dari 73 firqoh umat


Islam, sebagaimana telah disebutkan oleh Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa
sallam:

“Demi (Alloh) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya umatku akan


terpecah menjadi 73 golongan, 1 golongan masuk surga, dan 72 lainnya di
neraka. Beliau ditanya: “Wahai Rosululloh, siapakah yang selamat itu? Beliau
menjawab: Al Jama’ah. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim, dan Al Laalikai
dalam Syarh Ushulil I’tiqad Ahlu Sunnah wal Jama’ah, dari ‘Auf bin Malik,
Hasan]

Al jama’ah adalah yang menetapi Al Qur’an dan As Sunnah dengan


pemahaman Salaf meskipun ia sendirian. Tetapi ada sebagian orang yang
menganggap bahwa penamaan salafiyyah adalah bid’ah, dan cukuplah
menggunakan nama Islam, Muslim, atau Muslimin. Benarkah demikian?

Di sini kami nukil tulisan Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali Hafizhahulloh
dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rohimahulloh rektor Universitas Islam
Madinah dan Mufti Ulama Saudi Arabia 3 dalam masalah ini:

1. Apakah penamaan salafiyyah adalah bid’ah? Sebagian orang mengatakan:


“Sesungguhnya penamaan Salafiyyah adalah bid’ah, karena di zaman Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat Rhodiallohu’anhum tidak
menggunakan nama itu.”

Jawab [Syaihk Salim a Hilali Hafizhahulloh]

Kata/istilah Salafiyyah tidak digunakan di zaman Rosululloh Sholallohu


‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena memang tidak ada kebutuhan di
saat itu. Kaum muslimin yang pertama kali, berada di atas Islam yang shohih
(benar), sehingga tidak ada kebutuhan terhadap kata/istilah Salafiyah, karena
memang mereka di atasnya (salafiyyah) secara tabi’at dan fitrah (nurani).
Sebagaimana mereka berbicara bahasa Arab yang fasih tanpa kekeliruan dan
kesalahan. Tidaklah ada ilmu nahwu, shorof, dan balaghoh sampai kesalahan
dalam berbicara Arab muncul. Kemudian muncullah ilmu ini yang memperbaiki

3
Yaitu dulu, adapaun sekarang Syaikh bin Baaz telah wafat, Rohimahulloh.
Berkata Dr. Yusuf al Qardhawiy: “Beliau “Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdulloh
bin Baaz”, seorang ahli fikih ternama yang telah menghabiskan seluruh umurnya
yang penuh berkah itu dengan berdakwah kepada tauhid dan memberantas
kesyrikian. Ia juga mengajar, menasehati, dan berfatwa. Ia -Rohimahulloh-
merupakan bintang dari bintang-bintang yang telah memancarkan hidayah
(petunjuk). Ia juga merupakan lautan ilmu yang teramat luas. Ia kuat bagaikan
gunung dalam permasalahan-permasalan fikih. Ia juga merupakan seorang ulama
yang luar biasa yang hidup pada masa di mana ulama sangat sedikit sekali”,
rekaman video ada padaku.
14

kebengkokan / kesalahan lisan. Demikian pula takkala keanehan dan


peyimpangan dari jama’atul muslimin muncul, mulailah muncul kata/istilah
Salafiyyah pada kenyataan. Walaupun Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam
telah mengingatkan atas maknanya di dalam hadits iftiroq (perpecahan umat)
dengan sabda beliau Sholallohu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang mengikuti jalanku
dan para sahabatku pada hari ini.”

Tatkala banyak firqoh-firqoh bermunculan dan semuanya mengaku


berjalan di atas al kitab dan as sunnah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), maka para
ulama umat bangkit untuk membedakannya dengan gambang, mereka
mengatakan: “Ahlu Hadits dan atau Salaf.”

Oleh karena itulah Salafiyyah terbedakan dari seluruh golongan-golongan


(umat) Islam yang lain dengan penisbatannya kepada perkara yang menjamin
mereka untuk berjalan berdasarkan Islam yang shohih, yaitu: Berpegang teguh
dengan apa-apa yang dijalani oleh para Sahabat Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa
sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, mereka itulah para generasi yang mendapatkan persaksian
kebaikan dari Alloh dan Rosul-Nya.

2. Apakah terdapat perbedaan antara peristilahan “Salafiyyah” dengan definisi


“Ahlu Sunnah wal Jama’ah” –Hafazakumulloh?

Jawab [Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rohimahulloh]

Orang-orang Salaf-kan, mereka yang Ahlu Sunnah wal jama’ah juga,


mereka adalah salaful ummah (umat terdahulu), mereka adalah para Sahabat Nabi
Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Disebut kaum Salaf karena
mereka lebih dahulu ada (hidup) sebelum yang lainnya dan dikatakan Ahlu
Sunnah wal Jama’ah karena mereka berkumpul secara berjama’ah di atas sunnah
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, seperti yang dijelaskan oleh ulama
seperti Abul Abbas Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh dalam bukunya “Al Aqidah Al
Wasithiyah” dan ulama-ulama lainnya. Kata ‘Salaf’ bila disebut secara umum
berarti pendahulu-pendahulu yang sholeh (salafus sholeh) yang terdiri dari para
Sahabat Nabi dan pengikut-pengikutnya. Merekalah golongan yang selamat,
kelompok yang dimenangkan yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan As
Sunnah hingga akhir zaman. Sedang golongan yang menentang mereka sangat
banyak sekali seperti yang dikatakan oleh Ibnu taimiyyah Rohimahulloh dalam
“Al Hamawiyah”.

3. Dikatakan: Kenapa kita mensibatkan diri kita kepada Salaf, padahal Alloh
Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dia (Alloh) telah menamai kamu sekalian
“Muslimin” dari dulu. (QS. Al Hajj: 78)

Jawab:

Kami (Syaikh Salim Hafizhahulloh) akan memaparkan sebuah diskusi


yang lembut antara Syaikh Muhammad Nashruddin Al Albani Rohimahulloh
15

dengan ustadz ‘Abdul Halim Abu Syuqqoh Hafizhahulloh, penulis kitab Tahrirul
Mar’ah fi ‘Ash-rir Risalah:

Syaikh Albani berkata: “Jika engkau ditanya, apakah madzhabmu


(keyakinanmu; jalanmu di dalam beragama), maka apa yang akan engkau
katakan?

Dia (Ustasz ‘Abdul Halim) berkata: “Muslim”

Syaikh berkata: “Itu tidak cukup!”

Dia berkata: “Alloh telah menamai kita “Muslimin”. Kemudian dia membaca:
“Dia (Alloh) telah menamai kamu sekalian “Muslimin” dari dulu. (QS. Al Hajj:
78)

Syaikh berkata: “Jawaban itu benar seandainya kita berada di zaman yang
pertama sebelum tersebarnya firqoh-firqoh. Seandainya kita sekarang bertanya
kepada seorang muslim mana saja dari firqoh-firqoh itu, yang kita berselisih
secara prinsip di dalam aqidah terhadap firqoh-firqoh tersebut, maka semuanya –
baik orang tersebut Syi’ah Rofidhoh, Khowarij, Duruz, Nushairiyah al ‘Alawiyah-
akan menjawab: “Saya Muslim.” Kalau demikian, di zaman ini jawaban tersebut
tidak cukup.”

Dia berkata: “Kalau begitu aku akan mengatakan: “Saya Muslim berdasarkan Al
Kitab dan As Sunnah.”

Syaikh berkata: “Jawaban itu juga tidak cukup!”

Dia berkata: “Kenapa?”

Syaikh berkata: “Apakah engkau mendapati seorangpun dari mereka –firqoh-


firqoh tadi- yang telah kita buat contoh, yang mengatakan: “Saya seorang muslim,
tidak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah?” Kalau begitu, siapakah orang yang
akan mengatakan: “Saya tidak berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah”. Kemudian
Syaikh Albani Rohimahulloh menerangkan kepadanya urgensi/arti penting ikutan
yang sedang kita angkat ini, yaitu: Al Kitab dan Sunnah dengan pemahaman Salaf
kita yang Sholih.

Dia (Ustadz ‘Abdul Halim) berkata: “Saya seorang Muslim berdasarkan Al


Kitab dan Sunnah dengan pemahaman Salafush Sholih.”

Syaikh berkata: “Apabila ada orang yang bertanya kepadamu tentang


mazhabmu, maka apakah engkau akan mengatakan itu kepadanya?”

Dia berkata: “Ya.”


16

Syaikh berkata: “Bagaimana pendapatmu kalau kita ringkaskan bahasanya,


karena sebaik-baik perkataan adalah yng sedikit dan jelas, maka kita mengatakan:
“Salafy.”

Dia berkata: “Saya telah berbasa-basi terhadap anda, dan sekarang saya
mengatakan kepada anda: “Ya, akan tetapi keyakinanku adalah apa yang
terdahulu. Karena tatkala seorang mendengar bahwa anda adalah salafy, pertama
kali fikirannya melayang kepada perkara yang bermacam-macam, yang berupa
tindakan yang keras bahkan kasar, yang sering terjadi dari salafiyin.” (Maksudnya
oknum/pribadi).

Syaikh berkata: “Taruhlah perkataanmu benar, tetapi apabila engkau


mengatakan: “Muslim”, tidakkah dia (orang-orang yang mendengarmu,
fikirannya) akan melayang kepada Syi’ah Rofidhoh, Duruz, Isma’iliyah,...dan
lainnya?”

Dia berkata: “Mungkin juga, tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia: “Dia
(Alloh) telah menamai kamu sekalian “Muslimin” dari dulu. (QS. Al Hajj: 78)

Syaikh berkata: “Tidak wahai saudaraku! Sesungguhnya engkau tidak mengikuti


ayat tersebut, karena yang dimaksud ayat tersebut adalah (Muslim) Islam yang
shohih, sepatutnya manusia itu diajak berbicara sesuai dengan ukuran akal
mereka. Apakah ada seorangpun yang memahamimu bahwa engkau adalah
seorang Muslim dengar arti yang dimaksudkan di dalam ayat itu? Sedangkan
kekhawatiran-kekhawatiran yang telah engkau sebutkan tadi bisa jadi benar atau
tidak benar. Karena perkataanmu tadi (bahwa ada tindakan-tindakan keras), bisa
jadi ada pada sebagian individu-individu dan bukan sebagai manhaj aqidah ilmiah
(jalan yang diyakini yang menjadi ilmu). Maka tinggalkanlah orang-perorang,
karena kita sedang membicarakan manhaj (jalan; metode yang harus ditempuh).
Karena sesungguhnya apabila kita mengatakan: “Orang Syi’ah, Duruz, Khowarij,
Sufi, atau Mu’tazilah tentu akan ada juga kekhawatiran-kekhawatiran yang telah
engkau sebutkan tadi. Kalau begitu, itu bukanlah topik pembicaraan kita. Tetapi
kita sedang membahas tentang nama yang menunjukkan mazhab seseorang yang
dia beragama kepada Alloh dengan mazhab itu.”

Kemudian Syaikh bertanya: “Bukankah para Sahabat semuanya Muslimin?”

Dia berkata: “Tentu”

Syaikh berkata: “Akan tetapi dikalangan mereka ada yang mencuri. Tetapi hal
ini tidak membolehkan seorangpun mengatakan: “Saya bukan seorang Muslim”,
bahkan dia adalah seorang muslim dan mukmin kepada Alloh dan Rosul-Nya
sebagai manhaj (jalan yang ditempuh), akan tetapi terkadang dia menyelisihi
manhajnya, karena dia (pribadi) memang tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan).

Oleh karena itulah, kita sekarang –mudah-mudahan Alloh memberkatimu-


sedang membicarakan suatu kata yang menunjukkan aqidah kita, pemikiran kita,
dan tempat berpijak kita di dalam kehidupan kita yang berkaitan dengan perkara-
17

perkara agama kita yang dengannya kita beribadah kepada Alloh. Adapun si Fulan
(maksudnya “seseorang”, ed) berlebih-lebihan atau dia meremehkan maka itu
urusan lain.

Kemudian Syaikh berkata: “Saya menginginkan supaya engkau berfikir


tentang kata yang ringas ini, sehingga engkau tidak terus-menerus (mencukupkan)
dengan kata Muslim (saja), sedangkan engkau mengetahui bahwa tidak akan
didapatkan seorangpun yang memahami apa yang engkau kehendaki selama-
lamanya. Kalau demikian maka ajaklah bicara orang-orang itu sesuai dengan akal
mereka. Mudah-mudahan Alloh memberkatimu atas sebutanmu. Sekian nukilan
dari Syaikh Salim al hilali Hafizhahulloh.

Kemudian bahwa bid’ah itu mencakup setiap apa yang diada-adakan


di dalam agama dan tidak mempunyai dasar di dalam syari’at yang
menunjukkannya. Adapaun perkara yang mempunyai dasar di dalam syari’at
yang menunjukkannya, maka itu bukanlah bid’ah menurut syari’at, walaupun
bid’ah menurut bahasa. Seangkan istilah Salafiyyah, maka dasarnya dari syari’at
sangat gamblang, baik dari Al Kitab dan As Sunnah. (Al Bid’ah Dhawabithuha
wa Atsaruha as Sayyi’fil Ummah, hal. 13, Dr. Ali bin Muhammad Nashir al
Faqihi Hafizhahulloh).

Dengan demikian, sama sekali tidak ada aib menisbatkan diri kepada
Salafush Shalih jika diiringi dengan usaha untuk mencocoki mereka secara lahir
dan batin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata: “Tidak ada aib
atas orang yang menampakkan mazhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya
serta mengikatkan diri dengannya, bahkan hal itu wajib diterima dari orang
tersebut. Karena sesungguhnya mazhab Salaf adalah kebenaran itu sendiri. Jika
orang tersebut mencocoki Salaf secara lahir dan batin (dalam aqidah dan manhaj
secara keseluruhan) maka kedudukannya sama dengan seorang mukmin yang
berada di atas al haq secara lahir dan batin. Jika orang tersebut mencocoki Salaf
secara lahiriyah saja –batinnya tidak- maka orang tersebut sama kedudukannya
dengan orang munafik, sehingga lahiriyahnya diterima sedangkan isi hatinya
diserahkan kepada Alloh. Karena sesungguhnya kita tidak diperintahkan untuk
menyelidiki hati manusia.” (Majmu Farawa IV/149).
18

Ketiga, Istilah Salaf di Kalangan Ulama

Syaikh Bakr bin Abdulloh Abu Zaid Hafizhahulloh berkata: “Apabila


dikatakan Salaf atau Salafiyyun atau jalan mereka Salafiyyah, maka hal itu adalah
nisbat kepada Salafush Sholih, yaitu seluruh Sahabat Rodhiallohu’anhum. Maka
barangsiapa yang mengikuti mereka dengan baik tanpa diselewengkan oleh hawa-
hawa nafsu dan mereka tetap berada di atas minhaj nubuwah (jalan kenabian),
mereka dinisbatkan kepada Salaf mereka yang Sholih. Dalam hal itu mereka
dikatakan: Salaf, Salafiyyun, dan nisbat kepada mereka adalah Salafy.
Berdasarkan itu maka lafadz Salaf berarti Salafush Sholih. Dan lafadz ini jika
disebut secara umum maka berarti setiap orang yang berjalan meneladani para
Sahabat Rodhiallohu’anhum, bahkan jika dia berada di zaman kita ini, dan
demikianlah, seperti inilah perkataan ahli ilmu. Hal ini adalah nisbat yang tidak
memiliki pola-pola yang keluar dari kandungan Al Kitab dan Sunnah, dan itu
adalah nisbat yang tidak terpisah sekejappun dari generasi yang pertama, bahkan
itu adalah dari mereka dan kepada mereka. Adapun orang yang menyelisihi
mereka secara nama atau pola maka tidak termasuk mereka, walaupun dia
hidup di antara mereka dan sezaman dengan mereka. (Hukmul Intima’, hal.
36)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rohimahulloh pernah ditanya: “Apakah


yang anda katakan tentang orang yang memakai nama as Salafy, apakah itu adalah
tazkiyah (pujian)?” Maka beliau menjawab: “Apabila benar dia adalah Salafy
maka tidak mengapa. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang Salaf: Fulan
Salafy. Ini adalah pujian yang harus, pujian yang wajib.”

Imam Adz Dzahabi Rohimahulloh juga berkata di dalam biografi


Muhammad bin Muhammad al Bahrani Rohimahulloh: “Dan dia seorang yang
taat beragama, seorang yang baik, dan seorang Salafy.” Beliau juga berkata di
dalam biografi Ahmad bin Ahmad bin Ni’mah al Maqdisi: “Dan dia berada pada
aqidah Salaf.”

Syaikh Ali bin Hasan Hafizhahlloh berkata: “Sesungguhnya


menisbatkan diri kepada Salaf, menyatakan dengan terang-terangan ketinggiannya
di atas setiap wadah-wadah dan pandangan-pandangan lain yang menyelisihi al
haq, dan berterus terang bahwa dakwah satu-satunya yang haq/benar adalah
dakwah Salafiyyah, semua itu tidak ada cela padanya, dan tidak ada bahaya
terhadap orang yang mengatakannya, karena Salafiyyah adalah nisbat kepada
Salaf, dan itu adalah nisbat yang tidak pernah terpisah sekejappun dari umat Islam
semenjak terbentuknya di atas minhaj nubuwah (jalan kenabian), sehingga
(Salafiyyah) itu membuat seluruh kaum muslimin dari generasi yang pertama
disusul orang-orang yang meneladani mereka di dalam menerima ilmu, jalan
memahaminya, dan tabi’at mendakwahkannya. Dengan demikian Salafiyyah itu
tidak dimaksudkan terbatas pada tahap sejarah tertentu, bahkan wajib untuk
dipahami bahwa kandungannya itu terus-menerus selama berlangsungnya
kehidupan.” (Ru’yah Waqi’iyah fi Manahiji ad Da’awiyah: 25, Syaikh Ali Hasan)
19

Dr. Ali bin Muhammad Nashir al Faqihi Hafizhahulloh berkata:


“Apabila didapati seorang menisbatkan diri pada manhaj Salaf, lalu dia
melakukan kesalahan –karena memang mereka (Salafiyyun) tidak maksum
(terjaga dari kesalahan)-, maka kesalahannya itu dihitung sebagai kesalahnnya,
bukan kesalahan manhaj, dan tidak boleh menjadikan orang lari dari al haq.
Menjadikan mereka lari dari Salaf (dengan membangun kesan buruk dan jelek
atas Salaf karena perbuatan oknum Salafy yang berbuat salah, ed) adalah suatu
kejahatan besar terhadap umat Islam, karena berarti memutuskan (hubungan
generasi) umat zaman ini dengan (generasi) umat yang terdahulu. Dan ini adalah
seruan musuh-musuh Islam yang disambut oleh orang-orang yang tidak
memikirkan akibat buruknya. Aku memperhatikan lembaran-lembaran kitab
Syarah Thohawiyah, maka aku dapati kata/istilah Salaf diulang-ulang lebih dari
20 kali, hal ini menunjukkan adanya perasaan mulia terhadap nisbat ini. Karena
sesungguhnya di antara keistimewaan manhaj mereka adalah kokoh berada di atas
al haq dan terus-menerus di atasnya, tidak ada kegoncangan, kesepakatan dalam
perkara-perkara aqidah, dan tidak ada perselisihan di antara mereka dalam
perkara aqidah ini, walaupun berbeda zaman dan tempat. Hal ini berbeda
dengan golongan-golongan yang lain yang membuat manhaj-manhajnya dengan
akal mereka.

Imam Auza’y Rohimahulloh misalnya, pernah mengatakan:


“Sabarkanlah dirimu untuk tetap berpegang pada sunnah. Berhentilah pada apa
yang para sahabat berhenti. Berkatalah sesuai dengan apa yang mereka katakan.
Jangan berkata tentang apa yang tidak mereka katakan. Dan tempuhlah jalan
Salafush Sholih, karena sesungguhnya apa yang menjadikan mereka lapang,
niscaya akan menjadikanmu lapang.”

Benarlah apa yang dikatakan Imam Malik Rohimahulloh: “Tidak akan


dapat memperbaiki (keadaan) umat akhir ini melainkan apa yang pernah
memperbaiki keadaan umat salaf (terdahulu).”

Abdulloh bin Mas’ud Rodhiallohu’anhu sendiri sebagai seorang sahabat


mengatakan: “Siapa yang di antara kamu ingin mengambil Sunnah, maka
ambillah Sunnah orang yang telah mati, sebab orang yang hidup (sekarang/pada
ketika ibnu Mas’ud Rodhiallohu’anhu masih ada) tidak aman dari fitnah. Mereka
(orang-orang yang telah mati) itu adalah sahabat Muhammad Sholallohu ‘alaihi
wa sallam, orang yang paling baik hatinya di tengah umat ini, paling dalam
ilmunya, dan paling sedikit rasa terbebaninya. Mereka adalah suatu kaum yang
telah dipilih Alloh untuk menjadi Sahabat Nabi-Nya dan untuk menegakkan
agama-Nya. Karena itu fahamilah apa yang menjadi hak mereka dan pegangilah
petunjuk mereka, Sebab mereka berada pada jalan petunjuk yang lurus.”

“Mereka itulah (para Nabi) orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Alloh,
maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al An’am: 90)
20

Keempat, Mengapa Kita Harus Bermanhaj Salaf

Sebenarnya merupakan sesuatu yang pasti dan tidak mengandung


keraguan sedikitpun bahwasanya manhaj Salaf adalah manhaj yang bisa diterima
oleh setiap generasi dari masa ke masa. Dan keadaan inipun akan senantiasa
terwujud setiap saat apabila segala penghambat yang sengaja diciptakan oleh para
pengacau fitrah yang lurus diberantas. Yang pasti, kita harus tetap mengajak kaum
muslimin untuk tetap mengikuti jejak as Salaf ash Sholih. Perlu kita jelaskan
bahwa ajakan untuk mengikuti jejak as Salaf ash Sholih merupakan upaya agar
manusia dapat melepaskan diri dari berbagai belenggu taklid yang mengakibatkan
lahirnya sikap fanatik terhadap ro’yu (pendapat), untuk kemudian berubah sikap
menjadi selalu mengembalikan setiap permasalahan kepada Kitabulloh dan
Sunnah Rosul-Nya (dalam aqidah dan manhaj).

“Katakanlah: “Taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rasul. Dan jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rosul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang
dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat
Alloh) dengan terang.” (An Nuur: 54)

Adalah suatu keharusan yang mutlak bagi setiap muslim yang


menginginkan kesuksesan dan rindu akan kehidupan mulia serta kemenangan di
dunia dan akhirat, bahwa dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang
shohih harus dengan pemahaman generasi manusia terbaik. Yaitu para
Sahabat dan tabi’in serta siapa saja yang mengikuti jalan mereka dengan
baik sampai hari akhir.

