1
Risalatuna
Upaya Mengembalikan Kemurnian Islam
Di Atas Manhaj Para Sahabat
1
Risalatuna ini adalah tulisan yang menjelaskan hal-hal yang terkait dengan
manhaj atau metode para Sahabat Rodhianllohu’anhum dalam beragama. Materi
ini diketik ulang dengan perbaikan pada kesalahan cara penulisan yang terjadi dari
sebuah makalah yang aku dapatkan sekitar tahun 2005, wallohu a’lam apakah
alamat di atas masih berlaku atau tidak. Pada beberapa tempat aku menambahkan
keterangan yang diperlukan. Demikian pula catatan kaki adalah tambahan dari
editor.
Peringatan dini:
Sebagian orang mungkin akan emosi atau bahkan marah membaca tulisan ini.
Maka sejak awal aku katakan, jika anda ingin menyanggah tulisan ini, maka
berargumenlah secara ilmiah dengan membawakan dalil-dalil yang ada. Dan
janganlah sikap fanatik kita kepada individu atau golongan tertentu membuat kita
enggan mengikuti kebenaran. Dan hanya Alloh lah yang memberi taufik.
2
Aku menduga yang menulis tulisan dalam kurung siku ini adalah sahabatku yang
memberikan makalah ini padaku, semoga Alloh menjaganya dan membalas
kebaikannya dengan yang lebih baik.
2
Bismillahirrohmanirrohim
Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Alloh,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An Nisaa’:
115)
Dan sunnguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalan-Nya. (Al An’am: 153)
Pendahuluan
Akhi (dan Ukhti, ed), terlebih dahulu janganlah berburuk sangka pada
saya, dan saya minta maaf kalau kata-kata saya kurang berkenan di hati atau
menggurui. Dan saya harap akhi (dan ukhti, ed) membacanya dengan hati yang
ikhlas.
Ada begitu banyak penjelasan yang akan saya jelaskan di sini, jadi untuk
itu saya harap akhi (dan ukhti, ed) bisa mengerti dan memahaminya.
zaman Rosul Sholallohu ‘alahi wa sallam dan para imam-imam mazhab, sebagai
sinonim dari manhaj ahlus sunnah wal jama’ah.
Sedangkan hukum cadar saya hanya menjelaskan secara garis besar saja,
karena timbul kesalahpahaman dari saudara-saudara kita yang mengatakan bahwa
orang-orang salaf menganggap cadar hukumnya wajib mutlak.
Namun demikian, yang jadi masalah bagi kita sekarang adalah munculnya
berbagai macam syubhat-syubhat (kerancuan berpikir, ed) persatuan di kalangan
kaum muslimin yang tidak jelas dasar persatuannya. Sebagian mereka
mengajak kepada persatuan kelompoknya atau organisasinya dan menganggap
mereka yang tidak ikut ke dalam kelompoknya berarti tidak mau bersatu. Ada
5
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul, (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa’: 59)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. (Al Ahzab: 36)
Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisaa: 65)
Dan apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Al Hasyr: 7)
6
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat
selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabulloh dan sunnahku.
Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di telaga
Haudl.” (HR. Malik dan Hakim, Hasan)
1. Haram bagi yang tidak mengetahui dalil saya kemudian memberi fatwa dengan
kata-kata saya, karena saya adalah manusia biasa (maksudnya bisa salah), yang
sekarang bicara sesuatu dan besok tidak bicara itu lagi.
3. Ibnu Abidin berkata dalam bukunya: “Jika hadits itu shohih dan bertentangan
dengan mazhab, maka hadits lah yang dipakai dan itulah mazhabnya dan dengan
mengikuti hadits itu tidak berarti penganutnya telah keluar dari pengikut Hanafi.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau pernah berkata: “Jika hadits itu
benar maka itulah mazhab saya.”
1. Sesungguhnya saya adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Maka
perhatikanlah secara kritis pendapatku, yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah
ambillah dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengannya tinggalkanlah.
2. Setiap orang sesudah Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam ada yang diambil
omongannya dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi Sholallohu ‘alaihi wa
sallam.
1. Setiap orang ada pendapatnya yang sesuai dengan sunnah Rosululloh dan ada
yang tidak sesuai, meskipun saya berkata dengan suatu pendapat atau berdasarkan
sesuatu pendapat dari Rosululloh tapi kenyataannya bertentangan dengan ucapan
Rosululloh, maka pendapat yang benar adalah ucapan Rosululloh dan itulah
pendapat saya
7
6. Setiap masalah yang mempunyai hadits shohih menurut ulama ahli hadits,
yang bertentangan dengan pendapat saya maka saya akan kembali pada hadits
tersebut selama hidup saya atau sesudah mati.
1. Jangan engkau melakukan taklid kepadaku atau Imam malik atau Imam Syafi’i
atau Imam Auza’y atau Imam Ats Tsaury, tapi ambillah dari mana asal mereka
mengambil.
Ketahuilah akhi (dan ukhti, ed), syari’at Islam menentukan bahwa suatu
amalan akan bernilai shohih dan dianggap dapat mendekatkan diri kepada Alloh
serta diterima di sisi-Nya apabila memenuhi dua persyaratan: Pertama, amalan
tersebut harus diperuntukkan kepada Alloh semata (ikhlas). Kedua, amalan
tersebut harus sesuai dengan Al Qur’an dan Al hadits. Jika salah satunya tidak
ada, maka amalan tersebut tidak bernilai ibadah dihadapan Alloh dan tertolak.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan (dalam agama ini) yang tidak ada
contohnya dari kami, maka tertolak. (HR. Muslim)
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang paling baik amalnya. (Al Mulk: 2)
Dari ayat ini yang dinilai Alloh adalah baiknya suatu amal bukan
banyaknya amal tersebut. Akan tetapi amalan yang baik dan banyak tentu lebih
utama daripada baik tapi sedikit.
Terlebih dahulu akan saya jelaskan ‘hakikat manhaj salaf’, karena itu akan
saya bagi jadi dua pokok pembahasan, yaitu: Pengertian Salaf dan Manhaj Salaf.
Pengertian Salaf
A. Menurut Bahasa
Kata Salaf menurut bahasa (Arab) yang memiliki arti perihal mendahului.
Ibnu Faris berkata: “Sesungguhnya laam-faa’, asal kata yang mengandung makna
mendahului.”
B. Menurut Istilah
Banyak perkataan ulama dalam mengartikan istilah salaf, akan tetapi ada
tiga yang terpenting, yaitu:
Al Qalsyani berkata: “As Salaf ash Shahih adalah generasi pertama yang
mendalam ilmunya, mengikuti petunjuk Nabi serta menjaga Sunnahnya. Alloh
telah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi dan telah memilih mereka
untuk menegakkan agama-Nya. Alloh telah ridho kepada mereka sebagai imam-
imam umat. Mereka telah berjihad di jalan Alloh dengan sebenar-benarnya,
menghabiskan umurnya untuk memberikan nasihat dan manfaat kepada umat,
serta mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoan Alloh.”
Akan tetapi, pengertian salaf bila hanya ditinjau dari periodesasi pada
masa itu, tidak cukup untuk menunjukkan makna salaf secara sempurna kecuali
dikatakan bermanhaj salaf bila dalam pemahaman Al Qur’an dan As Sunnah
sesuai dengan pemahaman para Sahabat. Untuk itu banyak ulama
menambahkan penyebutan ash sholih untuk menunjukkan batasan yang jelas
kepada orang-orang yang mengikuti manhaj sahabat, yakni as salaf ash sholih.
11
Isi buku ini dalam rangka pembelaan terhadap tokoh IM, Hasan Al Banna,
karena ada yang menuduh bahwa dalam memahami asma dan sifat-sifat Alloh, Al
Banna sama sekali tidak berdasarkan kepada manhaj yang ditempuh oleh ulama
salaf. “Padahal di antara karakter manhaj yang ditempuh oleh Hasan Al Banna
adalah dia berusaha keras untuk tetap konsisten terhadap manhaj yang ditempuh
oleh ulama Salafus Sholih dalam memahami aqidah. Dia juga selalu mendorong
kepada umat agar tetap berpegang teguh kepada manhaj ulama salaf
tersebut. Bahkan dia memandang bahwa manhaj salaf itu merupakan
manhaj (jalan) yang lurus.”
Manhaj Salaf
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tegak di atas kebenaran,
tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai datang
perkara Alloh (kiamat). Dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR. Muslim)
Di sini kami nukil tulisan Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali Hafizhahulloh
dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rohimahulloh rektor Universitas Islam
Madinah dan Mufti Ulama Saudi Arabia 3 dalam masalah ini:
3
Yaitu dulu, adapaun sekarang Syaikh bin Baaz telah wafat, Rohimahulloh.
Berkata Dr. Yusuf al Qardhawiy: “Beliau “Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdulloh
bin Baaz”, seorang ahli fikih ternama yang telah menghabiskan seluruh umurnya
yang penuh berkah itu dengan berdakwah kepada tauhid dan memberantas
kesyrikian. Ia juga mengajar, menasehati, dan berfatwa. Ia -Rohimahulloh-
merupakan bintang dari bintang-bintang yang telah memancarkan hidayah
(petunjuk). Ia juga merupakan lautan ilmu yang teramat luas. Ia kuat bagaikan
gunung dalam permasalahan-permasalan fikih. Ia juga merupakan seorang ulama
yang luar biasa yang hidup pada masa di mana ulama sangat sedikit sekali”,
rekaman video ada padaku.
14
3. Dikatakan: Kenapa kita mensibatkan diri kita kepada Salaf, padahal Alloh
Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dia (Alloh) telah menamai kamu sekalian
“Muslimin” dari dulu. (QS. Al Hajj: 78)
Jawab:
dengan ustadz ‘Abdul Halim Abu Syuqqoh Hafizhahulloh, penulis kitab Tahrirul
Mar’ah fi ‘Ash-rir Risalah:
Dia berkata: “Alloh telah menamai kita “Muslimin”. Kemudian dia membaca:
“Dia (Alloh) telah menamai kamu sekalian “Muslimin” dari dulu. (QS. Al Hajj:
78)
Syaikh berkata: “Jawaban itu benar seandainya kita berada di zaman yang
pertama sebelum tersebarnya firqoh-firqoh. Seandainya kita sekarang bertanya
kepada seorang muslim mana saja dari firqoh-firqoh itu, yang kita berselisih
secara prinsip di dalam aqidah terhadap firqoh-firqoh tersebut, maka semuanya –
baik orang tersebut Syi’ah Rofidhoh, Khowarij, Duruz, Nushairiyah al ‘Alawiyah-
akan menjawab: “Saya Muslim.” Kalau demikian, di zaman ini jawaban tersebut
tidak cukup.”
Dia berkata: “Kalau begitu aku akan mengatakan: “Saya Muslim berdasarkan Al
Kitab dan As Sunnah.”
Dia berkata: “Saya telah berbasa-basi terhadap anda, dan sekarang saya
mengatakan kepada anda: “Ya, akan tetapi keyakinanku adalah apa yang
terdahulu. Karena tatkala seorang mendengar bahwa anda adalah salafy, pertama
kali fikirannya melayang kepada perkara yang bermacam-macam, yang berupa
tindakan yang keras bahkan kasar, yang sering terjadi dari salafiyin.” (Maksudnya
oknum/pribadi).
