Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MENGANALISIS JURNAL ARTIKEL

“TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA


PERSPEKTIF KH. ALI MUSTAFA YAKUB”
Pertanyaan :
1. Bagaimana sikap bertoleransi yakni mengucacapkan selamat natal, mengucapkan
salam dengan orang non muslim dan berdoa bersama dengan orang non muslim.
Kemukakan pendapatmu ?
2. Bagaimana memahami hadist bahwa apa bila Anda ketemu dengan orang kafir di
tengah jalan, maka usirlah dia sampai kepinggir jalan.

JAWABAN

1. Sebelum menjawab permasalahan diatas alangkah lebih baiknya kita memahami


apa itu toleransi dan apakah Rasulullah pernah melakukan toleransi dengan orang
non muslim, dan pendapat KH. Ali Mustafa Yakub.
a. Pengertian Toleransi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari
kata
“toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan
pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara bahasa atau
etimologi toleransi berasal dari bahasa Arab tasamuh yang artinya ampun, maaf
dan lapang dada.
Secara terminologi, menurut Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberian
kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat
untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan
nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya
itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas
terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Menurut said Agil Al Munawar ada dua macam toleransi yaitu toleransi
statis dan toleransi dinamis. Toleransi statis adalah toleransi dingin tidak
melahirkan kerjasama hanya bersifat teoritis. Toleransi dinamis adalah toleransi
aktif melahirkan kerja sama untuk tujuan bersama, sehingga kerukunan antar
umat beragama bukan dalam bentuk teoritis, tetapi sebagai refleksi dari
kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa toleransi antar umat
beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan
mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang
beragama lain.
b. Toleransi Zaman Rasulullah SAW
Bukti kedekatan Nabi saw kepada orang Nasrani adalah hubungannya
dengan Pendeta Waraqah bin Naufal (sepupu Khadijah) yang membuat
Waraqah menunjukan sikap simpatik kepada Nabi Saw. Sedangkan hubungan
baiknya dengan kaum Yahudi tampak pada tahun 7 M, saat Nabi Saw bersama
Shofiyah, puteri Huyai bin Akhtab, seorang tokoh Yahudi Bani Quraidhah di
Khaibar. Mertua Nabi tetap sebagai Yahudi sampai meninggal dunia. Hubungan
keduanya membuat rumah tangga Nabi Saw tidak menutup pintu bagi
orangorang Yahudi (keluarga Shofiyah, istri Nabi). Kisah lain mengenai
hubungan Nabi dengan Yahudi juga diterangkan dalam Kitab Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim bahwa Aisyah istri Nabi Saw sering berdiskusi dengan
wanita-wanita Yahudi di rumah Nabi Saw, bahkan terkadang Nabi Saw terlibat
dalam diskusi tersebut. Tentu sangat terlihat dari kisah- kisah tersebut, betapa
Nabi Saw sangat menunjukan sikap toleransinya kepada kaum Yahudi.
Walaupun Nabi memiliki hubungan yang dekat dengan banyak pihak,
namun harus ada garis pemisah (batasan) dalam bertoleransi, sesuai QS. al-
Kafirun ayat 6, yakni, “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.”.
Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, sesuai dengan latar belakang turunnya
ayat tersebut, pemisahan itu adalah dalam masalah akidah dan ibadah saja.
Karena itu Surah al-Kafirun itu merupakan pemisah (batasan) secara tegas
antara umat beragama dalam bertoleransi pada aspek aqidah dan ibadah.
Jelasnya, orang-orang muslim tidak dibenarkan melakukan kompromi agama
atau toleransi agama dengan orang-orang non-muslim. Adapun toleransi di luar
masalah agama, tepatnya di luar masalah aqidah dan ibadah, maka hal itu boleh-
boleh saja selama orang-orang non Muslim itu tidak memusuhi orang-orang
muslim. Maka kerja sama antara orang-orang muslim dengan orang-orang non-
Muslim dalam masalah kedunian tetap dibolehkan.
c. Pendapat KH. Ali Mustafa Yakub
Walaupun Nabi memiliki hubungan yang dekat dengan banyak pihak,
namun harus ada garis pemisah (batasan) dalam bertoleransi, sesuai QS. al-
Kafirun ayat 6, yakni, “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” Menurut KH. Ali
Mustafa Yaqub, sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut, pemisahan
itu adalah dalam masalah akidah dan ibadah saja. Karena itu Surah al-Kafirun
itu merupakan pemisah (batasan) secara tegas antara umat beragama dalam
bertoleransi pada aspek aqidah dan ibadah. Jelasnya, orang-orang muslim tidak
dibenarkan melakukan kompromi agama atau toleransi agama dengan orang-
orang non-muslim. Adapun toleransi di luar masalah agama, tepatnya di luar
masalah aqidah dan ibadah, maka hal itu boleh- boleh saja selama orang-orang