Alasan-alasannya:

1. Sesungguhnya Salafush Sholih Rodhiallohu’anhum adalah generasi yang telah


nyata kebaikannya, baik berdasarkan nash (dalil, ed) langsung maupun
berdasarkan istinbath (kesimpulan hukum). Alloh berfirman:

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Alloh petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az Zumar:18)

“Sesungguhnya Alloh telah ridho terhadap orang-orang mukmin ketika mereka


berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Maka Alloh mengetahui apa yang ada
dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al
Fath: 18)

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari


golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Alloh ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Alloh. Dan Alloh
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
21

dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang


besar.” (Q. At Taubah: 100)

Sisi pendalilan ayat di atas ialah bahwa Alloh memuji orang yang
mengikuti generasi manusia terbaik (yaitu Muhajirin dan Anshor). Dengan
demikian dapat dipahami ketika mereka (para sahabat Muhajirin dan Anshor)
Rodhiallohu’anhum) mengatakan sesuatu, lalu ada yang mengikutinya, jelas orang
yang mengikutinya tersebut terpuji dan berhak mendapat ridho Alloh. Apabila
pengikut sahabat itu tidak ada bedanya dengan orang lain (yang tidak mengikuti
pola Sahabat), tentu ia tidak berhak mendapat pujian dan ridho Alloh (seperti
tertulis di ayat di atas).

Saat menafsiri ayat ini (At Taubah: 100), Ibnu Katsir Rohimahulloh
menyatakan, bahwa betapa celaka orang yang membenci sahabat nabi Sholallohu
‘alaihi wa sallam, ataupun mencela sebagain mereka. Sesungguhnya kelompok
yang hina yaitu Syi’ah Rafidhoh (berpusat di Iran) yang menentang keutamaan
sahabat, membenci dan mencelanya. Naudzubillah. Ini menunjukkan bahwa akal
(orang yang membenci (yaitu membenci para sahabat, ed)) kontradiktif dan
terbalik hatinya. Maka bagaimana mereka disebut beriman kepada Al Qur’an
kalau mereka mencela yang Alloh ridho kepadanya. Bahkan Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Muliakanlah para Sahabatku, sesungguhnya mereka adalah orang yang terbaik


di antaramu.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Al Hakim, Shohih)

Lalu, siapakah sebaik-baik generasi manusia itu?

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh,


mereka itu adalah sebaik-baik manusia.” (QS. Al Bayyinah: 7)

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali
Imron: 110)

2. Sabda Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang


sesudahnya (tabi’in), kemudian orang-orang sesudahnya (tabi’ut tabi’in).
Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya
dan sumpahnya mendahului kesaksian.” (HR. Bukhori, Muslim, dan Ahmad,
Mutawatir)

Bahwa generasi sahabat sebagai generasi terbaik, tentu bukan dalam hal
warna kulitnya, kekuatannya, melimpahnya harta, dll. Tetapi maksudnya adalah
terbaik dalam ke-Islamannya, sebab barometer kebaikan dalam Islam adalah
ketakwaan hati dan amal sholih, seperti firman Alloh:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Alloh ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurot: 13)
22

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Alloh tidak melihat pada bentuk (fisik) kamu dan pada harta
benda kamu, tetapi Dia melihat pada hati-hati kamu dan amal-amal kamu.” (HR.
Muslim)

Sesungguhnya Alloh telah melihat hati para Sahabat Rosul Sholallohu


‘alaihi wa sallam. Alloh telah mendapati hati mereka sebagai hati hamba-Nya
yang terbaik sesudah hati Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Alloh telah
anugerahkan pada mereka pemahaman yang tidak bisa disamai oleh generasi
berikutnya. Oleh sebab itu, apapun yang dilihat baik oleh para Sahabat, maka itu
pasti baik di sisi Alloh. Dan apapun yang dilihat buruk oleh para Sahabat, maka
pasti hal itu buruk pula di sisi Alloh.

Ibnu Mas’ud Rodhiallohu’anhu mengatakan (artinya): “Sesungguhnya


Alloh melihat hati-hati hamba-Nya. Maka Alloh mendapati hati Muhammad
Sholallohu ‘alaihi wa sallam sebagai hati hamba yang terbaik. Karena itu Dia
memilih Muhammad untuk diri-Nya. Kemudian diutus-Nya lah ia untuk
membawa risalah-Nya. Selanjutnya Alloh melihat hati hamba-hamba yang lain
sesudah Muhammad, maka Dia dapati hati-hati para Sahabat Muhammad
Sholallohu ‘alaihi wa sallam sebagai hati-hati hamba terbaik. Karena itulah Alloh
jadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya. Mereka berperang
membela agama-Nya. Maka apa yang dilihat baik oleh kaum muslimin (para
Sahabat), maka hal itu adalah baik di sisi Alloh, dan apapun yang dilihat buruk
oleh para Sahabat, maka pasti hal itu buruk pula di sisi Alloh.”

Beberapa dalil di atas dari sekian banyak dalil, sudah merupakan bukti
nyata, bahwa jalan, pola, dan manhaj sahabat sebagai generasi Salaf dalam ber-
Islam yang sesuai Al Qur’an dan Sunnah, adalah jalan yang mendapat
rekomendasi langsung dari Alloh, Rosul-Nya, dan para Sahabat sendiri. Hal ini
membuktikan bahwa jalan/manhaj mereka adalah jalan/manhaj yang benar. Siapa
yang menempuh jalan mereka, berarti ia berada dalam kebenaran dan mendapat
pujian Alloh.

Dalil berikut bisa lebih mempertegas lagi kebenaran manhaj Salaf


sekaligus memperjelas bahwa manhaj selain Salaf, begitu juga dakwah yang
tidak berpijak pada dakwah Salaf adalah manhaj serta dakwah yang salah,
menyimpang, dan batil.

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang


mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Alloh, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-
jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am: 153)
23

“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman: 15)

Syaikh Salim al Hilali Hafizhahulloh menjelaskan bahwa: Semua


Sahabat Rodhiallohu’anhum adalah orang-orang yang kembali kepada
Alloh, bahkan mereka lah orang-orang yang jelas-jelas kembali kepada
Alloh. Adapun orang-orang sesudahnya, maka hanya dikatakan orang-orang
yang kembali kepada Alloh jika mengikuti jejak para Sahabat/Salaf.

Dalam hal ini Alloh memberi petunjuk kepada para Sahabat Nabi
Sholallohu ‘alaihi wa sallam menuju perkataan yang baik dan amal yang sholih.
karena itu, wajib hukumnya mengikuti jalan mereka dalam memahami agama
Alloh, baik Al Qur’an maupun As Sunnah.

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Alloh, maka ikutilah
petunjuk mereka.” (QS. Al An’am: 90)

Sebalikya Alloh mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum


mukminin (para Sahabat4) dengan neraka Jahannam.

Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An
Nisaa’: 115)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di kitabnya Naqdluh Mantiq telah


menafsirkan ayat “Jalannya orang-orang mukmin” mereka adalah para Sahabat
sebagai tokoh yang jelas-jelas mukmin.

Di dalam ayat yang mulia ini Alloh tidaklah mencukupi firman-Nya:


“Barangsiapa yang memusuhi Rosul sesudah nyata baginya kebenaran...,
niscaya akan Kami palingkan dia...”. Dan kalau Alloh mencukupinya sampai di
situ, pasti haq/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Alloh
mengaitkan dengan: “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin
(yaitu para sahabat).” Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang
dengan Al Qur’an dan Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami
keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mukmin yaitu para
Sahabat.” Dengan demikian berarti mengikuti jalan mereka dalam memahami
syari’at Alloh adalah wajib, dan menyalahi jalan mereka adalah sesat. jadi, urutan
dalilnya sebagai berikut: Al Quran kemudian As Sunnah, keduanya menurut
pemahaman para Sahabat atau cara beragama mereka, dalam aqidah dan
manhaj.

4
Karena saat itu, saat turunnya ayat ini, kaum mukminin hanyalah para Sahabat.
24

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh menegaskan bahwa yang


masyhur di kalangan ahlu sunnah wal jama’ah bahwa kelompok-kelompok bid’ah
adalah kelompok-kelompok yang tidak menganut (pemahaman) Salaf. (Majmu’
Fatawa IV/155)

3. Dari Abu Musa al Asy’ari Rodhiallohu’anhu, ia berkata yang artinya:

“Kami sholat magrib bersama Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian


kami berpendapat: Kita duduk saja hingga sholat isya’ bersama Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Maka kami pun duduk. Kemudian keluarlah
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Kalian masih di sini?”
Maka kami mengatakan: Ya wahai Rosululloh, kami telah sholat (maghrib)
bersamamu, kemudian kami berpendapat untuk duduk hingga kami sholat isya’
bersamamu. Maka beliau berkata: “Kalian memang baik, dan kalian benar.”
Lalu Abu Musa berkata: Kemudian beliau menengadahkan mukanya ke langit,
dan sering sekali beliau berbuat seperti itu. Kemudian bersabda: “Bintang-
bintang itu pengaman bagi langit. Apabila bintang-bintang itu sirna, maka
kehancuran akan menimpanya (langit). Dan aku adalah pengaman bagi para
Sahabatku, dan para Sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Apabila mereka
telah pergi, maka akan datang sesuatu yang telah dijanjikan kepada umatku.”
(HR. Muslim)

Dari dalil ini bisa dibaca permisalan, bahwa Rosul Sholallohu ‘alaihi wa
sallam yang telah dijadikan sebagai uswah (teladan) kita, telah memberikan
permisalan yang sangat indah tentang para sahabatnya Rodhiallohu’anhum. Beliau
memisalkan para sahabatnya Rodhiallohu’anhum dengan bintang-bintang di langit
yang kita pahami bahwa bintang-bintang itu sebagai petunjuk dalam kegelapan,
baik di darat maupun di laut.

“Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu


menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya
Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang
mengetahui.” (QS. Al An’am: 97)
25

Kelima, Pokok-pokok Jalan Hidup dan Dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah

Dari kitab Silsilah Syar’iyyah edisi 1 bulan Robiuts tsani 1418 H, karya
Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail as Salaimanie Hafizhahulloh, seorang
yang berdiam di Ma’rib Yaman, yang mengepalai sebuah lembaga pendidikan
dakwah dan sosial, yaitu: Darul Hadits di Ma’rib Yaman. Beliau menyebut 52
yang saya tulis hanya 33:

1. Dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah dakwah yang tegak di atas Al
Qur’an dan As Sunnah menurut pemahahaman salafush sholih, serta orang-orang
yang mengikuti mereka.

2. Ahlu Sunnah wal Jama’ah berkayikan bahwa berdo’a kepada orang-orang mati
(termasuk kepada Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam dan wali-wali), beristighosah
kepada mereka, menyembelih dan bernadzar untuk mereka, juga minta
pertolongan kepada orang-orang hidup atas perkara-perkara yang merupakan
kekuasaan Alloh, adalah perbuatan syirik, yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari Islam, maka pelakunya wajib bertaubat atas perbuatannya itu dan wajib
membenahi aqidah tauhidnya.

3. Keyakinan terhadapat kemampuan jimat-jimat dan sejenisnya untuk


mendapatkan manfaat dan menolak mudhorot adalah perbuatan syirik. Juga
mendatangi tukang-tukang sihir, dukun, dan peramal. Membenarkan mereka
adalah kekufuran, sebab berarti membenarkan bahwa mereka mengetahui perkara-
perkara ghoib. Jika hanya sekedar datang tanpa membenarkan ucapan-ucapan
mereka, maka ini adalah sebuah kebodohan yang wajib dijauhi, sebab hal ini
merupakan wasilah (perantara, ed) kepada dosa syirik.

4. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyakini adanya karomah-karomah para wali tanpa
menyakini bahwa hal tersebut merupakan bagian dari kekhususan Ilahiyah5. Ahlu
Sunnah wal Jama’ah membedakan antara karomah-karomah para wali dan
kedustaan6 para dajjal (pendusta). Para wali menegakkan perintah Alloh dan
Rosul-Nya, berbeda dengan tukang sihir dan sejenisnya (yang justru melanggar
perintah Alloh dan Rosul-Nya, ed).

5. Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mencintai seluruh Sahabat Rodhiallohu’anhu (tidak


seperti Syi’ah yang hanya sebagian7), dan tidak mencampuri perselisihan di antara

5
Maksudnya, karomah [yaitu suatu keadaan luar biasa yang ada pada diri
seseorang karena kedekatannya dengan Alloh, dan hal ini terjadi spontan begitu
saja, tanpa dipelajari] yang dimiliki seseorang bukanlah suatu hal yang
menyebabkan seseorang tersebut mendapatkan hak untuk diibadahi ataupun
dijadikan perantara ibadah kepada Alloh.
6
Yaitu keadaan luar biasa yang ada pada orang-orang yang jauh dari Alloh, dan
hal ini merupakan suatu hal yang dapat dipelajari dengan bantuan jin, semisal
sihir, ramalan, dan lainnya.
7
Yaitu mereka hanya mencintai sebagaian sahabat saja, dan mencela bahkan
mengkafirkan sahabat lainnya.
26

mereka, sebab apa yang terjadi itu merupakan fitnah. Semoga Alloh menjaga kita
dari fitnah yang seperti itu. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menjaga hati dan lisan
mereka agar tidak hanyut membicarakan fitnah. Menurut Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, para Sahabat memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Yang paling utama
adalah Abu Bakar kemudian Umar menurut kesepakatan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, kemudian Utman lalu Ali menurut pendapat yang terpilih.

6. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, orang yang mencela para Sahabat berarti
telah mengikuti ahlu bid’ah dan hatinya kotor, sebab mencintai para Sahabat serta
menempatkan mereka sesuai dengan kedudukan masing-masing, adalah
kewajiban.

7. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak menerima hadits apapun yang disandarkan
kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah mengetahui
bahwa hadits tersebut adalah shohih.

8. Dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah tegak di atas tashfiyah (pemurnian) aqidah,
kaidah-kaidah ilmiah dan amaliyah, dan lain-lain. Kemudian tarbiyyah
(pembinaan) di atas ajaran Islam yang murni.

9. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa
besar yang dilakukannya. Ahlu Sunnah wal Jama’ah selalu mengharapkan
kebaikan bagi orang-orang yang sholih dan merisaukan (mengkhawatirkan, ed)
nasib orang-orang yang berbuat jahat. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak
menentukan tempat bagi seorang pun di surga atau di neraka 8. Ahlu Sunnah wal
Jama’ah menyolatkan jenazah setiap muslim serta memohonkan ampunan selama
(orang tersebut, ed) tidak terjatuh dalam syirik besar (yang mengelurkannya dari
Islam).

10. Ahlu Sunnah wal Jama’ah memberikan nasehat dengan cara yang sebaik-
baiknya, jika diterima maka itu adalah karunia dari Alloh bagi seluruhnya, tapi
jika ditolak maka mereka bersabar dan berdo’a kepada Alloh agar memberikan
hidayah kepada semuanya. Namun jika ada seseorang yang menyeru kepada
kesesatan maka Ahlu Sunnah wal Jama’ah memperingatkan umat dari orang
tersebut setelah terlebih dahulu menasehati dan memberikan penjelasan
kepadanya.

11. Ahlu Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang mengkafirkan
pelaku-pelaku maksiat hanya semata-mata karena kemaksiatannya atau karena
menyelisihi pemahamannya, maka dia (yaitu orang yang mengkafirkan tersebut,
ed) adalah seorang ahlu bid’ah yang sesat dan merupan cikal bakal firqoh
khowarij.

12. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah syirik terbagi dua, yaitu syirik besar dan
syirik kecil. Demikian pula kekufuran terbagi dua, yaitu kufur i’tiqodi9 dan kufur

8
Kecuali orang-orang yang telah dikabarkan secara khusus dan dilandasi dalil.
9
Yaitu kekufuran secara keyakinan atau secara keimanan.
27

amali10, sama halnya dengan kemunafikan yang terbagi menjadi dua, yaiitu nifaq
i’tiqodi11 dan nifaq amali12. Perbuatan-perbuatan tercela seperti kedzoliman,
kefasikan, dan yang lainnya juga terbagi dua, yaitu besar dan kecil. Yang besar
mengeluarkan pelakunya dari Islam sedangkan yang kecil tidak 13. Menurut Ahlu
Sunnah wal Jama’ah sebagain kufur amali dapat mengeluarkan pelakunya dari
Islam, meskipun secara umum istilah kufur amali digunakan para ulama untuk
perbuatan kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.

13. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, barangsiapa yang bertaubat dari dosanya
dengan taubat yang benar, maka Alloh Subhanahu wa ta’ala akan
mengampuninya. Adapun jika dia menemui Alloh Subhanahu wa ta’ala (yaitu
pada hari kiamat kelak, ed) dalam keadaan berdosa, selama itu bukan dosa syirik,
maka dia berada di bawah kehendak Alloh Subhanahu wa ta’ala, jika Alloh
menghendaki untuk mengazabnya, maka dia akan diazab, dan jika Alloh
Subhanahu wa ta’ala menghendaki untuk mengampuninya maka dia akan
diampuni.

14. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Islam melarang perpecahan kaum
muslimin menjadi firqoh-firqoh, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan,
bahkan Islam mengharuskan seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada
Alloh Subhanahu wa ta’ala dan bersatu di atas manhaj Salafush Sholih, bukan di
atas pemahaman ustadz ini atau ustadz itu, atau syaikh ini atau syaikh itu. Adapun
selain Ahlu Sunnah memandang bahwa kelompok-kelompok yang berpecah belah
ini adalah sebuah fenomena yang sehat. Hanya kepada Alloh sajalah tempat
mengadu, kapan bisa terjadi sebuah perpecahan merupakan jalan untuk
persatuan???

15. Ahlu Sunnah wal Jama’ah membenarkan adanya saling tolong-menolong


sesama muslim dengan syarat dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak terganggu
pada saat itu ataupun di masa akan datang. 14

16. Ahlu Sunnah wal Jama’ah melihat adanya suatu pertanda buruk dari
fenomena bermunculannya kelompok-kelompok dakwah yang memiliki
metode yang beaneka ragam, ruwet, dan kacau. Oleh karena itu, wajib bagi
pencari kebenaran untuk sadar akan hal ini. Dan kesadaran ini hanya bisa

10
Yaitu kufur (ingkar) secara perbuatan, sementara hatinya membenarkan
kebenaran tersebut, hanya saja dia lebih memilih mengikuti hawa nafsu.
11
Yaitu munafik yang menampakkan keislaman secara lahiriyah, namun hatinya
mengingkari Islam.
12
Yaitu kemunafikan secara amal yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam,
seperti yang dijelaskan ciri-cirinya seperti berdusta, berkhianat, dan ingkar janji.
13
Kecuali dosa (perbuatan tercela) besar yang tidak diiringi penghalalan atas dosa
tersebut, maka hal ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, wallohu a’lam.
14
Inilah alasan mengapa Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak menolong kaum
muslimin yang berkadwah dengan cara yang menyelisihi sunnah, seperti dakwah
demokrasi dan lainnya, karena dakwah-dakwah tersebut bukan hanya
mengganggu dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, tetapi bahkan merusak dakwah
Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
28

diperoleh dengan ilmu (ilmu diperoleh dengan belajar/menghadiri majlis


ta’lim), kedewasaan berfikir, dan mneghindari kebodohan, kedunguan, sikap
ekstrim, dan sikap membabi buta terhadap orang-orang yang
menyelisihinya.

17. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyeru kepada persatuan dan tolong menolong,
maka yang mereka maksud adalah berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As
Sunnah serta tolong menolong di atas kebaikan dan takwa. Keduanya sama
urgennya di dalam dakwah ini. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak akan meneyeru
persatuan di atas kesesatan. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mengajak kepada
sesuatu yang bisa mencerai beraikan kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan
mereka sehingga membuat gembira musuh-musuh Islam. Tetapi Ahlu Sunnah wal
Jama’ah menyeru kepada persatuan, kesatuan, dan kerukunan di atas Sunnah
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallami dan di atas kebenaran yang terang.
Apabila bertabrakan dua hal ini, yaitu antara urgensi persatuan dan Sunnah
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, maka terkadang Ahlu Sunnah wal
Jama’ah mendahulukan urgensi persatuan dan kadangkala mendahulukan urgensi
berpegang kepada Sunnah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sesuai
dengan situasi, kondisi, dan keadaan serta memperhitungkan maslahat dan
mafsadat (kebaikan dan keburukan) berdasarkan kaidah-kaidah yang dibangun
oleh para ulama, baik yang dahulu maupun sekarang dan masing-masing kondisi
mempunyai sandarannya di dalam As Sunnah. Adapun selain Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, jika mereka menyeru kepada persatuan, maka persatuan yang dimaksud
adalah persatuan di atas prinsip-prinsip hizbiyah (golongan) dan bai’at untuk
pemimpin mereka dan berdakwah metode ala mereka, tanpa memandang apakah
sesuai dengan manhaj Salaf atau tidak.

18. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mewajibkan untuk mentaati penguasa dalam segala
hal baik suka maupun terpaksa, kecuali di dalam kemungkran dan kemaksiatan
kepada Alloh.

19. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membenarkan pembangkangan terhadap


penguasa selama mereka masih Muslim, tetapi yang dibenarkan adalah
memberikan nasehat dan penjelasan dengan penuh kesadaran dan dengan berdo’a
agar Alloh Subhanahu wa ta’ala memperbaiki urusan-urusan kaum Muslimin.
Adapun menyiarkan dan menyebarkan kesalahan-kesalahan penguasa (walaupun
mereka benar-benar salah) di atas mimbar-mimbar serta menghasut masyarakat
baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, maka hal ini akan
menimbulkan fitnah yang merugikan dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah itu
sendiri. Oknum pelakunya tidak mengikuti kebenaran dan tidak pula
menghilangkan kemungkaran serta tidak mengetahui realita dan telah merugikan
dakwah. Tindakannya itu malah menimbulkan fitnah yang disenangi musuh-
musuh Islam.

20. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, seorang yang mendambakan kebaikan
bagi para penguasa dan kaum muslimin adalah seorang yang selalu memberi
nasehat kepada mereka (yaitu kepada penguasa, ed) walaupun pada diri penguasa
tersebut terdapat penyimpangan jika mereka salah. Dan selalu menolong mereka
jika mereka berada di atas kebenaran, selalu memaafkan mereka jika mereka
29

bersalah, selalu menutup aib mereka di hadapan khalayak ramai, serta selalu
mengingatkan mereka kepada Sunnatulloh, bahwa Alloh Subhanahu wa ta’ala
akan meninggikan derajat orang yang berlaku adil dan menghinakan orang-orang
yang dzolim. Jika mereka sadar, maka ini adalah karunia dari Alloh Subhanahu
wa ta’ala bagi kaum Muslimin, tetapi jika tidak maka kita harus bersabar,
bersikap tenang, dan takwa serta berdo’a kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala agar
sungguh-sungguh menunjukkan kepada para penguasa kebenaran dan
menganugerahkan kepada mereka pembantu-pembantu yang sholih, hati-hati
mereka yang bersih, dan mebuka pintu hati mereka untuk menerima dan
melaksanakan kebenaran. Semoga Alloh merahmati Fudhail bin ‘Iyadh
Rohimahulloh yang berkata: “Seandainya aku memiliki do’a yang mustajab (pasti
dikabulkan, ed), maka aku khususkan untuk pemguasa, karena kebaikan mereka
adalah bagi negeri dan masyarakat.”

21. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mencela, menghujat, dan melaknat para
penguasa di atas mimbar-mimbar bukan merupakan manhaj Salafush Sholih.

22. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menekankan untuk selalu bersabar terhadap
kejelekan para penguasa walaupun mereka bertindak sewenang-wenang. Ahlu
Sunnah wal Jama’ah juga tidak mengharapkan materi dunia dari penguasa. Dan
Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandang wajib menasehati para penguasa tanpa
harus menyiarkan aib, tanpa menghujat, dan tidak pula berbuat keruskan di muka
bumi.

23. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah umat Islam itu bagaikan burung dengan
kedua sayapnya. Sayap yang salah satu adalah para ulama sedang sayap yang lain
adalah penguasa. Burung tersebut tidak akan sampai ke tujuan dengan selamat
kecuali dengan dua sayap tersebut. Tugas para ulama adalah menjalaskan
perintah-perintah Alloh Subhanahu wa ta’ala dan tugas para penguasa adalah
memerintahkan umat untuk melaksanakannya. Jika terdapat kekurangan pada
mereka (penguasa dan ulama) maka hendaknya dimusyawarahkan untuk mencari
solusi terbaik bagi kaum Muslimin. Bukan dengan cara demonstrasi atau unjuk
rasa, bukan pula dengan berburuk sangka kepada para ulama.

24. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidal menolak kebaikan dan kebanran yang ada
pada kelompok-kelompok yang menyelisihinya, jika memang itu suatu kebenaran
dan kebaikan.

25. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membenarkan adanya taklid buta kepada
perkaaan seseorang, karena semua orang dapat diambil atau ditolak ucapannya,
kecuali Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan apa-apa yang telah benar
diseakati umat ini. Karena sesungguhnya umat ini tidak akan bersepakat di atas
kesesatan. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mencintai seluruh Imam Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, dan mengikuti mereka jika dalil yang kuat ada pada mereka. Ahlu
Sunnah wal Jama’ah tidak mengkhususkan salah satu dari mereka untuk diikuti.
Ahlu Sunnah wal Jama’ah selalu berusaha untuk memberantas fanatik mazhab
atau golongan.
30

26. Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa kaidah menimbang maslahat
dan mafsadat mempunyai batasan dan ketentuan tertentu. Banyak orang yang
berusaha menggunakan kaidah ini dengan tidak pada tempatnya.

27. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mewajibkan umat untuk merujuk kepada ulama,
sebab jika tidak demikian, maka akan terbuka pintu kesesatan dan akan terjauhkan
dari hidayah. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak menyeru kepada taklid buta dan
tidak membenci dengan membabi buta. Umat harus sadar bahwa kedudukan
mereka jauh di bawah para imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka hendaknya
mereka selalu mengmbil sikap tengah karena kebenaran senantiasa ada pada sikap
tengah.

28. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyeru kaum Muslimin untuk menimba ilmu
syar’i. Tapi hendaknya semua harus diraih sesuai dengan kewajiban dan
kemampuan.

29. Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa kebodohan dan


perpecahan umat adalah penyebab kelemahan dan kemunduran umat ini.
Oleh karena itu, Ahlu Sunnah wal Jama’ah bertekad untuk menyebarkan
ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah umat dan mencegah dari bergolong-
golongan dan fanatik yang tercela.

30. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mengharamkan ilmu pengetahuan umum
yang bermanfaat, bahkan Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai
amalan yang dibolehkan sunnah, bahkan hukumnya wajib bagi sebagian orang
pada suatu waktu tertentu. Karena sesungguhnya urusan dunia telah dibuka
seluas-lusanya bagi kita dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at. Nabi
Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu lebih mengetahui urusan
duniamu.”

31. Ahlu Sunnah wal Jama’ah juga tidak mengharamkan jabatan-jabatan di dalam
pemerintah seperti pegawai negeri dan sejenisnya, dengan syarat tidak
menyelisihi syari’at.

32. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, politik yang sesuai dengan prinsip
Salafush Sholih adalah sebuah perkara yang agung di dalam agama. Memisahkan
antara politik-agama berarti telah menyimpang dari agama.

33. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mengutamakan kelembutan dalam berdakwah dan
memberikan nasehat kepada masyarakat umum, karena mereka juga menghendaki
kebaikan. Mereka pada dasarnya adalah aset yang berharga. Boleh jadi mereka
lebih berguna bagi islam dan kaum Muslimin apabila Alloh Subhanahu wa ta’ala
telah membuka hati mereka untuk mererima kebaikan.
31

Keenam, Makna Persatuan dan Perpecahan

Akhi (dan Ukhti, ed), sesungguhnya dalam masalah persatuan ini kita
harus melihat kembali dalil-dalilnya. Karena setiap Alloh dan Rosul-Nya
Sholallohu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang Al Jama’ah (persatuan) selalu
dihubungkan dengan: siapa yang dipersatukan dan apa dasar persatuannya?

1. Siapa Yang Dipersatukan atau Dipersaudarakan?

Sesungguhnya yang dipersatukan oleh Alloh dalam Al Qur’an adalah


orang-orang beriman dan kaum muslimin secara umum.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara.” (QS. Al


Hujurot: 10)

“Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat maka
(mereka) adalah saudara-saudara kalian dalam agama.” (QS. At Taubah: 11)

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Muslim adalah saudara muslim lainnya.” (HR. Muslim)

Jadi bukanlah memecah belah persatuan apabila Abu Bakar Ash Shiddiq
Rodhiallohu’anhu memerangi kaum muslimin yang menolak untuk membayar
zakat, dan begitu pula Ali bin Abi Tholib Rodhiallohu’anhu yang memerangi
firqoh khowarij. Bahkan sebaliknya beliau –Abu Bakar dan Ali
Rodhiallohu’anhuma- memerangi dalam rangka mempersatukan mereka kembali
dalam satu jama’ah, yaitu Al Jamaah yang Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya ada di atasnya.

Sehingga jelaslah di sini bahwa yang dimaksud bukanlah persatuan


kelompok tertentu yang kemudian saling membangga-banggakan kelompoknya.
Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya lantas
disikapi dengan sikap seperti terhadap orang kafir. Dan bukanlah pula persatuan
antara Muwahhidin dengan Musyrikin atau persatuan antara Ahlu Sunnah dengan
berbagai aliran sesat (bid’ah). Tetapi persatuan yang dimaksud adalah di atas
Sunnah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, bukan di atas bid’ah.
Karena para Sahabat dipersatukan dengan sunnah dan di atas sunnah.
Sedangkan bid’ah adalah pemecah belah persatuan. Contohnya banyak sekali,
seperti bid’ahnya khowarij dan syiah yang diperangi Ali Rodhiallohu’anhu,
qodariyyah, mu’thazilah, jahmiyyah, falasifah (filsafat), tashawwuf, dan yang
baru muncul seperti JT (Jama’ah Tabligh, ed), IM (Ikhwanul Muslimin, ed),
Arqom, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia, ed), NII (Negara Islam
Indonesia, ed), (HASMI (Harokah Sunniyah untuk Masyarakat Islam), ed), (HT
(Hizbut Tahrir), yang dikatakan oleh Syaikh Al Albani sebagai Neo-Mu’thazilah,
ed), (Wahdah, ed), dan banyak lagi yang lainnya yang semuanya merupakan
pintu-pintu menuju perpecahan.
32

2. Apa Dasar Persatuannya?

Perintah Alloh untuk bersatu dalam Al Jama’ah selalu diikuti dengan


penjelasan dasarnya, kemudian memperingatkan bahwa menyalahi dasar-dasar
tersebut dapat menyebabkan terjadinya perpecahan.

“Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Alloh dan jangan berpecah belah.”
(QS. Ali Imron: 103)

Ibnu Katsir Rohimahulloh berkata, bahwa yang dimaksud ‘tali Alloh’ ialah
janji Alloh. Dikatakn pula bahwa tali Alloh ialah Al Qur’an dengan lafadz ‘jangan
berpecah belah’ menunjukkan perintah untuk berjama’ah dan melarang
perpecahan.

“Dan inilah Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah (jalan itu) dan jangan mengikuti
jalan-jalan lain (subul) sehingga kalian akan berpecah dari jalan Alloh.” (QS. Al
An’am: 153)

Berkata Ibnu Katsir Rohimahulloh dari Ibnu Abbas Rodhiallohu’anhuma


bahwa “Alloh memerintahkan berjama’ah serta melarang perselisihan dan
perpecahan.”

Mengomentari makna ‘jalan yang lurus’, Ibnu Qoyyim Rohimahulloh


berkata: Shirothol mustaqim ialah yang Alloh gariskan untuk hamba-Nya, jalan
yang bisa menghantarkan mereka kepada-Nya dan tidak ada jalan kepada-Nya
selain jalan-Nya. Bahkan seluruh jalan akan berakhir kepada makhluk, kecuali
jalan yang telah Dia gariskan melalui lisan para Rosul-Nya, yaitu mengesakan
Alloh dalam beribadah (yaitu iklash, ed) dan mengesakan Rosul dalam ketaatan
(yaitu ittiba’, ed). Oleh karena itu, jangan pula menyertakan sesuatupun bersama
Alloh dalam beribadah kepada-Nya (yakni syirik). Dan jangan menyertakan
seorangpun bersama Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam mutaba’ah
(mengikuti). Dengan demikian, yang dimaksud Shirothol mustaqim hanyalah
tauhidulloh dan hanya mutaba’ah sunnah Rosul-Nya. Sedangkan makna subul
(jalan-jalan), dikatakan oleh Mujahid Rodhiallohu’anhu: “Subul adalah berbagai
bid’ah dan syubhat.”15

Demikianlah, Alloh Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk tetap


bersatu dalam jama’ah kaum muslimin dengan berpegang teguh kepada Al Qur’an
dan berada di atas Shirothol mustaqim, yaitu di atas tauhidulloh dan sunnah
Rosul-Nya Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Maka meninggalkan asas-asas tersebut
merupakan penyebab perpecahan dan merusak persatuan, misalnya:

15
Juga perhatikan, ketika Alloh menyebut Jalan-Ku, Dia menyebutnya dalam
bentuk tunggal yang menunjukkan jalan itu hanya satu. Sedangkan ketika
menyebut Subul, Dia menyebutnya dalam bentuk jamak yang menunjukkan
banyaknya jalan kesesatan itu.
33

=> Menyelisihi Al Qur’an adalah perselisihan dan perpecahan setelah tegak hujjah
atas mereka. Dan ini adalah perpecahan umat terdahulu yang telah Alloh cela.
Alloh Azza wa Jalla melarang umat ini untuk berpecah dan berselisih seperti
mereka.

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih


setelah datang keterangan (hujjah) kepada mereka.”
(QS. Ali Imron: 105)

Ibnu Katsir Rohimahulloh berkata: “Alloh Subhanahu wa ta’ala melarang


umat ini untuk menjadi seperti umat-umat terdahulu (dalam) perselisihan dan
perpecahan mereka, serta ditinggalkannya amar ma’ruf nahi mungkar di antara
mereka, padahal telah tegak hujjah atas mereka.”

Lihatlah ayat dan ucapan Ibnu Katsir Rohimahulloh di atas dan


bandingkan dengan ucapan firqoh-firqoh hari ini yang menganjurkan untuk
mengesampingkan amar ma’ruf nahi mungkar dengan alasan persatuan! Atau
menyatakan agar kita tidak berbicara tentang syirik dan bid’ah karena mereka
menganggap ini adalah perkara ilmu masail yang tidak perlu dibicarakan kecuali
oleh para kiai di daerahnya masing-masing, dengan alasan agar tidak terjadi
perselisihan dan perpecahan (kata firqoh JT). Padahal, justru meninggalkan amar
ma’ruf nahi mungkar merupakan penyebab terjadinya perpecahan. Dan itu berarti
mereka telah membiarkan diri mereka berpecah belah dan ridho dengan
perpecahan tersebut.

“Sesunggunya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka


(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada
Alloh, kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka perbuat.” (QS. Al An’am: 159)

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh. Yaitu


orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka.” (QS. Ar Rum: 31-32)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir Rohimahulloh berkata: “Bahkan


jadilah kalian muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) yang mengikhlaskan
seluruh ibadah hanya untuk-Nya dan tidak menginginkan ibadahnya kecuali Dia.”
Kemudian dia berkata, “(Memecah belah agamanya) yaitu mengganti-ganti dan
merubah-rubahnya (melakukan bid’ah) serta beriman kepada sebagian (syariat
agama) dan kufur (ingkar) kepada sebagian yang lain.” Bahkan beliau
menambahkan, “... dan umat inipun (akan) berselisih. Di antara mereka ada yang
menjadi aliran-aliran yang seluruhnya sesat kecuali satu, yaitu Ahlu Sunnah wal
Jama’ah. Karena hanya Ahlu Sunnah wal Jama’ah lah yang berpegang dengan Al
Qur’an dan Sunnah Rosul-Nya dan apa yang ada pada generasi pertama dari para
Sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in (salaf) dan imam-imam kaum muslimin yang
mengikuti mereka dulu maupun yang sekarang.”
34

=> Keluar dari Shirothol mustaqim berarti juga memecah belah agama dan
menyebabkan tafarruq (perpecahan).

“Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang akan mencerai beraikan
kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am: 153)

Penjelasan tentang ayat ini terdapat dalam riwayat yang shohih dalam
musnad Ahmad Rohimahulloh dan lainnya dari Ibnu Mas’ud Rodhiallohu’anhu,
yaitu setelah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam menggambarkan garis-garis
di kanan dan di kiri dari garis yang lurus, beliau bersabda:

“...dan ini adalah as subul (jalan-jalan), tidak ada satu pun dari padanya kecuali
ada syaiton yang mengajak kepadanya...” (HR. Ahmad, Nasa’i, Darimi, dan
Hakim)

Mujahid Rodhiallohu’anhu menjelaskan bahwa pengertian subul yang


didakwahkan oleh syaiton di sini adalah jalan-jalan bid’ah dan syubhat. Oleh
sebab itu, ketika jalan-jalan itu diikuti olah kaum muslimin maka mereka menjadi
terpecah ke dalam berbagai firqoh dan aliran sesat.

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah


berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini
(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan di neraka, dan satu golongan di dalam surga, yaitu Al Jama’ah.” (HR.
Ahmad dan yang lain)

Dalam riwayat yang lain:

“Semua golongan tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para
sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani)
35

Ketujuh, Hikmah Diutusnya Para Rosul

Para Rosul telah diutus oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala semenjak


terjadinya kemusyrikan pertama kali di muka bumi ini. Kemudian secara
beriringan Dia mengutus para Rosul dan Nabi yang lainnya.

Semuanya dengan tujuan yang sama, yaitu mengesakan Alloh di dalam


ibadah dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan:

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Beribadahlah kepada Alloh (saja), dan jauhilah thoghut itu (apa
saja yang disembah selain Alloh). (QS. An Nahl: 36)

Semuanya dengan wahyu yang sama, yaitu mengesakan Alloh di dalam


ibadah dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan:

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al Anbiya: 25)

Semuanya di atas jalan yang sama, yaitu memulai dakwah dengan


mengesakan Alloh di dalam ibadah dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan:

“Wahai kaumku, beribadahlah kepada Alloh, sekali-kali tak ada sesembahan


bagimu selain-Nya.” (QS. Al A’rof: 59, 65, 73, 85)

Memang jin dan manusia diciptakan hanyalah untuk mengesakan Alloh di


dalam ibadah dan menjauhi kemusyrikan:

“Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah
(hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Itulah Hikmah diutusnya para Rosul


Itulah Inti diutusnya para Rosul
Itulah Jalan para Rosul
Itulah Tujuan Dakwah para Rosul
Dan itulah semestinya ‘Tujuan Dakwah dan Jalan’ para pengikut Rosul
Kalau memang demikian jelas dan gamblang masalah ini, mengapa muncul ide-
ide dan suara-suara yang tidak seirama???

Ada orang yang mengatakan, “Mungkin telah jelas kepada anda dari
tulisan-tulisan dan buku-buku kami, bahwa tujuan terakhir yang kita tuju dari
perjuangan ini adalah mengadakan revolusi kepemimpinan. Yang kami maksud
adalah bahwa apa yang ingin kita raih di dunia ini adalah membersihkan bumi
persada dari noda-noda kepemimpinan orang-oranf fasik dan durhaka, dan kita
tegakkan di dunia ini sistem pemerintahan yang shohih dan lurus. Maka usaha dan
perjuangan yang berkesinambungan inilah yang kami anggap sebagai sarana yang
terbesar dan tersukses untuk meraih ridho Alloh Ta’ala dan mencari pahala
36

melihat wajah-Nya yang tertinggi di dunia dan akhirat.” (Al Ususul Akhlaqiah lil
Harokah Al Islamiyah, hal 16)

Sangat disayangkan perkataan seperti inilah yang laris dikalangan para


pemuda yang bersemangat tinggi dan mereka menganggapnya sebagai kebenaran.
Orang yang tidak seide dengan mereka tidak dianggap melakukan perjuangan dan
amal untuk Islam yang sebenarnya!

Padahal: “Mungkin akhi (dan ukhti, ed) yang budiman, yang bijaksana lagi
paham, serta memperhatikan sepak terjang dakwah para Rosul semenjak yang
pertama sampai yang terakhir, tidak mengetahui bahwa inilah (maksudnya
dakwah tauhid, ed) perjuangan para Nabi yang mereka perjuangkan. Dan tidak
mengetahui bahwa usaha dan perjuangan tersebut merupakan sarana terbesar dan
tersukses untuk meraih ridho Alloh dan mengharap pahala melihat wajah-Nya.
Bahkan sebenarnya sarana terbesar dan tersukses untuk meraih ridho Alloh
adalah mengikuti jalan dakwah seluruh Nabi (yaitu dakwah tauhid, ed) dan
meniti langkah di dalam membersihkan bumi dari kerusakan dan
kemusyrikan. Dan juga sarana yang terbesar adalah Islam dan Iman beserta
rukun-rukunnya yang telah dikenal.” (Manhajul Anbiya’ fid Dakwah Ilalloh,
hal 140, Syaikh Robi’ bin Hadi al Madkholi Hafidzahulloh)

Demikian juga ada yang mengatakan: “Tujuan agama yang sebenarnya


adalah: menegakkan sistem pemerintahan shohih dan lurus.” Perkataan ini tidak
memiliki sanad (yaitu tidak mempunyai landasan, ed), “karena tujuan agama
yang sebenarnya, tujuan penciptaan jin dan manusia, dan tujuan diutusnya
para Rosul serta diturunkannya kitab-kitab adalah ibadah kepada Alloh dan
mengikhlaskan ketundukan kepada-Nya.” (Manhajul Anbiya’ fid Dakwah
Ilalloh, hal 144, Syaikh Robi’ bin Hadi al Madkholi Hafidzahulloh)

Ternyata kita juga perlu meluruskan langkah kita, seandainya kita salah,
memang kita harus kembali kepada al haq (kebenaran), karena rujuk kepada al
haq itu lebih baik daripada bertahan di atas kebatilan.
37

Kedelapan, Kekuasaan Bukanlah Tujuan Dakwah Para Rosul

Alloh Ta’ala telah menjelaskan kepada kita misi dakwah para Rosul yang
diutus-Nya. Alloh Ta’ala berfirman:

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Beribadahlah kepada Alloh (saja), dan jauhilah thoghut itu (apa
saja yang disembah selain Alloh). (QS. An Nahl: 36)

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al Anbiya: 25)

Setiap Rosul pasti memulai dakwahnya dengan menyerukan tauhid


uluhiyah/ubudiyah (mengesakan Alloh dalam semua ibadah/bahwa tiada
sesembahan yang benar kecuali kepada Alloh), sebab itulah inti anjaran Islam
yang mulia ini. Sebagaimana yang diserukan oleh Nabi Nuh, Hud, Sholih, Syu’aib
Alaihissalam, dll.

“Wahai kaumku, beribadahlah kepada Alloh, sekali-kali tak ada sesembahan


bagimu selain-Nya.” (QS. Al A’rof: 59, 65, 73, 85)

Demikian pula Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, beliau juga


diperintahkan untuk menyerukan kalimat tauhid ini kepada kaum Quraisy.

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya


menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama.” (QS. Az Zumar: 11)

Dari uraian ayat-ayat di atas jelaslah bahwa misi dakwah para Rosul
adalah menegakkan kalimat tauhid dan memberantas penyakit-penyakit
syirik (menyembah selain Alloh dan syirik-syirik lainnya seperti: riya’, sum’ah,
ujub). Tidak ada satu nabi pun yang menjadikan kekuasaan sebagai misi
utamanya.
38

Kesembilan, Kekuasaan Adalah Suatu yang Telah Dijanjikan Bagi Kaum


Muwahhidin (Orang-orang yang Memurnikan Tauhid)

“Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang sholeh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An Nur: 55)

Secara tegas Alloh Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan


kekuasaan itu bagi hamba-hamba-Nya yang memurnikan ibadah hanya kepada-
Nya serta menjauhi segala bentuk kemusyrikan.

Namun sangat disayangkan, sebagian orang justru bertindak sebaliknya!


Meraih kekuasaan dengan segala upaya, baru setelah itu menegakkan tauhid (kata
mereka)! Cara seperti itu jelas bertentangan dengan sunnatulloh dan sunnah para
Rosul. Jika niat mereka meraih kekuasaan murni hanya untuk menegakkan
dienulloh, seharusnya mereka melaksanakan perintah Alloh Ta’ala tersebut dan
meneladani para Rosul dalam berdakwah dan berjuang. Sebab menyimpang dari
pedoman dan bimbingan nabawi, tentu akan jauh dari berkah serta tidak akan
berhasil. Bagaimana mungkin Alloh Ta’ala akan meridhoi orang-orang yang jahil
tentang tauhid lagi berlumuran dengan noda syirik dan bid’ah?