Dia berkata: “Mungkin juga, tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia: “Dia
(Alloh) telah menamai kamu sekalian “Muslimin” dari dulu. (QS. Al Hajj: 78)
Syaikh berkata: “Akan tetapi dikalangan mereka ada yang mencuri. Tetapi hal
ini tidak membolehkan seorangpun mengatakan: “Saya bukan seorang Muslim”,
bahkan dia adalah seorang muslim dan mukmin kepada Alloh dan Rosul-Nya
sebagai manhaj (jalan yang ditempuh), akan tetapi terkadang dia menyelisihi
manhajnya, karena dia (pribadi) memang tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan).
perkara agama kita yang dengannya kita beribadah kepada Alloh. Adapun si Fulan
(maksudnya “seseorang”, ed) berlebih-lebihan atau dia meremehkan maka itu
urusan lain.
Dengan demikian, sama sekali tidak ada aib menisbatkan diri kepada
Salafush Shalih jika diiringi dengan usaha untuk mencocoki mereka secara lahir
dan batin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata: “Tidak ada aib
atas orang yang menampakkan mazhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya
serta mengikatkan diri dengannya, bahkan hal itu wajib diterima dari orang
tersebut. Karena sesungguhnya mazhab Salaf adalah kebenaran itu sendiri. Jika
orang tersebut mencocoki Salaf secara lahir dan batin (dalam aqidah dan manhaj
secara keseluruhan) maka kedudukannya sama dengan seorang mukmin yang
berada di atas al haq secara lahir dan batin. Jika orang tersebut mencocoki Salaf
secara lahiriyah saja –batinnya tidak- maka orang tersebut sama kedudukannya
dengan orang munafik, sehingga lahiriyahnya diterima sedangkan isi hatinya
diserahkan kepada Alloh. Karena sesungguhnya kita tidak diperintahkan untuk
menyelidiki hati manusia.” (Majmu Farawa IV/149).
18
“Mereka itulah (para Nabi) orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Alloh,
maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al An’am: 90)
20
“Katakanlah: “Taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rasul. Dan jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rosul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang
dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat
Alloh) dengan terang.” (An Nuur: 54)
Alasan-alasannya:
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Alloh petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az Zumar:18)
Sisi pendalilan ayat di atas ialah bahwa Alloh memuji orang yang
mengikuti generasi manusia terbaik (yaitu Muhajirin dan Anshor). Dengan
demikian dapat dipahami ketika mereka (para sahabat Muhajirin dan Anshor)
Rodhiallohu’anhum) mengatakan sesuatu, lalu ada yang mengikutinya, jelas orang
yang mengikutinya tersebut terpuji dan berhak mendapat ridho Alloh. Apabila
pengikut sahabat itu tidak ada bedanya dengan orang lain (yang tidak mengikuti
pola Sahabat), tentu ia tidak berhak mendapat pujian dan ridho Alloh (seperti
tertulis di ayat di atas).
Saat menafsiri ayat ini (At Taubah: 100), Ibnu Katsir Rohimahulloh
menyatakan, bahwa betapa celaka orang yang membenci sahabat nabi Sholallohu
‘alaihi wa sallam, ataupun mencela sebagain mereka. Sesungguhnya kelompok
yang hina yaitu Syi’ah Rafidhoh (berpusat di Iran) yang menentang keutamaan
sahabat, membenci dan mencelanya. Naudzubillah. Ini menunjukkan bahwa akal
(orang yang membenci (yaitu membenci para sahabat, ed)) kontradiktif dan
terbalik hatinya. Maka bagaimana mereka disebut beriman kepada Al Qur’an
kalau mereka mencela yang Alloh ridho kepadanya. Bahkan Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali
Imron: 110)
Bahwa generasi sahabat sebagai generasi terbaik, tentu bukan dalam hal
warna kulitnya, kekuatannya, melimpahnya harta, dll. Tetapi maksudnya adalah
terbaik dalam ke-Islamannya, sebab barometer kebaikan dalam Islam adalah
ketakwaan hati dan amal sholih, seperti firman Alloh:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Alloh ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurot: 13)
22
“Sesungguhnya Alloh tidak melihat pada bentuk (fisik) kamu dan pada harta
benda kamu, tetapi Dia melihat pada hati-hati kamu dan amal-amal kamu.” (HR.
Muslim)
Beberapa dalil di atas dari sekian banyak dalil, sudah merupakan bukti
nyata, bahwa jalan, pola, dan manhaj sahabat sebagai generasi Salaf dalam ber-
Islam yang sesuai Al Qur’an dan Sunnah, adalah jalan yang mendapat
rekomendasi langsung dari Alloh, Rosul-Nya, dan para Sahabat sendiri. Hal ini
membuktikan bahwa jalan/manhaj mereka adalah jalan/manhaj yang benar. Siapa
yang menempuh jalan mereka, berarti ia berada dalam kebenaran dan mendapat
pujian Alloh.
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-
jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am: 153)
23
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman: 15)
Dalam hal ini Alloh memberi petunjuk kepada para Sahabat Nabi
Sholallohu ‘alaihi wa sallam menuju perkataan yang baik dan amal yang sholih.
karena itu, wajib hukumnya mengikuti jalan mereka dalam memahami agama
Alloh, baik Al Qur’an maupun As Sunnah.
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Alloh, maka ikutilah
petunjuk mereka.” (QS. Al An’am: 90)
“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An
Nisaa’: 115)
4
Karena saat itu, saat turunnya ayat ini, kaum mukminin hanyalah para Sahabat.
24
Dari dalil ini bisa dibaca permisalan, bahwa Rosul Sholallohu ‘alaihi wa
sallam yang telah dijadikan sebagai uswah (teladan) kita, telah memberikan
permisalan yang sangat indah tentang para sahabatnya Rodhiallohu’anhum. Beliau
memisalkan para sahabatnya Rodhiallohu’anhum dengan bintang-bintang di langit
yang kita pahami bahwa bintang-bintang itu sebagai petunjuk dalam kegelapan,
baik di darat maupun di laut.
Kelima, Pokok-pokok Jalan Hidup dan Dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Dari kitab Silsilah Syar’iyyah edisi 1 bulan Robiuts tsani 1418 H, karya
Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail as Salaimanie Hafizhahulloh, seorang
yang berdiam di Ma’rib Yaman, yang mengepalai sebuah lembaga pendidikan
dakwah dan sosial, yaitu: Darul Hadits di Ma’rib Yaman. Beliau menyebut 52
yang saya tulis hanya 33:
1. Dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah dakwah yang tegak di atas Al
Qur’an dan As Sunnah menurut pemahahaman salafush sholih, serta orang-orang
yang mengikuti mereka.
2. Ahlu Sunnah wal Jama’ah berkayikan bahwa berdo’a kepada orang-orang mati
(termasuk kepada Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam dan wali-wali), beristighosah
kepada mereka, menyembelih dan bernadzar untuk mereka, juga minta
pertolongan kepada orang-orang hidup atas perkara-perkara yang merupakan
kekuasaan Alloh, adalah perbuatan syirik, yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari Islam, maka pelakunya wajib bertaubat atas perbuatannya itu dan wajib
membenahi aqidah tauhidnya.
4. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyakini adanya karomah-karomah para wali tanpa
menyakini bahwa hal tersebut merupakan bagian dari kekhususan Ilahiyah5. Ahlu
Sunnah wal Jama’ah membedakan antara karomah-karomah para wali dan
kedustaan6 para dajjal (pendusta). Para wali menegakkan perintah Alloh dan
Rosul-Nya, berbeda dengan tukang sihir dan sejenisnya (yang justru melanggar
perintah Alloh dan Rosul-Nya, ed).
5
Maksudnya, karomah [yaitu suatu keadaan luar biasa yang ada pada diri
seseorang karena kedekatannya dengan Alloh, dan hal ini terjadi spontan begitu
saja, tanpa dipelajari] yang dimiliki seseorang bukanlah suatu hal yang
menyebabkan seseorang tersebut mendapatkan hak untuk diibadahi ataupun
dijadikan perantara ibadah kepada Alloh.
6
Yaitu keadaan luar biasa yang ada pada orang-orang yang jauh dari Alloh, dan
hal ini merupakan suatu hal yang dapat dipelajari dengan bantuan jin, semisal
sihir, ramalan, dan lainnya.
7
Yaitu mereka hanya mencintai sebagaian sahabat saja, dan mencela bahkan
mengkafirkan sahabat lainnya.
26
mereka, sebab apa yang terjadi itu merupakan fitnah. Semoga Alloh menjaga kita
dari fitnah yang seperti itu. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menjaga hati dan lisan
mereka agar tidak hanyut membicarakan fitnah. Menurut Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, para Sahabat memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Yang paling utama
adalah Abu Bakar kemudian Umar menurut kesepakatan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, kemudian Utman lalu Ali menurut pendapat yang terpilih.
6. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, orang yang mencela para Sahabat berarti
telah mengikuti ahlu bid’ah dan hatinya kotor, sebab mencintai para Sahabat serta
menempatkan mereka sesuai dengan kedudukan masing-masing, adalah
kewajiban.
7. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak menerima hadits apapun yang disandarkan
kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah mengetahui
bahwa hadits tersebut adalah shohih.
8. Dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah tegak di atas tashfiyah (pemurnian) aqidah,
kaidah-kaidah ilmiah dan amaliyah, dan lain-lain. Kemudian tarbiyyah
(pembinaan) di atas ajaran Islam yang murni.
9. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa
besar yang dilakukannya. Ahlu Sunnah wal Jama’ah selalu mengharapkan
kebaikan bagi orang-orang yang sholih dan merisaukan (mengkhawatirkan, ed)
nasib orang-orang yang berbuat jahat. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak
menentukan tempat bagi seorang pun di surga atau di neraka 8. Ahlu Sunnah wal
Jama’ah menyolatkan jenazah setiap muslim serta memohonkan ampunan selama
(orang tersebut, ed) tidak terjatuh dalam syirik besar (yang mengelurkannya dari
Islam).
10. Ahlu Sunnah wal Jama’ah memberikan nasehat dengan cara yang sebaik-
baiknya, jika diterima maka itu adalah karunia dari Alloh bagi seluruhnya, tapi
jika ditolak maka mereka bersabar dan berdo’a kepada Alloh agar memberikan
hidayah kepada semuanya. Namun jika ada seseorang yang menyeru kepada
kesesatan maka Ahlu Sunnah wal Jama’ah memperingatkan umat dari orang
tersebut setelah terlebih dahulu menasehati dan memberikan penjelasan
kepadanya.
11. Ahlu Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang mengkafirkan
pelaku-pelaku maksiat hanya semata-mata karena kemaksiatannya atau karena
menyelisihi pemahamannya, maka dia (yaitu orang yang mengkafirkan tersebut,
ed) adalah seorang ahlu bid’ah yang sesat dan merupan cikal bakal firqoh
khowarij.
12. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah syirik terbagi dua, yaitu syirik besar dan
syirik kecil. Demikian pula kekufuran terbagi dua, yaitu kufur i’tiqodi9 dan kufur
8
Kecuali orang-orang yang telah dikabarkan secara khusus dan dilandasi dalil.
9
Yaitu kekufuran secara keyakinan atau secara keimanan.
27
amali10, sama halnya dengan kemunafikan yang terbagi menjadi dua, yaiitu nifaq
i’tiqodi11 dan nifaq amali12. Perbuatan-perbuatan tercela seperti kedzoliman,
kefasikan, dan yang lainnya juga terbagi dua, yaitu besar dan kecil. Yang besar
mengeluarkan pelakunya dari Islam sedangkan yang kecil tidak 13. Menurut Ahlu
Sunnah wal Jama’ah sebagain kufur amali dapat mengeluarkan pelakunya dari
Islam, meskipun secara umum istilah kufur amali digunakan para ulama untuk
perbuatan kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.
13. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, barangsiapa yang bertaubat dari dosanya
dengan taubat yang benar, maka Alloh Subhanahu wa ta’ala akan
mengampuninya. Adapun jika dia menemui Alloh Subhanahu wa ta’ala (yaitu
pada hari kiamat kelak, ed) dalam keadaan berdosa, selama itu bukan dosa syirik,
maka dia berada di bawah kehendak Alloh Subhanahu wa ta’ala, jika Alloh
menghendaki untuk mengazabnya, maka dia akan diazab, dan jika Alloh
Subhanahu wa ta’ala menghendaki untuk mengampuninya maka dia akan
diampuni.
14. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Islam melarang perpecahan kaum
muslimin menjadi firqoh-firqoh, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan,
bahkan Islam mengharuskan seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada
Alloh Subhanahu wa ta’ala dan bersatu di atas manhaj Salafush Sholih, bukan di
atas pemahaman ustadz ini atau ustadz itu, atau syaikh ini atau syaikh itu. Adapun
selain Ahlu Sunnah memandang bahwa kelompok-kelompok yang berpecah belah
ini adalah sebuah fenomena yang sehat. Hanya kepada Alloh sajalah tempat
mengadu, kapan bisa terjadi sebuah perpecahan merupakan jalan untuk
persatuan???
16. Ahlu Sunnah wal Jama’ah melihat adanya suatu pertanda buruk dari
fenomena bermunculannya kelompok-kelompok dakwah yang memiliki
metode yang beaneka ragam, ruwet, dan kacau. Oleh karena itu, wajib bagi
pencari kebenaran untuk sadar akan hal ini. Dan kesadaran ini hanya bisa
10
Yaitu kufur (ingkar) secara perbuatan, sementara hatinya membenarkan
kebenaran tersebut, hanya saja dia lebih memilih mengikuti hawa nafsu.
11
Yaitu munafik yang menampakkan keislaman secara lahiriyah, namun hatinya
mengingkari Islam.
12
Yaitu kemunafikan secara amal yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam,
seperti yang dijelaskan ciri-cirinya seperti berdusta, berkhianat, dan ingkar janji.
13
Kecuali dosa (perbuatan tercela) besar yang tidak diiringi penghalalan atas dosa
tersebut, maka hal ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, wallohu a’lam.
14
Inilah alasan mengapa Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak menolong kaum
muslimin yang berkadwah dengan cara yang menyelisihi sunnah, seperti dakwah
demokrasi dan lainnya, karena dakwah-dakwah tersebut bukan hanya
mengganggu dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, tetapi bahkan merusak dakwah
Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
28
17. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyeru kepada persatuan dan tolong menolong,
maka yang mereka maksud adalah berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As
Sunnah serta tolong menolong di atas kebaikan dan takwa. Keduanya sama
urgennya di dalam dakwah ini. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak akan meneyeru
persatuan di atas kesesatan. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mengajak kepada
sesuatu yang bisa mencerai beraikan kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan
mereka sehingga membuat gembira musuh-musuh Islam. Tetapi Ahlu Sunnah wal
Jama’ah menyeru kepada persatuan, kesatuan, dan kerukunan di atas Sunnah
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallami dan di atas kebenaran yang terang.
Apabila bertabrakan dua hal ini, yaitu antara urgensi persatuan dan Sunnah
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, maka terkadang Ahlu Sunnah wal
Jama’ah mendahulukan urgensi persatuan dan kadangkala mendahulukan urgensi
berpegang kepada Sunnah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sesuai
dengan situasi, kondisi, dan keadaan serta memperhitungkan maslahat dan
mafsadat (kebaikan dan keburukan) berdasarkan kaidah-kaidah yang dibangun
oleh para ulama, baik yang dahulu maupun sekarang dan masing-masing kondisi
mempunyai sandarannya di dalam As Sunnah. Adapun selain Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, jika mereka menyeru kepada persatuan, maka persatuan yang dimaksud
adalah persatuan di atas prinsip-prinsip hizbiyah (golongan) dan bai’at untuk
pemimpin mereka dan berdakwah metode ala mereka, tanpa memandang apakah
sesuai dengan manhaj Salaf atau tidak.
18. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mewajibkan untuk mentaati penguasa dalam segala
hal baik suka maupun terpaksa, kecuali di dalam kemungkran dan kemaksiatan
kepada Alloh.
20. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, seorang yang mendambakan kebaikan
bagi para penguasa dan kaum muslimin adalah seorang yang selalu memberi
nasehat kepada mereka (yaitu kepada penguasa, ed) walaupun pada diri penguasa
tersebut terdapat penyimpangan jika mereka salah. Dan selalu menolong mereka
jika mereka berada di atas kebenaran, selalu memaafkan mereka jika mereka
29
bersalah, selalu menutup aib mereka di hadapan khalayak ramai, serta selalu
mengingatkan mereka kepada Sunnatulloh, bahwa Alloh Subhanahu wa ta’ala
akan meninggikan derajat orang yang berlaku adil dan menghinakan orang-orang
yang dzolim. Jika mereka sadar, maka ini adalah karunia dari Alloh Subhanahu
wa ta’ala bagi kaum Muslimin, tetapi jika tidak maka kita harus bersabar,
bersikap tenang, dan takwa serta berdo’a kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala agar
sungguh-sungguh menunjukkan kepada para penguasa kebenaran dan
menganugerahkan kepada mereka pembantu-pembantu yang sholih, hati-hati
mereka yang bersih, dan mebuka pintu hati mereka untuk menerima dan
melaksanakan kebenaran. Semoga Alloh merahmati Fudhail bin ‘Iyadh
Rohimahulloh yang berkata: “Seandainya aku memiliki do’a yang mustajab (pasti
dikabulkan, ed), maka aku khususkan untuk pemguasa, karena kebaikan mereka
adalah bagi negeri dan masyarakat.”
21. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mencela, menghujat, dan melaknat para
penguasa di atas mimbar-mimbar bukan merupakan manhaj Salafush Sholih.
22. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menekankan untuk selalu bersabar terhadap
kejelekan para penguasa walaupun mereka bertindak sewenang-wenang. Ahlu
Sunnah wal Jama’ah juga tidak mengharapkan materi dunia dari penguasa. Dan
Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandang wajib menasehati para penguasa tanpa
harus menyiarkan aib, tanpa menghujat, dan tidak pula berbuat keruskan di muka
bumi.
23. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah umat Islam itu bagaikan burung dengan
kedua sayapnya. Sayap yang salah satu adalah para ulama sedang sayap yang lain
adalah penguasa. Burung tersebut tidak akan sampai ke tujuan dengan selamat
kecuali dengan dua sayap tersebut. Tugas para ulama adalah menjalaskan
perintah-perintah Alloh Subhanahu wa ta’ala dan tugas para penguasa adalah
memerintahkan umat untuk melaksanakannya. Jika terdapat kekurangan pada
mereka (penguasa dan ulama) maka hendaknya dimusyawarahkan untuk mencari
solusi terbaik bagi kaum Muslimin. Bukan dengan cara demonstrasi atau unjuk
rasa, bukan pula dengan berburuk sangka kepada para ulama.
24. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidal menolak kebaikan dan kebanran yang ada
pada kelompok-kelompok yang menyelisihinya, jika memang itu suatu kebenaran
dan kebaikan.
25. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membenarkan adanya taklid buta kepada
perkaaan seseorang, karena semua orang dapat diambil atau ditolak ucapannya,
kecuali Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan apa-apa yang telah benar
diseakati umat ini. Karena sesungguhnya umat ini tidak akan bersepakat di atas
kesesatan. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mencintai seluruh Imam Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, dan mengikuti mereka jika dalil yang kuat ada pada mereka. Ahlu
Sunnah wal Jama’ah tidak mengkhususkan salah satu dari mereka untuk diikuti.
Ahlu Sunnah wal Jama’ah selalu berusaha untuk memberantas fanatik mazhab
atau golongan.
30
26. Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa kaidah menimbang maslahat
dan mafsadat mempunyai batasan dan ketentuan tertentu. Banyak orang yang
berusaha menggunakan kaidah ini dengan tidak pada tempatnya.
27. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mewajibkan umat untuk merujuk kepada ulama,
sebab jika tidak demikian, maka akan terbuka pintu kesesatan dan akan terjauhkan
dari hidayah. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak menyeru kepada taklid buta dan
tidak membenci dengan membabi buta. Umat harus sadar bahwa kedudukan
mereka jauh di bawah para imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka hendaknya
mereka selalu mengmbil sikap tengah karena kebenaran senantiasa ada pada sikap
tengah.
28. Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyeru kaum Muslimin untuk menimba ilmu
syar’i. Tapi hendaknya semua harus diraih sesuai dengan kewajiban dan
kemampuan.
30. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mengharamkan ilmu pengetahuan umum
yang bermanfaat, bahkan Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai
amalan yang dibolehkan sunnah, bahkan hukumnya wajib bagi sebagian orang
pada suatu waktu tertentu. Karena sesungguhnya urusan dunia telah dibuka
seluas-lusanya bagi kita dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at. Nabi
Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu lebih mengetahui urusan
duniamu.”
31. Ahlu Sunnah wal Jama’ah juga tidak mengharamkan jabatan-jabatan di dalam
pemerintah seperti pegawai negeri dan sejenisnya, dengan syarat tidak
menyelisihi syari’at.
32. Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, politik yang sesuai dengan prinsip
Salafush Sholih adalah sebuah perkara yang agung di dalam agama. Memisahkan
antara politik-agama berarti telah menyimpang dari agama.
33. Ahlu Sunnah wal Jama’ah mengutamakan kelembutan dalam berdakwah dan
memberikan nasehat kepada masyarakat umum, karena mereka juga menghendaki
kebaikan. Mereka pada dasarnya adalah aset yang berharga. Boleh jadi mereka
lebih berguna bagi islam dan kaum Muslimin apabila Alloh Subhanahu wa ta’ala
telah membuka hati mereka untuk mererima kebaikan.
31
Akhi (dan Ukhti, ed), sesungguhnya dalam masalah persatuan ini kita
harus melihat kembali dalil-dalilnya. Karena setiap Alloh dan Rosul-Nya
Sholallohu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang Al Jama’ah (persatuan) selalu
dihubungkan dengan: siapa yang dipersatukan dan apa dasar persatuannya?
“Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat maka
(mereka) adalah saudara-saudara kalian dalam agama.” (QS. At Taubah: 11)
Jadi bukanlah memecah belah persatuan apabila Abu Bakar Ash Shiddiq
Rodhiallohu’anhu memerangi kaum muslimin yang menolak untuk membayar
zakat, dan begitu pula Ali bin Abi Tholib Rodhiallohu’anhu yang memerangi
firqoh khowarij. Bahkan sebaliknya beliau –Abu Bakar dan Ali
Rodhiallohu’anhuma- memerangi dalam rangka mempersatukan mereka kembali
dalam satu jama’ah, yaitu Al Jamaah yang Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya ada di atasnya.
“Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Alloh dan jangan berpecah belah.”
(QS. Ali Imron: 103)
Ibnu Katsir Rohimahulloh berkata, bahwa yang dimaksud ‘tali Alloh’ ialah
janji Alloh. Dikatakn pula bahwa tali Alloh ialah Al Qur’an dengan lafadz ‘jangan
berpecah belah’ menunjukkan perintah untuk berjama’ah dan melarang
perpecahan.
“Dan inilah Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah (jalan itu) dan jangan mengikuti
jalan-jalan lain (subul) sehingga kalian akan berpecah dari jalan Alloh.” (QS. Al
An’am: 153)
15
Juga perhatikan, ketika Alloh menyebut Jalan-Ku, Dia menyebutnya dalam
bentuk tunggal yang menunjukkan jalan itu hanya satu. Sedangkan ketika
menyebut Subul, Dia menyebutnya dalam bentuk jamak yang menunjukkan
banyaknya jalan kesesatan itu.