non Muslim itu tidak memusuhi orang-orang muslim. Maka kerja sama antara
orang-orang muslim dengan orang-orang non- Muslim dalam masalah kedunian
tetap dibolehkan.
Mengenai hal ini, KH. Ali Mustafa Yaqub merujuk pada Qs. Al-Maidah
ayat 2 “Tolong-menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa. Dan janganlah
tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”. Dalam memahami ayat ini, Imam
Ibn Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan orang
beriman untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan meninggalkan
kemungkaran. Kebaikan dan meninggalkan kemungkaran adalah taqwa. Allah
juga melarang mereka saling tolong-menolong dalam kebatilan, dosa, dan
sesuatu yang haram.
Oleh karena itu menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, kehadiran seorang
Muslim dalam perayaan keagamaan non- Muslim, keikutsertaannya dalam panitia
pelaksana perayaan, menyampaikan selamat kepada mereka, mengirimkan kartu selamat,
dan menandatanganinya adalah termasuk katagori tolong-menolong dalam kebatilan,
dosa, dan sesuatu yang diharamkan. Menurut Beliau perbuatan tersebut termasuk
perbutan yang diharam dalam bertoleransi, terutama haram dalam pandangan syariat.
Karena latar belakang pemikiriran ini bermula dari MUI mengeluarkan fatwa
yang berisi pengharamkan terhadap umat Islam menghadiri perayaan natal bersama.
Maka menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, segala sesuatu yang terdapat di dalamnya,
potensi merusak agama dan akidah merupakan sesuatu yang jelas di haramkan. Begitu
juga pengucapan Selamat Hari Raya Natal termasuk diharamkan. Hal ini karena
terdapat di dalamnya penyebaran terhadap simbol-simbol kekufuran dan kebatilan. Oleh
karena itu, hal tersebut diharamkan.
2. Untuk menjawab Bagaimana pemahaman hadis bahwa “apabila Anda ketemu dengan
orang kafir di tengah jalan, maka usirlah dia sampai kepinggir jalan”. Untuk memahami
hadist diatas kita haruslah mengetahu pendapat para ulama karena kita tidak bisa
menafsirkan hadist tersebut seenaknya tanpa memiliki ilmu untuk menafsirkan
hadist tersebut. Berikut penjelasan para ulama’ tentang hadis tersebut:
 An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
َ َّ ‫َق َال َأ ْص َح ُاب َنا اليترك ل ّلذ ّم ّي َص ْد ُر‬
‫الط ِر ِيق َب ْل ُي ْض َط ُّر ِإ لى َأ ْض َي ِق ِه ِإ َذا َك َان‬ ِ ِِ ِ
َّ ‫ون َف ْن َخ َلت‬ ُ ‫ون َي ْط ُر‬ ْ
‫ قالوا وليكن‬/‫الط ِر ُيق عن الرحمة فالحرج‬ ِ ‫ِإ‬ َ ‫ق‬ َ ‫م‬ُ ‫ل‬
ِ ْ
‫س‬ ‫م‬ُ ‫ال‬
‫التضييق بحيث اليقع فى وهدة واليصدمه ِج َد ٌار َو َن ْح ُو ُه َو َّالل ُه َأ ْع َل ُم‬
“Ulama madzhab kami mengatakan: jangan biarkan orang
kafir dzimmi berjalan di bagian utama jalan, namun hendaknya mereka
dipaksa untuk berjalan di bagian yang sempit jika kaum Muslimin
menggunakan jalan tersebut. Dan jika kaum Muslimin melonggarkan
jalan untuk mereka sebagai bentuk rahmah (berlemah lembut) kepada
mereka, maka tidak mengapa. Para ulama mengatakan:
hendaknya tadhyiq tersebut adalah dengan mengupayakan mereka agar
tidak berjalan di tanah yang lapang yang tidak terhalangi oleh tembok
atau semisalnya” (Syarah Shahih Muslim, 14: 147).
Dari penjelasan An-Nawawi rahimahullah di atas, makna ‫فاضْ طَرُّ وهُ إلى‬
ْ bukan dengan cara mendorong orang kafir sehingga mereka
‫أض يَقِ ِه‬
terdesak. Namun maksudnya adalah mengupayakan agar orang kafir
berjalan di bagian yang sempit dari jalan, atau membuat jalan khusus
untuk mereka yang dibatasi tembok-tembok. Sedangkan kaum Muslimin
berjalan di bagian yang longgar.
Dan beliau juga sebutkan, melonggarkan jalan untuk orang kafir
dalam rangka rahmah (berkasih sayang), ini dibolehkan. Karena yang
dilarang adalah melonggarkan jalan dalam rangka merendahkan diri di
depan orang kafir sebagaimana akan dijelaskan dalam nukilan
selanjutnya. Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan,
‫أ‬
(‫ (فاضطروه) ردوه )وإذا لقيتم حدهم في طريق‬.‫فيه زحمة وعدم سعة‬
‫أل‬ ‫أ‬ ‫أ‬
‫ إنا لو‬: ‫ وقال القرطبي‬،‫ (إلى ضيقه) و وسعه هل اِإل سالم‬.‫بالضرورة له‬
‫أ‬ ‫أ‬
‫ر يناهم في طريق واسع رديناهم إلى خربة حتى تضيق عليهم وتعقب ب نه إيذاء‬
‫لهم بال سبب وقد نهينا عن إيذائهم‬
“[Dan jika kalian bertemu salah seorang dari mereka di jalan] yang di sana
jalannya sempit dan tidak luas, [maka desaklah mereka], yaitu paksalah mereka
[ke bagian yang sempit] dan berilah keluasan untuk orang-orang Islam. Al-
Qurthubi mengatakan: perkataan “jika kami melihat mereka di jalan yang luas,
maka kami akan halau mereka untuk berjalan di reruntuhan bangunan sehingga
mereka merasa kesempitan” ini kurang tepat. Karena ini adalah bentuk gangguan
terhadap mereka tanpa sebab dan kita telah dilarang untuk menganggu mereka”
(At-Tanwir Syarah Jami’us Shaghir, 11: 80).