Ketahuilah akhi (dan ukhti, ed), orang-orang kafir Quraisy pernah


mengutus ‘Utbah bin Robi’ah untuk menawarkan kepada Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam kekuasaan, harta benda, istri, dan hal lain dari kesengan dunia,
tetapi dengan syarat beliau meninggalkan dakwah tauhid dan tidak lagi
menyerang berhala-berhala. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam tidak
menerima semua itu dan terus melanjutkan dakwahnya (tauhid). Lalu beliau
membaca surat Fushshilat setelah terlebih dahulu membaca basmallah.

“Haa Miim. Diturunkan dari Robb yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk
kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa
peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan...”.
(Kisah ini diriwayatkan oleh Ibmu Ishaq dan dicantumkan oleh Ibnu Hisyam
dalam Sirohnya hal. 295-296)

Maka timbul pertanyaan, apakah da’i-da’i firqoh itu tidak mengetahui


sejarah Rosululloh, bagaimana beliau Sholallohu ‘alaihi wa sallam memulai
dakwahnya?!?
39

Kesepuluh, Hikmah yang Terkandung Dalam Surat Fushshilat

Jika kita perhatikan dengan seksama surat yang dibacakan Rosululloh


Sholallohu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Utbah, banyak sekali hikmah yang
terkandung di dalamnya. Diantaranya: penyebutan tiga pokok dasar yang
merupakan asas seluruh agama samawi16, yaitu:

1. Tauhidulloh dalam ibadah


2. Penetapan Nubuwwat
3. Iman pada hari kiamat

Tiga pokok dasar di atas merupakan misi utama dakwah para Rosul. Dan
merupakan inti dari seluruh kitab suci yang diturunkan Alloh Subhanahu wa
ta’ala. Al Imam Asy Syaukani Rohimahulloh telah menjelaskan ketiga landasan
utama tersebut di dalam ‘Irsyaadul Fuhuul ‘Ilaa Ittifaaqiys Syraai’ ‘Alat Tauhid
wal Ma’aad wan Nubuwwat’, beliau membawakan dalil-dalil dari Al Qur’an,
Taurot, dan Injil.

Pada awal surat Fushshilat, Alloh Subhanahu wa ta’ala menetapkan


nubuwwat Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau diperintahkan untuk
menyerukan kepada umat manusia bahwa beliau adalah seorang manusia biasa
yang diistemewakan Alloh Subhanahu wa ta’ala dengan wahyu (ayat 6). Yaitu
kitab suci yang berbahasa Arab yang dijelaskan ayat-ayatnya, berisi kabar
gembira dan peringatan (ayat 3-4). Ini adalah penetapan kenabian Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Alloh Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang penciptaan langit


dan bumi beserta penghuninya serta seluruh fasilitas yang ada di dalamnya (ayat
9-12). Guna menegaskan bahwa Dia lah Robb yang berhak untuk disembah dan
diibadahi, tiada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata
(ayat 14 dan 37-38). Ini adalah penetapan Tauhid Uluhiyah.

Lalu Alloh Subhanahu wa ta’ala menceritakan adzab di dunia yang


menimpa kaum yang durhaka seperti kaum ‘Add dan Tsamud (ayat 15-18).
Setelah itu Alloh menetapkan adanya hari kebangkitan. Alloh Subhanahu wa
ta’ala menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan itu, di antaranya:

1. Persaksian anggota tubuh manusia terhadap perbuatan yang mereka lakukan di


dunia (ayat 19-22)
2. Adzab yang ditimpakan kepada orang-orang yang ingkar kepada hari kiamat
(ayat 26-29)
3. Janji Alloh Subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang beriman dan beramal
sholeh serta istiqomah di atas keimanan mereka (ayat 30-32)

16
Istilah agama samawi merujuk pada agama yang dinisbatkan pada wahyu,
walaupun agama seluruh Nabi adalah satu, yaitu Islam, sedangkan agama lainnya
adalah penyimpangan dari Islam.
40

Secara garis besar, surat tersebut menjelaskan ketiga landasan utama itu.
Dengan demikian jelaslah, kekuasaan bukan prioritas utama dakwah para Rosul.
Sebab jika memang demikian, Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam pasti
menerima tawaran yang disodorkan kaum Quraisy tersebut. Menurut logika orang
yang beranggapan bahwa kekuasaan adalah solusi terbaik untuk mengentaskan
seluruh problematika umat, tawaran kekuasaan tersebut mestinya diterima oleh
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam sebab hal itu merupakan jalan pintas
menuju kejayaan umat (menurut logika mereka)! Namun tidak begitu menurut
hikmah ilahiyah yang Alloh wahyukan kepada Rosul-Nya! Beliau tidak
berkeinginan memilih jalan yang menyimpang dari jalan Rosul-rosul sebelumnya.
Untaian ayat tersebut telah membuat ‘Utbah terpukau. Ayat tersebut
membungkam segenap kaum penentang bahwa tugas para utusan Alloh
Subhanahu wa ta’ala hanyalah menyeru umat manusia agar kembali ke jalan
Alloh Subhanahu wa ta’ala, kepada pengesaan Alloh dalam beribadah.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Alloh, mengerjakan amal yang sholeh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat: 33)
41

Kesebelas, Mayoritas Pengikut Rosul Adalah Kaum Lemah

Sudah kita maklumi bersama bahwa Alloh Subhanahu wa ta’ala tidak


membebankan Roul-rosul-Nya untuk menegakkan atau menumbangkan sebuah
daulah. Hal ini dapat kita buktikan lewat sepak terjang mereka dalam berdakwah.
Seruan kepada perebutan kekuasaan umumnya menarik minat banyak orang dari
berbagai kalangan. Mereka bisa saja bersatu demi hal itu. Pasti akan banyak sekali
yang bakal mengelilingi hidangan yang bernama ‘kekuasaan’ itu. Orang yang baik
maupun orang yang jahat, yang tulus nan jujur maupun yang para pendusta lagi
bermuka dua! Sebagaimana yang dilakukan sebagian kelompok dakwah. Mereka
merekrut ‘orang-orang yang dianggap berpotensi’ untuk meraih kekuasaan.
Sehingga banyak orang yang terpukau dengan kemilau nama-nama beken yang
diakui sebagai simpatisan kelompoknya. Padahal tidak sedikit dari ‘orang-orang
itu’ yang hanya nebeng dan sekedar menjadikan kelompok tersebut sebagai batu
loncatan untuk mendapat jabatan dan kedudukan. Cara seperti ini jauh berbeda
dengan metode dakwah para Nabi.

Sejarah mencatat bahwa mayoritas pengikut para Nabi adalah orang-orang


lemah dan kaum fakir miskin. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi
Nuh dan Sholeh ‘Alaihissalam beserta pengikutnya:

“Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang


mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” (QS. Asy Syu’aroo’: 111)

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada


orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka:
“Tahukah kamu bahwa Sholeh di utus (menjadi rasul) oleh Robbnya?” Mereka
menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Sholeh diutus
untuk menyampaikannya.” Orang-orang yang menyombongkan diri berkata:
“Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu
imani itu.” (QS. Al A’rof: 75-76)

Hiraklius pernah bertanya kepada Abu Sufyan Rodhiallohu’anhu (seorang


utusan Rosul kepada raja yang kafir 17: “Apakah yang mengikutinya orang-orang
terpandang ataukah kaum lemah?” Abu Sufyan menjawab: “Kaum lemahlah yang
mengikutinya.” Hiraklius menimpali: “Aku menanyakan kepadamu tentang kaum
yang menjadi pengikutnya, apakah kaum terpandang ataukah kaum lemah?
Engkau sebutkan bahwa yang mengikutinya adalah kaum lemah! Demikianlah
memang pengikut para Rosul!” (Diambil dari Shohih Bukhori).

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam menetap di Makkah selama


kurang lebih sepuluh tahun. Beliau menyerukan dakwah dari pintu ke pintu
mendatangi orang-orang di rumah-rumah mereka dan di pasar ‘Ukkazh dan

17
Hal ini perlu ditinjau ulang, karena di dalam Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Pustaka
Imam Asy Syafi’i, dikatakan bahwa utusan itu bernama Dahiyah bin Khalifah,
sedangkan Abu Sufyan saat itu diminta oleh Hiraklius untuk menjelaskan perihal
Rosululloh, lihat tafsir surat Ar Ruum.
42

Majinnah pada musim haji di Mina. Beliau menyeru: “Siapakah yang sudi
melindungiku! Siapakah yang sudi menolongku! Agar aku dapat menyampaikan
risalah Robb ku, maka baginya surga!” Sampai-sampai jika seseorang hendak
berangkat dari Yaman atau Mudhar menuju Makkah, maka kaumnya akan
mendatanginya seraya memberi tahu: “Hati-hati terhadap pemuda Muhammad itu,
janganlah kamu terpengaruh ucapannya!” Demikianlah kondosinya! Beliau
mendatangi orang-orang sedangkan mereka meremahkan beliau. Hingga akhirnya
Alloh mengutus kami dari Yatsrib (Madinah). Kami pun bersedia melindungi
beliau dan membenarkan ucapan beliau. Sehingga salah seorang dari kami datang
menemui beliau lalu dia beriman kepada beliau dan beliau membacakan
kepadanya Al Qur’an. Kemudian dia kembali kepada keluarganya mengajak
mereka masuk Islam, akhirnya mereka juga ikut masuk Islam. Hingga tidak tersisa
satu rumah pun milik orang Anshor kecuali terdapat beberapa orang yang telah
menampakkan keislamannya. (HR. Ahmad 3/322)

Demikianlah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah.


Dakwah beliau bersih dari slogan-slogan politik dan kekuasaan. Seruan kepada
pendirian daulah dan kekuasaan sangat mudah untuk menarik minat semua lapisan
masyarakat, sebab mayoritas manusia adalah pemburu materi dunia dan pengikut
hawa nafsu.

“Kalian akan berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan, padahal ia hanyalah


penyesalan pada hari kiamat, alangkah manis kekusaan itu, dan betapa pahit
berpisah dengannya.” (HR. Bukhori)
43

Keduabelas, Kesalahpahaman Dalam Memahami Kalimat Tauhid

Orang-orang atau kelompok yang menjadikan kekuasaan sebagai orientasi


perjuangan menafsirkan kalimat tauhid dengan makna ‘Tiada hakim (penentu
hukum) selain Alloh.’ Tafsiran tersebut mereka jadikan acuan dan pijakan dalam
pergerakan yang mereka serukan untuk menegakkan kalimat tauhid. Namun
benarkah demikian? Tafsiran di atas adalah tafsiran yang kurang bahkan keliru.
Itu adalah tafsiran sebagian makna kalimat tauhid. Kami peringatkan di sini
karena tafsir-tafsir itu terdapat dalam buku-buku yang banyak beredar sekarang.
Sedangkan tafsir yang benar menurut ulama salaf maupun kholaf adalah: “Tiada
sesembahan yang haq (benar) diibadahi selain Alloh (Tauhid Uluhiyah).”
Kekeliruan itu mengakibatkan kesalahan dalam menetapkan skala prioritas
dalam berdakwah, yang pada akhirnya menyimpang dari metode dakwah
para Rosul.

Menegakkan kalimat tauhid dengan makna “Tiada hakim (penentu hukum)


selain Alloh”, mengakibatkan kajian aqidah menjadi identik dengan kajian politik
(yakni politik kuffar seperti demokrasi dan demonstrasi). Tekanan kajian seolah-
olah hanya pada semangat mendirikan daulah Islamiyyah, sebab tiada hukum
melainkan hukum Alloh Subhanahu wa ta’ala, dan itu hanya tegak dengan
tegakknya daulah Islamiyyah. Apabila pola dakwah cenderung seperti ini
(berorientasi politik), menekankan komitmen kelompok, lebih mengutamakan
kemaslahatan kelompok ketimbang syari’at, membuka toleransi selebar-lebarnya
terhadap siapapun yang melakukan penyimpangan mendasar, seperti ahli bid’ah
dan ahli ahwa (pengikut hawa nafsu) demi menjaga persatuan dan keutuhan
perjuangan atau tidak menjadikan dakwah demi tegaknya tauhid uluhiyah dan
menyebarkan ilmu sebagai prioritas utama, maka kelompok seperti ini adalah
kelompok yang menyimpang, meskipun secara aqidah mungkin memiliki
kecenderungan untuk mengikuti manhaj salaf.

Jadi, perbedaan dakwah mereka dengan dakwah para Rosul adalah


perbedaan yang sangat prinsipil, bukan hanya sekedar beda label, seperti
sangkaan mereka.
44

Ketigabelas, Demokrasi dan Demonstrasi Bukan Ajaran Islam

Bid’ahnya demokrasi, masuk dalam parlemen, pemilihan umum, dan


berdemonstrasi meskipun mereka mengatakan secara Islami dan demi
memperjuangkan Islam!

Demokrasi sadalah satu sistem hukum ketatanegaraan yang paling rusak


dan sangat buruk yang pernah dibuat oleh manusia. Demokrasi berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari dua kata, demos (kekuasaan) dan kratos (rakyat).
Menurut istilah, makna demokrasi ialah kekuasaan di tangan rakyat, atau dari
rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Adapun syi’arnya demokrasi adalah
kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan hak. Penciptanya demokrasi adalah
manusia kafir tulen bernama Plato dan muridnya yang juga kafir tulen yaitu
Aristoteles. Guru dan murid ini adalah dua orang ahli filsafat Yunani yang hidup
beberapa abad sebelum masehi. Akan tetapi dalam perjalannya selama belasan
abad tidak mendapatkan tempat di hati manusia. Sampai terjadi revolusi Prancis
abad ke-18 atas perintah anak cucu kera dan babi yaitu yahudi. Lalu masuklah
sistem demokrasi ke seluruh negeri tanpa terkecuali negeri-negeri Arab,
Alhamdulillah Arab Saudi tidak termasuk. Demokrasi, apapun alasannya, menurut
Islam, melalui cahaya Al Qur’an dan Sunnah, adalah satu sistem kekufuran dan
kesyirikan tingkat tinggi yang jelas-jelas telah melawan dan mementang syari’at
Alloh Robbul ‘alamin. Hal ini tidak tersembunyi bagi seorang muslim yang
memiliki pengetahuan tentang agamanya yang benar kecuali mereka yang
tertipu oleh Yahudi anak cucu kera dan babi.

Jika dikatakan: Mungkinkah kita adakan pendekatan antara Islam dengan


demokrasi (yang belakangan ini diteriakkan dengan istilah demokrasi Islami, ed)?
Jawabnya mustahil, dari beberapa sebab:

1. Yang membuat hukum Islam adalah Alloh. Sedangkan demokrasi dibuat oleh
manusia kafir, munafiq lagi jahil.

2. Islam adalah agama yang sempurna, yang lengkap mengatur hidup dan
kehidupan manusia (Al Maidah: 3). Oleh karena itu tidak boleh dan tidak
mungkin diadakan pendekatan antara Islam dengan demokrasi walaupun dalam
bagian yang terkecil sekalipun.

3. Kaum muslimin tidak berhajat sedikitpun juga dengan sistem demokrasi,


karena dihadapan mereka ada Al Qur’an dan Sunnah. Adapun Yahudi dan
Nashrani bersama kaum kuffar dan musyrikin yang lainnya sangat berhajat
kepada demokrasi, karena mereka kufur kepada Alloh, Rosul, dan kitab-Nya.

4. Demokrasi adalah kufur dan syirik, sedangkan kita dilarang mendekatinya


apalagi menerimanya.

5. Kita dilarang menyerupai orang-orang kafir, sedangkan demokrasi ciptaan yang


menjadi agama dan hukum bagi mereka.
45

Kemudian jika dikatakan: Samakah demokrasi dengan Syuro


(musyawarah)? Jawabannya: Sama sekali tidak sama, karena beberapa sebab:

1. Syuro adalah hukum Alloh. Sedangkan demokrasi ciptaan manusia kafir yang
selamanya benci dengan Islam.

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqoroh: 120)

2. Syuro ditegakkan demi kemashlahatan umat yang diputuskan oleh ahli hilli wal
aqdi, yang tediri dari para Ulama (orang alim/berilmu) pewaris para Nabi.
Sedangkan demokrasi ditegakkan demi kekuasaan dan kefanatikan terhadap
golongan yang diputuskan oleh orang-orang kafir, musyrikin, ahli maksiat, laki-
laki maupun perempuan meskipun di parlemen itu terdapat kaum muslimin
bahkan ahli agama. Bercampur baur (orang Islam dan berbagai macam orang
kafir) bergabung bersama-sama dalam menentukan pilihan dengan suara
terbanyak.

3. Ahli syuro di dalam Islam tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal, dan tidak mengatakan yang haq itu batil atau yang batil itu haq.
Keadaan ini secara sempurna seratus persen menyalahi para pengikut demokrasi,
mereka telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan
mengatakan yang haq itu batil atau mengatakan yang batil itu haq (dan hal ini
sangat wajar karena yang menentukannya terdiri dari berbagai macam orang, ada
yang bodoh, pintar, yang Islam, dan yang kafir, dan ditambah pula dengan
berbagai macam kepentingan).

4. Syuro di dalam Islam jarang terjadi dan hanya di dalam beberapa urusan yang
musykil (sukar diputuskan dan dipahami). Adapun di dalam perkara-perkara yang
telah ada ketetapannya dari Alloh dan Rosul-Nya (Al Qur’an dan Sunnah), maka
tidak diadakan syuro. Sedangkan demokrasi diletakkan sebagai asas yang
mengatur seluruh kehidupan berdasarkan undang-undang yang telah dibuat,
sehingga manusia yang hidup di satu negeri dengan sistem demokrasi tidak boleh
keluar atau bertentangan dengan undang-undang tersebut.18

18
Ada kasus menarik mengenai poin ketiga dan keempat ini. Ketika suatu
PARTAI yang KATANYA sesuai SYARI’AT mengiklankan partainya dengan
menampilkan wanita tanpa hijab, maka muncullah pro kontra tentang itu.
Anehnya, beberapa (jika tidak mau dikatakan banyak) orang yang pro terhadap
hal tersebut beralasan bahwa hal itu telah melalui pertimbangan syuro para
qiyadah mereka. Aku tidak tahu apakah klaim ini benar-benar terjadi atau sekedar
pembelaan membabi buta dari orang-orang yang hampir buta (jika tidak ingin
dikatakan telah buta). Namun, jikalau pun syuro (versi mereka tentunya) dalam
hal tersebut memang ada, maka aku katakan bahwa masalah aurat adalah masalah
yang telah jelas nash nya, jadi tidak perlu lagi ada syuro untuk membahasnya.
Terlebih alasan “Untuk menarik orang awam” yang alasan ini berbau prinsip
yahudi “Tujuan menghalalkan segala cara” yang sangat kental pada kasus iklan
tersebut. Dan akhirnya aku ingin bertanya pada orang-orang yang melakukan
46

Walhasil, demokrasi adalah sistem kufur dan syirik yang sangat


bertentangan dengan Islam. Penggerak demokrasi adalah Yahudi untuk melawan
Islam dan kaum muslimin. Kaum pergerakan (harokah IM19/Jama’ah Tarbiyah
salah satunya) yang menerima demokrasi dan masuk ke dalam parlemen dengan
alasan darurat dan memilih salah satu dari dua mudhorot yang lebih ringan, dua
alasan yang menunjukkan kejahilan mereka terhadap hukum Islam, pada
hakikatnya mereka telah terjerumus ke dalam politik Yahudi20. Oleh karena itu di
dalam perjalanannya yang melelahkan, firqoh ini tidak pernah berhasil
memperjuangkan Islam di dalam parlemen lebih dari setengah abad...
TERBUKTI!!!

Bahkan yang sudah jelas-jelas terbukti, mereka yang masuk ke dalam


parlemen malah sedikit demi sedikit tapi pasti, melanggar hukum Islam atau
minimal melalaikan. Misal seperti memelihara jenggot dan sholat lima waktu
berjama’ah di masjid bagi laki-laki, dan lain-lain, disadari atau tidak disadari.
Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa menegakkan hukum Islam di suatu negara,
kalau pada dirinya sendiri saja untuk hal yang ‘katanya’ sepele mereka tidak
mampu, tidak mau, atau malah tidak tahu untuk menegakkannya?!?21 Ya akhi
(dan ukhti, ed), tegakkanlah dulu hukum Islam itu pada hati-hati kalian, insya
Alloh hukum Islam akan tegak, aamiin.22

pembelaan dengan membabi buta itu, sebenarnya siapa Tuhan kalian, Alloh
ataukah para qiyadah kalian?!?
19
Ikhwanul Muslimin, yang pemikirannya banyak bercokol dibanyak aktivis
kampus.
20
Dan anehnya orang-orang ini masih sempat berkoar tentang ghozwul fikr dalam
keadaan mereka sendiri adalah korban ghozwul fikr.
21
Bahkan sebagian mereka berkoar “Ah, itu kan masalah kulit”, “Ah, masalah
ringan saja dibesar-besarkan”, dan lainnya. Maka hendaklah mereka berpikir,
bagaimana mereka akan mengangkat beban yang berat, jika yang ringan saja
mereka tidak becus mengurusnya.
22
Demikian pula halnya demonstrasi, sangat tidak sesuai dengan prinsip Islam
karena beberapa sebab:
1. Islam menjaga ketertiban, sementara demonstrasi mengganggu ketertiban,
membuat macet jalan, ‘nyampah’, bahkan tidak sedikit yang membuahkan
tindakan anarkis. Meskipun ada yang berdalih ‘aksi damai’, namun:
2. Islam memuliakan wanita sehingga menempatkan mereka di tempat yang aman,
yaitu rumah-rumah mereka. Namun demonstrasi mengeluarkan mereka ke jalan-
jalan untuk ditonton banyak orang, bahkan tidak sedikit oknum (jika tidak mau
dikatakan banyak) yang sengaja memajang diri di depan kamera-kamera
wartawan layaknya foto model yang tidak lagi memiliki rasa malu!
3. Demian pula terkadang (jika tidak ingin dikatakan sering) anak-anak kecil pun
dilibatkan dalam aksi, duhai kasian sekali anak-anak ini, di masa-masa yang
seharusnya mereka dididik agar menjadi orang yang baik, namun justru mereka
telah dilatih untuk menjadi penetang pengusasa, wallohu musta’an.
4. Tidak sedikit (jika tidak ingin dikatakan banyak) dalam demonstrasi terjadi
celaan-celaan kepada para penguasa yang muslim, padahal Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut.
47

5. Demikian pula sering (jika tidak ingin dikatakan selalu) terjadi ikhtilath dalam
demonstrasi, padahal Islam melarangnya, wallohu a’lam.
48

Keempatbelas, Aqidah Tauhid Terlebih Dahulu Ataukah Kekuasaan

Tentu saja, aqidah yang benar adalah jaminan kemenangan umat yang
mulia ini. Dapat kita teladanai dari gambaran masyarakat Madinah yang dibina
langsung oleh Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Dalam riwayat
Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami Rodhiallohu’anhu disebutkan bahwa
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya: “Di mana Alloh?”
kepada seorang budak wanita yang sehari-harinya mengembalakan kambing di
Jawwaniyah. Ternyata budak itu dapat menjawab dengan tepat tanpa sedikitpun
keraguan dalam menjawabnya. Artinya adalah keyakinan dan aqidah seperti itu
sudah merata di kota Madinah, hingga seorang budak wanita yang bekerja sehari-
harinya mengembalakan kambing jauh di luar kota juga mengetahuinya. 23 Dengan

23
Kisah tentang budak wanita tersebut adalah hadits yang menerangkan
pertanyaan Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam berikut:
“Di mana Alloh?” Ia menjawab: “Alloh itu di atas langit.” Lalu Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah
Rosululloh”, jawabnya. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.” (Hadits
Shohih Riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142).... -dan lainnya-, di
dalam Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qodir Jawas,
Pustaka Imam Asy Syafi’i, hal 198).
Sekarang bandingkan dengan keadaan saat ini, di mana kita akan dapatkan ada
yang berkata “Alloh ada di mana-mana”, “Alloh ada di setiap benda”, “Alloh ada
dalam hati saya”, “Alloh telah bersatu dengan saya (pemahaman wahdatul
wujud)”, dan lain-lain ungkapan yang menunjukkan jauhnya kaum muslimin dari
aqidah yang sederhana ini. Hal ini menunjukkan jauhnya kebanyakan kaum
muslimin dari ajaran agama mereka, bahkan dari Al Qur’an, karena dalam banyak
ayat Alloh mejelaskan aqidah ini, seperti firmannya dalam ayat-ayat berikut:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Alloh yang di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?” (QS. Al Mulk: 16)
“ Sucikanlah nama Robbmu yang Maha Tinggi.” (QS. Al A’la:1)
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Alloh-lah kemuliaan itu
semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
sholeh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi
mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Faathir:
10)
“(Yaitu Robb) yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.
Thoha: 5)
Maka, apakah dalam keadaan seperti ini kita masih meneriakkan kebangkitan
Islam? Bangkit dari mana wahai teman? Apakah kita akan bermimpi Islam akan
bangkit sementara kebanyakan kaum muslimin berpaling dari agamanya? Di saat
banyak da’i yang bukannya berjuang menegakkan syari’at, tetapi malah sibuk
rebutan suara?
Ya akhi, ya ukhti, ingatlah bahwa janji Alloh itu bersyarat, Dia menjanjikan
kejayaan pada kita dengan syarat kita menolong agama-Nya. Ketahuilah,
menolong agama Alloh adalah dengan mengamalkannya. Maka bagaimana
49

masyarakat seperti itulah agama Islam mencapai kejayaan. Hingga daulah mereka
terbentang dari Andalusia (Spanyol sekarang, ed) sampai negeri Cina. Benarlah
janji Alloh dalam surat An Nur: 55 di atas tadi24. Sekarang kita lihat kondisi
kaum muslimin sekarang ini, terutama di Indonesia, apakah mereka mengetahui
aqidah yang sederhana tadi? Cukup realita yang menjawabnya!