33
=> Menyelisihi Al Qur’an adalah perselisihan dan perpecahan setelah tegak hujjah
atas mereka. Dan ini adalah perpecahan umat terdahulu yang telah Alloh cela.
Alloh Azza wa Jalla melarang umat ini untuk berpecah dan berselisih seperti
mereka.
=> Keluar dari Shirothol mustaqim berarti juga memecah belah agama dan
menyebabkan tafarruq (perpecahan).
“Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang akan mencerai beraikan
kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am: 153)
Penjelasan tentang ayat ini terdapat dalam riwayat yang shohih dalam
musnad Ahmad Rohimahulloh dan lainnya dari Ibnu Mas’ud Rodhiallohu’anhu,
yaitu setelah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam menggambarkan garis-garis
di kanan dan di kiri dari garis yang lurus, beliau bersabda:
“...dan ini adalah as subul (jalan-jalan), tidak ada satu pun dari padanya kecuali
ada syaiton yang mengajak kepadanya...” (HR. Ahmad, Nasa’i, Darimi, dan
Hakim)
“Semua golongan tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para
sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani)
35
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Beribadahlah kepada Alloh (saja), dan jauhilah thoghut itu (apa
saja yang disembah selain Alloh). (QS. An Nahl: 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al Anbiya: 25)
“Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah
(hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Ada orang yang mengatakan, “Mungkin telah jelas kepada anda dari
tulisan-tulisan dan buku-buku kami, bahwa tujuan terakhir yang kita tuju dari
perjuangan ini adalah mengadakan revolusi kepemimpinan. Yang kami maksud
adalah bahwa apa yang ingin kita raih di dunia ini adalah membersihkan bumi
persada dari noda-noda kepemimpinan orang-oranf fasik dan durhaka, dan kita
tegakkan di dunia ini sistem pemerintahan yang shohih dan lurus. Maka usaha dan
perjuangan yang berkesinambungan inilah yang kami anggap sebagai sarana yang
terbesar dan tersukses untuk meraih ridho Alloh Ta’ala dan mencari pahala
36
melihat wajah-Nya yang tertinggi di dunia dan akhirat.” (Al Ususul Akhlaqiah lil
Harokah Al Islamiyah, hal 16)
Padahal: “Mungkin akhi (dan ukhti, ed) yang budiman, yang bijaksana lagi
paham, serta memperhatikan sepak terjang dakwah para Rosul semenjak yang
pertama sampai yang terakhir, tidak mengetahui bahwa inilah (maksudnya
dakwah tauhid, ed) perjuangan para Nabi yang mereka perjuangkan. Dan tidak
mengetahui bahwa usaha dan perjuangan tersebut merupakan sarana terbesar dan
tersukses untuk meraih ridho Alloh dan mengharap pahala melihat wajah-Nya.
Bahkan sebenarnya sarana terbesar dan tersukses untuk meraih ridho Alloh
adalah mengikuti jalan dakwah seluruh Nabi (yaitu dakwah tauhid, ed) dan
meniti langkah di dalam membersihkan bumi dari kerusakan dan
kemusyrikan. Dan juga sarana yang terbesar adalah Islam dan Iman beserta
rukun-rukunnya yang telah dikenal.” (Manhajul Anbiya’ fid Dakwah Ilalloh,
hal 140, Syaikh Robi’ bin Hadi al Madkholi Hafidzahulloh)
Ternyata kita juga perlu meluruskan langkah kita, seandainya kita salah,
memang kita harus kembali kepada al haq (kebenaran), karena rujuk kepada al
haq itu lebih baik daripada bertahan di atas kebatilan.
37
Alloh Ta’ala telah menjelaskan kepada kita misi dakwah para Rosul yang
diutus-Nya. Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Beribadahlah kepada Alloh (saja), dan jauhilah thoghut itu (apa
saja yang disembah selain Alloh). (QS. An Nahl: 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al Anbiya: 25)
Dari uraian ayat-ayat di atas jelaslah bahwa misi dakwah para Rosul
adalah menegakkan kalimat tauhid dan memberantas penyakit-penyakit
syirik (menyembah selain Alloh dan syirik-syirik lainnya seperti: riya’, sum’ah,
ujub). Tidak ada satu nabi pun yang menjadikan kekuasaan sebagai misi
utamanya.
38
“Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang sholeh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An Nur: 55)
“Haa Miim. Diturunkan dari Robb yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk
kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa
peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan...”.
(Kisah ini diriwayatkan oleh Ibmu Ishaq dan dicantumkan oleh Ibnu Hisyam
dalam Sirohnya hal. 295-296)
Tiga pokok dasar di atas merupakan misi utama dakwah para Rosul. Dan
merupakan inti dari seluruh kitab suci yang diturunkan Alloh Subhanahu wa
ta’ala. Al Imam Asy Syaukani Rohimahulloh telah menjelaskan ketiga landasan
utama tersebut di dalam ‘Irsyaadul Fuhuul ‘Ilaa Ittifaaqiys Syraai’ ‘Alat Tauhid
wal Ma’aad wan Nubuwwat’, beliau membawakan dalil-dalil dari Al Qur’an,
Taurot, dan Injil.
16
Istilah agama samawi merujuk pada agama yang dinisbatkan pada wahyu,
walaupun agama seluruh Nabi adalah satu, yaitu Islam, sedangkan agama lainnya
adalah penyimpangan dari Islam.
40
Secara garis besar, surat tersebut menjelaskan ketiga landasan utama itu.
Dengan demikian jelaslah, kekuasaan bukan prioritas utama dakwah para Rosul.
Sebab jika memang demikian, Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam pasti
menerima tawaran yang disodorkan kaum Quraisy tersebut. Menurut logika orang
yang beranggapan bahwa kekuasaan adalah solusi terbaik untuk mengentaskan
seluruh problematika umat, tawaran kekuasaan tersebut mestinya diterima oleh
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam sebab hal itu merupakan jalan pintas
menuju kejayaan umat (menurut logika mereka)! Namun tidak begitu menurut
hikmah ilahiyah yang Alloh wahyukan kepada Rosul-Nya! Beliau tidak
berkeinginan memilih jalan yang menyimpang dari jalan Rosul-rosul sebelumnya.
Untaian ayat tersebut telah membuat ‘Utbah terpukau. Ayat tersebut
membungkam segenap kaum penentang bahwa tugas para utusan Alloh
Subhanahu wa ta’ala hanyalah menyeru umat manusia agar kembali ke jalan
Alloh Subhanahu wa ta’ala, kepada pengesaan Alloh dalam beribadah.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Alloh, mengerjakan amal yang sholeh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat: 33)
41
17
Hal ini perlu ditinjau ulang, karena di dalam Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Pustaka
Imam Asy Syafi’i, dikatakan bahwa utusan itu bernama Dahiyah bin Khalifah,
sedangkan Abu Sufyan saat itu diminta oleh Hiraklius untuk menjelaskan perihal
Rosululloh, lihat tafsir surat Ar Ruum.
42
Majinnah pada musim haji di Mina. Beliau menyeru: “Siapakah yang sudi
melindungiku! Siapakah yang sudi menolongku! Agar aku dapat menyampaikan
risalah Robb ku, maka baginya surga!” Sampai-sampai jika seseorang hendak
berangkat dari Yaman atau Mudhar menuju Makkah, maka kaumnya akan
mendatanginya seraya memberi tahu: “Hati-hati terhadap pemuda Muhammad itu,
janganlah kamu terpengaruh ucapannya!” Demikianlah kondosinya! Beliau
mendatangi orang-orang sedangkan mereka meremahkan beliau. Hingga akhirnya
Alloh mengutus kami dari Yatsrib (Madinah). Kami pun bersedia melindungi
beliau dan membenarkan ucapan beliau. Sehingga salah seorang dari kami datang
menemui beliau lalu dia beriman kepada beliau dan beliau membacakan
kepadanya Al Qur’an. Kemudian dia kembali kepada keluarganya mengajak
mereka masuk Islam, akhirnya mereka juga ikut masuk Islam. Hingga tidak tersisa
satu rumah pun milik orang Anshor kecuali terdapat beberapa orang yang telah
menampakkan keislamannya. (HR. Ahmad 3/322)
1. Yang membuat hukum Islam adalah Alloh. Sedangkan demokrasi dibuat oleh
manusia kafir, munafiq lagi jahil.
2. Islam adalah agama yang sempurna, yang lengkap mengatur hidup dan
kehidupan manusia (Al Maidah: 3). Oleh karena itu tidak boleh dan tidak
mungkin diadakan pendekatan antara Islam dengan demokrasi walaupun dalam
bagian yang terkecil sekalipun.
1. Syuro adalah hukum Alloh. Sedangkan demokrasi ciptaan manusia kafir yang
selamanya benci dengan Islam.
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqoroh: 120)
2. Syuro ditegakkan demi kemashlahatan umat yang diputuskan oleh ahli hilli wal
aqdi, yang tediri dari para Ulama (orang alim/berilmu) pewaris para Nabi.
Sedangkan demokrasi ditegakkan demi kekuasaan dan kefanatikan terhadap
golongan yang diputuskan oleh orang-orang kafir, musyrikin, ahli maksiat, laki-
laki maupun perempuan meskipun di parlemen itu terdapat kaum muslimin
bahkan ahli agama. Bercampur baur (orang Islam dan berbagai macam orang
kafir) bergabung bersama-sama dalam menentukan pilihan dengan suara
terbanyak.
3. Ahli syuro di dalam Islam tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal, dan tidak mengatakan yang haq itu batil atau yang batil itu haq.
Keadaan ini secara sempurna seratus persen menyalahi para pengikut demokrasi,
mereka telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan
mengatakan yang haq itu batil atau mengatakan yang batil itu haq (dan hal ini
sangat wajar karena yang menentukannya terdiri dari berbagai macam orang, ada
yang bodoh, pintar, yang Islam, dan yang kafir, dan ditambah pula dengan
berbagai macam kepentingan).
4. Syuro di dalam Islam jarang terjadi dan hanya di dalam beberapa urusan yang
musykil (sukar diputuskan dan dipahami). Adapun di dalam perkara-perkara yang
telah ada ketetapannya dari Alloh dan Rosul-Nya (Al Qur’an dan Sunnah), maka
tidak diadakan syuro. Sedangkan demokrasi diletakkan sebagai asas yang
mengatur seluruh kehidupan berdasarkan undang-undang yang telah dibuat,
sehingga manusia yang hidup di satu negeri dengan sistem demokrasi tidak boleh
keluar atau bertentangan dengan undang-undang tersebut.18
18
Ada kasus menarik mengenai poin ketiga dan keempat ini. Ketika suatu
PARTAI yang KATANYA sesuai SYARI’AT mengiklankan partainya dengan
menampilkan wanita tanpa hijab, maka muncullah pro kontra tentang itu.
Anehnya, beberapa (jika tidak mau dikatakan banyak) orang yang pro terhadap
hal tersebut beralasan bahwa hal itu telah melalui pertimbangan syuro para
qiyadah mereka. Aku tidak tahu apakah klaim ini benar-benar terjadi atau sekedar
pembelaan membabi buta dari orang-orang yang hampir buta (jika tidak ingin
dikatakan telah buta). Namun, jikalau pun syuro (versi mereka tentunya) dalam
hal tersebut memang ada, maka aku katakan bahwa masalah aurat adalah masalah
yang telah jelas nash nya, jadi tidak perlu lagi ada syuro untuk membahasnya.
Terlebih alasan “Untuk menarik orang awam” yang alasan ini berbau prinsip
yahudi “Tujuan menghalalkan segala cara” yang sangat kental pada kasus iklan
tersebut. Dan akhirnya aku ingin bertanya pada orang-orang yang melakukan
46
pembelaan dengan membabi buta itu, sebenarnya siapa Tuhan kalian, Alloh
ataukah para qiyadah kalian?!?