 Al-Munawi rahimahullah juga mengatakan,
‫أ‬ ‫أ‬
(‫فيه زحمة (فاضطروه إلى ضيقه) بحيث ال يقع )وإذا لقيتم حدهم في طريق‬
‫أ‬
‫في وهدة وال يصدمه نحو جدار ي ال تتركوا له صدر الطريق إكراما واحتراما‬
‫أل‬
:‫فهذه الجملة مناسبة ل ولى في المعنى والعطف وليس معناه كما قال القرطبي‬
‫أل‬
‫ حتى يضيق عليهم نه إيذاء بال‬/‫إنا لو لقيناهم في طريق واحد نلجئهم إلى حرفة‬
‫أ‬
‫سبب وقد نهينا عن إيذائهم ونبه بهذا على ضيق مسلك الكفر و نه يلجيء إلى‬
‫النار‬
“[Dan jika kalian bertemu salah seorang dari mereka di jalan] yang di sana
jalannya sempit, [maka desaklah mereka ke bagian yang sempit] agar tidak
berjalan di tanah yang lapang yang tidak terhalangi oleh tembok. Maksudnya,
jangan biarkan mereka berjalan di bagian utama jalan sebagai pemuliaan dan
penghormatan bagi mereka. Jadi kalimat kedua ini cocok dengan kalimat pertama
(yaitu larangan memulai salam) sesuai secara makna dan juga sesuai dengan
kaidah athaf.
Dan bukanlah maknanya seperti yang disebutkan oleh Al
Qurthubi, perkataan “jika kami melihat mereka di jalan yang luas, maka
kami akan halau mereka untuk berjalan di reruntuhan bangunan sehingga
mereka merasa kesempitan” ini kurang tepat. Karena ini adalah bentuk
gangguan terhadap mereka tanpa sebab dan kita telah dilarang untuk
mengganggu mereka.  Dan hikmah dihalaunya mereka ke bagian yang
sempit adalah agar mengingatkan kita betapa sempitnya kekufuran, dan
bahwa jalan kekufuran itu akan membawa ke neraka” (Faidhul Qadir, 6:
386).
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa hikmah dari hadis di atas agar
kaum Muslimin tidak memuliakan dan memberikan penghormatan
kepada orang-orang yang kufur kepada Allah.
Dan para ulama mengingkari orang yang memahami hadis ini dengan
pemahaman bahwa hadis ini memerintahkan kita untuk menganggu
orang-orang kafir dzimmi tanpa sebab. Karena banyak dalil yang melarang
kita mengganggu orang kafir dzimmi. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
‫القيامة‬
ِ ‫يوم‬ ُ ‫ فأ نا‬،‫ أ و أ َخ َذ منه شياًئ بغير ِطيب ْنفس‬،‫طاقته‬
َ ‫حجيجه‬ َ ‫ أ و َّكل َفه‬،‫انتق َصه‬
ِ ‫فوق‬ َ ‫ أ و‬/،‫عاه ًدا‬ َ ‫أ ال َمن‬
َ ‫ظل َم ُم‬
ٍ ِ ِ
“Ketahuilah … siapa yang menzalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya,
atau membebani (jizyah) kepadanya di luar kewajibannya, atau mengambil
sesuatu darinya tanpa keridhaannya, maka aku (Nabi) akan menuntut orang
tersebut di hari Kiamat” (HR. Abu Daud no. 3052, dihasankan Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth dalam Takhrij Abu Daud).
Dan perintah Nabi dalam hadis Abu Hurairah di atas untuk
menghalau orang-orang kafir di bagian jalan yang sempit dan memberi
keluasan bagi kaum Muslimin, tentu hanya dapat dilakukan ketika kaum
Muslimin dalam kondisi kuat dan dominan. Dalam keadaan kaum
Muslimin lemah dalam segala aspek, dalam keadaan bercerai-berai,
banyaknya kaum munafiqin, tentu tidak mungkin bisa melakukan
demikian.

Anda mungkin juga menyukai