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Alloh
akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqoroh: 137)

Berpaling dari aqidah yang benar adalah sumber segala perpecahan,


permusuhan, dan pertikaian sebagaimana yang disebutkan oleh ayat di atas (Al
Baqoroh: 137, ed).25

Da’i besar Muhammad Qutb Hafizhahulloh menjawab pertanyaan dalam


sebuah kuliah yang disampaikan di Daarul Hadits, Makkah Al Mukarromah. Teks
pertanyaannya sebagai berikut: “Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan
kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat Islam akan kembali
dengan jalan meluruskan Aqidah dan Tarbiyah (pendidikan masyarakat).
Manakah antara kedua pendapat ini yang benar?”

Beliau menjawab: “Bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika


para du’at belum meluruskan aqidah umat, sehingga kaum muslimin beriman
secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan
berjihad di jalan Alloh. Bila berbagai hal itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari, barulah agama Alloh akan berkuasa dan hukum-hukum-Nya diterapkan di
persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari
langit, tidak serta merta turun dari langit.”

“Demikianlah, apabila Alloh menghendaki niscaya Alloh akan membinasakan


mereka, tetapi Alloh hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang
lain.” (QS. Muhammad: 4)

mungkin kejayaan itu datang sementara kebanyakan kaum muslimin meninggalan


agamanya? Maka hendaklah ini yang terlebih dahulu kita perjuangkan,
mengembalikan kaum muslimin kepada agama mereka yang murni, menegakkan
tauhid dan sunnah di atas pemahaman sahabat!
24
Yaitu di bagian Kesembilan, Kekuasaan Adalah Suatu yang Telah Dijanjikan
Bagi Kaum Muwahhidin (Orang-orang yang Memurnikan Tauhid.
25
Hal ini karena aqidah adalah prinsip yang mempersatukan hati-hati kita, jika
dalam hal aqidah saja kita sudah tidak satu suara, lantas bagaimana dengan hal
yang lain? Maka bukanlah sebuah solusi bila ada suatu kelompok yang ingin
memperjuangkan Islam namun menggunakan jalur kekuasaan, karena kekuasaan
bukanlah alat untuk mempersatukan kaum muslimin, justru dengan rebutan
kekuasaan lah kaum muslimin akan terpecah belah.
50

Kelimabelas, Hizbiyyah dan Dakwahnya yang Sirriyyah (Bersifat Rahasia)

Ya akhi (dan ukhti, ed), mudah-mudahan Alloh memberikan hidayah dan


taufik-Nya kepada apa yang Alloh sukai dan ridhoi, aamiin.

Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah kamu masuk dalam tanzhim


rahasia yang ada di jama’ahmu (IM, HT, NII, dll, yang sepaham dengannya)?
(Tanzhim rahasia: organisasi rahasia, ed). Jika jawabannya: Ya... maka
perhatikanlah (dengan sejujur-jujurnya)... Apa yang kamu rasakan dari muamalah
mereka terhadapmu sebelum dan sesudah kamu masuk dalam tanzhim ini?
Bukankah di dalamnya ada perbedaan-perbedaan besar? Tidakkah kamu bertanya-
tanya mengapa berbeda seperti ini? Maka akan saya katakan mengapa demikian...

Dikarenakan loyalitas dan muamalah mereka dengan manusia berdasarkan


tanzhim ini, ... maka barangsiapa yang berada dalam tanzhim ini, dialah kawan
akrabnya, dialah orang yang patuh, dialah saudara, dialah... dll. Dan barangsiapa
yang belum menjadi anggota dan masuk dalam tanzhim ini, tapi dia membela
pemikiran mereka ini, maka dia adalah penolong, dialah yang membantu, orang
biasa, orang baik,....dll.

Adapun orang yang tidak masuk tanzhim ini, akan tetapi dia mengikuti
dalil dari Kitab dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, dari para Sahabat
Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik sampai hari kiamat, maka dialah orang yang suka mengkafirkan,
dialah orang yang suka membid’ahkan, dialah orang yang bodoh dengan waqi’
(fakta), dialah orang yang tekstual, dialah orang yang memihak pemerintah, dialah
yang suka memecah belah... dialah... dialah... dll.

Oleh karenanya saya katakan: Sebaiknya kamu tahu wahai akhi (dan ukhti,
ed), mudah-mudahan Alloh menyelamatkanmu. Bahwa perbedaan yang mencolok
antara jama’ahmu dan jama’ah ahli haq dalam masalah ini, bahwasanya dilihat,
loyalitas mereka (jama’ah ahli haq, ed) adalah untuk Alloh dan Rosul-Nya
Sholallohu ‘alaihi wa sallam, serta orang-orang yang beriman yang ittiba’ sampai
hari kiamat.

Adapun jama’ahmu (IM, HT, NII, dan lainnya, ed), maka loyalitasnya
adalah untuk Alloh dan Rosul-Nya Sholallohu ‘alaihi wa sallam, serta orang yang
masuk tanzhim kelomponya (IM (dan lainnya, ed)). Barangkali kata-kata terakhir
ini terasa amat berat di hatimu, akan tetapi itulah kenyataan yang tidak ada
keraguannya.

Adapun borok-borok tanzhim rahasia (istilah lainnya: amniyah atau


kitman), maka Alloh lah tempat dimintai pertolongan. Hal ini karena tanzhim
inilah yang telah membawa kita kepada bencana, dan tanzhim inilah yang telah
membuat jurang menganga di antara hukkaam (penguasa negara) dan para da’i
serta orang-orang yang berbuat islah (perbaikan).
51

Bahkan tanzhim inilah yang telah menjadikan semua pemerintahan


mengarahkan pandangan mereka kepada Shohwah al Islamiyyah (kebangkitan
Islam) dengan pandangan takut dan cemas akan terjadi suatu bentuk perubahan. 26

Maka ya akhi, ya ukhti....Apa perlunya kita kepada sirriyyah (kerahasiaan)


di negeri-negeri Islam, lebih-lebih di negara-negara Teluk? Kecuali hanya sekedar
kebutuhan orang-orang IM yang mereka sangat takut untuk menampakkannya?
(Karena pada dasarnya mereka adalah “pembangkang” kepada penguasa, ed).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad Rohimahulloh dalam kitabnya Az Zuhd


hal. 353 dari Umar bin Abdul Aziz Rohimahulloh, katanya: “Jika kamu lihat
satu kaum yang mereka saling mengadakan ‘pembicaraan rahasia’ dalam
agama mereka, tanpa menceritakannya kepada orang banyak, maka
ketahuilah bahwa mereka berada dalam satu dasar kesesatan.”

Oleh karenanya saya katakan: “Sesungguhnya aqidah kami; salafiyyin


(Ahlus Sunnah wal Jama’ah), terhadap Hukkam (penguasa negara), bahwa tidak
boleh keluar dari ketaatan kepada mereka, walaupun pada mereka terdapat
kedzaliman, kepalsuan, dan kefasikan, selagi mereka tidak mengumumkan secara
jelas di depan orang banyak bahwa mereka tidak menghendaki dan tidak
menyukai syariat Alloh ta’ala dan mereka kafir kepada Alloh dengan kekafiran
yang nampak jelas oleh kita dengan petunjuk dari Alloh ta’ala dan dalil dari Kitab
dan Sunnah. Maka kalau seandainya mereka berbuat demikian, bolehlah kita
keluar dari ketaatan terhadap mereka dengan syarat yang kedua, yakni kita
memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk menggulingkan mereka, tanpa
mengakibatkan kerusakan yang lebih parah dari yang pertama.

Kalau tidak demikian (maksudnya kalau penguasa bukan orang kafir, ed),
kami Ahli Sunnah wal Jama’ah bekerja sama dengan pemerintah Islam dengan
do’a dan nasehat kepada mereka dengan cara hikmah, penuh bijaksana dan
nasehat yang baik, tidak dengan demonstrasi dan revolusi. Dan kita taat kepada
mereka dalam suka ataupun duka, kecuali dalam kemaksiatan, maka tidak
ada ketaatan kepada mereka (dalam kemaksiatan itu, adapun ketaatan
secara umum dalam hal yang baik tetap ada, ed). Maka kami pun memberi
peringatan kepada orang yang keluar dari ketaatan terhadap mereka dari kalangan
kaum muslimin..! (untuk kembali taat kepada penguasa muslim, dan berhenti dari
pembangkangan berupa demonstrasi secara terang-terangan maupun dari apa yang
mereka lakukan secara rahasia dalam tanzhim- tanzhim mereka, ed).

Dan kami namakan mereka (orang yang keluar dari ketaatan terhadap
pemerintah Islam) orang-orang yang membangkang, dan kami hukumi mereka
sebagaimana layaknya orang-orang yang membangkang. Dalilnya:

26
Hal ini karena tanzhim merupakan ancaman bagi penguasa atas kekuasaannya,
telah tampak secara nyata dari orang-orang yang diduga kuat tergabung dalam
tanzhim ini kehausan mereka terhadap kekuasaan, dan apa yang tersembunyi di
dalam hati mereka hanya Alloh yang mengetahui. Padahal kekuasaan bukanlah
tujuan dakwah.
52

“Rosululloh mengajak kami, maka kami pun memba’iatnya dan beliau ambil dari
kami adalah agar kami memba’atnya atas dasar mendengar dan taat dalam suka
maupun duka, dalam keadaan susah atau pun mudah, dan dalam keadaan yang
tidak kita sukai atau kita inginkan, serta supaya kita tidak merampas kekuasaan
dari ahlinya, kemudian beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat kekafiran yang
sangat jelas oleh kalian dengan petunjuk dari Alloh Ta’ala.” (HR. Muslim)

Dan Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa


perselisihan/perpecahan akan terjadi, tapi beliau tidak membiarkan kita (dalam
perpecahan) dengan tanpa bayyinah (penjelasan). Bahkan beliau telah
memberikan kepada kita jalan keluar dari perselisihan ini dengan sabdanya:
“Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa ar rasyidin
yang mendapat petunjuk”, yakni wajib bagi kalian untuk megikuti jalanku
dan jalan yang ditempuh oleh khulafa ar rasyidin, bukan jalannya Al Banna
dan bukan pula jalan yang lainnya.
53

Keenambelas, Syubhat dan Bantahannya

Saya akan berusaha menjawab syubhat dan tuduhan kebanyakan


golongan-golongan sempalan dalam Islam (khususnya dari firqoh IM) dan
kebanyakan orang awam, agar yang batil, jahil, dan sesat itu jelas; dan yang haq
itu juga jelas.

1. Perkataan mereka bahwa Salafiyyah (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) menentang


amal jama’i (kerja sama) dan tanzhim (organisasi).

Jawabnya:

Samahatusy Syaikh Muqbil al Wadi’i Rohimahulloh, seorang muhaddits


dari negeri Yaman telah ditanya: Apakah benar wahai Syaikh bahwa anda tidak
melihat perlunya tanzhim pada semua unsur dakwah?

Maka beliau Rohimahulloh menjawab setelah menetapkan adanya tanzhim


di dalam siroh Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata: “Yang
kami ingkari adalah tanzhim yang menyelisihi Kitab dan Sunnah. Inilah yang
kami ingkari. Dan kami katakan: Sungguh seorang hidup sendirian itu lebih baik
daripada masuk ke dalam tanzhim thoghut yang menyelisihi Kitab dan Sunnah
Rosul Sholallohu ‘alaihi wa sallam... Ya, dan ini adalah perkara yang
disebarkan27 bahwa Ahlu Sunnah menentang tanzhim dan bahwa mereka
menentang amal jama’i (kerja sama)28. Al Amal Al Jama’i yang menyelisihi Kitab
dan Sunnah contohnya adalah al Ikhwan al Muslimun berada di atasnya. 29

2. Perkataan mereka bahwa Salafiyyah adalah salah satu jama’ah dari jama’ah-
jama’ah tanzhim, walaupun menentang tanzhim; dan termasuk jama’ah-jama’ah
hizbiyyah, walaupun menolak tahazzub (pengelompokkan).

Jawabnya:

Di sini saya katakan, sudah jelas bahwa kedustaan ini bertentagan dengan
syubhat pertama. Tetapi ini adalah kebiasaan ahli batil, para pendusta, dan para
pendengki dari kalangan hizbiyyin. Mereka mempertentangkan diri mereka
dengan pribadi mereka sendiri dengan bersandarkan kepada kedustaan dan
rekayasa. Karena mereka tidak mampu untuk membantah dengan bantahan yang
ilmiah dan benar terhadap ahlu haq tentang apa yang mereka (ahlu haq, ed)

27
Oleh orang-orang yang tidak mengenal Ahlu Sunnah, atau orang-orang yang
membenci Ahlu Sunnah.
28
Padahal tidak demikian, karena Ahlu Sunnah juga melakukan amal jama’i dan
juga tanzhim, namun yang sesuai Kitab dan Sunnah.
29
Demikian pula tidak benar jika dikatakan Salafiyyah anti politik, karena dalam
Islam sendiri ada Siyasah Syar‘iyyah (Politik Syar‘i). Namun yang kami ingkari
adalah politik yang bertentangan dengan syari’at, dan demokrasi adalah salah
satunya.
54

jelaskan dari kemungkran-kemungkaran dan bid’ah-bid’ah yang terdapat pada


hizb-hizb ini.

Orang-orang yang memperhatikan siroh Rosul Sholallohu ‘alaihi wa


sallam dapat mengetahui bagaimana perlakuan orang-orang kafir –semoga Alloh
membinasakan mereka- terhadap Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Terkadang
mereka mengatakan bahwa beliau adalah seorang penyair dan syi’ir tidak
mungkin mampu (dilakukan, ed) kecuali (oleh, ed) orang yang mempunyai akal
yang cerdas/istimewa.... Dan pada kesempatan lain mereka mengatakan bahwa
beliau gila (padahal gila berarti tidak berakal, ed)....Maka lihatlah pertentangan
tersebut!

Tujuan mereka (para hizbiyyin, ed) dari kedustaan ini jelas sekali, mereka
ingin menggambarkan kepada orang-orang yang bergabung di dalam jama’ah
mereka bahwa Salafiyyah adalah hizb seperti hizb-hizb yang lain. Keadaan
Salafiyyah seperti keadaan mereka. Masing-masing menyempurnakan sebagian
atas sebagian yang lain seperti yang mereka sangka. 30 (Anggapan mereka (para
hizbiyyin, ed) ini adalah kedustaan dan rekayasa. Hal ini daat dilihat dari beberapa
segi:

 Bahwa Salafiyyah tidak mempunyai pendiri dan pemimpin selain Nabi


Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Berbeda dengan IM. Pemimpin dan pendiri
manhaj mereka adalah Hasan Al Banna Rohimahulloh, begitu juga dengan
firqoh-firqoh lainnya seperti JT adalah Maulana Ilyas, LDII adalah Nur
Hasan Al Ubaidah, dll. 31

 Bahwa Salafiyyah tempat kembalinya (rujukan) mereka adalah Al Kitab,


Sunnah, dan apa yang salaful ummah ada di atasnya. Berbeda dengan
mereka (para hizbiyyin, ed), tempat kembalinya adalah Kitab, Sunnah, dan
pandangan pemikiran (hawa nafsu) serta gerakan yang disangka oleh
mereka.

 Bahwa Salafiyyah, loyalitas adalah kepada Alloh, Rosul-Nya, dan kaum


mukminin. Berbeda dengan IM, JT, dll, maka loyalitas mereka diberikan
kepada Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang yang bergabung di dalam
firqohnya (IM, JT, dll).

3. Perkataan mereka kepada akal-akal para anggotanya (Al-Ikhwan, (maupun


yang lainnya, ed)): “Bahwa diskusi dan dialog ilmiah dengan tenang untuk
menjelaskan kebenaran kepada firqoh-firqoh ini dan lainnya tentang beberapa

30
Oleh karena itu sebagian orang hizbiyyin yang didakwahi dengan dakwah
Salafiyyah akan mengeluarkan tameng mereka “Sudahlah, toh kita sama-sama
berjuang untuk Islam, meskipun berbeda kelompok, tidak perlu saling mengkritik,
dst dst...”
31
Maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa Salafiyyah adalah kelompok-
kelompok fisik yang disatukan dengan simbol-simbol hizbiyyah semacam IM, JT,
LDII, dan lainnya.
55

masalah adalah merupakan perdebatan yang tidak bermanfaat dan wajib untuk
ditinggalkan.

Jawabnya:

Mereka menginginkan dengan lontaran tersebut untuk menjaga orang yang


tergabung di dalam hizb mereka. Karena mereka tahu bahwa semata-mata dengan
perginya orang tersebut saja untuk berdiskusi dan dialog dengan seorang Salafy
(Ahlu Sunnah wal Jama’ah), hasilnya adalah dia akan meninggalkan hizb yang dia
tergabung di dalamnya....jika dia termasuk orang yang bertakwa kepada Alloh.
Karena dia akan sadar dengan dalil-dalil yang tsabit (tetap) dari Kitab dan Sunnah
serta apa yang salaful ummah ada di atasnya. 32

4. Dalil mereka (firqoh-firqoh) dengan perkataannya Ali bin Abi Tholib


Rodhiallohu’anhu: “Al Haq (kebenaran) tanpa terorganisasi akan dikalahkan oleh
kebatilan yang terorganisasi.”

Jawab: (Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Perkataan ini tidak shahih dari Ali bin Abi Tholib Rodhiallohu’anhu. Itu
hanya dibuat-buat oleh harokiyyun (orang-orang pergerakan). Agama kita
merupakan agama yang teratur. Seandainya kita mau mempraktekkan agama
Islam secara benar dan keseluruhan sesuai yang diajarkan Nabi Sholallohu’alaihi
wa sallam beserta para Sahabatnya, kita akan merasakan bahwa kita diatur.
Adapun bila kita membuat aturan-aturan yang baru/bid’ah, yang kita tegakkan
wala’ dan baro’ (loyalitas dan berlepas diri), sekalipun dibangun di atas ba’iat-
ba’iat yang banyak, semua itu bukanlah termasuk agama Islam secuilpun. Kita
merupakan umat yang diatur dengan agama Islam. Muhammad bin Abdillah,
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam, dialah yang mebangun pondasinya. Dan
kita (umat Islam) tidak butuh kepada harokah-harokah baru yang hanya memecah
belah umat.33

5. Perkataan mereka untuk bersikap netral/tidak ikut JT, IM, Salafy, dll.

Jawabnya:

32
Berbeda dengan dalih-dalih yang sebelumnya dia terima ketika dia masih
berada dalam hizbnya, lemah seperti sarang laba-laba.
33
Bukti bahwa harokah-harokah baru (seperti IM, HT, dan lainnya) memecah
belah umat adalah bahwa harokah-harokah ini mengajak pada persatuan
kelompoknya, dan bukan pada persatuan Islam. Tidakkah kalian lihat bagaimana
setiap firqoh mengatakan bahwa mereka lah yang benar? Tidakkah kalian lihat
bagaimana mereka mengangkat dan mempopelerkan nama mereka masing-
masing? Tidakkah juga kalian perhatikan bahwa masing-masing menerapkan
ba’iat pada pemimpin kelompoknya? Membuat kaum muslimin terkotak-kotak
dalam banyak sekali firqoh, yang satu sama lain saling menyalahkan. Lantas
persatuan apa yang mereka inginkan dengan memecah belah umat seperti ini?!
56

 Mereka sebenarnya belum/tidak paham, karena mereka masih menganggap


salafy sama seperti firqoh-firqoh lainnya seperti JT, IM, HT, LDII, Arqom,
LDII, NII, Sufi, Syi’ah, dll. Padahal salafy tidaklah seperti itu karena beberapa
hal:

 Dakwah salaf adalah dakwah untuk mengembalikan pemahaman, bukan


membuat pemahaman-pemahaman baru. (Lihat lagi percakapan Syaikh
Albani (pada bagian Istilah Salafiyyah, Bid’ah?, ed)).