19
Ikhwanul Muslimin, yang pemikirannya banyak bercokol dibanyak aktivis
kampus.
20
Dan anehnya orang-orang ini masih sempat berkoar tentang ghozwul fikr dalam
keadaan mereka sendiri adalah korban ghozwul fikr.
21
Bahkan sebagian mereka berkoar “Ah, itu kan masalah kulit”, “Ah, masalah
ringan saja dibesar-besarkan”, dan lainnya. Maka hendaklah mereka berpikir,
bagaimana mereka akan mengangkat beban yang berat, jika yang ringan saja
mereka tidak becus mengurusnya.
22
Demikian pula halnya demonstrasi, sangat tidak sesuai dengan prinsip Islam
karena beberapa sebab:
1. Islam menjaga ketertiban, sementara demonstrasi mengganggu ketertiban,
membuat macet jalan, ‘nyampah’, bahkan tidak sedikit yang membuahkan
tindakan anarkis. Meskipun ada yang berdalih ‘aksi damai’, namun:
2. Islam memuliakan wanita sehingga menempatkan mereka di tempat yang aman,
yaitu rumah-rumah mereka. Namun demonstrasi mengeluarkan mereka ke jalan-
jalan untuk ditonton banyak orang, bahkan tidak sedikit oknum (jika tidak mau
dikatakan banyak) yang sengaja memajang diri di depan kamera-kamera
wartawan layaknya foto model yang tidak lagi memiliki rasa malu!
3. Demian pula terkadang (jika tidak ingin dikatakan sering) anak-anak kecil pun
dilibatkan dalam aksi, duhai kasian sekali anak-anak ini, di masa-masa yang
seharusnya mereka dididik agar menjadi orang yang baik, namun justru mereka
telah dilatih untuk menjadi penetang pengusasa, wallohu musta’an.
4. Tidak sedikit (jika tidak ingin dikatakan banyak) dalam demonstrasi terjadi
celaan-celaan kepada para penguasa yang muslim, padahal Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut.
47
5. Demikian pula sering (jika tidak ingin dikatakan selalu) terjadi ikhtilath dalam
demonstrasi, padahal Islam melarangnya, wallohu a’lam.
48
Tentu saja, aqidah yang benar adalah jaminan kemenangan umat yang
mulia ini. Dapat kita teladanai dari gambaran masyarakat Madinah yang dibina
langsung oleh Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Dalam riwayat
Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami Rodhiallohu’anhu disebutkan bahwa
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya: “Di mana Alloh?”
kepada seorang budak wanita yang sehari-harinya mengembalakan kambing di
Jawwaniyah. Ternyata budak itu dapat menjawab dengan tepat tanpa sedikitpun
keraguan dalam menjawabnya. Artinya adalah keyakinan dan aqidah seperti itu
sudah merata di kota Madinah, hingga seorang budak wanita yang bekerja sehari-
harinya mengembalakan kambing jauh di luar kota juga mengetahuinya. 23 Dengan
23
Kisah tentang budak wanita tersebut adalah hadits yang menerangkan
pertanyaan Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam berikut:
“Di mana Alloh?” Ia menjawab: “Alloh itu di atas langit.” Lalu Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah
Rosululloh”, jawabnya. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.” (Hadits
Shohih Riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142).... -dan lainnya-, di
dalam Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qodir Jawas,
Pustaka Imam Asy Syafi’i, hal 198).
Sekarang bandingkan dengan keadaan saat ini, di mana kita akan dapatkan ada
yang berkata “Alloh ada di mana-mana”, “Alloh ada di setiap benda”, “Alloh ada
dalam hati saya”, “Alloh telah bersatu dengan saya (pemahaman wahdatul
wujud)”, dan lain-lain ungkapan yang menunjukkan jauhnya kaum muslimin dari
aqidah yang sederhana ini. Hal ini menunjukkan jauhnya kebanyakan kaum
muslimin dari ajaran agama mereka, bahkan dari Al Qur’an, karena dalam banyak
ayat Alloh mejelaskan aqidah ini, seperti firmannya dalam ayat-ayat berikut:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Alloh yang di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?” (QS. Al Mulk: 16)
“ Sucikanlah nama Robbmu yang Maha Tinggi.” (QS. Al A’la:1)
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Alloh-lah kemuliaan itu
semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
sholeh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi
mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Faathir:
10)
“(Yaitu Robb) yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.
Thoha: 5)
Maka, apakah dalam keadaan seperti ini kita masih meneriakkan kebangkitan
Islam? Bangkit dari mana wahai teman? Apakah kita akan bermimpi Islam akan
bangkit sementara kebanyakan kaum muslimin berpaling dari agamanya? Di saat
banyak da’i yang bukannya berjuang menegakkan syari’at, tetapi malah sibuk
rebutan suara?
Ya akhi, ya ukhti, ingatlah bahwa janji Alloh itu bersyarat, Dia menjanjikan
kejayaan pada kita dengan syarat kita menolong agama-Nya. Ketahuilah,
menolong agama Alloh adalah dengan mengamalkannya. Maka bagaimana
49
masyarakat seperti itulah agama Islam mencapai kejayaan. Hingga daulah mereka
terbentang dari Andalusia (Spanyol sekarang, ed) sampai negeri Cina. Benarlah
janji Alloh dalam surat An Nur: 55 di atas tadi24. Sekarang kita lihat kondisi
kaum muslimin sekarang ini, terutama di Indonesia, apakah mereka mengetahui
aqidah yang sederhana tadi? Cukup realita yang menjawabnya!
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Alloh
akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqoroh: 137)
Adapun orang yang tidak masuk tanzhim ini, akan tetapi dia mengikuti
dalil dari Kitab dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, dari para Sahabat
Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik sampai hari kiamat, maka dialah orang yang suka mengkafirkan,
dialah orang yang suka membid’ahkan, dialah orang yang bodoh dengan waqi’
(fakta), dialah orang yang tekstual, dialah orang yang memihak pemerintah, dialah
yang suka memecah belah... dialah... dialah... dll.
Oleh karenanya saya katakan: Sebaiknya kamu tahu wahai akhi (dan ukhti,
ed), mudah-mudahan Alloh menyelamatkanmu. Bahwa perbedaan yang mencolok
antara jama’ahmu dan jama’ah ahli haq dalam masalah ini, bahwasanya dilihat,
loyalitas mereka (jama’ah ahli haq, ed) adalah untuk Alloh dan Rosul-Nya
Sholallohu ‘alaihi wa sallam, serta orang-orang yang beriman yang ittiba’ sampai
hari kiamat.
Adapun jama’ahmu (IM, HT, NII, dan lainnya, ed), maka loyalitasnya
adalah untuk Alloh dan Rosul-Nya Sholallohu ‘alaihi wa sallam, serta orang yang
masuk tanzhim kelomponya (IM (dan lainnya, ed)). Barangkali kata-kata terakhir
ini terasa amat berat di hatimu, akan tetapi itulah kenyataan yang tidak ada
keraguannya.
Kalau tidak demikian (maksudnya kalau penguasa bukan orang kafir, ed),
kami Ahli Sunnah wal Jama’ah bekerja sama dengan pemerintah Islam dengan
do’a dan nasehat kepada mereka dengan cara hikmah, penuh bijaksana dan
nasehat yang baik, tidak dengan demonstrasi dan revolusi. Dan kita taat kepada
mereka dalam suka ataupun duka, kecuali dalam kemaksiatan, maka tidak
ada ketaatan kepada mereka (dalam kemaksiatan itu, adapun ketaatan
secara umum dalam hal yang baik tetap ada, ed). Maka kami pun memberi
peringatan kepada orang yang keluar dari ketaatan terhadap mereka dari kalangan
kaum muslimin..! (untuk kembali taat kepada penguasa muslim, dan berhenti dari
pembangkangan berupa demonstrasi secara terang-terangan maupun dari apa yang
mereka lakukan secara rahasia dalam tanzhim- tanzhim mereka, ed).
Dan kami namakan mereka (orang yang keluar dari ketaatan terhadap
pemerintah Islam) orang-orang yang membangkang, dan kami hukumi mereka
sebagaimana layaknya orang-orang yang membangkang. Dalilnya:
26
Hal ini karena tanzhim merupakan ancaman bagi penguasa atas kekuasaannya,
telah tampak secara nyata dari orang-orang yang diduga kuat tergabung dalam
tanzhim ini kehausan mereka terhadap kekuasaan, dan apa yang tersembunyi di
dalam hati mereka hanya Alloh yang mengetahui. Padahal kekuasaan bukanlah
tujuan dakwah.
52
“Rosululloh mengajak kami, maka kami pun memba’iatnya dan beliau ambil dari
kami adalah agar kami memba’atnya atas dasar mendengar dan taat dalam suka
maupun duka, dalam keadaan susah atau pun mudah, dan dalam keadaan yang
tidak kita sukai atau kita inginkan, serta supaya kita tidak merampas kekuasaan
dari ahlinya, kemudian beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat kekafiran yang
sangat jelas oleh kalian dengan petunjuk dari Alloh Ta’ala.” (HR. Muslim)
Jawabnya:
2. Perkataan mereka bahwa Salafiyyah adalah salah satu jama’ah dari jama’ah-
jama’ah tanzhim, walaupun menentang tanzhim; dan termasuk jama’ah-jama’ah
hizbiyyah, walaupun menolak tahazzub (pengelompokkan).
Jawabnya:
Di sini saya katakan, sudah jelas bahwa kedustaan ini bertentagan dengan
syubhat pertama. Tetapi ini adalah kebiasaan ahli batil, para pendusta, dan para
pendengki dari kalangan hizbiyyin. Mereka mempertentangkan diri mereka
dengan pribadi mereka sendiri dengan bersandarkan kepada kedustaan dan
rekayasa. Karena mereka tidak mampu untuk membantah dengan bantahan yang
ilmiah dan benar terhadap ahlu haq tentang apa yang mereka (ahlu haq, ed)
27
Oleh orang-orang yang tidak mengenal Ahlu Sunnah, atau orang-orang yang
membenci Ahlu Sunnah.
28
Padahal tidak demikian, karena Ahlu Sunnah juga melakukan amal jama’i dan
juga tanzhim, namun yang sesuai Kitab dan Sunnah.
29
Demikian pula tidak benar jika dikatakan Salafiyyah anti politik, karena dalam
Islam sendiri ada Siyasah Syar‘iyyah (Politik Syar‘i). Namun yang kami ingkari
adalah politik yang bertentangan dengan syari’at, dan demokrasi adalah salah
satunya.
54
Tujuan mereka (para hizbiyyin, ed) dari kedustaan ini jelas sekali, mereka
ingin menggambarkan kepada orang-orang yang bergabung di dalam jama’ah
mereka bahwa Salafiyyah adalah hizb seperti hizb-hizb yang lain. Keadaan
Salafiyyah seperti keadaan mereka. Masing-masing menyempurnakan sebagian
atas sebagian yang lain seperti yang mereka sangka. 30 (Anggapan mereka (para
hizbiyyin, ed) ini adalah kedustaan dan rekayasa. Hal ini daat dilihat dari beberapa
segi:
30
Oleh karena itu sebagian orang hizbiyyin yang didakwahi dengan dakwah
Salafiyyah akan mengeluarkan tameng mereka “Sudahlah, toh kita sama-sama
berjuang untuk Islam, meskipun berbeda kelompok, tidak perlu saling mengkritik,
dst dst...”
31
Maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa Salafiyyah adalah kelompok-
kelompok fisik yang disatukan dengan simbol-simbol hizbiyyah semacam IM, JT,
LDII, dan lainnya.
55
masalah adalah merupakan perdebatan yang tidak bermanfaat dan wajib untuk
ditinggalkan.
Jawabnya:
Perkataan ini tidak shahih dari Ali bin Abi Tholib Rodhiallohu’anhu. Itu
hanya dibuat-buat oleh harokiyyun (orang-orang pergerakan). Agama kita
merupakan agama yang teratur. Seandainya kita mau mempraktekkan agama
Islam secara benar dan keseluruhan sesuai yang diajarkan Nabi Sholallohu’alaihi
wa sallam beserta para Sahabatnya, kita akan merasakan bahwa kita diatur.
Adapun bila kita membuat aturan-aturan yang baru/bid’ah, yang kita tegakkan
wala’ dan baro’ (loyalitas dan berlepas diri), sekalipun dibangun di atas ba’iat-
ba’iat yang banyak, semua itu bukanlah termasuk agama Islam secuilpun. Kita
merupakan umat yang diatur dengan agama Islam. Muhammad bin Abdillah,
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa sallam, dialah yang mebangun pondasinya. Dan
kita (umat Islam) tidak butuh kepada harokah-harokah baru yang hanya memecah
belah umat.33
5. Perkataan mereka untuk bersikap netral/tidak ikut JT, IM, Salafy, dll.
Jawabnya:
32
Berbeda dengan dalih-dalih yang sebelumnya dia terima ketika dia masih
berada dalam hizbnya, lemah seperti sarang laba-laba.
33
Bukti bahwa harokah-harokah baru (seperti IM, HT, dan lainnya) memecah
belah umat adalah bahwa harokah-harokah ini mengajak pada persatuan
kelompoknya, dan bukan pada persatuan Islam. Tidakkah kalian lihat bagaimana
setiap firqoh mengatakan bahwa mereka lah yang benar? Tidakkah kalian lihat
bagaimana mereka mengangkat dan mempopelerkan nama mereka masing-
masing? Tidakkah juga kalian perhatikan bahwa masing-masing menerapkan
ba’iat pada pemimpin kelompoknya? Membuat kaum muslimin terkotak-kotak
dalam banyak sekali firqoh, yang satu sama lain saling menyalahkan. Lantas
persatuan apa yang mereka inginkan dengan memecah belah umat seperti ini?!
56
Bila netral yang dimaksud adalah tidak ikut-ikutan firqoh tetapi mencukupkan
hanya kepada Al Qur’an dan Sunnah saja dan keduanya ditafsirkan oleh
akal/hawa nafsu mereka masing-masing, maka tidak diragukan lagi ini adalah
bid’ah dalam cara/metode pengambilan hukum karena bertentangan dengan Al
Qur’an dan hadits yang memerintahkan untuk mengikuti pemahaman salaf dan
ancaman bagi yang tidak mengikutinya. (Lihat lagi Mengapa Kita Harus
Bermanhaj Salaf).
Mereka itu dapat digolongkan sebagai pengikut hawa nafsu apabila ada
dari Al Qur’an dan Sunnah yang cocok dengan akal/hawa nafsunya saja yang
diambil, sementara yang tidak sesuai dengan keinginan akal/hawa nafsunya
mereka lemparkan. Dan sudah jelas cara seperti ini akan menimbulkan bid’ah
baik berupa keyakinan atau perbuatan atau kedua-duanya di dalam agama.
Dari bentuk-bentuk bid’ahnya ini, mesti akan terlihat apakah dia termasuk
ke mu’tazilah, ke khowarij, ke JT, ke IM, ke sufi, atau ke yang lainnya baik
disadari ataupun tidak disadari.
generasi pada masa turunnya wahyu, generasi yang dibina dan dibimbing
langsung oleh Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam. Generasi yang telah nyata
kebaikan dan kebenaran pemahaman agamanya berdasarkan Al Qur’an,
Sunnah, dan para Sahabat itu sendiri.
Bila netral yang dimaksud adalah beragama berdasarkan pada Al Qur’an dan
Sunnah dengan pemahamannya para Sahabat dalam aqidah dan manhaj secara
keseluruhan dan menerimanya secara lahir dan batin maka dia adalah seorang
Salafy (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) pada kenyataannya (meskipun ia tidak
pernah berkata “Saya Salafy”, karena salafy bukanlah sekedar pengakuan,
akan tetapi Salafy adalah komitmen untuk berpegang teguh pada Al Qur’an
dan Sunnah menurut pemahaman para Sahabat Rodhiallohu’anhum, ed).
6. Perkataan mereka bahwa: kalau ingin belajar ilmu aqidah maka tanya sama
salafy, politik tanya IM, atau JT bila ingin manajemen kalbu. Dengan caranya ini
mereka ingin menyatukan jama’ah-jama’ah yang ada agar dapat saling menutupi
kekurangan pada masing-masing jama’ahnya.
Jawabnya:
34
Agama kita bukanlah “rujak” campuran dari berbagai macam jama’ah
sempalan. Oleh karena itu kita tidak butuh pada jama’ah-jama’ah sempalan,
karena semua kebaikan telah terkumpul pada jama’ah para Sahabat dan orang-
orang yang mengikuti mereka. Kita tidak butuh mengambil kebaikan-kebaikan
yang ada pada jama’ah sempalan, karena semua kebaikan sudah ada pada
jama’ahnya para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka.
35
Bahkan seharusnya dikatakan kepada JT, IM, HT, dan lainnya agar mereka
meninggalkan jama’ah-jama’ah mereka yang bercampur di dalamnya kebaikan
dan keburukan, lalu kembali kepada jama’ah Sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka, yang jama’ah ini tidak lain isinya adalah kebaikan dan
kebaikan, tanpa bercampur sedikit pun dengan keburukan. Maka apalah butuhnya
orang-orang menggabungkan diri mereka dengan jama’ah-jama’ah sempalan yang
campur baur antara kebaikan dan keburukan di dalamnya, padahal telah ada
58
jama’ah para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka yang tidak
bercampur sedikitpun keburukan dalam jama’ah ini, karena jama’ah para Sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka tidak lain adalah kebaikan itu sendiri.
36
Sehingga tidak ada alasan kalau mau belajar politik ke IM, manajemen kalbu ke
JT, dan lainnya, karena semua bidang telah diajarkan oleh Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam kepada jama’ah para Sahabat.
37
Dan ketahuilah, semoga Alloh merahmatimu, bahwa manhaj dakwah para Nabi
dan Rosul adalah dakwah tauhid, yaitu meluruskan aqidah umat. Lantas
bagaimana manhaj dakwah yang haq ini ingin disatukan dengan manhaj dakwah
jama’ah-jama’ah sempalan yang sebagiannya melecehkan prinsip-prinsip dakwah
tauhid?
59
Dan apakah politik yang kebenarannya diukur dengan banyaknya jari yang
terangkat (voting) di MPR, meskipun terkadang voting tersebut menambah
kuatnya kemungkaran atau kesyirikan? Ataukah politik sebagaimana yang
dikehendaki oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Alloh. Dia telah memerintahkan agar kamu
tidak menyembah selain Dia. (QS. Yusuf: 15)
Salafiyah tidak ingin meraih al haq dengan cara yang batil. Karena, sebuah
tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Mereka tidak akan berjuang dengan
minta pertolongan kaum musyrikin, dan selamanya tidak akan berkumpul dengan
orang-orang munafik. Mereka menolak jumlah banyak yang bersifat seperti buih,
yang tidak menyandang syar’i secuilpun.
“Sehingga tidak terjadi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Alloh.” (QS. Al
Anfal: 39)
Untuk berjihad harus ada imam dan bendera Islam, juga pembinaan
robbaniyyah seputar jihad. Harus ada bekal dan kesiapan, berdasarkan ilmu,
keyakinan, dan sasaran yang jelas. Jika bendera telah tegak dan tujuan (sasaran)
jelas, maka salafiyyin tidak akan ketinggalan. Palestina, Chehcnya, Afgan,
menjadi saksi bagi mereka di sisi Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Ketika seorang da’i Salafy memerangi bid’ah dan ahli bid’ah, langsung
dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang keji tersebut. Karena memang di antara
prinsip ahlul bid’ah adalah mengumpulkan orang dengan membabi buta dengan
dalih menjaga persatuan kaum muslimin. Mereka tidak peduli dengan bentuk dan
jenisnya, tetapi yang penting kuantitas, bagaimana itu bisa terwujud? Akhi (dan
ukhti, ed)! Islam bukanlah ‘tong sampah’ yang semuanya masuk. Yang benar dan
yang sesat, yang harum dan yang busuk, yang kotor dan yang bersih, yang sunnah
dan yang bid’ah (bukan dari Islam) jadi satu. Islam tidaklah seperti itu. Islam
adalah mulia, maka hanya yang benar dan mulia saja yang diterima. Karena itu
kamu lihat mereka (sesama ahlul bid’ah, ed) berbasa-basi di hadapan ahlul bid’ah
(lainnya, ed) dan ahli kesesatan. Tetapi mereka tidak mau berdamai dengan
61
Jawabnya:
Perkataan ini kalau diteliti maka bukan mengajak kepada persatuan (di
atas kebenaran, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan
pemahaman/manhaj generasi terbaik yang dipersaksikan oleh Alloh dan
Rosul-Nya), malah bisa diartikan membolehkan Islam menjadi bergolong-
golongan/berpecah belah. Karena tidaklah mungkin al haq bisa bergabung
dengan al batil melainkan al haq akan rusak. Maka mengatakan yang
batil itu batil (syirik-bid’ah) dan yang haq itu haq (tauhid-sunnah)
adalah keharusan dan kewajiban. Bukan malah memecah belah umat
seperti yang disangka oleh sebagian saudara-saudara kita.
Bila sholat, menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid, dzikir, dan lain-
lain dianggap sebagai hal-hal kecil dan tidak penting, lalu apa yang
dikatakan hal-hal besar? Sementara Al Qur’an hampir keseluruhannya
berbicara tentang tauhid dan ibadah serta ancaman bagi pelaku kesyirikan
dan kedurhakaan. Apakah Al Qur’an hanya membahas masalah-masalah
kecil yang membuat umat terbecah belah? Subhanalloh, alangkah dustanya
perkataan ini!!
Bila memang kekuasaan (politik) lebih penting menurut mereka (IM, NII,
DI/TII, Hizbut Tahrir, dll yang sepaham dengan mereka), maka mengapa
Al Qur’an hanya sedikit sekali membicarakan hal itu dibanding dengan
masalah-masalah tauhid, syirik, sholat, dan lain-lain?
“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Alloh, patuh dan taat
sekalipun yang memerintahmu seorang budak habsyi. Sebab barangsiapa hidup
(lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena
itu, berpegang teguhlah pada Sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang
(mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah sekuat-kuatnya. Dan hati-
hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang
diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, (dan setiap yang
sesat tempatnya di neraka).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan At Tirmidzi, Hasan
Shohih)
(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
di neraka, dan satu golongan di surga, yaitu Al Jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang
lain)
“Semua golongan tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para
Sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani)
Hadits-hadits di atas ada sebagian orang yang miskin lagi fakir tentang
ilmu hadits mengatakan tidak shohih, padahal hadits-hadits tersebut masyhur di
kalangan ulama. Dan secara realita hadits-hadits tersebut sudah dapat akhi (dan
ukhti, ed) lihat pada zaman sekarang ini.
Al Qur’an dan hadits-hadits tersebut turun pada waktu umat Islam masih
satu, murni, dan belum terpecah belah. Dan Al Qur’an serta hadits-hadits ini
memberikan isyarat bahwa umat Islam akan bergolong-golongan sekaligus
menasehatkan kita untuk tidak bergolong-golongan lalu bangga dengan apa yang
ada pada golongannya (QS. Ar Ruum: 32). Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam
63
Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar bagi mereka yang ingin mencari
kebenaran dan takut akan kesesatan (neraka)!!!
64
Hadits ini tidak ada asalnya. Para muhadits sudah berusaha keras untuk
mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak menapatkannya. Sampai beliau
berkata: “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa ia berkata: “Hadits ini tidak
dikenal oleh para muhadits dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad
yang shohih, dhoif, atau maudhu.” Syaikh Zakaria Al Anshori Hafizhahulloh
menyetujui dalam ta’lid atas Tafsir Al Baidhawi.
Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu
Hazm Hafizhahulloh berkata setelah beliau mengisyaratkan bahwa ucapan ini
bukan hadits: “Ini adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu
rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim
pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan,
rahmat atau dibenci.”
Bahkan mereka (orang-orang yang tertipu dengan hadits palsu ini, ed)
berpendapat bahwa mazhab-mazhab imam tersebut sebagai syari’at-syari’at yang
bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu bahwa
pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali dengan
menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima yang lain yang
sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan!
Dengan ini (sadar atau tidak sadar, ed) mereka menisbatkan kepada
syari’at akan adanya kontradiksi. Ini merupakan bukti satu-satunya bahwa
pertentangan bukanlah dari Alloh Subhanahu wa ta’ala apabila mereka
memperhatikan firman Alloh:
“Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari Alloh, niscaya mereka mendapatkan
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisaa’: 82)
Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai agama yang tipis dan
takwa yang sedikit. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu
mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsoh 38 dalam ucapan
setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan oleh
nash-nash dari Alloh dan Rosul-Nya. Sehingga Al Qur’an dan As Sunnah
dikoreksi dan dipaksa untuk sesuai dengan hawa nafsunya. Bukan hawa nafsunya
yang dikoreksi (untuk tunduk), apakah sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah,
wallohu a’lam.
38
Yaitu mengambil pendapat-pendapat yang terasa paling mudah, namun dasar
pemilihannya adalah hawa nafsu, pendapat yang menurut hawa nafsu mereka
paling mudah atau paling cocok dengan keinginan mereka, maka itu yang mereka
ambil.
67
Yang saya tahu bahwa para ulama ada yang mewajibkan cadar dan ada
juga yang tidak mewajibkan. Ulama menyimpulkan hukum cadar ada dua, yaitu:
Ulama yang mengatakan afdhol, muka dan telapak tangan bukanlah aurot, namun
kalau mau ditutup itu lebih baik; ditutupnya ini tidaklah beralasan apakah manis
atau tidak (bukan berarti yang manis mesti ditutup sehingga yang tidak manis
tidak usah ditutup).
Menurut mereka, kata-kata “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”, adalah
pakaian luar, sehingga wajah termasuk yang harus ditutup. Selain itu mereka juga
beralasan karena berdasarkan kondisi dan fitnah yang timbul, baik oleh karena
lingkungannya yang mayoritas rusak moralnya atau karena wanita itu terlalu
manis sehingga dapat menggoda laki-laki.
Dan akhwat salafy khususnya di Palembang, ada yang bercadar dan ada
yang tidak bercadar, dan mereka tidak saling mencaci. Wallohu a’lam.
68
Mengenai hal ini sebaiknya akhi (dan ukhti, ed) membaca ‘Siroh
Nabawiyah dan Sahabat’. Di sana tidaklah ditemukan Sahabat
Rodhiallohu’anhum maupun Sahabiyah Rodhiallohu’anhunna yang bernasyid ria,
kecuali pada waktu dan keadaan tertentu yang tidak melalaikan atau dilarang
agama dan itu pun sifatnya hanya spontanitas saja. Artinya, tanpa adanya latihan
terlebih dahulu. Dan mereka pun tidak menjadikannya sebagai hobi atau
kebiasaan seperti orang-orang harokah yang menjadikannya sebagai pengganti
musik-musik yang haram, lebih-lebih sampai menggelar konser. Bahkan sekarang
sudah ditambah dengan alat musik, maka makin bertambahlah keharamannya.
Dan apabila sebagai penenang hati, maka apakah Al Qur’an tidak cukup
atau kurang berpengaruh terhadap hati? Padahal Al Qur’an dikatakan sebagai
69
obatnya hati dan sebagai penenang hati. Kecuali bagi orang-orang yang hatinya
sudah sakit atau mati.
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman, dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang zhalim selain kerugian.” (QS. Al Isro’: 82)
Maka tidaklah heran bila mereka malas melakukan ibadah (yang sunnah)
yang jelas-jelas diperintahkan agama, tetapi sangat bersemangat bila melakukan
bid’ah (yang dianggap agama padahal bukan dari agama). Memang sudah lazim,
bila seseorang mencintai bid’ah maka otomatis ia akan membenci sunnah yang
semisal dengannya, begitu pula orang yang senang dengan kesyirikan maka ia
akan sangat benci dengan tauhid.
Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘lahwal hadits’
(perkataan yang tidak berguna, ed) adalah nyanyian. Hasan al Bashri
Rohimahulloh berkata bahwa ayat tersebut turun dalam menjelaskan soal
nyanyian dan seruling.
“Nanti pasti ada beberapa kelompok dari umatku yang menganggap bahwa zina,
sutra, arak, dan musik hukumnyua halal, (padahal) itu semua hukumnya haram.
(HR. Bukhori dan Abu Daud)
“Sesungguhnya syaiton berkata kepada Alloh: “Ya Robbi, buatkan bagi saya
bacaan!” Jawab-Nya : “Bacaanmu adalah nyanyian.” Syaiton berkata lagi:
“Buatkan saya kitab!” Jawab-Nya: “Kitabmu adalah tato.” Syaiton berkata:
“Buatkan saya muazzin!” Jawab-Nya: “Muazzinmu musik.” Berkata syaiton:
“Buatkan saya rumah!” Jawab-Nya: “Rumahmu adalah wc.” Syaiton berkata
lagi: “Buatkan saya jerat!” “Jeratmu adalah wanita”. Syaiton berkata lagi:
“Buatkan saya makanan!” Jawab-Nya: “Makananmu adalah sembelihan yang
tidak disebut nama Alloh.”” (HR. Thobroni)
Islam tidak melarang sesuatu kecuali jika ada bahaya dari padanya, seperti
yang dikatakan oleh ulama-ulama sebagai berikut:
4. Para sahabat Imam Syafi’i seperti Abu Thayyib Ath Thobari, Syaikh Abu
Ishak, dan Ibnu Shubbagh Rohimahulloh mengingkari orang yang mengatakan
71
Aku melarangmu menyanyikan lagu. Orang itu bertanya, “Apakah lagu itu
haram?” Maka beliau Rodhiallohu’anhu menjawab, “Andai kata Alloh
memisahkan yang hak dari yang batil, maka di manakah lagu diletakkan di
antara keduanya?”
Aku mencela dan melarang mendengarkannya.
8. Asy Sya’bi Rohimahulloh berkata, “Orang yang menyanyikan lagu dan orang
yang mendengarkannya sama-sama dilaknat.”
10. Adh Dhahhak Rohimahulloh berkata, “Lagu itu merusak hati dan
mendatangkan kemurkaan Alloh.”
11. Yazid bin Al Walid Rohimahulloh berkata, “Wahai kaumku, jauhilah lagu,
karena lagu itu memupuk syahwat, menurunkan kepribadian, dapat memabukkan,
dan dapat mendorong kepada zina.”
Musik bagi jiwa seperti arak, karena bisa menimbulkan bahaya yang lebih
hebat dari arak itu sendiri
Adapun syirik terjadi, misalnya karena cinta kepada penyanyi melebihi cinta
kepada Alloh.
Peristiwa pembunuhan juga sering terjadi di arena pertunjukan musik. Ini
disebabkan karena ada kekuatan yang mendorong berbuat begitu, sebab
mereka datang ke tempat itu bersama syaiton.
Mendengarkan nyanyian dan musik tidak ada manfaatnya untuk jiwa dan tidak
mendatangkan kemaslahatan. Bahkan kerusakannya lebih besar dari pada
manfaatnya.
14. Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma berkata, “Tahukah kamu jika kelak hari
kiamat tiba, maka ada al haq dan al batil, lalu di mana tempat nyanyian?” Orang
yang berbicara pada Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma menjawab, “Ia bersama al
batil.” Dan Ibnu Abbas Rodhiallohu’anhuma pun membenarkannya.
16. Ibnu Qoyyim Rohimahulloh: Tidak seorangpun yang bisa (mungkin yang
dimaksud penulis makalah ini adalah “biasa”, wallohu a’lam, ed) mendengarkan
nyanyian kecuali hatinya munafik yang ia sendiri tidak merasa. Andai kata ia
mengerti hakikat kemunafikan pasti ia melihat kemunafikan itu di dalam hatinya,
sebab tidaklah mungkin berkumpul di dalam hati seseorang antara dua
cinta, yaitu cinta Al Qur’an dan cinta nyanyian, kecuali yang satu mengusir
yang lain. Sungguh kami telah membuktikan betapa beratnya Al Qur’an di hati
seorang penyanyi atau pendengarnya dan betapa jemunya mereka terhadap Al
Qur’an. Mereka tidak dapat mengambil manfaat dari apa yang dibaca oleh
pembaca Al Qur’an, hatinya tertutup dan tidak tergerak sama sekali oleh bacaan
tadi. Tetapi apabila mendengar nyanyian mereka segar dan cinta dalam hatinya.
Mereka tampaknya lebih mengutamakan suara nyanyian daripada suara Al
Qur’an. Mereka yang telah kena exses nyanyian ternyata adalah orang-orang yang
malas mengerjakan sholat, termasuk berjamaah di masjid (bagi laki-laki).
73
17. Ibnu ‘Aqil Rohimahulloh tokoh ulama yang bermazhab Hambali dan Ibnu
Hazm Rohimahulloh: Apabila yang menyanyi itu perempuan yang halal dinikahi
maka yang mendengarkan suaranya adalah haram.
20. Pendapat seluruh ulama Kufah, seperti Ibrohim, Asy Sya’bi, Hammad,
Sufyan Ats Tsaury Rohimahulloh dll. Begitu pula para ulama Bashroh
Rohimahulloh menyatakan, “Mendengarkan lagu adalah dosa dan tidak ada
perbedaan pendapat di antara mereka.”
Alat musik seperti piano, harpa, biola, gitar, dan lainnya adalah haram
menurut beberapa hadits.
Nyanyian dan musik adalah sarana besar zaman ini yang melahirkan banyak
fitnah.
Perkataan dua orang Sahabat besar ini tidak boleh menjadi pegangan bila
menyelisihi hadits Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Maka bagaimana mungkin
perkataan Yusuf Qordhowi dkk dijadikan dalil...? Jauh sekali.... Hujan apa lagi
yang dikhawatirkan Ibnu ‘Abbas Rodhiallohu’anhuma terhadap mereka
ini?!?....Allohu Akbar!!!
“Biarkan mereka, karena setiap kaum mempunyai hari raya, dan hari raya
kita adalah hari ini.” (HR. Bukhori)
2. Nyanyian yang diiringi terbang pada waktu nikah. Nabi Sholallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Yang membedakan antara halal (nikah) dan haram (zina) adalah memukul
terbang dan lagu-lagu pada waktu nikah.” (HR. Ahmad)
3. Nyanyian40 yang Islami pada waktu kerja yang mendorong untuk giat dan
rajin bekerja, terutama yang mengandung do’a. Hal ini pernah terjadi pada
waktu menggali khondak (parit) untuk persiapan perang khondak.
5. Alat musik yang dibolehkan hanyalah rebana, itu pun terbatas pada waktu hari
raya dan saat pernikahan serta khusus untuk kaum wanita (anak-anak) serta
bersifat spontanitas (bukan konser) dan tidak berlebih-lebihan.
6. Nyanyian seorang ibu untuk menidurkan anaknya yang masih kecil. (Tetapi
tidak dengan kata-kata/kalimat yang dilarang syar’i). Wallohu a’lam.
39
Demikian juga dalam masalah ini, Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidaklah
mengharamkan nyanyian secara mutlak, karena ada beberapa jenis nyayian yang
boleh dilakukan dengan batasan-batasan yang ada.
40
Nyanyian yang dimaksud di sini adalah nasyid yang dibolehkan syari’at, yaitu
mengeraskan dan/atau meninggikan suara disertai semacam pantun/puisi, bukan
dengan adanya irama seperti nyanyian-nyanyian yang kita kenal dewasa ini,
wallohu a’lam.
41
Idem.
75
Kesimpulan
Pertama, Salaf atau Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau Ahlu Hadits atau Ahlu
Atsar atau Ahlu Ittiba’ atau Ath Tho’ifah Al Manshuroh (kelompom yang
dimenangkan) atau Al Firqoh An Najiyah (golongan yang selamat) bukanlah suatu
aliran (aliran sesat/bid’ah) dari sekian banyak aliran sempalan yang ada dulu dan
sekarang yang disangka oleh kebanyakan orang. Ini adalah manhajnya Rosululloh
Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Rodhiallohu’anhum serta para
Imam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya) yang telah dikenal.
Kedua, para Nabi tidaklah diutus untuk menumbangkan suatu daulah dan
menegakkan daulah lainnya. Mereka bukanlah pengejar kekuasaan dan bukan
pula termasuk orang yang berlomba-lomba merebutnya. Mereka jauh dari intrik-
intrik politik yang menyimpang. Mereka hanyalah membawa hidayah bagi
semesta alam, menyelamatkan umat manusia dari kesesatan syirik dan bid’ah,
mengeluarkan umat dari alam kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.
Serta memperingatkan umat manusia dari murka Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Meraka tetap konsisten di atas jalur dakwah kepada jalan Alloh Subhanahu wa
ta’ala. Sebagaimana tawaran kaum Quraisy kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi
wa sallam yang secara tegas beliau tolak. Pernah juga ditawarkan kepada beliau,
apakah suka menjadi seorang Nabi merangkap raja ataukah menjadi seorang
hamba dan Rosul. Beliau lebih memilih menjadi seorang hamba dan Rosul.
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh Rodhiallohu’anhu, ia berkata:
Maka jelaslah bagi kita bahwa firqoh-firqoh itu timbul karena kebodohan
yang pada akhirnya mereka menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, baik secara
keseluruhan ataupun hanya sebagian-sebagian. Atau mereka memahami Al
Qur’an dan As Sunnah menurut hawa nafsunya sendiri, bukan menurut para
Sahabat Rodhiallohu’anhum.
Demikianlah sikap yang seharusnya diteladani oleh setiap da’i dan ulama
pewaris Nabi. Mari kita teladani bersama!
77
Ikutilah dalil dari Kitab dan Sunnah yang shohih serta pahamilah keduanya
dengan pemahaman pendahulumu yang sholih, maka sesungguhnya hal itu
akan memberikan kecukupan bagimu sebagaimana pula memberi kecukupan
kepada mereka.
Kalau di negeri yang engkau diami ada Salafiyyun, maka pergilah engkau
kepada mereka dan berdialoglah bersama mereka dengan tenang dan perlahan
agar mereka menjelaskan manhaj-manhaj hizbmu berupa penyimpangan
terhadap manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Ketahuilah bahwa tujuanmu pada kehidupan ini adalah untuk beribadah hanya
kepada Alloh saja berdasarkan ilmu (QS. Yusuf: 108), mengharap rahmat dan
ampunan-Nya, kemudian menyelamatkan orang lain, bukan sebaliknya.
Hati-hatilah untuk menyebarkan setiap apa yang engkau dengar dari berita-
berita dan perkataan-perkataan tanpa menelitinya, karena pendusta banyak di
zaman ini.
Selagi engkau membawa aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka janganlah
engkau membelanya kecuali aqidah tersebut dan orang yang membawanya.
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian yang nyata kecuali orang-
orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling menasehati dalam kebenaran
dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3)
“Agama itu adalah nasehat. Kami bertanya: ‘Bagi siapa wahai Rosululloh?’
Beliau menjawab: “Bagi Alloh, kitab-Nya, Rosul-Nya, dan bagi pemimpin-
78
pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya mereka.” (HR. Muslim dari
hadits Tamim Ad Daari)
Dan janganlah pula kita taklid terhadap nenek moyang, seperti yang
dikabarkan oleh Al Qur’an:
“Dan jika engaku (hai Muhammad) mengikuti kebiasaan orang banyak di muka
bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh.” (QS. Al An’am:
116)
“Dan taatilah Alloh dan Rosul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imron:
132)
“Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid’ah
sesudah aku (Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam) tiada, maka tunjukkanlah
sikap menjauh dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang
mereka dan kasusnya. Dustakanlah (maksudnya, bantahlah, wallohu a’lam, ed)
mereka agar mereka tidak makin merusak Islam. Waspadai pula orang-orang
yang dikhawatirkan meniru-niru bid’ah mereka. Dengan demikian Alloh akan
mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” (HR.
Ath Thahowi)
“Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Alloh, para malaikat dan
seluruh manusia.” Ditanyakan, “Ya Rosululloh, apakah pengertian tipuan
umatmu itu?” Beliau menjawab, “Mengada-adakan amalan bid’ah, lalu
melibatkan orang-orang kepadanya.” (HR. Daruquthni)
“Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah,
tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Alloh).” (QS. Thoha: 2-
3)
“Kebenaran itu adalah dari Robbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.” (QS. Al Baqoroh: 147)
“Tidak masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat atom rasa
sombong. Sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR.
Muslim)
Sekali lagi saya mohon maaf kalau penyampaian saya ada kata yang salah
atau menyakitkan hati. Dan kalau itu suatu kebenaran maka dari Alloh dan kalau
salah itu adalah dari saya. Akhirnya semoga Alloh Ta’ala senantiasa memberikan
petunjuk-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, agar istiqomah berjalan
pada jalan-Nya yang lurus. Kita memohon kepada-Nya agar Dia selamatkan kita
dari segala manhaj yang sesat. Aamiin. Wallohu waliyyut taufiq.
Aqidah Muslim42
42
Ini adalah syair yang dibuat oleh Mulla Umran, seseorang yang pada mulanya
membenci dakwah Salaf (karena dia dahulunya adalah seorang Syi’ah), namun
kemudian Alloh memberinya taufiq untuk beralih membela manhaj Salaf. Syair
ini adalah tumpahan perasaannya atas apa-apa yang dia alami dalam usahanya
menempuh jalan kebenaran ini, semoga Alloh menjaganya.
81
43
Wahabi adalah julukan yang diberikan kepada Salafiyyin oleh orang-orang
yang membenci dakwah Salaf. Dengan julukan ini mereka ingin menggambarkan
bahwa Salafy adalah kelompok yang sesat, mengapa? Karena...
Marilah kita simak dialog Ilmiah yang sangat menarik antara Syaikh Muhammad
bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh/dosen-dosen disuatu Universitas
Islam di Maroko
Salah seorang Dosen itu berkata: “Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan
Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin
82
sangat condong kepadanya, dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi
kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang,
kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih
baik, yaitu Madzhab Wahabi.”
Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam
diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-
sumber yang terpercaya,dan saya rasa di Universitas ini terdapat Perpustakaan
yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya. Dan juga hendaknya kita
semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”
Dosen itu berkata: “Saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang
ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.”
Asy Syaikh berkata: “Saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya
persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi
kita ini.”
“Baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa
firqoh wahabi adalah Firqoh yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi’yar
yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam
Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang
Wahabiyyun membangun sebuah masjid, “Bolehkan kita Sholat di Masiid yang
dibangun olehorang-orang wahabi itu ??” maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab:
“Firqoh Wahabiyyah adalah firqoh yang sesat, yang masjidnya wajib untuk
dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu’minin,
dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk
mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin.”
(wajib kita ketahui bahwa Imam Al-Wansyarisi dan Imam Al-Lakhmi adalah
ulama ahlusunnah)
Dosen itu berkata lagi: “Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan
kalian adalah salah selama ini.”
Kemudian Asy Syaikh menjawab: ”Tunggu dulu..!! kita belum sepakat, lagipula
diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak
fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-
Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi
rujukan kalian itu!”
83
Dosen itu berkata: “Anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau
saya mulai dari sampulnya??”
Kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan
satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Didalam
kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti
Andalusia dan Afrika Utara.
Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: “Wahai syaikh tolong dicatat
tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi” kemudian ditulis.
Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata: “Wahai para masyaikh….!!! Saya
ingin bertanya kepada antum semua …!!! Apakah mungkin ada ulama yang
memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir)
???? kecuali kalau dapat wahyu????”
Mereka semua menjawab: “Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud
anda!”
Asy syaikh berkata lagi: “Bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah
dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul
Wahhab????”
lahir..bahkan sampai 22 generasi ke atas dari beliau sama belum ada yang
lahir..apalagi berdakwah..
Kemudian mereka berkata: “Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh
Imam Al-Lakhmi tersebut?? mohon dielaskan dengan dalil yang memuaskan,
kami ingin mengetahui yang sebenarnya!”
Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang: “Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq
Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Francis?”
Asy Syaikh pun berkata: “Coba tolong buka di huruf “wau” .. maka dibukalah
huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “Wahabiyyah”
Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang
biografi firqoh wahabiyyah itu.
Dosen itu pun membacakannya: “Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte
KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin
Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al-Abadhi, Orang ini telah banyak
menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan
telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya.
Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat di Afrika Utara. Penulis mengatakan
bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan
banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat
membenci Ahlussunnah.
Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata: “Inilah Wahabi
yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah
kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan
Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang
kalian miliki. Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-,
maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau
ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam
yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya,
mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada
Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya
para Nabi dan Rasul.
Sholahuddin Al-Ayubi tidaklah mengusir mereka keluar dari negeri Syam secara
sempurna kecuali setelah berakhirnya daulah Fathimiyyah Al-Ubaidiyyin di
Mesir, kemudian beliau (Sholahuddin mendatangkan para ulama ahlusunnah dari
Syam lalu mengutus mereka ke negeri Mesir, sehingga berubahlah negeri mesir
dari aqidah Syiah Bathiniyyah menuju kepada Aqidah Ahlusunnah yang terang
dalam hal dalil, amalan dan keyakinan.
Sumber:
http://abangdani.wordpress.com/2011/08/04/inilah-wahhabi-yang-dianggap-sesat-
oleh-ulama-ulama-maroko/
86
4. Kitab Tauhid 1, Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdulloh Al Fauzan, Darul
Haq
5. Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul
Haq
8. Tashfiyah dan Tarbiyah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid
Al Atsari, Pustaka Imam Bukhori
13. Rislalah Bid’ah, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Cetakan 1,
Yayasan At Tauhid, Jakarta
15. Dialog Bersama Ikhwani, Syaikh Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad
Asysyihy, Yayasan Al Madinah
17. Manhaj Aqidah Imam Hasan Al Bana, Dr. Isham Ahmad Basyir, Titian
Ilahi Press
Selesai diedit
Ciparigi, 7 Safar 1433 H - 1 Januari 2012
salafyipb.wordpress.com