 Salafy mengajak dakwah kepada dakwah para Nabi yaitu membersihkan


aqidah. Dan dakwah ini tidak tercampur dengan kepentingan-kepentingan
keduniaan seperti kekuasaan dll. (Lihat lagi (Hikmah Diutusnya Para
Rosul, ed)).

 Bila netral yang dimaksud adalah tidak ikut-ikutan firqoh tetapi mencukupkan
hanya kepada Al Qur’an dan Sunnah saja dan keduanya ditafsirkan oleh
akal/hawa nafsu mereka masing-masing, maka tidak diragukan lagi ini adalah
bid’ah dalam cara/metode pengambilan hukum karena bertentangan dengan Al
Qur’an dan hadits yang memerintahkan untuk mengikuti pemahaman salaf dan
ancaman bagi yang tidak mengikutinya. (Lihat lagi Mengapa Kita Harus
Bermanhaj Salaf).

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya,


dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.
An Nisaa’: 115)

“...Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnahnya Khulafa’ur Rosyidin


yang (mereka itu) mendapat petunjuk....” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan At
Tirmidzi, Hasan Shohih)

Mereka itu dapat digolongkan sebagai pengikut hawa nafsu apabila ada
dari Al Qur’an dan Sunnah yang cocok dengan akal/hawa nafsunya saja yang
diambil, sementara yang tidak sesuai dengan keinginan akal/hawa nafsunya
mereka lemparkan. Dan sudah jelas cara seperti ini akan menimbulkan bid’ah
baik berupa keyakinan atau perbuatan atau kedua-duanya di dalam agama.
Dari bentuk-bentuk bid’ahnya ini, mesti akan terlihat apakah dia termasuk
ke mu’tazilah, ke khowarij, ke JT, ke IM, ke sufi, atau ke yang lainnya baik
disadari ataupun tidak disadari.

Perlu diketahui bahwa akal dan pemahaman setiap manusia siapapun


nenek moyangnya atau apapun gelarnya adalah berbeda-beda dan terbatas,
baik dari IQ-nya, makanannya, latar belakang pendidikannya, latar belakang
keluarganya, lingkungannya, dll. Tidak ada yang menjamin kalau pemahaman
si A, si B, atau yang lainnya terhadap Al Qur’an dan Sunnah yang pasti benar
dan selamat. Kecuali mereka yang telah dijamin oleh Alloh dan Rosul-Nya.
Merekalah para Sahabat Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam. Mereka adalah
57

generasi pada masa turunnya wahyu, generasi yang dibina dan dibimbing
langsung oleh Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam. Generasi yang telah nyata
kebaikan dan kebenaran pemahaman agamanya berdasarkan Al Qur’an,
Sunnah, dan para Sahabat itu sendiri.

 Bila netral yang dimaksud adalah beragama berdasarkan pada Al Qur’an dan
Sunnah dengan pemahamannya para Sahabat dalam aqidah dan manhaj secara
keseluruhan dan menerimanya secara lahir dan batin maka dia adalah seorang
Salafy (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) pada kenyataannya (meskipun ia tidak
pernah berkata “Saya Salafy”, karena salafy bukanlah sekedar pengakuan,
akan tetapi Salafy adalah komitmen untuk berpegang teguh pada Al Qur’an
dan Sunnah menurut pemahaman para Sahabat Rodhiallohu’anhum, ed).

6. Perkataan mereka bahwa: kalau ingin belajar ilmu aqidah maka tanya sama
salafy, politik tanya IM, atau JT bila ingin manajemen kalbu. Dengan caranya ini
mereka ingin menyatukan jama’ah-jama’ah yang ada agar dapat saling menutupi
kekurangan pada masing-masing jama’ahnya.

Jawabnya:

 Mereka pada hakikatnya tidak mengerti dakwah salaf/dakwah ilalloh. Dakwah


salaf adalah ajakan untuk kembali kepada pemahaman dan jalannya
orang-orang sholeh terdahulu yang tidak lain adalah Nabi Sholallohu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya dalam menjalankan agama secara
keseluruhan. Karena mereka adalah orang-orang yang paling paham tentang
Al Qur’an dan Sunnah. Mereka jugalah yang telah mendahului kita (generasi
sesudahnya) dalam semua kebaikan dan taqwa. Mereka adalah generasi
teladan dari semua segi kehidupan bagi orang-orang sesudahnya, baik itu
tentang aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, politik, ekonomi, dll. 34

 Para salafush sholeh dahulu melarang, membenci, dan menghindari


perpecahan. Mereka sangat mencintai persatuan. Dengan tindakan mengambil
kebaikan-kebaikan dari setiap kelompok-kelompok (JT, IM, HT, dan lainnya)
maka mereka berarti membolehkan atau membiarkan adanya perpecahan. 35

34
Agama kita bukanlah “rujak” campuran dari berbagai macam jama’ah
sempalan. Oleh karena itu kita tidak butuh pada jama’ah-jama’ah sempalan,
karena semua kebaikan telah terkumpul pada jama’ah para Sahabat dan orang-
orang yang mengikuti mereka. Kita tidak butuh mengambil kebaikan-kebaikan
yang ada pada jama’ah sempalan, karena semua kebaikan sudah ada pada
jama’ahnya para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka.
35
Bahkan seharusnya dikatakan kepada JT, IM, HT, dan lainnya agar mereka
meninggalkan jama’ah-jama’ah mereka yang bercampur di dalamnya kebaikan
dan keburukan, lalu kembali kepada jama’ah Sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka, yang jama’ah ini tidak lain isinya adalah kebaikan dan
kebaikan, tanpa bercampur sedikit pun dengan keburukan. Maka apalah butuhnya
orang-orang menggabungkan diri mereka dengan jama’ah-jama’ah sempalan yang
campur baur antara kebaikan dan keburukan di dalamnya, padahal telah ada
58

 Bahwa Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya telah


menunjukkan kejayaan Islam yang sempurna dari segi ilmu dan amal dalam
semua bidang aqidah, akhlaq, muamalah, politik, ekonomi, dll36. Maka
barangsiapa yang mengada-adakan suatu metode/cara yang lain dari ajaran
Rosul dan para Sahabatnya maka berarti mereka menuduh Rosul dan para
Sahabatnya (Salafush sholeh) berkhianat atau menyembunyikan wahyu
(syari’at Islam). Atau meragukan kesempurnaan Islam yang telah diajarkan
Rosul kepada para Sahabatnya. Padahal Alloh Subhanahu wa ta’ala
mengancam dalam firman-Nya:

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rosul) takut


akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nuur: 63)

Dan Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

“Sesungguhnya aku tinggalkan kalian pada (hujjah) yang putih (bersih);


malam harinya seperti siang harinya, tidaklah akan menyimpang darinya
orang sesudahku kecuali binasa.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Al Hakim
dari ‘Irbadh bin Sariyah)

 Apabila mereka ingin menyatukan semua jama’ah-jama’ah dengan cara


seperti itu, maka jawabnya mustahil. Selagi tujuan dakwah dan manhaj
dakwah setiap jama’ah berbeda-beda. Kecuali mereka merujuk kembali
kepada Al Qur’an dan Sunnah, apa misi dakwah para Rosul (dari yang
pertama sampai yang terakhir) yang utama dan bagaimana metode
mendakwahkannya. Artinya tujuan dakwah (yang terpenting/prioritas) dan
manhaj dakwahnya harus sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, tidak boleh
menyelisihi meskipun secuil. 37

7. Dakwah Salafiyah tidak memberikan perhatian terhadap masalah-masalah


politik, bahkan meninggalkannya.

Jawabnya: (Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr)

Ini merupakan kedustaan yang nyata. Karena menurut Salafiyin, perkara


politik termasuk urusan dien. Tetapi politik yang mana? Apakah politik koran-

jama’ah para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka yang tidak
bercampur sedikitpun keburukan dalam jama’ah ini, karena jama’ah para Sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka tidak lain adalah kebaikan itu sendiri.
36
Sehingga tidak ada alasan kalau mau belajar politik ke IM, manajemen kalbu ke
JT, dan lainnya, karena semua bidang telah diajarkan oleh Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam kepada jama’ah para Sahabat.
37
Dan ketahuilah, semoga Alloh merahmatimu, bahwa manhaj dakwah para Nabi
dan Rosul adalah dakwah tauhid, yaitu meluruskan aqidah umat. Lantas
bagaimana manhaj dakwah yang haq ini ingin disatukan dengan manhaj dakwah
jama’ah-jama’ah sempalan yang sebagiannya melecehkan prinsip-prinsip dakwah
tauhid?
59

koran, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita milik Yahudi dan Nashrani?


Ataukah politik Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Rodhiallohu’anhum?

Apakah politik demokrasi milik orang-orang kafir dengan semboyan:


“Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”? Ataukah politik pemeluk Islam yang
berprinsip: “Hukum Alloh, untuk Alloh, berpijak kepada Kitabulloh dan Sunnah
Rosul-Nya, melalui musyawarah yang dibenarkan oleh Islam”?

Dan apakah politik yang kebenarannya diukur dengan banyaknya jari yang
terangkat (voting) di MPR, meskipun terkadang voting tersebut menambah
kuatnya kemungkaran atau kesyirikan? Ataukah politik sebagaimana yang
dikehendaki oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Alloh. Dia telah memerintahkan agar kamu
tidak menyembah selain Dia. (QS. Yusuf: 15)

Salafiyah tidak ingin meraih al haq dengan cara yang batil. Karena, sebuah
tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Mereka tidak akan berjuang dengan
minta pertolongan kaum musyrikin, dan selamanya tidak akan berkumpul dengan
orang-orang munafik. Mereka menolak jumlah banyak yang bersifat seperti buih,
yang tidak menyandang syar’i secuilpun.

8. Salafiyyin suka berlebih-lebihan...?!?

Jawabnya: (Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr)

Adapun kalau yang dimaksud berlebih-lebihan adalah bersungguh-


sungguh di dalam al haq, malaksanakan kewajiban-kewajiban, dan menghidupkan
sunnah-sunnah yang sudah mulai ditinggalkan, maka ini adalah haq, bukan aib
bagi seorang muslim. Sedangkan yang merupakan aib adalah kalau seseorang
meremehkan perkara-perkara agama, membolehkan hal-hal yang diharamkan,
serta mengerjakan hal-hal yang melanggar syari’at.

Maka apakah memelihara jenggot yang merupakan sunnah merupakan


sikap berlebihan? Apakah memendekkan kain di atas mata kaki yang merupakan
sunnah dianggap sikap berlebihan? Apakah mengharamkan jabat tangan dengan
wanita bukan mahrom, mengharamkan lagu-lagu dan musik, termasuk berlebih-
lebihan? Padahal para ulama telah berfatwa dengan hal-hal di atas!

Itu semua merupakan tuduhan yang dibuat-buat agar manusia menjauhi


para da’i Al Kitab dan As Sunnah pengikut Salaful ummah. Salafiyyah tidaklah
menyia-nyiakan syari’at ini sedikitpun. Tidak meremehkan sunnah, apapun
bentuknya. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh harokiyyin dan hizbiyyin yang
menuduh salafiyyin suka mencari-cari masalah ganjil yang mereka namai dengan
‘qusyur’ (perkara kulit) untuk meremehkannya. Keberuntunganlah bagi orang-
orang yang asing, yang dikabarkan oleh Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam:
60

“Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnah-sunnah Rosululloh


Sholallohu ‘alaihi wa sallam yang telah dirusak oleh manusia.” (HR. Tirmidzi,
Ahmad, Thabrani).

9. Salafiyyin tidak manaruh perhatian terhadap masalah jihad.

Jawabnya: (Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr)

Jihad merupakan puncak syari’at. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang


menganjurkannya banyak sekali. Tapi jihad mempunyai kaidah-kaidah, syarat-
syarat, dan adab-adab. Salafiyyun tidak akan berangkat jihad di bawah bendera
jahiliyyah, karena jihad tidaklah disyari’atkan kecuali untuk menegakkan syari’at
Alloh Subhanahu wa ta’ala.

“Sehingga tidak terjadi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Alloh.” (QS. Al
Anfal: 39)

Untuk berjihad harus ada imam dan bendera Islam, juga pembinaan
robbaniyyah seputar jihad. Harus ada bekal dan kesiapan, berdasarkan ilmu,
keyakinan, dan sasaran yang jelas. Jika bendera telah tegak dan tujuan (sasaran)
jelas, maka salafiyyin tidak akan ketinggalan. Palestina, Chehcnya, Afgan,
menjadi saksi bagi mereka di sisi Alloh Subhanahu wa ta’ala.

10. Dakwah salafiyyah memecah belah umat dan membikin fitnah.

Jawabnya: (Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr)

Kenapa salaf dituduh demikian? Karena dakwah ini memisahkan


keburukan dari kebajikan, padahal itu merupakan tujuan Alloh Subhanahu wa
ta’ala dan Rosul-Nya:

“Agar Alloh memisahkan antara keburukan dengan kebaikan” (QS. Al Anfaal:


37)

“Katakanlah: Kebenaran itu dari Robb kalian, barangsiapa yang ingin,


berimanlah, dan barangsiapa yang ingin, kufurlah.” (QS. Al Kahfi: 29)

Ketika seorang da’i Salafy memerangi bid’ah dan ahli bid’ah, langsung
dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang keji tersebut. Karena memang di antara
prinsip ahlul bid’ah adalah mengumpulkan orang dengan membabi buta dengan
dalih menjaga persatuan kaum muslimin. Mereka tidak peduli dengan bentuk dan
jenisnya, tetapi yang penting kuantitas, bagaimana itu bisa terwujud? Akhi (dan
ukhti, ed)! Islam bukanlah ‘tong sampah’ yang semuanya masuk. Yang benar dan
yang sesat, yang harum dan yang busuk, yang kotor dan yang bersih, yang sunnah
dan yang bid’ah (bukan dari Islam) jadi satu. Islam tidaklah seperti itu. Islam
adalah mulia, maka hanya yang benar dan mulia saja yang diterima. Karena itu
kamu lihat mereka (sesama ahlul bid’ah, ed) berbasa-basi di hadapan ahlul bid’ah
(lainnya, ed) dan ahli kesesatan. Tetapi mereka tidak mau berdamai dengan
61

salafiyyin. Bahkan mereka memusuhi, mencela, membenci, dan membesar-


besarkan kesalahan (individu, ed) salafiyyin (pengikut Nabi Sholallohu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya).

11. Perkataan mereka (IM) yang menyeru kepada persatuan Islam:


“Menggabungkan berbagai macam aliran dan jangan gontok-gontokan dengan
hal-hal yang ‘kecil/tidak penting’, seperti cara sholat, syirik, tauhid, dzikir, dan
lain-lain. Dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap apa-apa yang kita
perselisihkan. Dan bagi mereka yang penting mendirikan negara Islam dengan
jalan merebut kekuasaan.”

Jawabnya:

 Perkataan ini kalau diteliti maka bukan mengajak kepada persatuan (di
atas kebenaran, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan
pemahaman/manhaj generasi terbaik yang dipersaksikan oleh Alloh dan
Rosul-Nya), malah bisa diartikan membolehkan Islam menjadi bergolong-
golongan/berpecah belah. Karena tidaklah mungkin al haq bisa bergabung
dengan al batil melainkan al haq akan rusak. Maka mengatakan yang
batil itu batil (syirik-bid’ah) dan yang haq itu haq (tauhid-sunnah)
adalah keharusan dan kewajiban. Bukan malah memecah belah umat
seperti yang disangka oleh sebagian saudara-saudara kita.

 Bila sholat, menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid, dzikir, dan lain-
lain dianggap sebagai hal-hal kecil dan tidak penting, lalu apa yang
dikatakan hal-hal besar? Sementara Al Qur’an hampir keseluruhannya
berbicara tentang tauhid dan ibadah serta ancaman bagi pelaku kesyirikan
dan kedurhakaan. Apakah Al Qur’an hanya membahas masalah-masalah
kecil yang membuat umat terbecah belah? Subhanalloh, alangkah dustanya
perkataan ini!!

 Bila memang kekuasaan (politik) lebih penting menurut mereka (IM, NII,
DI/TII, Hizbut Tahrir, dll yang sepaham dengan mereka), maka mengapa
Al Qur’an hanya sedikit sekali membicarakan hal itu dibanding dengan
masalah-masalah tauhid, syirik, sholat, dan lain-lain?

“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Alloh, patuh dan taat
sekalipun yang memerintahmu seorang budak habsyi. Sebab barangsiapa hidup
(lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena
itu, berpegang teguhlah pada Sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang
(mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah sekuat-kuatnya. Dan hati-
hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang
diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, (dan setiap yang
sesat tempatnya di neraka).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan At Tirmidzi, Hasan
Shohih)

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah


berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini
62

(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
di neraka, dan satu golongan di surga, yaitu Al Jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang
lain)

Dalam riwayat lain,

“Semua golongan tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para
Sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani)

“Ibnu Mas’ud meriwayatkan: Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam membuat


garis lurus dengan tangannya lalu bersabda, “Ini Jalan Alloh yang lurus.” Lalu
beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, “Ini adalah
Jalan-jalan yang sesat, tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya
terdapat setan yang menyeru kepadanya.” Selanjutnya beliau membaca firman
Alloh Subhanahu wa ta’ala: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah
Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti Jalan-
jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan oleh Alloh kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS.
Al An’am: 153).” (HR Ahmad dan Nasa’i, Shohih)

Hadits-hadits di atas ada sebagian orang yang miskin lagi fakir tentang
ilmu hadits mengatakan tidak shohih, padahal hadits-hadits tersebut masyhur di
kalangan ulama. Dan secara realita hadits-hadits tersebut sudah dapat akhi (dan
ukhti, ed) lihat pada zaman sekarang ini.

Yang dimaksud kata “Jalan” pada hadits-hadits di atas adalah manhaj


(cara/metode memahami agama atau cara beragama). Jadi bukan ditujukan kepada
individu-individu. Karena setiap manusia tidak ada yang maksum (terbebas dari
kesalahan) kecuali Nabi. Termasuk pula Sahabat Abu Bakar Rodhiallohu’anhu,
Umar Rodhiallohu’anhu, dan lain-lain. Begitu juga pengikut mereka,
Salafy/Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pribadi mereka ada benar dan ada salah tetapi
secara manhaj tidak. Sahabat adalah tidak maksum, sedangkan ijma’ para
Sahabat adalah maksum.

“Alloh tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan.” (HR. Bukhori,


Hakim, dari Ibnu Abbas Rodhiallohu’anhuma)

“Umatku” di sini adalah para Sahabat Nabi Sholallohu ‘alaihi wa


sallam dan orang-orang yang ittiba’ (mengikutinya) sampai hari kiamat,
bukan umat yang jahil dan berpecah belah seperti di zaman sekarang ini.
Kesimpulannya hadits-hadits di atas menyuruh kita untuk bermanhaj yang benar
dan menjauhi firqoh-firqoh/perpecahan.

Al Qur’an dan hadits-hadits tersebut turun pada waktu umat Islam masih
satu, murni, dan belum terpecah belah. Dan Al Qur’an serta hadits-hadits ini
memberikan isyarat bahwa umat Islam akan bergolong-golongan sekaligus
menasehatkan kita untuk tidak bergolong-golongan lalu bangga dengan apa yang
ada pada golongannya (QS. Ar Ruum: 32). Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam
63

adalah yang sangat menyayangi umatnya, karenanya beliau tidak meninggalkan


kita umatnya dalam keadaan bingung. Beliau telah menasehatkan kita untuk
berpegang teguh dengan Al Qur’an, sunnahnya dan para Sahabat
Rodhiallohu’anhum sampai menemuinya di telaga haudl (di dalam Aqidah dan
manhaj, bukan aqidah saja seperti beberapa firqoh yang hanya mengaku-ngaku,
itupun masih dipilih-pilih mana yang sesuai dengan akal dan hawa nafsunya).

Dari Al Qur’an dan Hadits tersebut terbantahlah orang-orang yang


berkeyakinan bahwa jalan semua golongan yang ada adalah benar, karena
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam menunjuki jalan golongan yang
selamat dengan kata: “Jalan” (hanya satu) sedangkan yang sesat dengan kata:
“Jalan-jalan”, yang berarti banyak jalan (lebih dari satu). Perhatikanlah baik-baik
surat Al An’am: 153!!!

Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar bagi mereka yang ingin mencari
kebenaran dan takut akan kesesatan (neraka)!!!
64

Ketujuhbelas, Bila Berbeda Pendapat

Akhi (dan Ukhti, ed) mungkin pernah mendengar ‘Perbedaan pendapat


umatku adalah rahmat’, di bawah ini akan saya nukilkan tulisan Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani Rohimahulloh, beliau seorang dosen ahli
hadits Universitas Madinah, semoga Alloh Subhanahu wa ta’ala merahmatinya.

Hadits ini tidak ada asalnya. Para muhadits sudah berusaha keras untuk
mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak menapatkannya. Sampai beliau
berkata: “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa ia berkata: “Hadits ini tidak
dikenal oleh para muhadits dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad
yang shohih, dhoif, atau maudhu.” Syaikh Zakaria Al Anshori Hafizhahulloh
menyetujui dalam ta’lid atas Tafsir Al Baidhawi.

Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu
Hazm Hafizhahulloh berkata setelah beliau mengisyaratkan bahwa ucapan ini
bukan hadits: “Ini adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu
rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim
pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan,
rahmat atau dibenci.”

Sesungguhnya di antara sebagian dampak buruk hadits palsu ini, bahwa


banyak dari kaum muslimin menyetujui perbedaan pendapat yang sangat tajam di
antara mazhab yang empat. Mereka tidak berupaya sama sekali untuk kembali
kepada Al Qur’an dan Sunnah yang shohih sebagaimana hal ini telah
diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri, semoga Alloh meridhoi mereka.

Bahkan mereka (orang-orang yang tertipu dengan hadits palsu ini, ed)
berpendapat bahwa mazhab-mazhab imam tersebut sebagai syari’at-syari’at yang
bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu bahwa
pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali dengan
menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima yang lain yang
sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan!

Dengan ini (sadar atau tidak sadar, ed) mereka menisbatkan kepada
syari’at akan adanya kontradiksi. Ini merupakan bukti satu-satunya bahwa
pertentangan bukanlah dari Alloh Subhanahu wa ta’ala apabila mereka
memperhatikan firman Alloh:

“Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari Alloh, niscaya mereka mendapatkan
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisaa’: 82)

Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari


Alloh. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syari’at yang diikuti
atau rahmat yang turun.
65

Dan kesimpulannya: Sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syari’at.


Maka wajib berusaha untuk menuntaskan darinya sebisa mungkin, karena
pertentangan merupakan salah satu sebab kelemahan umat.

“Dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi


gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al Anfal: 46)

Sedangkan sikap ridho dengan pertentangan dan menamakannya sebagai


‘rahmat’, maka hal ini merupakan kejahilan besar dan menyalahi ayat-ayat Al
Qur’an yang tegas-tegas mencelanya.

Sampai di sini mungkin ada pertanyaan, yaitu: “Kadang terjadi


pertentangan di antara para Sahabat. Padahal mereka seutama-utama manusia,
apakah celaan di atas mengenai mereka?”

Ibnu Hazm Rohimahulloh menjawabnya, ia berkata: Sama sekali tidak.


Celaan di atas tidaklah mengenai Sahabat sedikitpun, dikarenakan mereka telah
berjuang keras mencari jalan Alloh dan pendapat yang benar. Maka jika ada di
antara mereka (yang salah, ed), mereka mendapat satu pahala dikarenakan niatnya
yang baik dalam menghendaki kebenaran. Terhapuslah dosa mereka dalam
kesalahannya, karena mereka tidak bermaksud dan tidak sengaja serta tidak
meremehkan dalam mencari kebenaran. Sedangkan yang benar di antara mereka
mendapatkan dua pahala. Begitu pula untuk setiap muslim sampai hari kiamat
dalam hal-hal yang tidak diketahui dan belum sampai kepadanya hujjah (dalil).

Syaikh Albani Rohimahulloh menjelaskan pula mengenai perbedaan


pendapat di kalangan Sahabat dengan ikhtilaf di antara muqollidin (orang-orang
yang taklid), dia berkata: Para Sahabat berbeda pendapat sebagai suatu
keterpaksaan, tetapi mereka mengingkari perselisihan dan menghindarinya apabila
mereka mendapatkan jalan keluarnya. Sedangkan muqollidin tidak sepakat dan
tidak berusaha untuk sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu bisa
dicapai dalam sebagian besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka
menyetujui adanya perbedaan pendapat. Maka sungguh jauh berbeda antara
keduanya.

Celaan dan ancama tersebut, sebagaimana tertuang dalam nash, berlaku


atas orang yang meninggalkan kewajiban berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah,
setelah datang nash kepadanya dan telah tegak hujjah atasnya. Kemudian setelah
itu dia tetap bergantung pada fulan dan fulan, taklid, sengaja untuk berselisih,
mengajak kepada fanatik dan kebanggaan jahiliyah, bermaksud untuk berpecah
belah, berupaya dalam pengakuannya untuk selalu mengembalikan kepada Al
Qur’an dan Sunnah apabila nash sesuai dengan keinginannya. Tetapi jika
menyelisihi (antara nafsu dan nash), maka ia bergantung pada kejahilannya,
meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah. Mereka itulah orang-orang yang selalu
berselisih dan orang-orang yang tercela.

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih


setelah datang keterangan (hujjah) kepada mereka.” (QS. Ali Imron: 105)
66

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka


(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada
Alloh, kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka perbuat.” (QS. Al An’am: 159)

Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai agama yang tipis dan
takwa yang sedikit. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu
mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsoh 38 dalam ucapan
setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan oleh
nash-nash dari Alloh dan Rosul-Nya. Sehingga Al Qur’an dan As Sunnah
dikoreksi dan dipaksa untuk sesuai dengan hawa nafsunya. Bukan hawa nafsunya
yang dikoreksi (untuk tunduk), apakah sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah,
wallohu a’lam.

38
Yaitu mengambil pendapat-pendapat yang terasa paling mudah, namun dasar
pemilihannya adalah hawa nafsu, pendapat yang menurut hawa nafsu mereka
paling mudah atau paling cocok dengan keinginan mereka, maka itu yang mereka
ambil.
67

Kedelapanbelas, ‘Katanya’, Orang Salaf Mewajibkan Cadar?

Yang saya tahu bahwa para ulama ada yang mewajibkan cadar dan ada
juga yang tidak mewajibkan. Ulama menyimpulkan hukum cadar ada dua, yaitu:

1. Sunnat/afdhol (dalam fiqih): bila dikerjakan mendapat pahala/lebih utama dan


bila tidak dikerjakan tidak berdosa. Dan pendapat ini adalah pendapat jumhur
ulama.

Ulama yang mengatakan afdhol, muka dan telapak tangan bukanlah aurot, namun
kalau mau ditutup itu lebih baik; ditutupnya ini tidaklah beralasan apakah manis
atau tidak (bukan berarti yang manis mesti ditutup sehingga yang tidak manis
tidak usah ditutup).

2. Ulama yang mewajibkan cadar, di antaranya berdasarkan dalil berikut:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS.
An Nuur: 31)

Menurut mereka, kata-kata “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”, adalah
pakaian luar, sehingga wajah termasuk yang harus ditutup. Selain itu mereka juga
beralasan karena berdasarkan kondisi dan fitnah yang timbul, baik oleh karena
lingkungannya yang mayoritas rusak moralnya atau karena wanita itu terlalu
manis sehingga dapat menggoda laki-laki.

Jika demikian, maka bagaimana mungkin orang-orang jahil itu menuduh


bahwa salafy mewajibkan cadar? Padahal sebagaimana yang akhi (dan ukhti, ed)
lihat para ulama berselisih hukum dalam masalah ini.

Dan akhwat salafy khususnya di Palembang, ada yang bercadar dan ada
yang tidak bercadar, dan mereka tidak saling mencaci. Wallohu a’lam.
68

Kesembilanbelas, Yang Terakhir, Nasyid Haram?

Mengenai hal ini sebaiknya akhi (dan ukhti, ed) membaca ‘Siroh
Nabawiyah dan Sahabat’. Di sana tidaklah ditemukan Sahabat
Rodhiallohu’anhum maupun Sahabiyah Rodhiallohu’anhunna yang bernasyid ria,
kecuali pada waktu dan keadaan tertentu yang tidak melalaikan atau dilarang
agama dan itu pun sifatnya hanya spontanitas saja. Artinya, tanpa adanya latihan
terlebih dahulu. Dan mereka pun tidak menjadikannya sebagai hobi atau
kebiasaan seperti orang-orang harokah yang menjadikannya sebagai pengganti
musik-musik yang haram, lebih-lebih sampai menggelar konser. Bahkan sekarang
sudah ditambah dengan alat musik, maka makin bertambahlah keharamannya.

“Kalian akan mengikuti umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal,


sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka memasuki lubang biawak,
niscaya akan kalian ikuti. Kami bertanya: ‘Apakah yang dimaksud adalah umat
Yahudi dan Nashrani wahai Rosululloh?’ Beliau menjawab: ‘Lantas siapa
lagi?’” (Muttafaq alaihi)

Bahkan yang lebih parah lagi sebagian mereka menganggap nasyid


sebagai ibadah dan salah satu metode dakwah, serta menenangkan hati yang
sekarang banyak dilakukan di dalam masjid-masjid. Adakah pencampuradukan
kebenaran dengan kebatilan yang lebih nyata dari ini? Astaghfirulloh!
Menganggap nasyid sebagai ibadah adalah bid’ah, tidak ada dalil baik dari Al
Qur’an, As Sunnah, maupun keterangan dari para Sahabat Rodhiallohu’anhum,
juga imam-imam mazhab.

“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Alloh yang


mensyari’atkan agama untuk mereka yang tidak diizinkan Alloh?” (QS. Asy
Syuro: 21)

“Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabulloh (Al Qur’an) dan


sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa sallam.
Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru (di dalam agama) dan setiap yang
baru (di dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. Muslim, Nasa’i, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Seorang ulama yaitu Al Hasan bin ‘Ali Al Barbahari Rohimahulloh


berkata: “Berhati-hatilah engkau dari perkara-perkara kecil yang baru (dalam
agama), karena sesungguhnya bid’ah-bid’ah yang kecil akan berulang sampai
menjadi besar. Demikian pula setiap bid’ah yang diada-adakan di umat ini, dahulu
permulaannya kecil, yang menyerupai kebenaran, sehingga orang yang masuk ke
dalamnya terperdaya dengannya, kemudian dia tidak mampu untuk keluar
darinya. Sehingga bid’ah itu menjadi besar dan menjadi agama yang dianut. Maka
dia (orang yang masuk tersebut) menyelisihi jalan yang lurus.”

Dan apabila sebagai penenang hati, maka apakah Al Qur’an tidak cukup
atau kurang berpengaruh terhadap hati? Padahal Al Qur’an dikatakan sebagai
69

obatnya hati dan sebagai penenang hati. Kecuali bagi orang-orang yang hatinya
sudah sakit atau mati.

“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman, dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang zhalim selain kerugian.” (QS. Al Isro’: 82)

Maka tidaklah heran bila mereka malas melakukan ibadah (yang sunnah)
yang jelas-jelas diperintahkan agama, tetapi sangat bersemangat bila melakukan
bid’ah (yang dianggap agama padahal bukan dari agama). Memang sudah lazim,
bila seseorang mencintai bid’ah maka otomatis ia akan membenci sunnah yang
semisal dengannya, begitu pula orang yang senang dengan kesyirikan maka ia
akan sangat benci dengan tauhid.

Melakukannya di masjid-masjid adalah menyerupai perbuatannya orang-


orang kafir (kristen, hindu, budha, dll) yang bernyanyi di tempat ibadah mereka
dan dianggap sebagai suatu tata cara ibadah yang mendekatkan diri kepada Alloh
Subhanahu wa ta’ala.

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menyerupai


suatu golongan maka ia termasuk golongan itu.” (HR. Abu Daud)

Hukum Nyanyian dan Musik Dalam Islam

1. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang mempergunakan perkataan yang tidak


berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Alloh tanpa pengetahuan dan
manjadikan jalan Alloh itu olok-olokan.” (QS. Lukman: 6)

Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘lahwal hadits’
(perkataan yang tidak berguna, ed) adalah nyanyian. Hasan al Bashri
Rohimahulloh berkata bahwa ayat tersebut turun dalam menjelaskan soal
nyanyian dan seruling.

Ibnu Mas’ud Rodhiallohu’anhu pernah bersumpah demi Alloh bahwa maksud


dari firman Alloh, “Dan di antara manusia ada yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Alloh”, adalah alunan
lagu dan nyanyian.

Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma berkata, “Maksudnya adalah lagu dan yang


sejenisnya.” Sa’id bin Yassar Rohimahulloh, Ikrimah Rohimahulloh, Al Hasan
Rohimahulloh, Sa’id bin Jubair Rohimahulloh, Qotadah Rohimahulloh, Mujahid
Rohimahulloh, dan Ibrohim An Nakho’i Rohimahulloh mereka mengatakan,
“Maksudnya adalah lagu.”

Al Wahidi Rohimahulloh berkata, “Ayat ini dengan tafsiran di atas, menunjukkan


haramnya nyanyian.”
70

2. Rosululloh Sholallohu ‘alai wa sallam bersabda:

“Nanti pasti ada beberapa kelompok dari umatku yang menganggap bahwa zina,
sutra, arak, dan musik hukumnyua halal, (padahal) itu semua hukumnya haram.
(HR. Bukhori dan Abu Daud)

“Sesungguhnya syaiton berkata kepada Alloh: “Ya Robbi, buatkan bagi saya
bacaan!” Jawab-Nya : “Bacaanmu adalah nyanyian.” Syaiton berkata lagi:
“Buatkan saya kitab!” Jawab-Nya: “Kitabmu adalah tato.” Syaiton berkata:
“Buatkan saya muazzin!” Jawab-Nya: “Muazzinmu musik.” Berkata syaiton:
“Buatkan saya rumah!” Jawab-Nya: “Rumahmu adalah wc.” Syaiton berkata
lagi: “Buatkan saya jerat!” “Jeratmu adalah wanita”. Syaiton berkata lagi:
“Buatkan saya makanan!” Jawab-Nya: “Makananmu adalah sembelihan yang
tidak disebut nama Alloh.”” (HR. Thobroni)

Islam tidak melarang sesuatu kecuali jika ada bahaya dari padanya, seperti
yang dikatakan oleh ulama-ulama sebagai berikut:

1. Imam Abu Hanifah Rohimahulloh, beliau membenci nyanyian dan


menjadikannya termasuk dosa-dosa. Mazhab Abu Hanifah dalam hal nyanyian
adalah yang paling keras. Mereka mengharamkan mendengarkan semua bentuk
alat-alat musik seperti seruling dan rebana bahkan hingga sekedar menabuh
batang pohon. Dan menyatakannya sebagai bentuk maksiat, menjadikan seseorang
fasik dan ditolak persaksiannya. Lebih dari itu mereka berkata, ‘Sesungguhnya
mendengarnya adalah suatu kefasikan dan menikmatinya adalah kekufuran.’

2. Imam Malik Rohimahulloh, maka beliau melarang nyanyian dan melarang


mendengarnya. Dan beliau ditanya tentang nyanyian yang dibolehkan oleh
penduduk Madinah? Beliau menjawab, “Hal itu hanya dilakukan oleh orang-
orang fasik.”

3. Imam Syafi’i Rohimahulloh:

 Di dalam kitab Al Qodho’ bahwa nyanyian adalah hiburan yang menyerupai


barang bathil, siapa yang memperbanyaknya adalah bodoh dan tidak
diterima persaksiannya.

 Di Baghdad, aku meninggalkan sesuatu yang merupakan ciptaan orang-orang


zindik. Mereka menamakan Taghbir (syair yang membuat orang zuhud di
dunia), dengan syair tersebut, mereka menghalang-halangi manusia dari Al
Qur’an. [Lalu, apa yang akan dikatakan tentang nasyid (nyanyian-nyanyian)
pada zaman sekarang, yang konon dinamakan Islami, sedangkan taghbir yang
membuat orang zuhud di dunia saja oleh Imam Syafi’i dilarang. La haula
wala quwwata illa billah].

4. Para sahabat Imam Syafi’i seperti Abu Thayyib Ath Thobari, Syaikh Abu
Ishak, dan Ibnu Shubbagh Rohimahulloh mengingkari orang yang mengatakan
71

nyanyian adalah mubah. Bahkan mereka mencela lagu dan melarangnya.


Menyanyikannya dan mendengarkannya tidak diperbolehkan, apalgi jika dengan
alat musik. Syaikh Abu Ishak Rohimahulloh dalam At Tanbih dan Al Muhadzdzab
beliau berkata, “Tidak boleh menyewa atas sesuatu manfaat yang diharamkan,
sebab hal itu hukumnya haram, sehingga tidak boleh mengambil pengganti
daripadanya, sebagaimana dalam hal bangkai dan darah.” Perkataan syaikh ini
menurut Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah Rohimahulloh mengandung beberapa hal:

 Manfaat nyanyian adalah jenis manfaat yang diharamkan.


 Menyewa atau mengontraknya adalah batil.
 Makan dari hasil nyanyian berarti makan harta secara batil, yakni sama
dengan makan dari harga (uang hasil penjualan, ed) bangkai atau darah.
 Seseorang tidak boleh mengeluarkan hartanya untuk penyanyi, hal itu haram
baginya karena berarti ia mengeluarkan harta untuk sesuatu yang diharamkan,
sehingga mengeluarkannya untuk kepentingan tersebut sama dengan
mengeluarkan harta untuk darah dan bangkai.
 Seruling adalah haram.

5. Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahulloh:

 Nyanyian itu menumbuhkan nifaq dalam hati.


 Itu adalah bid’ah dan mereka (pelakunya) tidak layak dijadikan teman duduk.
 Alat musik seperti kecapi, seruling, rebab, simbab, dan lainnya adalah haram.
 Mata pencaharian ORANG BANCI dengan cara menyanyi adalah haram.

6. Ibnu Umar Rodhiallohu’anhuma, dari Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa


sallam, telah bersabda ketika kematian anaknya, Ibrohim, “Aku tidak melarang
menangis. Tetapi yang kularang adalah dua jenis suara yang menggambarkan
kebodohan dan kekejian, yaitu suara nyanyian dan seruling setan, dan suara
tatkala mendapat musibah, seperti memukul muka, mencabik-canik saku baju, dan
ratapan syaiton.

7. Al Qosim bin Muhammad Rodhiallohu’anhu (Keponakan ‘Aisyah


Rodhiallohu’anha) pernah ditanya oleh seseorang tentang lagu. Maka ia
menjawab:

 Aku melarangmu menyanyikan lagu. Orang itu bertanya, “Apakah lagu itu
haram?” Maka beliau Rodhiallohu’anhu menjawab, “Andai kata Alloh
memisahkan yang hak dari yang batil, maka di manakah lagu diletakkan di
antara keduanya?”
 Aku mencela dan melarang mendengarkannya.

8. Asy Sya’bi Rohimahulloh berkata, “Orang yang menyanyikan lagu dan orang
yang mendengarkannya sama-sama dilaknat.”

9. Fudhail bin Iyadh Rohimahulloh, ia berkata, “Lagu itu merupakan mantera


zina.”
72

10. Adh Dhahhak Rohimahulloh berkata, “Lagu itu merusak hati dan
mendatangkan kemurkaan Alloh.”

11. Yazid bin Al Walid Rohimahulloh berkata, “Wahai kaumku, jauhilah lagu,
karena lagu itu memupuk syahwat, menurunkan kepribadian, dapat memabukkan,
dan dapat mendorong kepada zina.”

12. Ibnu Taimiyah Rohimahulloh:

 Musik bagi jiwa seperti arak, karena bisa menimbulkan bahaya yang lebih
hebat dari arak itu sendiri
 Adapun syirik terjadi, misalnya karena cinta kepada penyanyi melebihi cinta
kepada Alloh.
 Peristiwa pembunuhan juga sering terjadi di arena pertunjukan musik. Ini
disebabkan karena ada kekuatan yang mendorong berbuat begitu, sebab
mereka datang ke tempat itu bersama syaiton.
 Mendengarkan nyanyian dan musik tidak ada manfaatnya untuk jiwa dan tidak
mendatangkan kemaslahatan. Bahkan kerusakannya lebih besar dari pada
manfaatnya.

13. Ibnu Mas’ud Rodhiallohu’anhu: Nyanyian menimbulkan kemunafikan


dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran, sedangkan dzikir menumbuhkan
iman dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.

14. Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma berkata, “Tahukah kamu jika kelak hari
kiamat tiba, maka ada al haq dan al batil, lalu di mana tempat nyanyian?” Orang
yang berbicara pada Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma menjawab, “Ia bersama al
batil.” Dan Ibnu Abbas Rodhiallohu’anhuma pun membenarkannya.

15. Ibnul Jauzy Rohimahulloh berkata: “Nyanyian adalah bacaannya syaiton.”

16. Ibnu Qoyyim Rohimahulloh: Tidak seorangpun yang bisa (mungkin yang
dimaksud penulis makalah ini adalah “biasa”, wallohu a’lam, ed) mendengarkan
nyanyian kecuali hatinya munafik yang ia sendiri tidak merasa. Andai kata ia
mengerti hakikat kemunafikan pasti ia melihat kemunafikan itu di dalam hatinya,
sebab tidaklah mungkin berkumpul di dalam hati seseorang antara dua
cinta, yaitu cinta Al Qur’an dan cinta nyanyian, kecuali yang satu mengusir
yang lain. Sungguh kami telah membuktikan betapa beratnya Al Qur’an di hati
seorang penyanyi atau pendengarnya dan betapa jemunya mereka terhadap Al
Qur’an. Mereka tidak dapat mengambil manfaat dari apa yang dibaca oleh
pembaca Al Qur’an, hatinya tertutup dan tidak tergerak sama sekali oleh bacaan
tadi. Tetapi apabila mendengar nyanyian mereka segar dan cinta dalam hatinya.
Mereka tampaknya lebih mengutamakan suara nyanyian daripada suara Al
Qur’an. Mereka yang telah kena exses nyanyian ternyata adalah orang-orang yang
malas mengerjakan sholat, termasuk berjamaah di masjid (bagi laki-laki).
73

17. Ibnu ‘Aqil Rohimahulloh tokoh ulama yang bermazhab Hambali dan Ibnu
Hazm Rohimahulloh: Apabila yang menyanyi itu perempuan yang halal dinikahi
maka yang mendengarkan suaranya adalah haram.

18. Ibnu Hazm Rohimahulloh menyatakan, haram bagi orang Islam


mendengarkan nyanyian perempuan yang halal dinikahi, seperti penyanyi Shabah,
Ummi Kaltsum, dll.

19. Al Qodhi Abu Thoyyib Rohimahulloh berkata, “Pelakunya sebagai orang


yang bodoh, karena ia mengajak manusia kepada kebatilan dan siapa yang
mengajak manusia kepada kebatilan maka dia adalah orang bodoh dan fasik.”

20. Pendapat seluruh ulama Kufah, seperti Ibrohim, Asy Sya’bi, Hammad,
Sufyan Ats Tsaury Rohimahulloh dll. Begitu pula para ulama Bashroh
Rohimahulloh menyatakan, “Mendengarkan lagu adalah dosa dan tidak ada
perbedaan pendapat di antara mereka.”

21. Syaikh Muhammad Sholih Al Munajjid Hafizhahulloh berkata:

 Alat musik seperti piano, harpa, biola, gitar, dan lainnya adalah haram
menurut beberapa hadits.
 Nyanyian dan musik adalah sarana besar zaman ini yang melahirkan banyak
fitnah.

Sebagian orang membela musik dan nasyid berdalil dengan perbuatan


Rhoma Irama, Emha, dan perkataan Imam Al Ghazali, Yusuf Qordhowi, dll.
Sungguh ini adalah dalil yang sangat aneh dan tidak pantas diucapkan oleh
seorang penuntut ilmu dan pengaku ittiba’ kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi
wa sallam.

Imam Thobroni Rohimahulloh dari Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma


berkata, “Aku khawatir kalian akan dihujani hujan batu dari langit lantaran aku
berkata: “Telah bersabda Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam”, tapi kalian
membantah dengan perkataan Abu Bakar dan Umar.”

Perkataan dua orang Sahabat besar ini tidak boleh menjadi pegangan bila
menyelisihi hadits Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Maka bagaimana mungkin
perkataan Yusuf Qordhowi dkk dijadikan dalil...? Jauh sekali.... Hujan apa lagi
yang dikhawatirkan Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma terhadap mereka
ini?!?....Allohu Akbar!!!

Adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, manhajnya berada di tengah-tengah,


antara yang menganggap remeh dan yang berlebih-lebihan, antara yang
membolehkan tanpa batas-batas syar’i dan yang mengharamkan secara mutlak.
74

Tapi ia berada di tengah-tengah (sesuai Al Qur’an dan Sunnah dengan


pemahaman Salaful Ummah).39

Adapun nyanyian yang diperbolehkan:

1. Nyanyian di hari raya, ‘Aisyah Rodhiallohu’anha meriwayatkan: Rosululloh


Sholallohu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah Rodhiallohu’anha. Di
dekatnya ada dua orang gadis kecil yang sedang memukul terbang. Dalam
riwayat yang lain; sedang menyanyi. Lalu Abu Bakar Rodhiallohu’anhu
membentak mereka, maka Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Biarkan mereka, karena setiap kaum mempunyai hari raya, dan hari raya
kita adalah hari ini.” (HR. Bukhori)

2. Nyanyian yang diiringi terbang pada waktu nikah. Nabi Sholallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

“Yang membedakan antara halal (nikah) dan haram (zina) adalah memukul
terbang dan lagu-lagu pada waktu nikah.” (HR. Ahmad)

3. Nyanyian40 yang Islami pada waktu kerja yang mendorong untuk giat dan
rajin bekerja, terutama yang mengandung do’a. Hal ini pernah terjadi pada
waktu menggali khondak (parit) untuk persiapan perang khondak.

4. Nyanyian41 pada waktu akan berangkat berperang/jihad di jalan Alloh dan


tanpa alat musik.

5. Alat musik yang dibolehkan hanyalah rebana, itu pun terbatas pada waktu hari
raya dan saat pernikahan serta khusus untuk kaum wanita (anak-anak) serta
bersifat spontanitas (bukan konser) dan tidak berlebih-lebihan.

6. Nyanyian seorang ibu untuk menidurkan anaknya yang masih kecil. (Tetapi
tidak dengan kata-kata/kalimat yang dilarang syar’i). Wallohu a’lam.

39
Demikian juga dalam masalah ini, Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidaklah
mengharamkan nyanyian secara mutlak, karena ada beberapa jenis nyayian yang
boleh dilakukan dengan batasan-batasan yang ada.
40
Nyanyian yang dimaksud di sini adalah nasyid yang dibolehkan syari’at, yaitu
mengeraskan dan/atau meninggikan suara disertai semacam pantun/puisi, bukan
dengan adanya irama seperti nyanyian-nyanyian yang kita kenal dewasa ini,
wallohu a’lam.
41
Idem.
75

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa:

Pertama, Salaf atau Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau Ahlu Hadits atau Ahlu
Atsar atau Ahlu Ittiba’ atau Ath Tho’ifah Al Manshuroh (kelompom yang
dimenangkan) atau Al Firqoh An Najiyah (golongan yang selamat) bukanlah suatu
aliran (aliran sesat/bid’ah) dari sekian banyak aliran sempalan yang ada dulu dan
sekarang yang disangka oleh kebanyakan orang. Ini adalah manhajnya Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Rodhiallohu’anhum serta para
Imam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya) yang telah dikenal.

Kedua, para Nabi tidaklah diutus untuk menumbangkan suatu daulah dan
menegakkan daulah lainnya. Mereka bukanlah pengejar kekuasaan dan bukan
pula termasuk orang yang berlomba-lomba merebutnya. Mereka jauh dari intrik-
intrik politik yang menyimpang. Mereka hanyalah membawa hidayah bagi
semesta alam, menyelamatkan umat manusia dari kesesatan syirik dan bid’ah,
mengeluarkan umat dari alam kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.
Serta memperingatkan umat manusia dari murka Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Meraka tetap konsisten di atas jalur dakwah kepada jalan Alloh Subhanahu wa
ta’ala. Sebagaimana tawaran kaum Quraisy kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi
wa sallam yang secara tegas beliau tolak. Pernah juga ditawarkan kepada beliau,
apakah suka menjadi seorang Nabi merangkap raja ataukah menjadi seorang
hamba dan Rosul. Beliau lebih memilih menjadi seorang hamba dan Rosul.
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh Rodhiallohu’anhu, ia berkata:

“Malaikat Jibril ‘Alaihissalam pernah menemui Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa


sallam, kemudian ia menatap ke langit, ternyata seorang malaikat sedang turun.
Malaikat Jibril ‘Alaihissalam berkata: “Sesungguhnya malaikat ini tidak pernah
turun ke bumi semenjak diciptakan.” Malaikat itu berkata: “Wahai Muhammad,
Alloh Subhanahu wa ta’ala telah mengutusku kepadamu, Dia memberimu pilihan:
‘Apakah engkau suka menjadi seorang Nabi merangkap Raja ataukah seorang
Rosul dan hamba?’” Malaikat Jibril ‘Alaihissalam berkata kepada Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam: “Bersikap tawadhu’ lah terhadap Robbmu!”
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam akhirnya menjawab: “Aku lebih senang
menjadi seorang Rosul dan hamba!” (HR. Ahmad II/231)

Maka jelaslah bagi kita bahwa firqoh-firqoh itu timbul karena kebodohan
yang pada akhirnya mereka menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, baik secara
keseluruhan ataupun hanya sebagian-sebagian. Atau mereka memahami Al
Qur’an dan As Sunnah menurut hawa nafsunya sendiri, bukan menurut para
Sahabat Rodhiallohu’anhum.

“Hai orang-orang yang beriman, Masuklah kamu ke dalam Islam secara


keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaiton.
Sesungguhnya syaiton itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqoroh: 208)
76

“Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak dianggap beriman


seseorang di antara kalian, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku
bawa.” (Hadits Arba’in, Imam An Nawawi no. 41)

Demikianlah sikap yang seharusnya diteladani oleh setiap da’i dan ulama
pewaris Nabi. Mari kita teladani bersama!
77

Saran dan Nasehat Dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad Ibn


Muhammad Asysyihy Hafizhahulloh

 Ikutilah dalil dari Kitab dan Sunnah yang shohih serta pahamilah keduanya
dengan pemahaman pendahulumu yang sholih, maka sesungguhnya hal itu
akan memberikan kecukupan bagimu sebagaimana pula memberi kecukupan
kepada mereka.

 Kalau di negeri yang engkau diami ada Salafiyyun, maka pergilah engkau
kepada mereka dan berdialoglah bersama mereka dengan tenang dan perlahan
agar mereka menjelaskan manhaj-manhaj hizbmu berupa penyimpangan
terhadap manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

 Tingkalkan hizb yang kamu bergabung di dalamnya. Dan carilah perkumpulan


pemuda dan tolong-menolonglah bersama mereka di atas kebenaran dan takwa
berupa menuntut ilmu, beramal dengannya, berdakwah kepadanya, dan yang
semisalnya tanpa disertai rasa tahazzub (pengelompokkan) dan ta’ashshub
(fanatik) yang tercela.

 Ketahuilah bahwa tujuanmu pada kehidupan ini adalah untuk beribadah hanya
kepada Alloh saja berdasarkan ilmu (QS. Yusuf: 108), mengharap rahmat dan
ampunan-Nya, kemudian menyelamatkan orang lain, bukan sebaliknya.

 Ketahuilah bahwa Salafiyyun (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) adalah manhaj,


bukan orang/kepribadian. Dan bahwa cara menisbatkan diri kepadanya
tidaklah dengan cara duduk secara rahasia atau dengan pembagian
kelompok peserta, tetapi dengan cara engkau mengambil manhaj yang lurus
ini dan membelanya.

 Hati-hatilah untuk menyebarkan setiap apa yang engkau dengar dari berita-
berita dan perkataan-perkataan tanpa menelitinya, karena pendusta banyak di
zaman ini.

 Selagi engkau membawa aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka janganlah
engkau membelanya kecuali aqidah tersebut dan orang yang membawanya.

Alloh Subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kita untuk saling


memberi nasehat sebagaimana firman-Nya (pen.):

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian yang nyata kecuali orang-
orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling menasehati dalam kebenaran
dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy


Syu’aro’: 214)

“Agama itu adalah nasehat. Kami bertanya: ‘Bagi siapa wahai Rosululloh?’
Beliau menjawab: “Bagi Alloh, kitab-Nya, Rosul-Nya, dan bagi pemimpin-
78

pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya mereka.” (HR. Muslim dari
hadits Tamim Ad Daari)

Dan janganlah pula kita taklid terhadap nenek moyang, seperti yang
dikabarkan oleh Al Qur’an:

“Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan


Alloh dan mengikuti Rosul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang
kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan
mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Ma’idah:
104)

“Dan jika engaku (hai Muhammad) mengikuti kebiasaan orang banyak di muka
bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh.” (QS. Al An’am:
116)

“Dan taatilah Alloh dan Rosul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imron:
132)

“Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid’ah
sesudah aku (Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam) tiada, maka tunjukkanlah
sikap menjauh dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang
mereka dan kasusnya. Dustakanlah (maksudnya, bantahlah, wallohu a’lam, ed)
mereka agar mereka tidak makin merusak Islam. Waspadai pula orang-orang
yang dikhawatirkan meniru-niru bid’ah mereka. Dengan demikian Alloh akan
mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” (HR.
Ath Thahowi)

“Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Alloh, para malaikat dan
seluruh manusia.” Ditanyakan, “Ya Rosululloh, apakah pengertian tipuan
umatmu itu?” Beliau menjawab, “Mengada-adakan amalan bid’ah, lalu
melibatkan orang-orang kepadanya.” (HR. Daruquthni)

“Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah,
tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Alloh).” (QS. Thoha: 2-
3)

“Kebenaran itu adalah dari Robbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.” (QS. Al Baqoroh: 147)

“Tidak masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat atom rasa
sombong. Sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR.
Muslim)

Imam Bukhori Rohimahulloh di dalam kitab shohihnya menulis suatu bab


yang berjudul: “Al Ilmu Qobla Qoul wal ‘Amal.”, artinya: berilmu dahulu
sebelum berkata dan beramal.
79

Sekali lagi saya mohon maaf kalau penyampaian saya ada kata yang salah
atau menyakitkan hati. Dan kalau itu suatu kebenaran maka dari Alloh dan kalau
salah itu adalah dari saya. Akhirnya semoga Alloh Ta’ala senantiasa memberikan
petunjuk-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, agar istiqomah berjalan
pada jalan-Nya yang lurus. Kita memohon kepada-Nya agar Dia selamatkan kita
dari segala manhaj yang sesat. Aamiin. Wallohu waliyyut taufiq.

Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh


80

Aqidah Muslim42

Jika pengikut Ahmad adalah wahabi,


Maka aku akui bahwa diriku wahabi.
Kutiadakan sekutu bagi Tuhan.
Maka tak ada Ilah yang haq bagiku,
Selain yang Maha Esa dan Maha Pemberi.

Tidak ada kubah yang bisa diharap,


Tidak pula berhala,
Dan kuburan tidaklah sebab di antara penyebab,
Tidak, sama sekali tidak
Tidak pula batu, pohon, mata air, atau patung-patung.

Juga, aku tidak mengalungkan jimat,


Temali, rumah kerang, atau taring.
Untuk mengharap manfaat, atau menolak bala.
Alloh yang memberiku manfaat dan menolak bahaya dariku.

Adapun bid’ah dan segala perkara yang diada-adakan dalam agama,


Maka orang-orang berakal mengingkarinya.
Aku berharap, semoga ku tak kan mendekatinya,
Tidak pula rela secara agama, ia tidak benar.

Dan aku berlindung dari Jahmiyah.


Aku mencela perselisihan setiap ahli takwil dan peragu-ragu.
Serta yang mengingkari istiwa’.
Tentangnya, cukuplah bagiku teladan dari
Ucapan para pemimpin yang mulia,
Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ibnu Hanbal,
Orang-orang yang bertaqwa dan ahli bertaubat.
Dan pada zaman kita sekarang ini, ada orang yang mempercayai,
Seraya berteriak atasnya,
Mujassim wahabi.

Telah ada hadits tentang keterasingan Islam.


Maka hendaknya para pencinta menangis,
Karena terasing dari orang-orang yang dicintainya.
Alloh yang melindungi kita,
Yang menjaga agama kita,
Dari kejahatan setiap pembangkang dan pencela.

42
Ini adalah syair yang dibuat oleh Mulla Umran, seseorang yang pada mulanya
membenci dakwah Salaf (karena dia dahulunya adalah seorang Syi’ah), namun
kemudian Alloh memberinya taufiq untuk beralih membela manhaj Salaf. Syair
ini adalah tumpahan perasaannya atas apa-apa yang dia alami dalam usahanya
menempuh jalan kebenaran ini, semoga Alloh menjaganya.
81

Dia menguatkan agama-Nya yang lurus,


Dengan sekelompok orang yang berpegang teguh,
Dengan Kitab dan Sunnahnya.
Mereka tidak mengambil hukum lewat pendapat dan kias.
Sedang kepada ahli wahyu,
Mereka sebaik-baik orang yang kembali.

Sang Nabi terpilih telah mengabarkan tentang mereka,


Bahwa mereka adalah orang-orang asing,
Di tengah keluarga dan kawan pergaulannya.
Mereka menapaki jalan orang-orang yang mendapat petunjuk,
Dan berjalan di atas jalan mereka dengan benar.

Karena itu, orang-orang yang suka berlebihan,


Berlari dan menjauh dari mereka.
Tapi kita berkata, tidak aneh,
Telah lari pula orang-orang yang diseru
Oleh sebaik-baik manusia.
Bahkan menjulukinya sebagai tukang sihir lagi pendusta.
Padahal mereka mengetahui,
Betapa beliau seorang yang teguh memegang amanah dan janji,
Mulia dan jujur menepati.

Semoga keberkahan atasnya,


Selama angin masih berhembus, juga atas segala keluarganya,
Dan semua Sahabatnya....Aamiin. 43

43
Wahabi adalah julukan yang diberikan kepada Salafiyyin oleh orang-orang
yang membenci dakwah Salaf. Dengan julukan ini mereka ingin menggambarkan
bahwa Salafy adalah kelompok yang sesat, mengapa? Karena...

INILAH WAHHABI SESUNGGUHNYA…!!

Wajib diketahui oleh setiap kaum Musimin dimanapun mereka berada


bahwasanya firqoh Wahabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat
berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan. Tentu hal ini membuat kita bertanya-
tanya, mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak
setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.. Maka
siapakah sebenarnya Wahabi ini??

Bagaimanakah sejarah penamaan mereka??

Marilah kita simak dialog Ilmiah yang sangat menarik antara Syaikh Muhammad
bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh/dosen-dosen disuatu Universitas
Islam di Maroko

Salah seorang Dosen itu berkata: “Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan
Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin
82

sangat condong kepadanya, dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi
kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang,
kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih
baik, yaitu Madzhab Wahabi.”

Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: “Sungguh banyak


pengetahuan yang keliru yang melekat dalam pikiran manusia, yang mana
pengetahuan tersebut bukan diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan
mungkin kalian pun mendapat khabar-khabar yang tidak tepat dalam hal ini.

Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam
diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-
sumber yang terpercaya,dan saya rasa di Universitas ini terdapat Perpustakaan
yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya. Dan juga hendaknya kita
semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”

Dosen itu berkata: “Saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang
ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.”

Asy Syaikh berkata: “Saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya
persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi
kita ini.”

Dosen itu pun berkata:

“Baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa
firqoh wahabi adalah Firqoh yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi’yar
yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam
Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang
Wahabiyyun membangun sebuah masjid, “Bolehkan kita Sholat di Masiid yang
dibangun olehorang-orang wahabi itu ??” maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab:
“Firqoh Wahabiyyah adalah firqoh yang sesat, yang masjidnya wajib untuk
dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu’minin,
dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk
mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin.”

(wajib kita ketahui bahwa Imam Al-Wansyarisi dan Imam Al-Lakhmi adalah
ulama ahlusunnah)

Dosen itu berkata lagi: “Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan
kalian adalah salah selama ini.”

Kemudian Asy Syaikh menjawab: ”Tunggu dulu..!! kita belum sepakat, lagipula
diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak
fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-
Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi
rujukan kalian itu!”
83

Dosen itu berkata: “Anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau
saya mulai dari sampulnya??”

Asy Syaikh menjawab: “Dari sampul luarnya saja.”

Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacakannya: “Namanya adalah


Kitab Al-Mi’yar, yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi.
Wafat pada tahun 914 H di kota Fas, di Maroko.”

Kemudian Asy Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya:


“Wahai syaikh, tolong catat baik- baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada
tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan biografi Imam Al-
Lakhmi??”

Dosen itu berkata: “Ya.”

Kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan
satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Didalam
kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti
Andalusia dan Afrika Utara.

Kemudian Asy Syaikh berkata : “Kapan beliau wafat?”

Yang membaca kitab menjawab: “Beliau wafat pada tahun 478 H”

Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: “Wahai syaikh tolong dicatat
tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi” kemudian ditulis.

Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata: “Wahai para masyaikh….!!! Saya
ingin bertanya kepada antum semua …!!! Apakah mungkin ada ulama yang
memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir)
???? kecuali kalau dapat wahyu????”

Mereka semua menjawab: “Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud
anda!”

Asy syaikh berkata lagi: “Bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah
dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul
Wahhab????”

Mereka berkata : “Siapa lagi???”

Asy Syaikh berkata: “Coba tolong perhatikan..!!! Syaikh Muhammad bin


Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H, …

Nah, ketika Al-Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN


TAHUN lamanya sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
84

lahir..bahkan sampai 22 generasi ke atas dari beliau sama belum ada yang
lahir..apalagi berdakwah..

KAIF ??? GIMANA INI???” (Merekapun terdiam beberapa saat..)

Kemudian mereka berkata: “Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh
Imam Al-Lakhmi tersebut?? mohon dielaskan dengan dalil yang memuaskan,
kami ingin mengetahui yang sebenarnya!”

Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang: “Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq
Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Francis?”

Dosen itu berkata: “Ya ini ada”

Asy Syaikh pun berkata: “Coba tolong buka di huruf “wau” .. maka dibukalah
huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “Wahabiyyah”

Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang
biografi firqoh wahabiyyah itu.

Dosen itu pun membacakannya: “Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte
KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin
Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al-Abadhi, Orang ini telah banyak
menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan
telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya.
Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat di Afrika Utara. Penulis mengatakan
bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan
banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat
membenci Ahlussunnah.

Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata: “Inilah Wahabi
yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah
kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan
Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang
kalian miliki. Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-,
maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau
ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam
yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya,
mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada
Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya
para Nabi dan Rasul.

Syubhat yang tersebar dinegeri-negeri Islam ini dipropagandakan oleh musuh-


musuh islam dan kaum muslimin dari kalangan penjajah dan selain mereka agar
terjadi perpecahan dalam barisan kaum muslimin.
85

Sesungguhnya telah diketahui bahwa dulu para penjajah menguasai kebanyakan


negeri-negeri islam pada waktu itu,dan saat itu adalah puncak dari kekuatan
mereka. Dan mereka tahu betul kenyataan pada perang salib bahwa musuh utama
mereka adalah kaum muslimin yang bebas dari noda yang pada waktu itu
menamakan dirinya dengan Salafiyyah. Belakangan mereka mendapatkan sebuah
pakaian siap pakai, maka mereka langsung menggunakan pakaian dakwah ini
untuk membuat manusia lari darinya dan memecah belah diantara kaum muslimin,
karena yang menjadi moto mereka adalah “PECAH BELAHLAH MEREKA,
NISCAYA KAMU AKAN MEMIMPIN MEREKA ”

Sholahuddin Al-Ayubi tidaklah mengusir mereka keluar dari negeri Syam secara
sempurna kecuali setelah berakhirnya daulah Fathimiyyah Al-Ubaidiyyin di
Mesir, kemudian beliau (Sholahuddin mendatangkan para ulama ahlusunnah dari
Syam lalu mengutus mereka ke negeri Mesir, sehingga berubahlah negeri mesir
dari aqidah Syiah Bathiniyyah menuju kepada Aqidah Ahlusunnah yang terang
dalam hal dalil, amalan dan keyakinan.

(silahkan lihat kitab Al Kamil Oleh Ibnu Atsir)

Sumber:
http://abangdani.wordpress.com/2011/08/04/inilah-wahhabi-yang-dianggap-sesat-
oleh-ulama-ulama-maroko/
86

Maroji’ (Daftar Pustaka, ed)

1. Kitab Suci Al Qur’an, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf


Asy Syarif, Kerajaan Saudi Arabia

2. Syarah Hadits Arba’in, Imam An Nawawi, Khazanah Ilmu

3. Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi, Qolam

4. Kitab Tauhid 1, Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdulloh Al Fauzan, Darul
Haq

5. Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul
Haq

6. Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat, Syaikh Muhammad bin


Jamil Zainu, Kementerian Urusan Islam, Waqaf, Da’wah, dan Penyuluhan
Urusan Penerbitan dan Penyebaran Kerajaan Arab Saudi

7. Prinsip-prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Dr. Nashir Ibn Abdul


Karim Al ‘Aql, Gema Insani Press

8. Tashfiyah dan Tarbiyah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid
Al Atsari, Pustaka Imam Bukhori

9. Melumpuhkan Senjata Setan, Syaikh Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah, Darul


Falah

10. Perangkap Setan, Syaikh Ibnul Jauzi, Pustaka Al Kautsar

11. Silsilah Hadits Dho’if dan Maudhu’ Jilid 1, Syaikh Muhammad


Nashiruddin Al Albani, Gema Insani Press

12. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh


Muhammad Nashiruddin Al Albani, Pustaka At Tibyan

13. Rislalah Bid’ah, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Cetakan 1,
Yayasan At Tauhid, Jakarta

14. Dosa-dosa yang Dianggap Biasa, Syaikh Muhammad Sholih Al Munajjid,


Darul Haq

15. Dialog Bersama Ikhwani, Syaikh Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad
Asysyihy, Yayasan Al Madinah

16. Al Manhaj, Peringatan Terhadap Kesesatan Manhaj Ikhwanul Muslimin,


Edisi II/1418 H, Lajnah Khidmatus Sunnah wal Muhaarabatul Bid’ah,
Pon-pes Ihyaus Sunnah, Yogyakarta
87

17. Manhaj Aqidah Imam Hasan Al Bana, Dr. Isham Ahmad Basyir, Titian
Ilahi Press

18. Kitman, ‘Studi Tentang Menyimpan Rahasia [Amniyah] Dari Rosululloh’,


Jendral Mahmoud Syed Khattab, Ahassa Press

19. Salafy, Ahlu Bid’ah Pemecah Belah Umat, Edisi XVII/Muharrom/1418


H/1997

20. As Sunnah, Belenggu Syahwat dan Syubhat, 24/II/1418 H

21. As Sunnah, Dakwah Salaf Bukan Sempalan, 06/IV/1420 H

22. As Sunnah, Pamrih Manusia dan Syirik Niat, 08/IV/1421 H

23. As Sunnah, Syirik Membudaya di Indonesia, 09/IV/1421 H

24. As Sunnah, Khilafah Menjadi Tujuan, 10/IV/1421 H

25. As Sunnah, Islam dan Akal, 02/VI/1423 H

26. As Sunnah, Islam Liberal, 04/VI/1423 H

27. Buletin Dakwah Al Furqon, Edisi 8 Th. I, Robi’ul Awal 1423 H

Selesai diedit
Ciparigi, 7 Safar 1433 H - 1 Januari 2012
salafyipb.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai