Anda di halaman 1dari 86

Judul:

ELEGI PERSELISIHAN
Bingkisan Ukhuwah Terkhusus Ikhwan Mujahidin
Dalam Penjara

★Edisi Pembelajaran★

Penulis:

Abu Misk Al Nusakambananjiy, Fakallahu Asrahu


‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

ELEGI PERSELISIHAN
Bingkisan Ukhuwah Terkhusus Ikhwan Mujahidin Dalam Penjara

(Oleh: Abu Misk Al Nusakambananjiy, Fakallahu Asrahu)

SEKAPUR SIRIH

Maha Suci Allah yang telah mentakdirkan kebaikan di dalam sesuatu yang tidak
disukai oleh jiwa. Wa ba'dahu!

Betapa banyak perselisihan timbul lantaran ditinggalkannya manhaj


(metode/konsep) salaf dalam bermadzhab. Dimana ia terjadi karena kebodohan kita
dalam memahami dalil, atau euphoria budaya taklid terhadap sosok yang dilejitkan
media, atau dorongan nafsu untuk memuaskan sifat ghulluw, atau luapan semangat
yang tak dibarengi dengan ketaatan, atau penyakit hati yang melihat diri sudah
berada di jalan ilmu paling benar, dan lain sebagainya.

Karenanya tema tentang perselisihan (ikhtilaf) itu sangat perlu dan mendesak untuk
dikaji. Baik ikhtilaf dalam perkara fkih maupun akidah. Ikhtilaf dalam akidah?! Ya!
Tidak salah! Tapi ini adalah kajian ilmiyyah. Edisi pembelajaran umat. Bukan karya
propaganda yang timbul akibat terlalu kencangnya menyuarakan ideologi. Bahkan
ini adalah untaian perhatian atas fenomena bermadzhab yang tidak sesuai dengan
manhaj salafusshalih. Baik madzhab dalam akidah maupun madzhab dalam fkih.

Tulisan ini tidak menyinggung sedikitpun dengan nama kelompok tertentu. Kalau
--qadarullah-- dalam penuturan ada kesamaan tabiat , semoga bisa difahami bahwa
kondisi yang terpaksa dikisahkan sifatnya adalah umum.

Ketahuilah bahwa madzhab itu memiliki manhaj. Sedangkan bermadzhab secara


syar'i, itulah yang dinamakan sebagai manhaj. Dimana kalau kita napaktilasi jalan
(manhaj) mereka, niscaya perselisihan itu dapat dihindari. Atau diminimalisir.
Mengingat dan menimbang bahwa terkadang perselisihan bisa timbul lantaran
umat tidak mengenal defnisi dari sebuah istilah, maka perlulah kita jelaskan sedikit
mengenai arti dari manhaj itu sendiri. Dimana manhaj (‫منهاج‬ ِ / ‫منهج‬
َ ) menurut bahasa
artinya jalan yang jelas lagi terang. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala: "Untuk tiap-
tiap umat di antara kamu, Kami berikan “‫جا‬ ً ‫منْها‬
ِ ” : aturan dan jalan yang terang." [Al
Maidah: 48].

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Maksudnya jalan dan syariat." (Tafsir
Ibnu Katsir: 3/129, tahqiq Sami bin Muhammad As Salamah).

Sedang menurut istilah, manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang


digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiyyah. Seperti kaidah-kaidah bahasa Arab,
ushul akidah, ushul fqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran
dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. (Lihat Al
Mukhtasharul Hatsits Fi Bayani Ushuli Manhajis Salaf Ashhabil Hadits, hal. 15).

Ringkasnya, manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang benar adalah
jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para
shahabat. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan menjelaskan perbedaan antara akidah dan
manhaj. Beliau berkata, “Manhaj lebih umum daripada akidah. Manhaj diterapkan
dalam akidah, suluk, akhlak, muamalah, dan dalam semua kehidupan seorang
muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang muslim dikatakan manhaj. Adapun
yang dimaksud dengan akidah adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat,
dan konsekuensinya. Inilah akidah. (Al Ajwibah Al Mufdah 'An As'ilati Manahij
Jadidah, hal. 123).

Demikian perlu dijelaskan supaya tidak terlontar dari orang-orang yang kurang
faham atau sok bertauhid dengan ucapan: "Masalah manhaj kok dicampur aduk
dengan madzhab?!" Seakan-akan kata manhaj itu hanya layak disandingkan
dengan akidah. Ditambah lagi dengan sempitnya pemahaman mereka bahwa
akidah itu tidak boleh ada perselisihan. Padahal kenyataannya memang ada
perselisihan, sungguhpun sedikit. Imam Ibnu Hazm mengatakan, "Kebanyakan
perbedaan pendapat di kalangan ulama ahlussunnah adalah dalam masalah fatwa
(fkih), dan sedikit sekali terjadi dalam masalah akidah". (Al Fishal Fi Al Milal Wa Al
Nihal: 2/111).
Selebihnya, kita memohon hidayah (ilmu dan taufq) kepada Allah. Semoga Allah
senantiasa memberikan bimbingan kepada kita dalam memahami dienullah.
Semoga Allah juga menuntun kita untuk bisa melihat kelemahan-kelemahan diri
kita, sehingga kita tidak berlebihan ataupun menyepelekan ajaran islam yang mulia
ini. Amien. Hanya Dia-lah sebaik-baik tempat bergantung, dan Dia-lah sebaik-baik
penolong. Selamat mengkaji.

MUQADIMAH: AJTAHIDU RA'YI

Oleh karena pembahasan kita kali ini sangat kental berhubungan dengan ikhtilaf,
maka sebagai pembuka akan kita mulakan dengan Hadits Mu'adz: Ajtahidu
Ra'yi yang selalu dimunculkan dalam kajian ilmu-ilmu fkih dan semua yang berbau
ijtihadi.

Bahwasannya rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke


Yaman bersabda: “Bagaimana engkau akan menghukum apabila datang kepadamu
satu perkara?”. Ia menjawab, “Saya akan menghukum dengan Kitabullah”. Sabda
beliau, “Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah?”. Ia menjawab, “Saya akan
menghukumi dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda, “Bagaimana jika tidak
terdapat dalam Sunnah Rasulullah?”. Ia menjawab, “Saya berijtihad dengan
pikiran saya dan tidak akan mundur…”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam
Sunan-nya nomor 3592 dan 3593 dengan banyak sanad).

Diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 1327 dan 1328; dengan
banyak sanad juga; dengan lafadz: Bahwasannya rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda, “Bagaimana engkau
menghukum?”. Mu’adz menjawab, “Saya akan menghukum dengan apa-apa yang
terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda, “Apabila tidak terdapat dalam
Kitabullah?”. Mu’adz menjawab, “Maka dengan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam”. Beliau bersabda kembali, “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Mu’adz menjawab, “Saya akan
berijtihad dengan pikiran saya….”

Derajad hadits tersebut sebenarnya didha'ifkan banyak ulama. Hadits "Ajtahidu


Ra'yi" Mu’adz bin Jabal itu dari aspek sanad masih memerlukan kajian yang lebih
mendalam, namun kecenderungannya adalah makbul (dapat diterima). Demikian
juga dengan adanya syawahid yang menguatkannya. Jika ditinjau dari segi matan,
"Ijtihad Bir Ra'yi" yang disandarkan pada al qur'an dan as sunnah adalah perkara
yang masyru'.
Supaya tidak terlalu panjang lebar, maka mengenai ulasan yang lebih dalam
tentang status hadits tersebut, silahkan di-search dalam alamat link ini:

https://yuanaryant.wordpress.com/2013/11/04/menjawab-syubhah-hadits-ajtahidu-
rayi/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C8683585231

Insya'Allah pembahasan tersebut tidak berat sebelah. Bisa dikatakan lebih adil
dibandingkan dengan beberapa link lainnya. Yang pada intinya; meski terjadi khilaf
pendapat; namun hadits tersebut tetap bisa dijadikan rujukan dan patokan dalam
perkara-perkara ijtihadi. Dimana mayoritas ulama ushul fkih dan fkih menerima
Hadits Mu’adz ini tanpa komentar terlalu dalam. Keberadaan hadits tersebut sangat
penting dalam khasanah pemikiran islam. Hadits Mu’adz banyak digunakan sebagai
dalil ijtihad, juga merupakan dasar kontruksi pemikiran turunan dari ijtihad. Hadits
ini, seolah-olah sudah diyakini shahih oleh mayoritas ahli fkih kontemporer. Yang
paling penting untuk diketahui, Ijtihad Bir Ra'yi yang disandarkan pada al qur'an
dan as sunnah adalah perkara yang masyru'. Yakni sesuai syariat dan disyariatkan.
Dengan kata lain, isi matan hadits tersebut sangat benar.

Berkenaan dengan perkara-perkara ijtihadi, orang banyak yang tidak tahu dan
cenderung menentang adanya ijtihadi dalam akidah. Maka di sini akan kita urai,
bahwa perbedaan pendapat itu juga merambah ke wilayah akidah, bukan hanya
fkih. Yang sudah diperselisihkan sejak zaman shahabat. Dan kita akan
membahasnya nanti, insya'Allah. Namun sungguhpun ada silang pendapat, hal itu
tidaklah menjadi alasan saling bertikai. Sebab konsep ajtahidu ra'yi yang diterapkan
para salaf bukanlah asal-asalan. Semua memakai kaidah. Demikianlah.

SISI LAIN PERBEDAAN

Allah Ta'ala berfrman : "Apabila kalian saling berselisih dalam suatu urusan, maka
kembalikanlah urusannya kepada Allah dan Rasul-Nya..." [Qs. An Nisa' 59].

Dari Al Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'Anhu, rasulullah bersabda: "Wajib atas
kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang telah
mendapatkan petunjuk. Peganglah ia dengan kuat dan gigitlah dengan geraham
kalian. Jauhilah segala perkara baru di dalam agama (muhdats) karena setiap
perkara muhdats itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan." (HR Abu
Daud [4607] dan At Tirmidzi [2676]. Hadits Shahih).

Islam adalah dien yang syumul. Mencakup segala segi hidup. Dari perkara air
(istinja') sampai urusan tanah air (ketatanegaraan). Semua sudah diatur dalam
islam. Dan seorang mukmin, kendati hidup di zaman mana pun, dia tak akan
tersesat selagi berpegang teguh pada hukum syariat islam; qur'an, sunnah dan
ijma'. Apa itu ijma'? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Ijma' adalah yang
disepakati di antara seluruh kaum muslimin dari kalangan fuqaha, shufyyah, ahlul
hadits, ahlul kalam dan selain mereka secara umum, dan diingkari oleh sebagian
ahlul bid'ah dari kalangan mu'tazilah dan syi'ah." (Majmu Al Fatawa Cet. Dar Ibnu
Hazm 11/187).

Seorang mukmin --Ahlu As Sunnah Wal Jama'ah-- akan senantiasa terbimbing


manakala dia mengembalikan segala urusannya kepada Allah. Dimana untuk
merujuk kepada syariat tidaklah sulit dilakukan karena kemurnian islam itu terjaga
dengan adanya maraji' yang bersanad.

Abdullah bin Al Mubarak (wafat 181 H) berkata, "Sanad merupakan bagian dari
agama ini. Seandainya bukan karena sanad, pastilah orang akan mengatakan
semau-maunya". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab
Shahihnya 1/47 No. 32 ).

Demikianlah. Betapa terjaganya islam. Pun demikian, Allah Ta'ala juga


memperindah syariat ini dengan ayat-ayat mutasyabihat serta yang sifatnya zhanni
atau multi tafsir. Baik ditinjau dari sisi lughah maupun istilah.

Imam Al Zarkasyi berkata, "Allah tidak menunjukkan seluruh hukum syariat dengan
dalil-dalil qath'i, tetapi menjadikan sebagiannya zhanni. Hal ini untuk memberikan
keleluasaan kepada para mukallaf agar mereka tidak berada dalam satu madzhab
saja". (Taisirul Al Wushul Li Al Mahlawiy: 240).

Bahkan ada kalanya perbedaan dibutuhkan. Artinya, tidak setiap perbedaan itu
tercela. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz, "Saya senang para
shahabat rasulullah berbeda pendapat. Sebab jika mereka bersepakat, maka
manusia akan berada dalam kesempitan..." (Jami' Bayan Al Ilmi Wa Fadhlihi: 2/78-
92, Al Faqih Wa Al Mutafaqqih: 2/59-60).

Salah seorang ulama dan faqih Kota Madinah di zaman tabi'in; Imam Al Qasim bin
Muhammad; berkata, "Allah memberikan manfaat yang besar dengan adanya
perbedaan pendapat di kalangan shahabat rasulullah. Tidak ada seorang muslim
yang mengamalkan satu dari pendapat mereka, kecuali akan mendapatkan
keleluasaan". (Jami' Bayan Al Ilmi Wa Fadhlihi: 2/78-92).

Dari keterangan di atas difahami bahwa perbedaan itu bisa menjadi rahmat. Yakni
perbedaan dalam hal-hal yang sifatnya ijtihadi.

Karenanya, tak perlu ada "pertengkaran" dalam perkara yang diperselisihkan para
ulama. Tak dibenarkan memaksakan satu pendapat ataupun madzhab kepada
orang lain yang juga telah memiliki pegangan kuat dalam beramal. Tak usah pula
buang-buang tenaga buat mencela kelompok lain yang menisbatkan kepada
madzhab tertentu.

KHILAF TENTANG IKHTILAF RAHMAT

Perbedaan pendapat tak jarang melahirkan permusuhan dan perpecahan dalam


sebuah komunitas. Tetapi di saat kedua belah fhak menemukan satu titik temu;
masing-masing berusaha memahami masalah dari sisi pandang fhak lain atau
melandasi sikapnya terhadap fhak lain dengan berhusnuzhan; maka perpecahan
bisa melemah. Permusuhan dapat diatasi serta kebekuan pun mencair. Biidznillah.

Tatkala membicarakan masalah bertemakan "Ikhtilaf adalah rahmat", biasanya


pembicaraan akan terhenti dalam pembahasan derajat hadits "ikhtilafu ummati
rahmah" atau dalam riwayat lainnya, "ikhtilaf ashhabi rahmah".

Baiklah. Mari kita lihat dua perbedaan pandangan tersebut mengenai ikhtilaf
rahmat. Pertama-tama, biarlah kita bahas mengenai derajad hadits tersebut serta
beberapa alasan penentangan para ulama mengenai "ikhtilaf rahmat" tersebut.

‫ة‬
ٌ ‫م‬ ‫خت َِل أ أ‬
َ ‫ح‬
ْ ‫مت ِي َر‬
َ ‫فأ‬ ْ ِ‫ا‬
"Perselisihan dalam umatku adalah rahmat".

Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani Rahimahullah berkata di dalam Silsilatu Al


Ahaditsi Adh Dha'ifah Wa Al Maudhu'ah (1/141/57) bahwa hadits ini tidak ada asal
usulnya. Para ahli hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, akan tetapi
mereka tidak berhasil mendapatkannya.

Al Munawi menukilkan dari Tajuddin As Subkiy bahwa ucapnya: "(Hadits ini) tidak
dikenal oleh para ahli hadits, dan aku tidak mendapatkan baginya sanad yang
shahih, lemah, ataupun palsu". Hal ini juga diakui oleh Syaikh Zakariya Al Anshari di
dalam catatannya terhadap kitab Tafsir Al Baidhawi.

Al Albani menyatakan bahwa makna hadits ini diingkari oleh para muhaqqiq dari
kalangan ulama. Al 'Allamah Ibnu Hazm berkata di dalam kitab Al Ihkam Fi Ushul Al
Ahkam (5/64) setelah menjelaskan bahwa ia bukanlah sebuah hadits: "Ini adalah
ucapan yang sangat rusak, karena jika perselisihan adalah rahmat maka berarti
persatuan adalah kemurkaan. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh
seorang muslim pun, karena tidak ada sesuatu melainkan kesepakatan atau
perselisihan, dan tidak ada sesuatu melainkan rahmat atau kemurkaan".

Al Albani berkata lagi, "Di antara efek buruk dari hadits ini adalah banyak dari kaum
muslimin membiarkan --dengan sebab hadits ini-- perselisihan sengit yang terjadi di
antara keempat madzhab dan mereka tidak berusaha selamanya untuk
mengembalikannya kepada al kitab dan sunnah yang shahih sebagaimana yang
telah diperintahkan oleh para imam mereka radhiyallahu 'anhum. Mereka bahkan
menganggap madzhab para imam radhiyallahu 'anhum tersebut tidak lebih seperti
syariat (agama) yang berbeda-beda".

Sampai kepada perkataan beliau: "Dengan hal tersebut, mereka telah menganggap
syariat itu saling bertentangan! Hal ini saja merupakan dalil bahwa ia (perselisihan)
bukan berasal dari Allah 'Azza Wa Jalla jika mereka memperhatikan Firman Allah
Ta'ala tentang Al Qur'an, “Kalau sekiranya ia (Al Qur`an) bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” [QS An
Nisa': 82]. Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa perselisihan itu bukan berasal
dari Allah. Maka jika demikian, bagaimana mungkin ia dianggap sebagai syariat
yang harus diikuti dan rahmat yang diturunkan (dari Allah)?"

Al Albaniy juga menambahkan, "Disebabkan oleh hadits ini dan yang sejenisnya,
kebanyakan kaum muslimin setelah masa para imam yang empat hingga hari ini
masih berselisih dalam berbagai masalah akidah dan 'amaliyah. Jika mereka menilai
bahwa perselisihan itu adalah jelek sebagaimana yang tersebut di dalam Al Qur'an,
hadits-hadits nabawi, pernyataan Ibnu Mas’ud, dan selainnya --radhiyallahu
'anhum-- dan sebagaimana berbagai ayat telah menunjukkan celaan atasnya,
niscaya mereka akan segera untuk bersepakat".

Sampai kepada perkataan: "Kesimpulannya adalah bahwasanya perselisihan itu


adalah tercela di dalam syariat. Maka wajib untuk berusahan melepaskan diri
darinya sedapat mungkin karena ia adalah penyebab lemahnya umat. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfrman, "Janganlah kalian saling berselisih sehingga kalian menjadi
gentar dan hilang kekuatan kalian". [QS Al Anfal: 46].

"Adapun ridha terhadap ikhtilaf dan menamakannya dengan "rahmat", maka ini
menyelisihi ayat-ayat yang mulia yang menerangkan tentang keburukannya. Juga,
tidak ada sandaran baginya melainkan hanya hadits ini yang tidak ada asal-usulnya
dari rasulullah".

Al Hafzh As Sakhawi menyebutkan bahwa Imam Al Baihaqi meriwayatkan dengan


sanad munqathi', sedangkan perawinya juga dhaif jiddan. (lihat Maqashid Al
Hasanah, hal. 26-27).

Sedangkan Al Hafzh Al Iraqi juga menyebut hadits ini dalam Al Ilmu Wa Al Hikam
sebagai hadits mursal dhaif.

Demikianlah tinjauan "Ikhtilafu Ummatiy Rahmah" dari sisi derajad haditsnya.


Kebanyakan orang yang juga berafliasi kepada Manhaj Ahlu As Sunnah Wa Al
Jama'ah hanya mencukupkan diri sampai di sini saja. Mereka lantas ambil
kesimpulan praktis bahwa hadits itu dhaif, bahkan palsu. Jadi harus ditinggalkan.
Selesai pembahasan dan, titik! Habis perkara.
Pembicaraan jarang berlanjut dari sanad menuju matan, yakni teks tertulisnya
secara terperinci. Dimana kalau ia dikupas secara detail dan tidak hanya dari satu
sisi, niscaya akan diketahui bahwa pernyataan tersebut mengandung interpretasi
yang luas. Ketika status sanad dhaif, belum tentu matannya bathil. Sehingga,
seyogianya kita jangan tergesa-gesa apriori ataupun pasang harga mati terhadap
satu pendapat, lantaran pernah membaca pendapat Syaikh Albaniy atau ulama-
ulama lain yang menyalahkan kandungan matan tersebut. Sementara banyak juga
ulama lain yang menyatakan bahwa ikhtilaf memang rahmat.

Adalah Imam Al Khaththabi. Salah satu huffadz hadits yang juga mensyarah Shahih
Al Bukhari. Termasuk ulama yang mempertahankan kandungan matan hadits ini
dari peng-kritiknya. Kata beliau, ”Pihak yang mengkriti hadits ini ada dua laki-laki:
Pertama gila, yang kedua atheis. Yakni Ishaq Al Maushili dan Amru bin Bahr Al Jahid.
Dimana keduanya menyatakan, ''Kalau ikhtilaf itu rahmat, maka ittifaq
(kesepakatan) adalah adzab''”. (A'lam Al Hadits, 1/219-221).

Jika Ikhtilaf rahmat, maka Ittifaq adzab?

Imam Al Khaththabiy menjelaskan maksud dari hadits itu. Bahwa ikhtilaf terjadi
dalam beberapa persoalan. Ikhtilaf dalam penetapan adanya pencipta dan keesaan-
Nya, maka ikhtilaf di sini menyebabkan kekufuran . Sedangkan ikhtilaf mengenai
sifat pencipta dan kehendak-Nya, maka hal ini adalah bid’ah sebagaimana ikhtilaf
kaum khawarij dan rawafdh mengenai status keislaman sejumlah sahabat . Adapun
ikhtilaf mengenai hukum ibadah yang memungkinan adanya perbedaan , maka Allah
menjadikannya mudah dan rahmat serta kemuliaan bagi ulama.

Imam An Nawawi juga menukil argumen Al Khaththabiy dalam Syarh Shahih


Muslim. Beliau menyampaikan bahwa tidak otomatis sesuatu itu rahmat maka
lawannya merupakan adzab. Allah berfrman, ”Dan dari rahmat-Nya, Dia telah
menjadikan untuk kalian malam agar kalian beristirahat di dalamnya”. [Al Qashas:
73]. Malam disebut rahmat dan tidak berkonsekwensi bahwa siang adalah adzab.
(lihat Kasyf Al Khafa 1/67).

Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib dan syarahnya, serta Al Ajluni


dalam Kasyf Al Khafa juga menerima argumen itu. Hanya saja Ibnu Hazm dalam Al
Ihkam (5/64) mengulang kembali argumen Jahid dan Ishaq Al Maushili.
Ada kemungkinan Ibnu Hazm belum sampai kepada pernyataan Al Khaththabi
dikarenakan dekatnya masa serta jauhnya jarak antara keduanya, dimana Al
Khaththabi tinggal di ujung timur sedangan Ibnu Hazm di ujung barat. Allahu A'lam.

Para ulama; baik salaf maupun khalaf; mengakui bahwa ikhtilaf dalam masalah
furu’ fqih merupakan rahmat bagi umat, meski ada hadits palsu yang secara matan
mirip dengan statement mereka, yakni hadits ikhtilafu ummatiy rahmah tersebut.

Suatu ketika Khalifah Harun Ar Rasyid berkata kepada Imam Malik, ”Wahai Abu
Abdullah, kita tulis kitab-kitab ini dan kita bagikan di negeri-negeri islam agar umat
mengikutinya!” Maka Imam Malik pun membalas, ”Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya ikhtilaf ulama adalah rahmat dari Allah atas umat ini. Setiap orang
mengikuti apa yang benar menurutnya. Semua berada di atas hidayah. Semua
menghendaki Allah”. (Kasyf Al Khafa: 1/65)

Ibnu Qudamah, ulama besar yang menjadi rujukan Madzhab Hambali menyatakan
dalam muqadimah kitab beliau, Al Mughniy (hal. 11). ”Amma ba’du. Sesungguhnya
Allah dengan Rahmat-Nya dan Kekayaan-Nya menjadikan pada pendahulu umat ini
para imam, dimana dari mereka dijadikan pedoman. Dengan mereka kaidah-kaidah
islam termudahkan. Dengan mereka terjelaskan masalah hukum. Kesepakatan
mereka adalah hujjah. Dan ikhtilaf mereka adalah rahmat yang luas”.

Ibnu Taimiyah juga menyampaikan, "Sebab itulah, sebagian ulama menyatakan,


kesepakatan mereka (ulama) adalah hujjah qath'i sedangkan ikhtilaf mereka adalah
rahmat yang luas". (Majmu' Fatawa: 30/80).

Al Hafzh As Suyuthi berkata, ”Ketahuilah bahwa ikhtilaf madzhab-madzhab yang


ada ini adalah nikmat yang besar. Ia memiliki rahasia halus yang diketahui oleh
orang-orang alim, namun buta terhadapnya orang-orang jahil. Hingga engkau
mendengar sebagian orang bodoh menyatakan: "Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam
datang dengan syariat satu, maka dari mana ada madzhab empat?!"” (Risalah Jazil
Al Mawahib Fi Ikhtilaf Al Madzahib, hal. 25)
Al 'Allamah Ibnu Raslan pun menulis dalam muqadimah Alfyah Fiqih-nya, ”Dan
Syaf’i, Malik, Nu'man (Abu Hanifah), Ahmad bin Hanbal dan Sufyan. Dan lainnya
dari seluruh Imam di atas hidayah dan ikhtilaf rahmat”. (Lihat, Ghayah Al Bayan
Syarh Zubad Ibni Raslan, hal. 21)

Bahkan seorang ulama yang bermadzhab Syaf'i dari Syam; Abu Abdullah Ad
Dimasyqi Al Utsmani; membukukan pendapat ulama madzhab empat dan sejumlah
mujtahid lainnya dalam karya beliau Rahmat Al Ummah Fi Ikhtilaf Al Aimmah:
rahmat bagi umat dalam ikhtilaf para imam.

Kalau kita faham, uraian tersebut tidaklah kontradiktif satu sama lainnya. Para
aimmah madzahib yang sepakat dengan ikhtilaf rahmat itu tidaklah menyelisihi
qur'an dan sunnah. Perselisihan dan perbedaan yang dibicarakan antara qur'an
dengan ucapan ulama tersebut lain sudut pandang dan beda konteksnya. Untuk itu,
semua harus dilihat secara universal. Jami' dan mani': menyeluruh dan mendalam.
Dari beberapa uraian di atas, jika dikorelasikan justru menciptakan pentarjihan
yang tidak saling berseberangan.

Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata: "Perselisihan di dalam permasalahan furu'


di antara para ulama merupakan perselisihan rahmat yang mana Allah
menginginkan agar tidak adanya kesulitan di dalam dien ini atas kaum mukminin."
(Syarh As Sunnah, 1/229).

Karenanya, Syaikhul Islam membagi khilaf (perbedaan) ada dua macam:

Pertama, Khilaf Tadhad. Dikatakan tadhad karena saling bertentangan


(kontradiksi). Ketahuilah bahwa khilaf seperti ini bisa dipastikan: "Tidak mungkin
semua pendapat benar!". Karena sabda rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak
bertentangan satu sama lainnya.

Kedua, Khilaf Tanawu’ (Yaitu perbedaan yang sumbernya adalah keragaman


pengamalan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ikhtilaf jenis ini, kata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, "Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil".
Dalam khilaf ini, semua pendapat bisa saja semuanya benar. Karena rasulullah
mengajarkan semuanya.
Bahkan Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'i membagi ikhtilaf ada tiga macam:

1. Ikhtilaf Al Afham. Yakni yang terjadi lantaran perbedaan tingkat pemahaman atau
kepahaman terhadap dalil. Dalam hal ini para shahabat kerap terjadi perbedaan,
dimana ia dimaklumi. Bahkan perbedaan tersebut bisa menjadi rujukan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah setelah menuturkan perbedaan pendapat di


kalangan shahabat lalu berkata: "Apakah dapat dikatakan bahwa pendapat yang
benar adalah satu? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka
ada yang mengatakan semua pendapat tersebut benar, tanpa melihat hakikat
hukum yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah dalam nash tersebut. Kalangan
ahlus sunnah mengatakan tidak ada dosa bagi mereka yang berijtihad, meski
hasilnya tidak benar." (Fatawa Ibnu Taimiyyah, 19/122-123).

2. Ikhtilaf Tanawwu'. Yakni perbedaan mengenai keanekaragaman tata cara


beribadah.

3. Ikhtilaf Tadhad (perbedaan kontradiktif). Apa itu? Yakni seseorang menyelisihi


suatu dalil yang jelas tanpa alasan. Inilah yang diingkari oleh para salaf.

Demikianlah. Maka di antara jenis ikhtilaf itu; yang dikecam oleh syariat, yang
termasuk kebinasaan dan yang diancam adzab adalah ikhtilaf tadhad.

Adapun ikhtilaf yang bisa menjadi rahmat adalah seperti yang telah disampaikan
oleh Umar bin Abdul 'Azis, "Saya senang para shahabat rasulullah berbeda
pendapat. Sebab jika mereka bersepakat, maka manusia akan berada
dalam kesempitan. Mereka adalah orang-orang yang layak diikuti. Jika
seseorang mengambil salah satu pendapat mereka, maka dia akan
mendapatkan keleluasaan..." (Jami' Bayan Al Ilmi Wa Fadhlihi: 2/78-92, Al Faqih
Wa Al Mutafaqqih: 2/59-60).

Kemudian setelah kita memahami hakekat ikhtilaf, dan agar kita tidak terjerumus
dalam lembah tafrith (menyepelekan), maka ucapan Umar bin Abdul Azis itu
perlulah disandingkan dengan perkataan Imam Ibnu Abdil Barr tatkala menukil
ucapan Ismail Al Qadhi berkenaan dengan keleluasaan dalam mengambil pendapat,
"Yang dimaksud keleluasaan adalah keleluasaan dalam berijtihad. Bukan berarti
seseorang bebas (sesukanya) menggunakan pendapat seseorang dari sahabat
sementara pendapat itu salah." (Jami' Bayan Al Ilmi Wa Fadhlihi, 2/82).

KARENA IKHTILAF ADALAH KENISCAYAAN

Banyak orang; dengan slogan penyatuan madzhab; mereka tak mau mentolelir
adanya ikhtilaf. Padahal betapa banyak kasus yang dengan hadirnya ikhtilaf itu
justru menjadi solusi, dimana ia bukan termasuk bid'ah ataupun syariat baru.

Jumhur ulama --salaf maupun khalaf-- memahami betul hakikat perbedaan


pendapat mengenai makna Al Qur'an. Kemudian mereka memberikan bayan
tentang masalah itu. Demikian dilakukan sebagai usaha memberikan penjelasan
kepada umat islam agar tidak terjadi penghinaan terhadap para ulama, dengan
tuduhan bahwa mereka telah menyelisihi atau meninggalkan Al Qur'an dan As
Sunnah.

Imam Al Qasim bin Muhammad berkata, "Allah memberikan manfaat yang besar
dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan shahabat rasulullah. Tidak ada
seorang muslim yang mengamalkan satu dari pendapat mereka, kecuali akan
mendapatkan keleluasaan." (Jami' Bayan Al Ilmi Wa Fadhlihi: 2/78-92).

Al Dahlawi ketika menerangkan sifat perbedaan pendapat dalam masalah fkih


menyebutkan bahwa perbedaan pendapat hanya terjadi dalam hal manakah yang
lebih utama untuk diamalkan. Sebagian besar ulama mengajukan alasan, bahwa
para shahabat memang berbeda pendapat. Namun mereka adalah orang-orang
terbimbing dan yang mendapat petunjuk. Karenanya, para ulama akan terus
membolehkan seorang mufti berfatwa dalam masalah-masalah ijtihadi; atau
seorang hakim memutuskan perkara dengan pendapat yang berbeda dengan yang
dianut oleh mufti atau hakim tersebut. (Lihat Al Inshaf Fi Al Bayan Asbab Al Ikhtilaf,
66-67).

Memang. Syariat ini jika tidak dijelaskan oleh para shahabat dan ulama terpercaya,
tentu umat jadi jahil dan menafsirkan qur'an sesukanya, atau berdasarkan hawa
nafsunya.
Ada hikmah dari diturunkannya ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung banyak
makna. Belum lagi jika ditinjau dari sisi bahasa arab yang jelas-jelas merupakan
bahasa yang menyimpan paling banyak arti atau terjemahannya. Maka lahirnya
ikhtilaf dimaklumi sebagai keniscayaan.

Hikmah lain, bahwa Allah juga telah menciptakan tingkat kemampuan akal berbeda-
beda. Maka tatkala keberagaman itu dipadukan dengan nash atau dalil yang multi
tafsir, tentu ia akan menghasilkan pendapat yang berbeda pula. Demikianlah.

Allah telah berkehendak dengan Iradah-Nya menurunkan berbagai nash yang


sifatnya multi tafsir. Mudah saja bagi Allah menjadikan manusia satu pemikiran dan
pemahaman, tapi Dia --Subhanahu Wa Ta'ala-- berkehendak lain yang dengannya
lahirlah rahmat bagi umat.

Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata: "Perselisihan di dalam permasalahan furu’


di antara para ulama, merupakan perselisihan rahmat yang mana Allah
menginginkan agar tidak adanya kesulitan di dalam dien ini atas kaum mukminin."
(Syarh As Sunnah, 1/229).

Syaikh Mulla Ali Al Qariy berkata: "Hukum-hukum itu termasuk syari’at islam,
dimana perselisihan dalam ilmu hukum merupakan rahmat. Sedangkan perselisihan
dalam ilmu kalam adalah kesesatan dan bid’ah, dan juga kesalahan dalam ilmu
hukum adalah diampuni, bahkan pelakunya dapat pahala." Yang dimaksud ilmu
kalam oleh syaikh bukanlah ilmu manthiq (flsafat dan logika), tetapi yang beliau
maksud adalah ilmu kalam shahih yaitu ushuluddien. Dimana beliau berkata dalam
defnisi ilmu kalam: “Adalah ilmu tentang keyakinan-keyakinan agama dengan dalil-
dalil yang bersifat yaqin.” (Syarhul Fiqhul Akbar, hal. 165).

Dalam menyikapi terjadinya perbedaan pendapat di antara para shahabat dan para
ulama, sebagian ulama berpendapat bahwa pendapat-pendapat itu semuanya
benar. Sehingga tidak perlu meneliti sampai pada taraf dapat dipisahkan mana
pendapat yang salah dan mana yang benar. Maka boleh mengambil mana saja dari
berbagai pendapat yang berbeda-beda tersebut.
Akan tetapi bagi orang yang mengerti tentang hukum syara' (Al Qur'an, As Sunnah
dan Ijma') wajib mentahqiq (meneliti) sampai tidak diketahui adanya pendapat yang
bertentangan dengan hukum syara' tersebut.

Jika diketahui adanya pendapat yang bertentangan dengan syara', maka tidak boleh
mengambil pendapat tersebut. Namun jika tidak terdapat pertentangan dengan
hukum syara', diputuskan bahwa semua pendapat mujtahid adalah benar. Oleh
karena itu boleh mengambil salah satu dari semua pendapat tersebut. Tentu saja
konsekwensi dari pendapat ini bisa saja dua pendapat yang saling bertentangan
dianggap benar semua selama tidak diketahui adanya pertentangan dengan Al
Qur'an, As Sunnah dan Ijma'. Dengan demikian, fenomena ikhtilaf ini jika difahami
justru menjelmakan persatuan. Bahwasanya islam itu indah. Memberikan ruang
bagi akal supaya berdaya guna, karena kenyataannya islam benar-benar lautan
ilmu. Juga, feksibel.

Fleksibilitas islam ini bisa menerima orang yang sangat tegas dan formil seperti
Ibnu Umar; orang yang praktis seperti ibnu Abbas; orang yang rasionalis seperti Abu
Hanifah; orang yang tekstualis seperti Imam Daud Azh Zhahiri; dan orang yang
cenderung berpegang kepada hadits seperti Ahmad bin Hambal. Hal inilah yang
menjadi sebab suburnya pensyariatan dan kayanya hasil-hasil pemikiran fkih yang
tiada bandingannya. Subhanallah.

TERBENTUKNYA MADZHAB

Bahwasanya praktek ijtihad pada masa rasulullah hidup masih sangat sedikit,
kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu, karena pada masa itu kaum muslimin masih
berada dalam fase turunnya wahyu. Kebutuhan umat akan ijtihad mulai mendesak
setelah rasulullah wafat dan berpencarnya shahabat ke berbagai penjuru wilayah.
Semasa rasulullah masih hidup, telah ada sebagian sahabat yang memberikan
fatwa kepada manusia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, berkenaan dengan kisah
seorang pekerja buruh yang berzina dengan istri tuannya. Dalam hadits tersebut
dikatakan bahwa sebelum orang tua lelaki pekerja buruh yang masih bujang itu
menanyakan hukuman hadnya kepada rasulullah, dia telah bertanya kepada ahlul
ilmi yang ada di sekitarnya dan mereka telah menjawabnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir
3/271).

Sesudah rasulullah wafat, tidak semua sahabat menjadi mufti. Tugas fatwa dipikul
oleh sebagian mereka. Al 'Allamah Ibnu Qayyim menyebutkan masalah ini dalam
pendahuluan kitabnya, I'lamul Muwaqi'in. Kemudian karena banyaknya jihad
ekspansi dan banyak negeri-negeri kafr ditaklukkan tentara islam yang dipelopori
oleh para shahabat, maka tersebarlah mereka di seluruh penjuru negeri dan kota-
kota yang ada.

Pada waktu haji wada', jumlah sahabat yang ikut hadir bersama rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam pada saat itu tidak kurang dari seratus ribu shahabat.
Namun dari jumlah yang begitu banyak itu, yang dikuburkan di Pekuburan Al Baqi
hanya sekitar 250 shahabat saja. Atau bahkan kurang daripada jumlah itu. Maka
kira-kira selebihnya dimana mereka meninggal dan dimana mereka dikuburkan?
Wallahu A'lam. Yang jelas mayoritas mereka meninggal dalam keadaan
menunaikan tugas suci; keluar berdakwah dan berjihad fe sabilillah.

Disebutkan dalam sebuah hadits: "Shahabat-shahabatku laksana bintang. Dengan


siapapun kalian mengikutinya, berarti kalian telah menjadi orang yang mendapat
petunjuk". (Hadits ini diriwayatkan dengan jalan periwayatan yang banyak, namun
semuanya berderajad dhaif. Takhrij hadits ini dapat dilihat dalam kitab Hasyiah
Fath, bab: "Al Inayah" 1/13-14).

Kemudian para penduduk masing-masing negeri yang dikunjungi dan ditempati


para shahabat radhiyallahu 'anhum saling berguru dan belajar ilmu dari para
shahabat yang ada di kalangan mereka. Mereka belajar dari shahabat tersebut ilmu
syariat seperti Al Qur'an, Al Hadits, dan Fiqih.

Pada masa itu hadits dan fqih belum ditulis dan dihimpun dalam bentuk buku.
Hadits rasulullah baru mulai dibukukan dan dihimpun pada akhir abad pertama
pada tahun 99 H atas perintah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, karena beliau
khawatir ilmu akan hilang dengan wafatnya para ulama; sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari; bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat
kepada Abu Bakar bin Hazan yakni amil atau wakil beliau yang ditugaskan di
Madinah untuk meneliti hadits rasulullah dan menulisnya. Berkata Ibnu Hajar Al
Asqalany (852 H) bahwa Abu Na'im telah meriwayatkan kisah ini dalam Tarikh
Asbahan bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat ke seluruh penjuru
memerintahkan para alim ulama agar memperhatikan dan meneliti hadits rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam dan menghimpunkannya. (Lihat Fathul Bari I/194-195).
Maka para ulama pada masa itu bersegera menulis dan menghimpunkan hadits
dengan cara dan kebijaksanaan masing-masing. Ada yang menghimpunkannya
sesuai dengan jalur shahabat yang meriwayatkannya, maka ia dinamai masanid
(musnad) dan ada juga yang menghimpunkannya sesuai dengan bab ilmu dan
fqih, yang ini disebut Muwaththa', Mushannaf, Al Jami', Sunan, dan sebagainya.

Ringkasnya, as sunnah atau al hadits itu senantiasa terjaga keasliannya. Dimana


Allah Ta’ala telah mengilhamkan ilmu kepada para ulama yang tsiqah, mulai dari
para shahabat khulafaur rasyidin dan shahabat-shahabat Al Abadillah yang mulia
itu, lalu para tabi'in kemudian tabi'ut tabi'in, Atba' Tabi'it Tabi'in, sampai kepada
Ashhabu Kutubu Sittah dan seterusnya saling sambung menyambung. Terjaga
keasliannya.

Lantaran jasa para ulama tersebut, sempurnalah penulisan buku-buku hadits yang
masyhur pada akhir abad ketiga termasuk penyebutan perawi-perawinya, sehingga
ulama-ulama pakar sesudahnya yang berbicara dalam masalah ini masuk sebagai
rijal hadits; seperti Al Hafdz Al Mishri, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Ibnu Shalah dan
sebagainya. Semuanya merujuk kepada mereka – radhiyallahu 'anhum wa
rahimahum ajma'in.

Adapun pembukuan fkih dalam buku tersendiri yang sebelumnya masih bercampur
dengan kitab matan hadits sesuai dengan bab-babnya, baru terjadi pada akhir abad
kedua. Hampir satu abad setelah pembukuan matan hadits. Corak pembukuan atau
penghimpunannya yakni: para shahabatnya masyayikh serta murid-murid
menyusun fatwa-fatwa masyayikhnya dalam berbagai persoalan. Masyhur pada
saat itu adalah:

― Abu Hanifah di Kufah

― Al Auza'i di Syam

― Malik bin Anas di Madinah

― Sufyan bin Uyainah di Makkah

― Asy Syaf'i di Baghdad dan Mesir

― Ahmad bin Hambal di Baghdad

― Sufyan Ats Tsauri di Kufah, Makkah dan Bashrah


― Al Laits bin Sa'ad, Ishaq bin Rahawiyah, dan lain sebagainya.

Imam-imam ini berfatwa berdasarkan qur'an, sunnah, qaul sahabat dan tabi’in. Baik
dalam masalah yang telah disepakati oleh mereka maupun yang diperselisihkan.
Serta ada juga yang berfatwa bersandarkan qiyas dari Al Kitab, As Sunnah dan
Ijma'.

Dari sinilah lahir dan terbentuknya madzhab-madzhab, yaitu dari fatwa para imam
yang ditulis oleh murid-muridnya. Lalu madzhab-madzhab tersebut ada yang diikuti
dan ada yang tidak diikuti; tapi masih dianggap sebagai golongan ahlus sunnah.
Dan, ada pula yang bahkan diharamkan dan diperangi. Adapun madzhab-madzhab
yang masih diikuti yaitu:

― Madzhab Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.

― Madzhab Imam Malik bin Anas.

― Madzhab Imam Muhammad bin Idris Asy Syaf'i.

― Madzhab Imam Ahmad bin Hambal.

Pada akhirnya dikenal dengan sebutan Al Madzahib Al Arba’ah (madzhab yang


empat) atau Al Madzahib Al Kubra (madzhab yang besar), dimana setiap madzhab
tersebut mempunyai pengikut dari kaum muslimin, semenjak terbentuknya sampai
saat ini.

Adapun madzhab-madzhab ahlus sunnah yang sudah tidak diikuti; seperti Madzhab
Al Auza'i, Al Laits bin Sa'ad, Ishaq bin Rahawiyah dan lain sebagainya; semula
mereka mempunyai pengikut pada zamannya. Namun akhirnya terputus beramal
dengan madzhab mereka. Akan tetapi ucapan para imam tersebut tetap
terabadikan dalam kitab-kitab fqih dan masih diperhitungkan keberadaannya
dalam masalah ikhtilaf dan ijma'.

Sesudah mereka, muncul seorang ulama generasi atba' tabi'it tabi'in; dari kalangan
ahlus sunnah juga; Abu Sulaiman Daud bin Ali bin Khalaf Al Asbahani (202-270 H).
Beliau menolak qiyas dalam berdalil dan berhujjah. Hanya mengambil tiga: Al Kitab,
As Sunnah dan Ijma'. Dan beliau lebih menitik beratkan berhujjah dengan zhahirnya
nash-nash ayat, sehingga para pengikutnya disebut “Azh Zhahiriyah”. Dan
madzhabnya akhirnya disebut dengan Madzhab Zhahiri. Salah seorang penerusnya
yang sangat masyhur adalah Imam Ibnu Hazm. (Silahkan rujuk Al Jami' Li Abdil
Qadir: 12/25-32 atau juga tulisan Ustadz Mukhlas yang berjudul: MADZHAB,
BERMADZHAB DAN WAHABI).

Tambahan: Adapun golongan Syiah dan Khawarij mempunyai madzhab fkih


tersendiri, dan tidak terkategori sebagai ahlus sunnah. Sungguhpun madzhab
khawarij (yang dari Sekte Ibadhiyah: pengikut Abddullah bin Abadh) sempat
menguasai dan dianut lebih dari separuh penduduk di Kesultanan Oman, tapi tetap
saja ia dianggap sebagai ahlul bida'. Bahkan syi'ah dari Madzhab Zaidiyah; yang
diakui sebagai sekte syi'ah yang paling dekat dengan faham sunni; pun juga tetap
tidak dikategorikan sebagai ahlus sunnah. Dan kita tidak perlu membahasnya
terlalu detail di sini.

MADZHAB DARI TIGA GENERASI TERBAIK

Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian orang-


orang yang berikutnya kemudian orang-orang yang berikutnya”. (Muttafaqun 'alaih:
Al Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533).

Kata Al Qarn (generasi) bisa bermakna Abad. Namun yang dimaksud dalam hadits
ini adalah satu generasi dari manusia yang hidup di zaman yang berdekatan,
dimana mereka mempunyai prinsip dan tujuan yang sama.

Sehingga maksud Qarnin atau Qarn dari generasi nabi shalallahu 'alaihi wasallam
adalah Ash Shahabah. Yakni orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan pernah bersua dengan beliau. Mereka
mengikuti nabi (beriman) dan meninggal dalam keadaan islam.

Setelah itu, generasi di bawah shahabat. Yakni At Tabi'in. Mereka adalah orang-
orang yang pernah bertemu dengan shahabat. Kondisi mereka muslim, dan
meninggal dalam keadaan muslim. Juga, umumnya mereka menjadi murid-murid
para shahabat tersebut.
Generasi terbaik ketiga pada kurun sesudah mereka adalah para pengikut tabi'in.
Istilah yang biasa dipakai buat menamai generasi tersebut adalah: Tabi'ut Tabi'in
atau Atba' At Tabi'in. Yakni orang-orang yang pernah bertemu dengan tabi'in.
Mereka muslim, dan meninggal pun dalam keadaan muslim.

Jadi, tiga generasi awal islam tersebut adalah: Shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.

Berkata Ibnu Hajar Al Atsqalani (852 H) "Dan mereka --Ahlul Ilmi-- bersepakat
bahwasanya akhir dari pengikut tabi'in yang bisa diterima ucapannya adalah orang
yang hidup sampai batasan 220 H. Sesudah masa itu muncullah berbagai macam
bid'ah golongan mu'tazilah, menyebar omongan (ftnah)nya di sana-sini. Para
pengusung flsafat mengangkat kepala-kepalanya. Sementara itu ahlul ilmi tengah
menghadapi ujian dan cobaan, dipaksa mengatakan bahwa Al Qur'an adalah
makhluk. Situasi benar-benar berubah dan terus-menerus dalam keadaan yang
terbelakang serta memprihatinkan, sampai sekarang". (Lihat Fathul Bari 7/6).

Berdasarkan keterangan tersebut, maka tiga qurun (generasi) yang disebutkan


keutamaan dan kebaikannya oleh Rasulullah itu berakhir pada 220 H. Sehingga
generasi terbaik adalah mereka yang hidup pada masa rasulullah sampai tahun 220
H.

Sehingga tidak mengherankan jika imam-imam yang empat; Abu Hanifah (80-150
H), Malik bin Anas (93-179 H), Muhammad bin Idris Asy Syaf'i (150-204 H) dan
Ahmad bin Hambal (164-241 H); mereka berempat termasuk "yang diistimewakan"
oleh para ulama sesudahnya, karena mereka hidup dalam generasi terbaik itu.
Mereka hidup pada masa sebelum tahun 220 H dan bergaul dengan para ahlul ilmi,
bahkan termasuk imam-imamnya.

Catatan: Pembatasan hingga tahun 220 H tersebut tentu saja tidaklah mutlak;
masih ada kriteria lain yang harus dipenuhi. Sebab jika rentang tahun tersebut
benar-benar dijadikan standard, konsekwensi logisnya: Imam Daud Azh Zhahiri
(202-270 H) pun juga boleh masuk kriteria setara dengan empat madzhab (yang
merupakan generasi tabi'ut tabi'in), karena madzhab zhahiri tergolong madzhab
yang diikuti. Hanya saja ia terkendala oleh status generasi (qarn) yang beliau alami.
Wallahu A'lam. Yang jelas, pembagian tingkatan generasi itu dikukuhkan dengan
pernah saling jumpa dengan generasi yang lebih tua, bukan semata patokan tahun.
Simple-nya, siapapun yang pernah bertemu shahabat dan dia berwala' (loyal)
dalam keislaman hingga wafatnya, maka dia disebut tabi'in, tak peduli wafatnya
tahun berapapun. Lalu yang pernah bertemu tabi'in dengan kondisi keislaman yang
telah disebutkan tersebut, maka dia Tabi'ut Tabi'in. Dan seterusnya.

Catatan Tambahan: Disebutkan bahwa generasi shahabat yang terakhir adalah Abu
Ath Thufail Amir bin Watsilah Al Laits Radhiyallahu 'Anhu. Beliau juga dikenal
dengan sebutan Al Kanani. Diperkirakan oleh ahli sejarah wafatnya 102 H; riwayat
lainnya menyebutkan tahun 110 H. Beliau dimakamkan di Makkah Al Mukarramah.
Wafatnya shahabat yang terakhir ini menandai pindahnya era shahabat ke era
tabi’in.

Kembali ke imam yang empat; bahwa mereka berempat termasuk Tabi’ut-Tabi’in,


kecuali Abu Hanifah. Dimana status beliau diperselisihkan. Ada yang berpendapat
termasuk tabi’in karena disebutkan pernah bertemu dengan Anas Radhiyallahu
'Anhu --merupakan shahabat yang meninggal paling akhir nomor dua di bawah Al
Kanani-- dan meriwayatkan hadits dari beliau. Wallahu A'lam. (Lihat Muqaddimah Al
Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu tulisan Az Zuhaili).

Demikianlah! Yang paling penting untuk diketahui, bermadzhab dengan salah satu
dari madzhab tersebut bukanlah keharusan. Malah beberapa ulama
menganggapnya bid'ah. Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata, “Bermadzhab
tidak dikenali dan tidak diamalkan pada tiga abad yang terbaik. Hanyasanya ia
terjadi sesudah itu. Kalaulah bermadzhab itu baik, niscaya diamalkan oleh generasi
pada abad yang disaksikan kebaikannya oleh rasulullah. Maka tidak diragukan lagi
bahwa ia (bermadzhab) adalah termasuk bid’ah yang baru”. (Al Ihkam: 6/146).

Bahkan ulama sekaliber Ibnul Qayyim pun termasuk yang menganggap bid'ah. Kata
beliau: “Sesungguhnya kami mengetahui secara dharurah bahwasanya pada masa
shahabat tidak ada seorang pun yang menjadikan salah seorang di antara mereka
yang ditaqlidi dalam semua pendapatnya dan tidak ada sesuatu pun yang
digugurkan atau ditinggalkan dari padanya, dan meninggalkan pendapat-pendapat
yang lainnya dan tidak mengambil sesuatu pun darinya. Dan kami mengetahui
secara dharurah bahwa hal yang seperti ini tidak terjadi pada masa Tabi’in dan
tidak pula pada masa Tabi’it-Tabi’in --dan seterusnya sampai kata-katanya--
hanyasanya bid'ah ini adalah terjadi pada abad keempat... ” (I'lamul Muwaqi'in
2/189).
Memang, bermadzhab termasuk perkara baru. Sebab jika ditanya, "Apa madzhab
yang dianut Abu Bakar dan Umar?". Tentu tidak mungkin dijawab dengan salah satu
dari keempat madzhab tersebut. Tapi sungguhpun begitu, bermadzhab bukanlah
hal tercela atau terlarang. Banyak anjuran pula dari ulama untuk bermadzhab.

Para ulama memiliki sandaran serta menempuh cara pengambilan dalil yang
beragam, berkenaan dengan hukum bermadzhab. Ada yang mewajibkan, ada yang
mengecam. Bahkan ada yang membakukannya bagi masyarakat awam. Berkata
Abu Ishaq Asy Syathibi “Ucapan (pendapat) seorang mujtahid adalah merupakan
dalil bagi seorang awam.” (Al Muwafaqat: 4/216).

Imam Nawawi termasuk ulama yang mewajibkan bagi orang awam untuk
bermadzhab. Namun pendapat beliau tanpa disertai dalil. Alasan yang beliau pakai
adalah saddudz dzari’atit tarakhkhush (menutup wasilah yang mengantarkan
kepada sikap memilih yang rukhsah). Beliau tidak ingin masyarakat awam hanya
cenderung kepada yang rukhshah-rukhshah saja.

Pendapat An Nawawi pun diaminkan oleh Abul Hasan Al Kayya, dan dengannya
beliau memutuskan atau membakukannya. Imam Nawawi berpendapat bahwa:
Setiap orang yang tidak mencapai martabat ijtihad dari para fuqaha' dan orang-
orang yang memiliki semua bentuk ilmu... Seandainya dibolehkan mengikuti
madzhab mana saja yang dikehendakinya, niscaya akan membawa kepada
pengambilan yang ringan-ringan dari madzhab-madzhab yang ada sesuai dengan
hawa nafsunya. Dan memilih-milih antara yang demikian ini akan mengakibatkan
rusaknya dan merosotnya kualitas dalam menunaikan tanggung jawab dan
kewajiban. Berlainan dengan periode pertama. Sebab pada masa itu, madzhab-
madzhab belum terbentuk dengan sempurna dan memadai dengan hukum-hukum
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang terkoreksi dan dikenal. Oleh karena itu
diwajibkan berijtihad dalam memilih madzhab yang diikutinya, di atas ketentuan.
(Majmu' An Nawawi 1/55).

Lebih spesifk, Imam Nawawi bahkan mentarjihkan (menguatkan,


merekomendasikan dan menyarankan) bagi orang awam untuk bermadzhab
dengan Madzhab Asy Syaf'i. Begitulah.

Dari berbagai perbedaan pendapat tentang ber-madzhab itu, lantas mana yang
harus kita ikuti?
Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah; bahwasanya bermadzhab diperkenankan atau dibolehkan lantaran hajat
(memerlukan), tanpa mewajibkan. Dan bahwasanya tidak halal mengikatkan diri
dengan madzhab dalam suatu masalah; jika didapati bahwa Al Haq yang didasari
dalil menyelisihi pendapat tersebut. (Lihat Al Jami' Fi Thalabi Ilmi Syarif 5/35).
Sekalipun Ibnu Taimiyyah bermadzhab dengan Hambali, tapi beliau tetap
memberikan kebebasan bermadzhab dan tidak memaksa murid-muridnya harus
ikut beliau. Seperti: Ibnu Katsir bermadzhab Syaf'i, Ibnu Qayyim tidak bermadzhab,
dan lain-lain.

Maka urusan madzhab ini bukanlah kewajiban ataupun perkara kaku yang mengikat
dan mengekang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Bermadzhab hukumnya
Jaiz (boleh) dan bukannya wajib . Dengan kata lain, bermadzhab boleh dan tidak
bermadzhab pun juga boleh. Atau, tidak wajib untuk bermadzhab, dan tidak wajib
pula untuk tidak bermadzhab."

Pun demikian, kita perlu waspada akan perbuatan hanya mencari rukhshah dari
semua madzhab yang ada. Sebab pelarangan mengambil yang rukhshah saja itu
adalah ijma' yang tidak diperselisihkan lagi. Dalam hal ini Ibnul Abdil Barr angkat
bicara, "Berkata Sulaiman At Tamimi, “Jika engkau mengambil rukhshah setiap
orang alim, telah terkumpul pada dirimu kejahatan semuanya.”" (Jami' Bayanil Ilmi
2/92).

Catatan: Tabiat "hanya cenderung mengambil rukhshah setiap orang alim" adalah
perkara yang relatif dan butuh tabayyun. Sungguhpun ia amalan zhahir, tapi pada
dasarnya terkait erat dengan hal-hal zhanni: niat, maksud, wawasan keilmuan dan
latar belakang. Artinya, kita tidak boleh menghukumi seseorang yang beramal
dengan beberapa rukhshah ulama, terus kita tuduh dan vonis dia dengan ucapan
Ibnul Abdil Barr tersebut. Dan kita tak punya wewenang mengorek keterangan,
apalagi memaksa orang yang memiliki landasan hukum. Kita perlu melihat lebih
dalam sejauh mana dampak dari perbuatan mereka, kalau toh harus merubah dan
memberi hujjah yang lebih kuat. Karenanya; agar kita tidak terjerembab dalam
sikap zhalim atas dasar kebodohan; maka perkara ini harus dikembalikan pada
hukum asalnya. Yakni Allah menyukai jika hamba-hamba-Nya mengambil rukhshah-
Nya.
Allah Ta'ala berfrman, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak
menghendaki kesukaran bagimu". [Al Baqarah: 185].

Sabda rasululah shalallahu 'alaihi wasallam, "Agama itu adalah mudah, sedang
agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah". (Riwayat
Bukhari dari Abu Hurairah)

Kalau di zaman salaf, orang yang cenderung pada rukhshah-rukhshah relatif mudah
terindikasi. Salah satunya dengan melihat kitab pegangan mereka. Dimana pada
masa itu telah menyebar kitab-kitab yang berisi kumpulan rukhshah produknya
ulama suu' yang oleh para salaf sangat dikecam. Sesiapa merujuk pada kitab itu,
dia pantas kena tuduhan. Sampai pada akhirnya kitab-kitab tersebut dimusnahkan.

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menyebutkan tentang biograf Khalifah Al


Mu'tadhidh Billah: Bahwa Isma'il Al Qadhi, beliau berkisah: Suatu kali aku masuk
menemui khalifah. Kemudian beliau menyodorkan kepadaku sebuah kitab. Akupun
melihatnya. Ternyata kitab itu berisi kumpulan rukhsah-rukhsah (hukum-hukum
yang paling ringan) dari pendapat ulama yang keliru. Maka aku berkata, "Penulis
kitab ini zindiq (orang yang ingin merusak islam, tapi menampakkan diri sebagai
muslim)." Khalifah bertanya, "Bukankah hadits-hadits yang jadi landasan ini
shahih?" Aku jawab "Ya! namun ulama yang membolehkan khamr tidak
membolehkan mut'ah. Ulama yang membolehkan mut'ah tak membolehkan
nyanyian. Tidaklah seorang alim ulama melainkan punya satu ketergelinciran
(pendapat yang keliru). Barangsiapa yang mengambil pendapat yang keliru dari
setiap ulama, agamanya akan hilang." Kemudian khalifah memerintahkan kitab itu
untuk dibakar. (Siyar A'lam An Nubala' 13/465).

Dari berbagai uraian tersebut cukuplah meringankan langkah kita antara harus
bermadzhab ataukah meninggalkannya. Ada kemudahan, dispensasi dan
"kebebasan" dalam hak pilih. Kendati demikian, eksistensi dari madzhab-madzhab
yang ada --terutama madzhab yang empat itu-- tidak boleh kita lecehkan. Kita
harus ingat bahwa madzhab empat tersebut adalah mutiara warisan dari tiga
generasi awal islam, yakni generasi terbaik dari umat ini. Para ulama ahlus sunnah
senantiasa memuliakan mereka, serta menghargai perselisihan ijtihad mereka. Kita
pun juga harus memberikan ikram atau penghormatan kepada mereka. Wa laa
nuzakki 'alallahi ahada.
PERIHAL TAKLID DALAM BERMADZHAB

Penulis tafsir “Adhwa'ul Bayan”, Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithi
berkata, "Adapun bentuk taqlid yang dilakukan oleh orang-orang akhir yang
menyelisihi para shahabat dan selain mereka yang hidup pada abad yang
disaksikan kebaikannya adalah taqlid kepada satu orang tertentu tanpa yang
lainnya dari seluruh ulama maka sesungguhnya taqlid semacam ini tidak tersebut
dalam nash Al Kitab dan As Sunnah, dan tidak ada seorang pun dari sahabat
rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang berpendapat seperti ini dan tidak juga
seorang pun dari mereka yang hidup pada abad yang disaksikan kebaikannya..."

"... Dan pendapat ini menyelisihi ucapan-ucapan imam-imam yang empat, tidak ada
seorang pun dari mereka yang berpendapat dengan jumud di atas pendapat satu
orang tertentu tanpa yang lain dari seluruh ulama' kaum muslimin".

"... Maka taqlid kepada alim tertentu adalah termasuk bid'ah pada abad ke empat,
siapa yang tidak setuju dengan pernyataan ini, silahkan tunjukkan kepada kami
contoh satu orang saja yang hidup pada masa tiga abad pertama yang memegangi
madzhab satu orang tertentu, sekali-kali tidak akan dapat memberikan contoh
selama-lamanya, karena memang tidak terjadi sama sekali". (Rujuk: Adhwaa'ul
Bayan 7/488-499).

Dalam hal ini imam madzhab sendiri juga sepakat untuk tidak bertaklid, bahkan
terhadap hasil ijtihad di madzhabnya.

Al Imam Abu Hanifah berkata, "Apabila aku mengucapkan suatu ucapan (pendapat)
dan kitab Allah menyelisihinya, maka tinggalkan ucapanku karena Kitab Allah.
Dikatakan, “Apabila sabda rasulullah, menyelisihinya?” beliau berkata, “Tinggalkan
ucapanku karena khabar (hadits) rasulullah.” Dikatakan, “Apabila ucapan para
shahabat menyelisihinya?” beliau berkata, “Tinggalkan ucapanku karena ucapan
para shahabat.” (Lihat Fiqhul Majid hal 34). Dalam riwayat lain beliau mengatakan,
“Apabila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”

Al Imam Malik bin Anas berkata, “Setiap orang ucapannya bisa diambil dan
ditinggalkan kecuali rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.” (Lihat Fathul Majid hal
341). Dalam riwayat lain dikatakan, “Kecuali orang yang berada di dalam kubur ini
(maksudnya rasulullah)”
Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syaf'i berkata: “Kaum muslimin telah berijma'
bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah rasulullah, dia tidak akan
meninggalkannya karena ucapan seseorang dari manusia.” (Lihat I'lamul Muwaqi'in
oleh Ibnul Qayyim I/8). Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Apabila hadits
shahih, maka dia adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku (yang menyelisihi
hadits shahih) di belakang tembok.”

Al Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Aku heran terhadap suatu kaum, mereka
mengetahui isnad dan shahnya namun bermadzhab kepada pendapat Sufyan,
sedang Allah Ta’ala berfrman "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih". [Al Hajj:
64]. Tahukah kamu apa ftnah itu? Fitnah adalah syirik. Bisa jadi jika dia menolak
sebagian sabdanya, terjadi dalam hatinya sesuatu yang menyimpang maka dia
binasa.” (Kitabut Tauhid atau Fathul Majid hal 339). Dan dalam riwayat lain beliau
berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits rasulullah, maka dia berada di tepi
jurang kebinasaan.”

Jelas bukan? Bahkan para imam dimana madzhab dinisbatkan kepada mereka saja
tidak mewajibkan umat untuk memakai madzhab mereka. Mereka menyadari
bahwa dalam pendapatnya pasti ada juga yang tak bersesuaian dengan kandungan
qur'an, hadits maupun jumhur.

Sisi lain; ucapan para aimmah madzahib tersebut menunjukkan betapa berakhlak,
'alim, faqih, tawadhu', wara' dan mulianya mereka. Selebihnya dengan memahami
perkara ini, diharapkan bisa menghilangkan apriori kita terhadap madzhab;
sungguhpun tak mau bermadzhab. Betapa madzhab merupakan khasanah ilmu
yang sangat berharga dalam islam, peninggalan para ulama yang merupakan
pewaris para nabi.

MADZHAB TANPA NAMA

Kita telah mengenal bahwa madzhab ahlus sunnah sangat banyak. Ada yang
terkenal dan ada yang tidak dikenal. Ada yang sudah tidak diikuti dan ada yang
masih terus dilestarikan sampai sekarang. Ada yang dihapus sendiri oleh
pendirinya, tapi tulisannya sudah terlanjur menyebar, dan dia keburu wafat. Dan
lain sebagainya.
Dalam hal bermadzhab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membolehkan menisbatkan
diri atau kelompok dengan nama Imam-Imam dan masyayikh seperti Al Hanaf, Al
Maliki, Asy Syaf'i, Al Hambali ataupun Al Qadiri, Al Adawi atau nama-nama qabilah
seperti Al Qaisi, Al Yamani atau nama-nama negeri seperti Asy Syarni, Al Iraqi, Al
Mishri dan sebagainya dengan syarat tidak mendasarkan wala' dan bara' atau
bermuamalat dan muadatnya di atas nama-nama tersebut. Yakni tidak boleh
ta'ashub di atas tiap isim yang dipilih atau dinisbat padanya. (lihat Majmu' Fatawa
3/416). Bersandar keterangan tersebut, makanya Abu Sittah At Tenjuluniy alias
Ustadz Mukhlas Rahimahullah dalam KOREKSI MAJALAH SYARI'AH berpendapat
bolehnya menyematkan atau menisbatkan diri kepada nama-nama masyayikh.
Misalnya kepada Bin Baaziy, Utsaiminiy, Nashiriy, Wadi'iy dan sebagainya, termasuk
As Salafy. Siapapun sah-sah saja menisbatkan diri ke mereka. Wallahu A'lam.

Madzhab itu sendiri secara bahasa artinya: Jalan yang dilalui dan dilewati; Sesuatu
yang ditempuh seseorang, baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan
madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Ulama
berpendapat, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk
setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya
menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-
bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Secara umum
--menurut ulama fkih-- adalah sebuah metodologi fkih khusus yang dijalani oleh
seorang ahli fkih; mujtahid; yang berbeda dengan ahli fkih lain, yang
menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. (Al
Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah, oleh DR. Umar Sulaiman Al
Asyqar).

Dari defnisi itu, meninggalkan madzhab yang masyhur lantas menempuh metode
pendalilan di luar madzhab yang empat itu pun juga bisa dikatakan bermadzhab.
Dan bermadzhab tidak harus punya nama. Sebutlah misal Imam Sufyan. Beliau
adalah salah satu imam madzhab juga, sebagaimana pernah diucapkan oleh Imam
Ahmad, "Aku heran terhadap suatu kaum, mereka mengetahui isnad dan shahnya
namun bermadzhab kepada pendapat Sufyan..." (Fathul Majid, 339).

Imam Ahmad menyebut Madzhab Sufyan. Sementara banyak umat tidak tahu atau
mungkin juga belum pernah mendengar ada madzhab itu, meski mereka
menerapkan pendapat-pendapat Imam Sufyan. Beliau sendiri pun juga tidak
memproklamirkan atau menobatkan namanya sebagai sebuah madzhab yang mesti
dianut.
Sebutlah juga Imam Ibnu Hazm. Beliau sangat mengecam keras bermadzhab, tapi
umat malah menetapkan beliau sebagai salah satu imam madzhab zhahiri.

Lain halnya dengan Imam Asy Syaukani (1250 H). Beliau dalam menulis kitab-kitab
fqih tidak terikat dengan madzhab tertentu. Beliau berusaha mencari dan memilih
yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah. Namun, sebagian hujjah beliau banyak
mengutip pendapat imam-imam Syi'ah Zaidiyah (mengklaim pengikut Imam Za'id
bin Ali bin Al Husain (122 H) dimana madzhab mereka merupakan madzhab syi'ah
yang paling dekat dengan pemahaman ahlus sunnah. Di masa itu, mereka tidak
mengkafrkan para shahabat. Hanya saja lebih mengutamakan Ali dari pada Abu
Bakar dan Umar). Dalam beberapa sisi pendalilan pun juga ada kemiripan dengan
Ibnu Hazm yang berdalil dengan istishab, hanya saja beliau tetap memakai qiyas.
Bahkan kitab fkihnya pun juga banyak. Tapi nama atau metode beliau tidak
ditetapkan oleh umat sebagai sebuah madzhab.

Demikian halnya dengan Sayyid Sabiq. Beliau termasuk alim yang menyerukan
untuk berlepas dari madzhab, tapi dengan gaya penulisan yang santun dan tanpa
merendahkan para ulama. Sementara itu kitab fkih beliau; Fiqhus Sunnah; selalu
jadi rujukan banyak umat. Banyak umat secara fanatik bermadzhab dengan kitab
itu, dimana hal demikian bisa juga menjadikan dirinya pantas digelar sebagai imam
madzhab kontemporer; generasi khalaf. Tapi kenyataannya tak pernah muncul
nama Madzhab Sayidy atau Sabiqy. Memang tak ada nama, tapi banyak yang
ta'ashub dengannya. Dan ini hanya contoh kecil di antara realita ta'ashub yang ada.

Makanya sangat mengherankan bagi kalangan intelek maupun orang awam yang
menyerukan untuk meninggalkan madzhab dengan dalih persatuan umat, akan
tetapi dia sendiri justru ta'ashub dengan tokoh atau golongan tertentu, baik yang
sudah meninggal maupun yang masih hidup. Lebih ironis lagi kalau sampai
ta'ashub kepada pendapat sendiri: menafsir qur'an dengan ra'yu tanpa melibatkan
ulama terpercaya. Wal iyyadzu billah.

Para ulama salaf, meski berbeda-beda madzhab, namun persatuan tetap utuh.
Ukhuwah terjalin erat. Artinya, ikhtilaf dalam madzhab bukanlah biang perpecahan.
Tajamnya permusuhan, justru timbul dari orang-orang yang tidak memahami
hakikat perbedaan itu, yakni orang-orang tak berilmu dan nyaman dengan
perpecahan.
MADZHAB ZHAHIRI

Mengingat betapa mengakarnya madzhab zhahiri di Bumi Nusantara, dimana di


satu sisi banyak juga yang kurang faham akan kedudukan madzhab ini dalam
khasanah keislaman, sehingga apriori pun kerap tertuju kepadanya. Kenyataannya,
kitab-kitab madzhab ini sampai sekarang tetap dijadikan bahan pembanding
terhadap ijtihad ulama fkih. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa
kitab-kitab madzhab zhahiri adalah kitab yang paling tepat dan setara untuk
mentarjih ijtihad dari empat imam madzhab. Dengan begitu, umat semakin faham
akan keluasan penjabaran dari fkih.

Kalau madzhab yang empat, sudah dikenal secara luas oleh sebagian besar umat
islam. Karenanya ia tidak usah diuraikan terlalu detail. Adapun zhahiri, belum
banyak masyarakat awam yang mengenalnya. Karena itu kita perlu membahasnya.
Sebagai pengayaan wacana kita terhadap madzhab. Dengan ini, umat tetap
memiliki "kebebasan" dan diperkenankan memilih metode manapun dari berbagai
madzhab ahlussunnah yang dirasa KLIK alias PAS di hatinya. Tentu saja, tiap
madzhab menempuh cara berdalil yang bervariasi. Sehingga dahaga akal masing-
masing orang dapat "terpuaskan" dengan kebebasannya mengekspresikan daya
nalarnya dalam keberagaman madzhab. Yang pastinya kesemuanya itu bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.

Madzhab Zhahiri. Penamaan madzhab tidak diambil dari tokoh pendirinya


--sebagaimana madzhab-madzhab lain-- melainkan melalui corak berfkir dan cara
penggalian dalil dari madzhab tersebut yang memahami teks secara literal (zhahir).
Para ulama sepakat bahwa Daud bin Khalaf orang yang pertama sekali berpendapat
dan menggunakan metode zhahiri. Mereka juga tidak berselisih bahwa Madzhab
Zhahiri (ada juga yang menyebutnya Madzhab Ad Daudi) termasuk satu di antara
madzhab ahlus sunnah yang dibawa oleh Daud bin Ali bin Khalaf Al Ashbahani, yang
dilaqabi dengan Daud Azh Zhahiri. Lahir di Kufah antara tahun 200, 201 dan 202 H.
(Ibnu Khallikan, Wafyat Al A'yan: Juz 2 Hal 257).

Demikianlah. Dari Kufah Daud bin Khalaf Merantau ke Naisabur dan besar di
Baghdad. Mulanya bermadzhab Syaf'i dan termasuk orang yang begitu mencintai
sang imam sehingga menulis dua buku mengenai keutamaan dan sanjungan
kepada Imam Syaf'i. (Lihat Umar Ridha Kihalah, dalam Mu'jam Al Muallifn: 1/700).
Imam Daud adalah seorang mujtahid, muhaddits, hafzh, zahid dan wara'. Karya-
karya beliau penuh dengan hadits, sehingga hadits merupakan fkihnya. Di antara
guru beliau adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaurin Rahimahumallah. Keluasan
ilmu dan pengaruhnya di masyarakat dapat dilihat dari banyaknya yang hadir di
majlis tempat beliau mengajar. Dikatakan, setiap harinya ada empat ratus orang
yang hadir di majlis Imam Daud.

Imam Daud dikenal sebagai tokoh yang tidak terikat pada pendapat jumhur atau
mayoritas ulama. Pada saat banyaknya corak ragam fkih dan madzhab-madzhab
muncul, Imam Daud mengajak masyarakat kembali kepada zhahir ayat dengan
mengumandangkan kedudukan sunnah. Menurutnya, ijma' hanya terbatas kepada
ijma’ shahabat, dan sesudah shahabat tidak mungkin lagi terjadi ijma'.

Imam Daud Azh Zhahiri sangat mengecam keras aliran Bathiniyah dan Mu'tazilah.
Menurutnya, kedua sekte itu sudah melampaui batas dalam menggunakan akal
dalam memahami nash.

Imam Daud melarang taklid secara mutlak sekalipun itu orang awan. Jika ia tidak
mampu berijtihad hendaknya bertanya kepada orang yang mampu memberikan
penjelasan dalil al qur'an, sunnah ataupun ijma'. Karena itu beliau sering ditentang
oleh ulama. Menurutnya taklid adalah suatu perbuatan yang sangat tercela di
dalam agama, karena itu setiap orang harus berusaha memperluas wawasan ilmu
pengetahuannya sehingga mampu mengambil hukum dari sumber aslinya, yaitu Al
Qur’an dan As Sunnah.

Dalam rangka memahami sumber-sumber utama tersebut, para pengikut madzhab


zhahiriyah menolak intervensi rasio dengan segala bentuknya. Dengan demikian,
konsep qiyas, istihsan dan takwil mereka tolak. Ketika Imam Daud ditanya,
“Bagaimana Anda membatalkan qiyas padahal Syaf'i menganutnya?” Beliau
menjawab, “Saya mengikuti argumentasi Syaf'i dalam membatalkan
istihsan, maka saya juga menemukan adanya pembatalan pada qiyas”.
Perpindahan Daud Azh Zhahiri dari Madzhab Syaf'i ke Zhahiri ada kaitannya
dengan pengaruh metodologi fkih Syaf'i serta maraknya periwatan sunnah pada
masa itu, sehingga beliau cenderung merujuk kepada nash semata. Adapun untuk
mengatasi persoalan yang belum tersentuh secara jelas oleh nash; baik Al Qur'an Al
Karim maupun As Sunnah; mereka menerapkan metode yang disebut Ad Dalil dan
Istishab.
Imam Daud wafat pada 270 H. (Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad,
9/348).

Madzhab Zhahiri berkembang pesat di wilayah Irak dan sekitarnya pada kurun abad
3 dan 4 H. Zhahiri adalah madzhab ke empat di negeri timur setelah Hanafy,
Syaf'i, dan Maliki. Kemudian disusul Hanbali. Namun pada abad ke 5 H, di bawah Al
Qadhi Ibnu Abi Ya'la (458 H). Madzhab Hambali berkembang mengalahkan Madzhab
Zhahiri.

Pada saat Madzhab Zhahiri mundur di negeri timur, madzhab ini bersinar di wilayah
barat: Andalusia. Bukan karena banyaknya pengikut, melainkan lantaran sosok
intelektual cemerlang keturunan Quraisy; Ibnu Hazm; Seorang tokoh yang memiliki
argument kuat dan berpengetahuan luas di bidang tauhid, fkih, flsafat, sastra, dan
kebudayaan.

Ibnu Hazm (384-456 H) berjasa besar melestarikan Madzhab Zhahiri sehingga furu’
dan ushul madzhab tidak berserakan dalam buku-buku ataupun madzhab-madzhab
lain. Karya Ibnu Hazm termasuk dalam deretan karya-karya besar perbendaharaan
islam.

Jelaslah! Dalam perkembangannya, madzhab ini tidak dapat dilepaskan dari sosok
Ibnu Hazm, ulama terkemuka "Taman Qordova" yang menjadi pilar utama bagi
madzhab zhahiri. Melalui Ibnu Hazm, selain cabang-cabang dan ushul-ushul
madzhab dapat dilestarikan, beliau juga berjasa dalam memformulasikan dan
mengembangkan metodologi pendalilan ala zhahiri. Benar-benar sosok ulama yang
produktif. Sungguh sekiranya Ibnu Hazm hidup di zaman tabi'ut tabi'in, niscaya
pamornya kian melejit, serta status madzhabnya direkomendasi sejajar dengan Al
Madzahib Al Kubra. Wallahu A'lam.

Kemunduran madzhab zhahiri di Timur dan kemajuaannya di Barat ini membuat


nama Ibnu Hazm lebih terkenal dari pada Imam Daud sendiri. Dan juga oleh karena
kitab-kitab Ibnu Hazm lebih diminati daripada kitab-kitab Imam Daud, makanya
banyak orang salah menilai kalau Ibnu Hazm adalah pendiri Madzhab Zhahiri.
Demikianlah.

MEREKA ADALAH ULAMA RABBANI


Ibnu Abidin menyebutkan nukilan dari Al Bairiy pada permulaan penjelasannya
untuk Al Asybah 'An Syarh Al Hidayah tulisan Ibnu Asy Syahnah, sebagai berikut:
"Jika benar hadits tetapi bertentangan dengan madzhab, maka yang diamalkan
adalah hadits. Dan itu (yang seharusnya) menjadi madzhabnya..."

Al Imam Asy Syaf'i berkata, "Jika hadits itu shahih, maka itulah madzhabku
(pendapatku)". (Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab: 1/63, karya Al Imam An Nawawi).

Seyogianya kita musti memahami hakikat perbedaan pendapat agar tidak timbul
sikap ghuluw, fanatik, berat ke kanan atau ke kiri dalam menilai, saling salah
paham dan su'uzhan. Sebab, realita ikhtilaf dalam madzhab memang merupakan
perkara yang terlampau rumit difahami jika kita tidak sungguh-sungguh
mengkajinya. Harus dimengerti kembali bahwa madzhab itu tidak mengikat
membelenggu. Ia bahkan harus ditinggalkan jika menyelisihi qur'an dan sunnah;
namun juga bukan berarti madzhab itu sesat.

Kalau kita tidak bijak dan atau bahkan tergesa-gesa membuat kesimpulan buruk
terhadap madzhab, ujung-ujungnya akan timbul syak dan keragu-raguan terhadap
fkih. Jika ragu terhadap fkih, tentu ragu pula terhadap para ulama. Atau
sebaliknya, yakni: Jika terhadap ulama sudah ragu, nanti akan ragu pula
akan ilmu fkih, yang merupakan bagian dari syariah. Jika sudah demikian, ia
nantinya hanya akan menjadi orang-orang yang suka menebar dan melebarkan
persoalan "sepele" yang diperdebatkan di antara para pengikut madzhab.
Tersibukkan dengan yang furu' yang tidak dikuasainya, seraya berpaling dari
sesuatu yang ushul. Lelah akhirnya.

Para ulama tidaklah meninggalkan hadits shahih. Kalau toh ada yang tidak
bersesuaian dengan hadits, tentu ia terjadi dengan banyak kemungkinan: bisa jadi
memang hadits tersebut belum sampai padanya, atau derajad hadits tersebut
masih diperselisihkan, atau barangkali ada hadits lain yang lebih kuat yang telah
menasakhnya, dan lain-lain sebab.

Ucapan Imam Ibnu Abdil Barr --seorang ahli hadits dari Maroko-- yang dengan
kearifannya membela para ulama ini perlulah kita renungkan: "Tidak ada seorang
pun di kalangan ulama yang menolak hadits shahih. Penolakan mereka bukan
sekedar penolakan. Tetapi ada kalanya ia disebabkan lantaran hadits tersebut oleh
sebagian ulama dianggap telah dinasakh (dihapus) oleh hadits lain; atau tidak
memenuhi standard kelayakan sebuah hadits menurut mereka. Jika salah seorang
dari ulama menolak sebuah hadits shahih tanpa dasar apapun atau tanpa alasan
yang jelas, maka status mereka sebagai orang adil menjadi hilang, dan tidak pantas
menyandang gelar imam. Serta tidak ragu lagi bahwa sifat fasik menempel pada
diri mereka." (Jami' Al Bayan Al Ilmi Wa Fadhlihi: 2/148).

Kita musti percaya bahwa para ulama fuqaha telah benar-benar mengerahkan
seluruh daya upayanya untuk merumuskan suatu pendapat dalam berijtihad.
Karenanya, defnisi dari ijtihad itu, "Mengerahkan segenap kemampuan dalam
mengambil hukum dari dalil-dalil syariat." (Tashil Al Wushul Lil Mahlawi, 320).
Sehingga tatkala ada beberapa dari fatwa atau pendapat para imam madzhab yang
tidak dicantumkan dalil padanya, itu lantaran dalam penulisan fkih memang
memiliki beberapa "tradisi". Salah satunya yakni dengan cara meringkas atau
menarik kesimpulan dari sebuah ijtihad. Jadi ketika dalil tidak dicantumkan, bukan
berarti ia tak berdalil. Begitulah.

Namun jika ada pendapat lain yang lebih terinci dengan dalil, sedang ia kuat, maka
itulah yang layak diambil. Tanpa mencela pendapat lain; Yakni pendapat para
aimmah salaf yang --notabene-- sudah masyhur dalam keteguhannya memegang
ajaran rasulullah.

Adapun jika keberagaman metode para imam mujtahid hendak dikorelasikan


dengan kaidah-kaidah dan dhawabith (batasan-batasan baku) dari ilmu hadits,
dimana dalam kajian ilmu hadits itu ada dhawabith untuk memahami sunnah
rasulullah yang tidak boleh dilanggar. Artinya siapapun yang ingin memahami suatu
hadits, dia harus merujuk pada dhawabith yang telah ditentukan oleh para ahli
hadits. Demikianlah. Tapi hal tersebut akan sangat tidak mendasar jika dipakai buat
"menghukumi" para mujtahid madzahib generasi salaf.

Fakta ilmiyah memberikan gambaran bahwa setiap mujtahid mempunyai kaidah


dan dhawabith tersendiri yang digunakan dalam menggali hukum syariat. Masing-
masing mujtahid tersebut boleh saja menganggap kaidah yang dipegangnya adalah
yang paling tepat. Mereka tidak berkewajiban mengikuti metode mujtahid lainnya.
Terlebih lagi, mereka hidup di era sebelum hadits-hadits kutubus sittah (hadits yang
enam milik: Al Bukhari 256 H, Muslim 261 H, Ibnu Majah 273 H, Abu Daud, 275 H,
At-Tirmidzi 279 H, dan An Nasa'i 303 H) itu dibukukan; atau malah sebelum mereka
lahir. Sungguh status ke-mujtahid-an yang dianugrahkan Allah kepada tiap-tiap
mujtahid generasi salaf itu membuat mereka tidak lagi disebut sebagai muqallid.
Makanya, Imam Bukhari dan Imam Muslim pun bahkan bermadzhab dengan Syaf'i.
Juga masih banyak ulama hadits lainnya yang memilih untuk bermadzhab.

MADZHAB DENGAN MADZHAB

Ketika hujjah bertemu hujjah, maka tidak boleh ada saling hujat dan saling cela .
Perbedaan pendapat adalah realitas tak terelakkan, bukan untuk menyuburkan
perpecahan. Dan kita pun tidak mungkin dapat menghapuskan perbedaan
pendapat. Berbeda pendapat dibutuhkan kelapangan dada dan ketinggian adab
untuk menghormati setiap pandangan dengan pihak yang berbeda.

Al Imam Yunus bin Abdul A'la Ash Shadaf Rahimahullah (salah seorang murid
sekaligus shahabat Al Imam Asy Syaf'i) berkata: ”Aku tidak mendapati orang yang
lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syaf'i. Suatu hari pernah aku berdiskusi
(berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan
menggandeng tanganku seraya berkata: "Hai Abu Musa, tidakkah sepatutnya kita
tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun?" (tentu
dalam masalah-masalah ijtihadiyah)”. (Siyaru A'lam An Nubala': 10/16-17).

Al Imam Yahya bin Sa'id Al Anshari Rahimahullah berkata: ”Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para
mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun mereka tidak saling mencela
satu sama lain”. (Tadzkiratul Hufadz, 1/139 dan Jami' Bayan Al 'Ilmi Wa Fadhlih,
393).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: ”Seandainya setiap kali


dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling
menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikit pun ikatan
ukhuwah di antara kaum muslimin”. (Majmu' Al Fatawa: 24/173).

Dikisahkan, Khalifah Utsman Radhiyallahu 'Anhu menjadi Amirul Hajj, memimpin


perjalanan haji. Beliau berijtihad, shalat dzuhur dan asar di Mina dikerjakan tanpa
qashar karena banyak jamaah yang mukim di Makkah. Sementara Ibnu Mas'ud
berpendapat, dua shalat itu seharusnya diqashar. Sebagaimana ini yang
dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Karena terjadi
perbedaan pendapat, Ibnu Mas'ud mengkritik keputusan Utsman. Meskipun
demikian, Ibnu Mas'ud tetap ikut shalat jamaah dzuhur dan asar di Mina
bermakmum dengan Utsman Radhiyallahu 'Anhuma.

Secara teori pendapat Ibnu Mas'ud berbeda dengan Utsman. Namun dalam
prakteknya, Ibnu Mas'ud mengikuti Utsman. Kata Ibnu Mas'ud: "Perselisihan itu
lebih jelek." (Diriwayatkan Abu Daud No. 1962).

Nasihat: Maka dari itu perlulah kita mentauladani para salaf. Dimana tatkala ada
ikhwah yang terkenal memegang keras satu pendapat, bahkan dia termasuk
'pentolan'nya, lantas di lain kesempatan dia mengerjakan amalan yang bertolak
belakang dengan pendapatnya, maka tak perlu dihujat dan dighibah. Kita musti bisa
membedakan antara plin-plan (ke-tidakkonsisten-an) dengan kepahaman terhadap
ilmu. Dalam perkara ijtihadi, sungguh tak ada keharusan untuk melazimi pendapat
secara mutlak. Artinya, dia bebas berubah sewaktu-waktu menurut sikon yang
terjadi. Maka jika demikian, ketika kita menggunjing orang yang "berubah", itu
sama saja dengan kita memaksa, menghapus udzur dan memperketat orang lain
untuk tetap berada pada "kesempitan". Dengan kata lain, telah berbuat zhalim.

Kalau kita mencela orang yang berubah; apa lagi perubahannya lantaran ilmu dan
bukan sekedar hawa nafsu; menunjukkan kita belum faham akan dien ini. Beda
halnya dengan orang jahil yang telah dikenal dengan ke-nyleneh-an dan kebiasaan
buruknya, tentu neraca untuk menilai orang tersebut tak sama dibandingkan
dengan menilai orang yang telah dikenal akan kebaikan ataupun kiprahnya dalam
perjuangan islam. Demikianlah.

Adapun taushiyah-taushiyah dari para ulama serta kisah-kisah teladan semisal itu
masih sangat banyak. Abu Hanifah Rahimahullah, shahabat-shahabat beliau, Imam
Syaf'i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah
sebagai ayat pertama dari surah Al Fatihah, biasa bermakmum di belakang imam-
imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat
itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al Fatihah, baik pelan
maupun keras. (lihat Al Inshaf Lid Dahlawi: 109).

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa


berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh
seseorang, ”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam
atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun
menjawab, ”Subhanallah! Apakah engkau tidak mau shalat di belakang Imam Sa'id
bin Al Musayyib Rahimahullah dan Imam Malik bin Anas Rahimahullah?” (karena
beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan
tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu' Al Fatawa: 20/364-366. Lihat juga Al Inshaf Fie
Bayan Al Ikhtilaf, Imam Ad Dahlawi, 24-25).

Khalifah Harun Al Rasyid pernah bertindak selaku imam dalam shalat sementara
beliau baru saja berbekam, dan Imam Abu Yusuf (beliau adalah murid senior dari
Abu Hanifah; dan merupakan guru dari Ahmad bin Hanbal) menjadi makmumnya.
Abu Yusuf tidak megulangi shalatnya, padahal pendapat keduanya saling
berseberangan dalam hal apakah bekam membatalkan wudhu atau tidak.

Imam Al Dahlawi berkata, "Dalam Al Bazaziyah disebutkan dari Imam Ats Tsani
(maksudnya Abu Yusuf) bahwa beliau melaksanakan Shalat Jum'at. Sebelumnya
beliau mandi di sebuah pemandian dan melaksanakan shalat bersama kaum
muslimin. Usai shalat masing-masing keluar dari masjid. Kemudian tersiar kabar
bahwa di sumur tempat Abu Yusuf mandi ada bangkai tikus. Maka Abu Yusuf
berkata, 'Jika demikian, kami menggunakan pendapat saudara-saudara kami di
Madinah. Bahwa jika air mencapai dua kullah, tidak dihukumi sebagai air najis'..."

Imam Al Khajandi pernah ditanya tentang seorang laki-laki bermadzhab Syaf'i yang
meninggalkan satu atau dua shalat sunnah. Kemudian orang tersebut beralih ke
Madzhab Hanaf. Jika dia ingin mengqadha shalatnya, apakah harus dengan tata
cara Madzhab Syaf'i ataukah Hanaf? Beliau menjawab, "Di antara kedua madzhab
tersebut, yang manapun boleh dipilih tidak masalah."

Dalam Jami' Al Fatawa disebutkan, seorang bermadzhab Hanaf berkata: "Jika aku
menikah dengan Si Fulanah, maka dia menjadi wanita yang ditalak tiga." Kemudian
dia meminta fatwa kepada mufti yang bermadzhab Syaf'i. Lantas mufti tersebut
menjawab bahwa wanita tersebut tidak menjadi wanita yang ditalak. Artinya,
sumpah orang tersebut adalah sumpah yang tidak membawa pengaruh hukum.
Oleh karena itu boleh bagi lelaki yang bermadzhab Hanaf itu mengikuti fatwanya.
Sebab kebanyakan shahabat juga berpendapat demikian.

Imam Muhammad berkata, "Demikian halnya dengan seorang awam yang meminta
fatwa kepada seorang ahli fkih, baik hasil fatwanya itu berupa pengharaman atau
penghalalan. Ketika hakim mengambil keputusan hukum yang berbeda dengan ahli
fkih, dan masalah itu diperdebatkan oleh para ulama nengenai status hukumnya,
maka ia harus mengambil keputusan hakim dan meninggalkan pendapat ahli fkih".
(Al Inshaf Fi Bayan Al Ikhtilaf: 71)

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, "Tidak layak bagi seseorang mengeluarkan
fatwa, kecuali jika dia mengetahui pendapat-pendapat ulama mengenai berbagai
fatwa hukum syariat dan madzhab-madzhab mereka. Jika dalam sebuah masalah
diketahui bahwa para ulama telah bersepakat mengenai hukum sebuah masalah,
maka tidak mengapa dia mengatakan, ini boleh dan itu tidak boleh..."

Jika masalah tersebut diperdebatkan ulama, dia bisa mengatakan, "Ini boleh
menurut pendapat Fulan, dan tidak boleh menurut pendapat Fulan." Dalam hal ini,
dia boleh memilih dan menjawab pertanyaan dengan salah satu pendapat ulama
selama dia tidak mengetahui hujjah lainnya dari pendapat tersebut. (Al Inshaf, 63).

Ibnu Rajab Al Hambal dalam Jami' Al Ulum Wa Al Hikam mengatakan,


"Kemungkaran yang wajib ditolak adalah yang status kemungkarannya telah
disepakati. Sedangkan yang masih diperdebatkan di kalangan ulama mengenai
status kemungkarannya, sebagian shahabat kami mengatakan, tidak wajib menolak
orang yang melakukannya. Baik orang itu mujtahid atau muqallid kepada salah
seorang ulama. Al Qadhi dalam kitabnya Al Ahkam Al Sulthaniyah mengecualikan
masalah-masalah yang khilafnya sangat lemah". (Al Ahkam Al Sulthaniyah, 297).

JANGAN ADA PEMAKSAAN PENDAPAT!

Allah Ta'ala berfrman, "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan". [Al Hajj: 78].

Perjalanan sejarah kehidupan para ulama dalam perbedaan pendapat di antara


mereka menguatkan kesimpulan bahwa memang setiap ulama akan menggunakan
pendapatnya yang merupakan puncak dari pencapaiannya dalam berijtihad. Namun
demikian, mereka menghormati pendapat ulama lain sekalipun dianggap salah
dalam hasil ijtihadnya. Sebagaimana mereka sepakat bahwa seorang awam boleh
bertaklid kepada siapa saja di antara ulama yang dijadikan tempat bertanya.
Imam Sufyan (77-161 H) berkata, "Terhadap masalah-masalah yang diperdebatkan
di kalangan ulama, kami tidak akan melarang atau mencegah teman-teman kami
untuk mengambil salah satu dari pendapat tersebut." (Al Faqih Wa Al Mutafaqqih,
2/69).

Abu Na'im meriwayatkan dengan sanadnya dari Imam Sufyan Ats Tsauri, "Jika
engkau melihat seseorang mengerjakan suatu pekerjaan yang status hukumnya
masih diperdebatkan oleh para ulama, dan engkau mempunyai pendapat yang
berbeda dengan orang yang melakukannya tersebut, maka janganlah engkau
melarangnya". (Al Hilyah: 6/368).

Ibnu Mufih mengutip pernyataan Imam Ahmad dalam kitabnya Al Adab Al


Syariyyah ketika membahas masalah ketidakbolehan menolak orang yang
berijtihad dalam masalah-masalah furu'. Kutipan tersebut berbunyi, "Imam Ahmad
berkata dalam riwayat Al Marudzi, ''Tidak selayaknya seorang faqih menggiring
manusia untuk memakai satu madzhab tertentu dan bersikap keras terhadap
mereka...''"

Ibnu Qudamah mengatakan, "Tidak selayaknya seseorang menolak


perbuatan orang lain yang melakukan sesuatu atas dasar madzhab yang
dianutnya. Karena tidak boleh ada penolakan atas perilaku yang
dihasilkan ijtihad" (Dikutip oleh Ibnu Mufih dalam kitabnya Al Adab Al Syar'iyyah,
1/186 dari Imam Ibnu Qudamah).

Imam Al Qasim bin Muhammad berkata, "Allah memberikan manfaat yang


besar dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan shahabat
rasulullah. Tidak ada seorang muslim yang mengamalkan satu dari
pendapat mereka, kecuali akan mendapatkan keleluasaan" (Jami' Bayan Al
Ilmi Wa Fadhlihi: 2/78-92).

Disebutkan dalam Syarh Shahih Muslim 2/23: "Janganlah seorang mufti dan qadhi
menentang orang lain yang berbeda dengannya, selama orang tersebut tidak
bertentangan dengan al qur'an, sunnah, ijma' dan qiyas".

Ibnu Hajar Al Makki mengutip pendapat Imam An Nawawi, dan memperkuatnya.


Kemudian beliau kutipkan juga pernyataan dari Imam Al Qurthubi, "Apa yang telah
dipilih seorang imam, dan pilihannya itu mempunyai dasar dalam dien, maka tidak
boleh bagi yang lain menolaknya. Hal ini telah menjadi kesepakatan di kalangan
ulama." (Fath Al Mubin Fi Syarh Al Arba'in: 264).

Ibnu Al Shalah berkata, "Barangsiapa yang mendapatkan hadits dari para pengikut
Syaf'i yang bertentangan dengan madzhabnya, maka dia dapat menelitinya jika
perangkat ijtihad yang dia miliki telah sempurna. Dia memiliki kebebasan untuk
melakukan hal itu. Namun jika perangkat ijtihadnya belum sempurna dan dia
mengalami kesulitan dalam pertentangan hadits tersebut, tentu dia tidak akan
mendapatkan jawaban yang memuaskan dari pertentangan hadits tersebut. Karena
itu, dia dapat mengamalkannya jika ia dilakukan oleh imam independen selain
Imam Syaf'i. Dan hal ini merupakan udzur baginya untuk meninggalkan madzhab
imamnya".

Al Dahlawi setelah menukil pernyataan Ibnu Al Shalah itu lantas mengatakan, "An
Nawawi menilai pernyataan tersebut bagus, dan beliau menetapkannya". (Al Inshaf,
Al Dahlawi hal 66). Begitulah. Mereka tidak ta'ashub dalam bermadzhab.

Ketika ulama banyak bersepakat untuk tidak memaksakan pendapat, selayaknya


kita pun perlu mencontoh sikap-sikap mulia tersebut. Bahwa demikianlah yang
dikehendaki oleh syariat. Inilah adab, yang merupakan bagian penting dalam dienul
islam.

CATATAN MERAH DARI PERTIKAIAN

Tidak dimungkiri, ada beberapa kisah dari para ulama yang; sebenarnya patut
disayangkan; namun cukup penting untuk dicermati secara utuh. Universal. Ditinjau
dari berbagai hal yang melatarbelakanginya serta maksud dan harapan dari sebuah
pendapat yang melatardepaninya. Supaya kita bisa mengambil pelajaran dan
manfaat dari perselisihan mereka.

Diriwayatkan dari Ahmad bin Hambal, dia menceritakan, “Telah sampai kabar
kepada Ibnu Abi Dzi'b bahwa Malik tidak mengamalkan hadits tentang dua jual-beli
dengan hak khiyar. Maka dia berkata, ‘Dimintai pertaubatan dalam hak khiyar jika
dia mau bertaubat. Namun jika tidak mau, maka penggallah lehernya.’” (Thabaqat
Al Hanabilah karya Abu Ya'la: 1/251).
Para ulama menolak sikap dan perilaku yang diperlihatkan Imam Ibnu Abi Dzi'b
terhadap jalan yang ditempuh Imam Malik ketika mengamalkan zhahir sebuah
hadits shahih yang terdapat dalam karyanya --Al Muwattha'-- yakni: "Jika dua orang
mengadakan transaksi jual beli, maka keduanya boleh memilih (meneruskan atau
membatalkan transaksinya) selama keduanya belum terpisah..." (Muttafaq 'Alaih).
Imam Malik memahami bahwa yang dimaksud terpisah sepertimana yang difahami
oleh pendapat Abu Hanifah.

Imam Malik; meski menilai tsubut; tetapi melihat hadits tersebut bertentangan
dengan dalil lain yang menurutnya lebih kuat, yaitu praktek masyarakat Kota
Madinah yang diaggapnya merupakan salah satu dasar hukum yang sangat kuat.

Ibnu Abi Dzi'b menolak keras jalan yang ditempuh Imam Malik tersebut. Sampai
mengatakan, "... Jika tidak, maka harus dipenggal kepalanya". (Al 'Ilal Li Al Imam
Ahmad: 1/193, Tarikh Baghdad: 2/302).

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan pernyataan tersebut, kemudian


mengomentari, "Imam Malik tidak menolak hadits ini, tetapi menakwilkannya".
(Thabaqat Al Hanabilah: 1/251).

Kadang kala kita tak habis fkir. Betapa perselisihan para ulama yang sezaman itu
cukup mengundang dilema. Sungguhpun ia hanya sebagian kecil kejadian di antara
kisah-kisah lain yang mengharumkan itu, namun relatif bisa membuat orang ikut-
ikutan latah mencela para ulama. Memang kejadian semacam itu menjadikan ujian
tersendiri buat kita. Yang dengannya orang bisa terpeleset jauh, atau --sebaliknya--
bahkan menjadi semakin berilmu.

Perhatikanlah! Para ulama salaf tidak mengomentari Ibnu Abi Dzi'b sebagai seorang
Khawarij dan Takfri lantaran kerasnya ucapan beliau tersebut. Mereka justru
memberinya udzur, karena mereka faham bahwa beliau mengatakan hal tersebut
berdasarkan penakwilannya dan kemarahannya di jalan Allah dan Rasul-Nya.

Maka pahami dan bedakanlah antara at ta'shil (pijakan dasar) dan at tanzil (proses
penerapan hukum).
Bahwa: Seorang muslim yang menetapkan hukum tidak sesuai dengan obyek
lantaran sebuah penakwilan, maka tidak secara sertamerta ia menjadi seorang
Khawarij!

Ibnul Qayyim berkata, “Apabila seseorang menisbatkan seorang muslim kepada


kemunafkan dan kekafran berdasarkan penakwilan dan kemarahan karena Allah,
Rasul-Nya, agama-Nya; dan bukan berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan
pribadinya, maka dia tidaklah dikafrkan karenanya. Dan bahkan dia tidak berdosa
karenanya, dan mendapatkan pahala atas niatan dan maksudnya. Hal ini berbeda
dengan para pengusung hawa nafsu dan bid'ah. Mereka mengkafrkan dan
membid'ahkan siapa saja yang berseberangan dengan hawa nafsu dan keyakinan
mereka. Padahal mereka lebih utama untuk dikafrkan dan dibid'ahkan ketimbang
yang mereka tuduh.” (Zad Al Ma'ad: 3/372).

Disebutkan: “Barangsiapa yang mengkafrkan saudaranya tanpa penakwilan, maka


dia kafr sebagaimana dia katakan.” (Shahih Al Bukhari: 8/26).

Mengomentari klasifkasi bab hadits milik Imam Al Bukhari tersebut, Ibnu Hajar
mengatakan, “Al khabar (kata yang menerangkan) terikat oleh ketentuan! (Yakni)
Apabila pengkafran terlontar tanpa penakwilan dari si pengucap.” (Fathul Bari:
10/514). Begitulah. Semoga bisa difahami.

Selanjutnya, di dalam Thabaqat Al Hanabilah disebutkan: "Hamad bin Khalid


mengatakan, dia menyerupakan Ibnu Abi Dzi'b dengan Sa'id bin Al Musayyib.
Tidaklah Ibnu Abi Dzi'b dan Malik berada di kediaman seorang penguasa, melainkan
niscaya Ibnu Abi Dzi'b berbicara menyampaikan kebenaran, perintah, dan larangan.
Sedangkan Malik hanya diam. Disebutkan bahwa Ibnu Abi Dzi'b dan Sa'ad bin
Ibrahim sebagai orang-orang yang rajin menyampaikan kebenaran dan larangan.
Dikatakan kepadanya: ‘Apa komentar Anda mengenai hadits yang diriwayatkannya
(Ibnu Abi Dzi'b)? Dia menjawab, ‘Dia tsiqah (terpercaya), jujur, laki-laki yang shalih
dan wara'.’"

Kisah lainnya yang juga populer di belantara sejarah para salaf, yakni antara Imam
Ibnu Hazm dengan ulama-ulama lain yang sezaman dengannya. Bahwasanya beliau
memiliki ciri khas dalam mengkritik: keras dan kasar. Bukan hanya aliran kebatinan,
mu'tazilah, khawarij dan faham-faham ahli bid'ah sejenisnya itu saja yang beliau
ktitisi dengan pedas. Bahkan pendapat-pendapat dari para aimmah madzahib pun
tak luput dari kritikannya. Namun sikap keras Ibnu Hazm tersebut senantiasa
disertai dengan pengayaan terhadap keluasan ilmu dan pemahaman yang tinggi
terhadap syariat.

Metode pengambilan dalil, berikut hasil dari pendalilan yang diterapkan oleh Imam
Ibnu Hazm tersebut terasa asing di mata ulama sezamannya ketika itu. Label dan
predikat yang buruk-buruk pun sampai disematkan padanya. Pro-kontra di antara
para penuntut ilmu dan pegiat dakwah terjadi begitu sengit. Tapi pendapat-
pendapat yang diutarakan Ibnu Hazm; kendati di satu sisi dipandang 'nyleneh' dan
aneh; tetap diakui ilmiyah dan mengundang decak kagum. Dalil yang dibawa pun
sangat kuat, tidak keluar dari manhaj ahlus sunnah. Makanya hingga kini kitab-kitab
beliau tetap lestari. Para ulama tidak membuang begitu saja khasanah keilmuan
yang disodorkan Ibnu Hazm. Dan ia tetap dijadikan rujukan serta sebagai tarjih
terhadap kitab-kitab madzahib.

Mengomentari Ibnu Hazm, Adz Dzahabi (673-748 H) menjelaskan kondisi pada


masa itu: “Sampai-sampai para ahli fkih mengecam Ibnu Hazm dan berkonspirasi,
serta sepakat untuk menyatakannya sesat. Mereka mencelanya, mewanti-wanti
para penguasa agar berhati-hati terhadap penyimpangan yang dibawanya, dan
melarang orang-orang awam mendekatinya. Para penguasa pun menjauhkan Ibnu
Hazm dari kerabat mereka, dan mengusirnya dari negeri-negeri mereka.” (Siyar
A'lam An Nubala': 12/381).

Namun demikian, islam tetaplah agama dalil. Ketika seorang ulama mengangkat
sebuah dalil shahih; kendati dengan bahasa kasar; tetap ia diterima. Apalagi telah
dimafhumi bahwa tidaklah Imam Ibnu Hazm berbuat demikian, kecuali karena
terdorong ghirahnya yang besar terhadap dien ini yang diiringi keluasan ilmu beliau
yang telah mencapai derajad mujtahid.

Imam 'Izzuddin bin 'Abdus Salam berkata, "Ibnu Hazm termasuk ulama mujtahid.
Aku tidak pernah melihat kitab yang membicarakan hal ihwal fkih Islam seperti
kitab Al Muhalla karya Ibnu Hazm dan kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah Al
Maqdisi."

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menambahkan, "Apa yang dikatakan oleh Imam
'Izzudin bin 'Abdus Salam adalah benar, dan kitab ketiga setelah kedua kitab
tersebut adalah Sunan Al Kubra karya Al Baihaqi Rahimahullah. Adapun yang ke-
empat adalah At Tamhid karya Imam Ibnu 'Abdil Barr Rahimahullah. Sesiapa yang
mampu mendapatkan kitab-kitab ini dan dia termasuk mufti yang bijaksana lagi
faqih; maka jika dia segera mempelajarinya, dia akan menjadi orang yang benar-
benar faqih."

Hingga ending-nya dikisahkan; wafatnya Ibnu Hazm cukup membuat masyarakat


kala itu merasa kehilangan dan terharu. Bahkan Khalifah Mansur Al Muwahidi;
khalifah ke-tiga dari Bani Muwahid; termenung menatap kepergian Ibnu Hazm,
seraya berucap: "Setiap manusia adalah keluarga Ibnu Hazm".

Subhanallah. Dalam kondisi yang sarat akan perselisihan dan ketegangan itu para
salaf tetap berusaha mencontohkan untuk berbuat adil, bijaksana serta jujur dalam
menilai. Disamping juga mencarikan udzur atas "kesalahannya" serta tetap
menonjolkan dan tidak melupakan keutamaan yang dimilikinya.

Sungguh! Di antara tujuan Allah Ta'ala mentakdirkan adanya kesalahan itu;


termasuk kesalahan seorang alim; adalah untuk menguji hamba-hamba-Nya, siapa
yang benar-benar mengikuti Firman-Nya dan sabda Nabi-Nya, dan siapa pula yang
mengikuti ucapan dan pendapat manusia.

Ingatlah ucapan Amar bin Yasir Radhiyallahu 'Anhu yang diabadikan dalam sejarah.
Kata beliau: "Sesungguhnya Aisyah Radhiyallahu 'Anha telah berjalan menuju
Bashrah. Demi Allah! Sesungguhnya beliau adalah istri nabi kalian --shalallahu
'alahi wasallam-- di dunia dan di akhirat. Akan tetapi Allah Subhanahu Wa Ta'ala
menguji kalian, untuk mengetahui hanya kepada-Nya taat ataukah kepada beliau
radhiyallahu 'anha." Dan dalam riwayat lain dikatakan, "Sesungguhnya beliau
adalah istri nabi shalallahu 'alaihi wasallam di dunia dan di akhirat, akan tetapi
beliau adalah termasuk ujian bagi kalian". (Shahih Al Bukhari No.7100 dan 7101).

Di samping Allah Ta'ala mentakdirkan adanya kesalahan-kesalahan itu dengan


Rahmat-Nya kepada ummat ini, Allah Ta'ala juga mentakdirkan bahwasanya
ummat ini tidak akan berijma' dan bersepakat dalam kesalahan. Artinya, akan
senantiasa ada ulama yang lurus dan kelompok yang benar selama-lamanya hingga
hari kiamat. Kemudian di antara tugas dan kewajiban yang dibebankan di atas
pundak ulama yang mengetahui kebenaran tersebut adalah menyampaikan
kebenaran dan menunjukkan kesalahan-kesalahan itu.
Sementara di zaman ini, banyak yang tak bisa mengambil manfaat dari berbagai
peristiwa yang dialami oleh para salaful ummah. Yang terjadi justru kebalikan dari
mereka. Yakni: tak memahami dalil, latah dengan tiap perbedaan, arogan tanpa
ilmu, merasa di atas al haq, eksklusif, main hakim sendiri, membuta tuli terhadap
pendapat orang di luar kelompoknya, isti'jal dalam tiap sikap, ashabiyah, ta'ashub
dan sejenisnya. Mereka benar-benar tidak faham bahwa dalam perselisihan itu ada
ujian; hingga tidak tahu mana-mana yang seharusnya diambil, dan mana yang
harus ditinggal. Maka bencanalah akibatnya. Jadilah mereka bagian dari ahlul
bid'ah, namun merasa terbimbing di atas sunnah. Sehingga rahmat pun tak bisa
diraih.

Lantaran begitu penting memelihara As Sunnah dan kebenaran, kita diwajibkan


mengecam dan mengingkari bid'ah, penyelewengan dan kebatilan. Serta
dibolehkan untuk mengkritik, mengoreksi, membicarakan dan menggunjing ahlul
bid'ah (terutama yang mukafrah, berikut yang suka mentakfr tanpa haq). Sebab
betapa bahayanya apabila muncul penyelewengan, sementara tidak ada seorang
ulama pun yang mengecamnya, tentu manusia akan menganggap bid'ah dan
penyelewengan tersebut sebagai sunnah. Al Imam Al Auza'i Rahimahullah berkata:
"Apabila nampak bid'ah dan tidak ada ahlul ilmi yang mengecamnya, ia menjadi
sunnah." (Riwayat Al Khattib Al Baghdadi dalam Syarh Ashhabil Hadits hal. 17).

Begitulah. Secara teori banyak yang tahu kaidah-kaidah dalam menyikapi


perbedaan. Sayangnya tatkala ia dibenturkan pada amaliyah nyata, maka langkah
yang ditempuh pun cenderung menyimpang. Sebab wawasan keilmuan yang masih
terlalu mentah itu dipaksa oleh candu dari selera ta'ashubnya serta kejahilan dan
hawa nafsunya untuk segera berpendapat ataupun berfatwa. Sehingga sesuatu
yang sebenarnya mengandung banyak udzur pun dibatasi terlalu ketat, furu'
disangka ushul, ahlus sunnah diklaim sebagai ahlul bida', orang yang dibenci tak
diperkenankan bersuara, dan seterusnya.

Kalau dari kaum salaf --selain rasulullah al ma'sum-- yang banyak fadhilahnya saja
ada kesalahannya, lantas bagaimana halnya dengan manusia-manusia akhir zaman
seperti sekarang ini? Tetapi anehnya masih ada saja yang mau dita'ashubi dan
menta'ashubi para asatidz yang redup bashirah-nya. Inilah adanya dari generasi
kita. Gelap disangka terang, terang dianggap kelam. Sepak terjangnya
memburamkan pendar-pendar cahaya islam. Memang, ketidaktahuan itu
mempengaruhi gaya seseorang dalam berfkir. Bersikap. Bermadzhab. Berakidah.
Barangkali ini merupakan indikasi bahwa ilmu belum benar-benar menyentuh
kesunyian hati kita lantaran kekurang ikhlasan, kurang jujur ataupun kebiasaan
menuruti hawa nafsu. Allahu A'lam. Yang jelas keadaan sudah kadung seperti ini
sekarang. Runyam. Sulit untuk menyatukan kembali balung pisah --tulang
berserakan-- yakni ikatan persaudaraan yang telah sekian lamanya retak. Masing-
masing saling 'keukeuh' mempertahankan pendapat yang diyakininya. Terkesan
ada keakuan dan kekakuan yang mengakar kuat dalam berargumen dan bersikap.
Etika beda pendapat tak diindahkan. Atau, apa mungkin memang belum
mengetahui kaidah-kaidah seputar perbedaan pendapat?

Ketika ulama salaf berselisih; setegang apapun khilaf mereka; ia masih bisa menjadi
ibrah, rahmat dan melahirkan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi umat sesudahnya.
Demikian itu tandanya ada keberkahan, kejujuran dan kesungguhan dari ijtihad
mereka. Lain halnya dengan perselisihan di zaman sekarang. Dimana ia malah
menimbulkan bencana demi bencana, kerugian, ashabiyyah, kezhaliman,
kecurangan, memecah ukhuwah islamiyah, melemahkan barisan mujahidin, dan
lain sebagainya. Ini jelas ada kesalahan, dan menyimpang dari manhaj salaf. Maka
kita semua harus serius, adil dan jujur dalam memandang persoalan ini. Laa haula
wa laa quwwata illa billah.

ATAS NAMA IJMA'

Imam Al Qaraf Al Maliki berkata: "Kaidah syar'iyyah telah menunjukkan bahwa


setiap kejahilan yang bisa dilenyapkan oleh mukallaf tidak bisa menjadi hujjah bagi
orang jahil, karena Allah Ta’ala telah mengutus para Rasul-Nya kepada makhluk-
Nya dengan risalah-risalah-Nya dan Dia mewajibkan atas mereka semua untuk
mengetahuinya terus mengamalkannya. Sehingga ilmu dan amal itu adalah wajib.
Kemudian barangsiapa meninggalkan belajar dan beramal kemudian dia tetap
dalam kondisi jahil, maka dia telah maksiat kepada Allah dengan dua maksiat
karena ia meninggalkan dua kewajiban. Dan bila mengetahui tapi tidak
mengamalkannya maka dia telah maksiat dengan satu maksiat dengan sebab
meninggalkan amal itu. Barangsiapa mengetahui dan mengamalkan, maka dia
telah selamat..."

Alangkah banyaknya hal-hal samar namun diyakini sebagai sesuatu yang terang
benderang. Banyak perkara-perkara ijtihadi tetapi difahami seseorang sebagai
ushul yang haram untuk diselisihi. Banyak permusuhan kian mendidih lantaran
ketidak-sabaran dalam iqamatul hujjah sembari memvonis diri sebagai fhak yang
benar; di satu sisi ada yang merasa terzhalimi. Dan seterusnya.

Tampak kobaran permusuhan yang diprediksi bakal langgeng. Tak akan terhenti
sampai salah satu fhak harus ada yang taraju' kepada faham yang "didakwahkan"
oleh masing-masing kelompok. Pasalnya, perselisihan yang terjadi --konon-- atas
dasar akidah. Dimana tidak boleh ada yang menyelisihinya.

Sering dijumpai, ketika seseorang telah menyatakan bara' kepada orang lain yang
dilandasi keyakinan akan tuntutan akidah, maka kebanyakan kebencian itu melebar
ke wilayah-wilayah furu', kepribadian, dan bahkan sampai menyentuh hal-hal kecil
nan tersembunyi. Semua bisa menjadi bahan gunjingan. Entahlah; barangkali
karena tak terbiasa jujur, mudah hasad ataukah karena meyakini bahwa darah,
harta dan kehormatan sang rival telah menjadi halal; yang mendorongnya berlaku
curang, kita kurang tahu. Yang jelas, ini merupakan sebuah realita. Jika disebut
rahasia, ia adalah rahasia umum. Andai ditimbang, masing-masing kubu memegang
segudang hujjah yang cukup bisa untuk menghalalkan darah seterunya. Ironisnya,
faktor akidah dijadikan argumen.

Maka pembahasan ini sangat sensitif. Kita tidak sedang mengajak umat untuk
melukir perkara ushul kepada furu'. Semua tetap menduduki posisinya masing-
masing dengan porsi yang sesuai dengan kaidahnya. Dan kita mengajak umat
(terutama ikhwan masjunin) untuk melihat kekeruhan suasana dari sudut pandang
lain yang lebih jernih, agar benang kusut "perselisihan" bisa terurai satu per satu.

Bahwa, betapa banyak perkara-perkara kita sangka sebagai ushul dimana tak boleh
ada yang menyelisihinya, padahal hakekatnya ternyata perkara ijtihadi. Betapa
banyak perselisihan yang berujung dengan saling bara', bahkan saling mentakfr,
padahal masih banyak solusi lain tanpa harus meretakkan ukhuwah. Betapa sering
kita memperketat urusan dien, padahal banyak udzur dan kelonggaran dalam
masalah yang bahkan tak ada larangannya sama sekali. Betapa banyak hal-hal
yang belum kita ketahui, tetapi sudah merasa yakin akan kebenaran sikap diri.
Begitulah.

Acap kali atas nama ijma', seseorang cepat memberi simpulan hukum terhadap
orang lain. Gegabah. Tiap orang yang dinilai (oleh pribadinya) menyelisihi ijma'
qath'i, langsung jatuh vonis. Padahal dirinya tak memahami kaidah mengenai ijma'
itu sendiri, kecuali hanya sepotong yang tidak lengkap. Ini fakta kebodohan yang
kerap ditunjukkan oleh kalangan ustadz, bahkan.

Kalau status orang yang menyelisihi ijma' barangkali banyak yang telah mengerti.
Tapi berkenaan dengan batasan-batasan ijma', rupanya banyak yang --maaf-- masih
awam. Dan kita perlu mengulas di sini, meski hanya secara garis besar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Ijma' adalah yang disepakati di antara
seluruh kaum muslimin dari kalangan fuqaha, shufyyah, ahlul hadits, ahlul kalam
dan selain mereka secara umum, dan diingkari oleh sebagian ahlul bid'ah dari
kalangan mu'tazilah dan syi'ah. Akan tetapi yang dapat diketahui darinya adalah
apa yang dijalani para shahabat. Dan adapun setelah (masa) itu maka pada
umumnya sulit mengetahuinya. Oleh sebab itu ahlul ilmi berselisih tentang apa
yang dituturkan berupa ijma'-ijma' yang baru setelah shahabat ." (Majmu Al Fatawa
11/187).

Status kekuatan ijma' antara masa shahabat dengan masa sesudahnya jelas
berbeda. Sungguhpun demikian, bukan berarti ijma' dari ulama kita tolak. Sebab
banyak sekali di antara sesuatu yang diijmakkan oleh ulama itu telah dibakukan
menjadi dalil qath'i yang mu'tabar serta diterima semua umat islam. Dimana siapa
menyelisihinya, seluruh ulama dan umat islam sepakat akan kekafrannya. Dengan
perincian, tentunya.

Sayangnya, pemahaman akan "kafrnya orang yang menyelisihi ijma'" itu sekedar
menggumpal sampai di situ saja. Cukup difahami sebatas kulit. Sehingga manakala
ada orang terlihat menyelisihi ijma' langsung dilabeli sebagai "tauhidnya rusak". Ini
artinya masalah ijtihadi sengaja diseret ke dalam perkara ushul. Jelas-jelas ada
silang pendapat di antara ulama, tetapi nekat memperkosa pendapat orang lain
dengan apa yang diyakininya. Kalau tidak mau, takfr pun jatuh.

Ibnu Taimiyyah berkata: "Para ulama' berbeda pendapat tentang orang yang
menyelisihi ijma', apakah dia kafr? Ada dua pendapat. Dan yang benar setelah
dikaji adalah bahwa orang yang menyelisihi ijma' yang diketahui umum adalah dia
kafr sebagaimana kafrnya orang yang menyelisihi dalil yang jelas, akan tetapi ini
hanya dalam perkara yang mana keberadaan nash padanya diketahuinya. Adapun
ijma' dalam perkara yang tidak ada nashnya maka ini tidak mungkin terjadi.
Sedangkan (ijma') yang tidak diketahui maka tidak mungkin dikafrkan." (Majmu' Al
Fatawa, 19/269).

Berkata Al Imam Zainudin Abdurrahman Ibnu Rajab Al Hambaliy dalam Syarah


Hadits An Nu'man Ibnu Basyir: "Dan secara umum, Allah dan Rasul-Nya tidak
meninggalkan suatu yang halal melainkan ia itu dijelaskan dan tidak meninggalkan
suatu yang haram melainkan ia itu dijelaskan. Akan tetapi sebagiannya lebih jelas
dari sebagian yang lain. Maka apa yang jelas dan tersebar penjelasannya dan
diketahui dari dien ini secara pasti dari hal itu serta tidak tersisa di dalamnya suatu
keraguan pun, maka tidak diudzur seorang pun di dalamnya dengan sebab
kejahilan di negeri yang nampak Islam di dalamnya. Dan adapun yang
penjelasannya tidak sejelas itu, maka di antaranya ada yang masyhur di kalangan
para pembawa syariat ini (ulama) secara khusus, dimana para ulama telah berijma'
atas kehalalan atau keharamannya, dan kadang samar atas sebagian orang yang
bukan dari kalangan mereka, dan di antaranya ada yang tidak masyhur di kalangan
para pembawa syariat ini juga, dimana mereka berselisih dalam penghalalan dan
pengharamannya."

Berkata Imam Ibnu Hazm, "Barangsiapa mendengar suatu perintah dari rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam lewat jalur yang shahih sedangkan dia itu muslim lalu
dia mentakwil sehingga dia menyelisihinya, atau apa yang dia dengar itu dia bantah
dengan nash lain, maka hujjah tentang kesalahannya dalam meninggalkan apa
yang dia tinggalkan dan mengambil apa yang dia ambil belum tegak. Maka dia
memiliki udzur dan dia diberi pahala karena tujuannya adalah kebenaran, dan
adanya ketidaktahuan terhadapnya. Akan tetapi bila hujjah telah tegak atasnya
dalam hal ini, lalu dia menentang, maka tidak ada takwil setelah tegaknya hujjah."
(Ad Durrah, hal 414. Lihat juga Al Fashl, 3/296-297).

Perlu diingat, sesuatu hukum yang bisa distatusi "telah tegak hujjah" adalah untuk
hukum-hukum yang benar-benar sudah diketahui menjadi ijma' kaum muslimin.
Sementara status ijma'-ijma' yang baru; yakni setelah masa shahabat; itu
diperselisihkan. ijma' yang terjadi di zaman setelah shahabat tidak bisa dipastikan
lantaran adanya ikhtilaf. Sebagaimana telah dikatakan oleh Syaikhul Islam, "Dan
adapun setelah (masa shahabat) itu maka pada umumnya sulit mengetahuinya.
Oleh sebab itu ahlul ilmi berselisih tentang apa yang dituturkan berupa ijma'-ijma'
yang baru setelah shahabat." (Majmu Al Fatawa 11/187). Bahkan di madzhab
zhahiri diyakini bahwa ijma' memungkinkan terjadi hanya di masa shahabat.
Sesudah periode itu tak diakui karena mustahil terjadi, dengan beberapa dalih
tentunya. Karenanya status orang yang menyelisihi ijma' di era setelah shahabat itu
diperselisihkan, dengan beberapa rincian. Kadang ulama menganggap sesuatu
telah diijmakkan, padahal ulama lain menilai masih diperdebatkan.

Dan sesuatu yang sudah diijmakkan masih dibagi lagi menjadi dua macam:
Pertama, hukum-hukum ijma'iyyah yang ilmunya menyebar di kalangan orang
umum dan ahli ilmu. Kedua, hukum-hukum ijma'iyyah yang ilmunya hanya
menyebar di kalangan ahli ilmu saja.

1. Hukum-hukum ijma'iyyah yang penjelasan ilmunya menyebar di kalangan orang


umum dan ahli ilmu, para ulama bersepakat bahwa hujjah sudah tegak terhadap
siapa saja yang tinggal di negeri islam karena mereka semua dipastikan memiliki
tamakkun (kesempatan) untuk mengetahuinya. Maka siapa jahil terhadapnya,
dipastikan lantaran tafrith (meremehkan), adapun orang yang berpendapat dengan
pendapat yang menyelisihinya dipastikan pembangkang yang kafr. Contohnya:
perkara wajibnya shalat, haramnya babi, dan seterusnya.

Ibnu Qudamah berkata: "Saya tidak mengetahui adanya perselisihan di antara para
ulama perihal kekafran orang yang meninggalkannya --yaitu shalat-- seraya
mengingkari kewajibannya bila dia itu tergolong macam orang yang tidak wajar
tidak mengetahui hal itu. Bila orang itu tergolong orang yang tidak mengetahui
kewajiban seperti orang yang baru masuk islam dan orang yang tinggal di selain
negeri islam atau (hidup) di pedalaman yang jauh dari pemukiman dan ahli ilmu,
maka dia tidak dihukumi kafr, dan dia harus diberi penjelasan akan hal itu dan
diterangkan kepadanya dalil-dalil kewajibannya. Kemudian bila dia mengingkarinya
setelah itu, maka dia itu kafr. Adapun orang yang mengingkari kewajiban shalat
sedangkan dia hidup di pemukiman di antara ahli ilmu, maka dia itu dikafrkan
dengan sekedar pengingkarannya, dan begitu juga hukumnya pada bangunan-
bangunan islam seluruhnya yaitu zakat, shaum dan haji, karena ia adalah prinsip-
prinsip dasar islam dan dalil-dalil kewajibannya adalah hampir tidak samar, karena
Al Kitab dan As Sunnah sarat dengan dalil-dalilnya serta ijma' pun telah terjalin
terhadapnya, sehingga tidak mengingkarinya kecuali orang yang membangkang
kepada islam, dia menolak dari komitmen dengan hukum-hukum islam lagi tidak
menerima Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' umat
ini. Dan begitu juga setiap orang yang jahil terhadap sesuatu yang pantas dia tidak
mengetahuinya, maka tidak dikafrkan sampai diberitahu hal itu dan lenyap
syubhatnya dan terus dia menghalalkannya setelah itu." (Al Mughniy, 8/131).
2. Adapun orang yang menyelisihi hukum-hukum ijma'iyyah yang penjelasan
ilmunya hanya menyebar di kalangan ahli ilmu saja maka para ulama berselisih
apakah orang yang menyelisihi ijma' seperti ini telah tegak hujjah atau belum.

An Nawawi berkata: "Imam Ar Raf'i menetapkan secara mutlak vonis kafr terhadap
orang yang mengingkari ijma', padahal sebenarnya ia bukan secara mutlak akan
tetapi barang siapa mengingkari hukum yang disepakati dimana terdapat nash
padanya dan ia termasuk perkara islam yang jelas yang diketahui bersama oleh
khalayak umum dan khusus seperti shalat, atau zakat, atau haji, atau
diharamkannya khamr, atau zina dan sebagainya, maka dia kafr. Tetapi barang
siapa mengingkari hukum yang disepakati tetapi ia tidak diketahui kecuali oleh
kalangan terpelajar; seperti bagian seperenam warisan untuk cucu laki-laki dari
anak perempuan jika dia bersama anak perempuan dan diharamkannya menikahi
wanita di masa iddah; sebagaimana jika ulama suatu kurun waktu tertentu
menyepakati hukum peristiwa tertentu maka dia tidak kafr." (Raudhah Ath Thalibin,
2/146).

Imam Al Qaraf berkata: " Jangan diyakini bahwa orang yang mengingkari hukum
yang telah disepakati adalah kafr secara mutlak, akan tetapi hukum tersebut harus
terkenal dalam agama, sehingga ia menjadi sesuatu yang dharuri (mendasar).
Berapa banyak hukum yang disepakati, tetapi hanya diketahui oleh kalangan
tertentu dari fuqaha, mengingkari masalah-masalah seperti ini dimana ijma'
atasnya samar, tidaklah kafr." (Al Furuq, 4/117).

Imam Ghazali berkata: "Ketahuilah bahwa tidak ada takfr dalam masalah furu'
sama sekali kecuali dalam satu masalah yaitu mengingkari dasar agama yang
diketahui dari rasulullah secara mutawatir." (Faishal At Tafriqah, hal. 144).

Kesimpulan yang bisa diambil, bahwa: Suatu hukum hanya dikatakan telah jelas
dengan dalil yang bersifat qath'i, jika hukum tersebut telah diijmakkan dengan ijma'
yang telah diketahui umat sebagai ijma'.

Akan tetapi jika ijma' tersebut belum diketahui, baik karena ijma' tersebut terjadi
setelah zaman shahabat atau karena ilmunya hanya diketahui oleh ahli ilmu saja
atau karena tidak tinggal di negeri islam, maka dalil yang menjelaskan hukum
ijma'iyyah tersebut berarti hanya bersifat zhanni. Oleh karena itu siapa saja yang
telah sampai nash yang menjelaskan hukum tersebut namun belum mengetahui
status ijmaknya, tetap saja dia masih berpotensi mengalami kekeliruan pendapat
meskipun telah bersungguh-sungguh mencari hakekat kebenarannya. Sehingga dia
mendapat udzur di sisi Allah. Inilah yang dipegang oleh para shahabat dan jumhur
Imam kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sudah menjelaskan bahwa ucapan-ucapan yang


menyebabkan orang-orang yang mengatakanya menjadi kafr; bisa jadi yang
bersangkutan belum mengetahui dalil-dalil yang membuatnya mengetahui
kebenaran, bisa jadi dali-dalil itu dia ketahui namun menurutnya tidak shahih, atau
belum bisa memahaminya, dan bisa jadi di benaknya berkecamuk syubhat-syubhat
dimana Allah dapat menerimanya sebagai udzur baginya, barangsiapa berijtihad
dari kalangan orang-orang mukmin untuk mencari kebenaran dan dia keliru maka
Allah mengampuni kekeliruanya, siapapun dia. Baik dalam masalah nazhariyah atau
amaliyah. Inilah yang dipegang shahabat-shahabat nabi shalallahu 'alaihi wasallam
dan jumhur imam islam.

Demikianlah. Sudah sangat jelas. Bahwasanya kalau sesuatu itu telah menjadi ijma'
qath'i, hukumnya jelas pabila menyelisihinya. Sedangkan ijma' dari sesuatu yang
belum banyak menyebar di kalangan umat, maka ia butuh iqamatul hujjah. Dan
yang perlu dicatat adalah bahwa sesuatu yang masih ada banyak perselisihannya,
tidak boleh disebut sebagai ijma' qath'i, meski ada ulama mengatakannya sebagai
ijma'. Karena di sinilah umat sering terjerembab. Yang menyebabkannya mudah
main vonis.

Jika saja kekeliruan pendapat dalam perkara ijma'iyyah dapat menjadi udzur di sisi
Allah, tentu saja kekeliruan pendapat dalam masalah hukum-hukum syariat yang
jelas-jelas bukan hukum-hukum ijma'iyyah (yakni perkara-perkara ijtihadi) lebih
berhak lagi mendapat udzur di sisi Allah. Maknanya, perbedaan pendapat dalam
seluruh perkara furu' bukanlah dosa secara mutlak. Perbedaan pendapat
dalam masalah hukum adalah rahmat Allah. Orang yang mau mengamati secara
seksama fenomena terjadinya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin
sejak generasi awal, niscaya akan mengetahui bahwa di dalam masalah hukum-
hukum syariat, Allah hendak memberikan kelapangan kepada kaum muslimin untuk
beramal sesuai dengan apa yang diyakininya benar. Dengan dalil yang dibenarkan,
tentunya.

Bayangkan! Seandainya seseorang hanya dibolehkan beramal setelah dia


mengetahui ijma' secara qath'i, tentu hal tersebut menimbulkan kesempitan bagi
umat islam dan akan menimbulkan kesulitan dalam beragama. Dengan kata lain,
adanya status ijma' yang bersifat zhanni dari masa sesudah shahabat itu adalah
kelapangan, yang merupakan rahmat dari Allah.

Catatan: Suatu hukum yang mana ulama (bahkan shahabat) saja berbeda
pendapat, maka ia tidak bisa disebut sebagai ijma' qath'i. Kita tentu
sepakat dengan kaidah tersebut. Sekarang, marilah secara seksama
instropeksi. Adakah orang-orang pernah atau masih kita takfr dalam
perkara yang ulama pun berselisih pendapat tentangnya?

Allah tidak menghendaki kesulitan beragama kepada umat islam. Justru Allah
menerima amal-amal hamba-Nya yang dalil hukumnya zhanni; yakni mengandung
banyak tafsir. Tentu saja efek dari kelapangan yang diberikan oleh Allah (lantaran
dalil-dalil yang sifatnya zhanni tersebut) menimbulkan banyak perbedaan pendapat.
Namun zhan yang dimaksud di sini adalah zhan yang dihasilkan dari upaya secara
sungguh-sungguh untuk mencari hakekat kebenarannya, yaitu ghalabatu zhan
(dugaan kuat yang merupakan hasil ijtihad para aimmah salaf) bukan zhan yang
muncul dari sikap tafrith.

Imam Al Zarkasyi berkata, "Allah tidak menunjukkan seluruh hukum syariat dengan
dalil-dalil qath'i, tetapi menjadikan sebagiannya zhanni. Hal ini untuk memberikan
keleluasaan kepada para mukallaf agar mereka tidak berada dalam satu madzhab
saja". (Taisirul Al Wushul Li Al Mahlawiy: 240).

Beliau; Imam Az Zarkasyi; menyebutkan dalam kitabnya bahwa Allah tidak


membebankan kepada kita untuk memberikan penilaian derajat penentuan hukum-
hukum amaliyah praktis sampai pada derajat qath'i. Kita hanya wajib menilainya
sampai pada derajat ghalabatu zhan. (Lihat Kitab Ushul Fiqh karya Imam Az
Zarkasyi, Al Bahr Al Muhith, hal. 225).

Sehingga bisa saja dua amaliyyah yang saling bertentangan sama-sama dinilai Allah
sebagai ibadah jika niat mereka kebenaran, meskipun salah satunya adalah amalan
yang keliru di mata ulama lain. Sebab masalah pahala adalah urusan Allah.

Dan jika kita telah mengetahui bahwa hukum-hukum syariat hanya menjadi bersifat
qath'i jika umat islam --seluruh ahli ilmu-- telah bersepakat terhadapnya, ini
memberikan makna bahwa Allah hendak memberi kelapangan kepada umat
ini untuk melakukan ibadah, cukup dengan bersandar pada hukum yang
masih bersifat ghalabatu zhan. Sehingga tidak terjadi kesulitan dalam
beragama bagi umat. Maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk saling
bermusuh-musuhan dalam menyikapi terjadinya perbedaan pendapat. Namun
seharusnya perbedaan ini disikapi dengan tetap menjalin kasih sayang, karena
perbedaan pendapat tersebut adalah rahmat. Dan ada kemaafan di sisi Allah.

RUANG LINGKUP IKHTILAF: FIKIH DAN AKIDAH

Telah dikenal luas di sebagian ulama --mutaqaddimin maupun muta'akhirin--


sebuah kaidah yang berbunyi: "Ikhtilaf di kalangan kaum muslimin hanya terbatas
pada masalah fkih, tidak pada masalah akidah". Dimana kaidah ini hampir telah
menjadi kaidah mutlak bagi mayoritas ulama.

Maka ketika umat tak mendalami penjabaran kaidah tersebut, bisa berdampak
munculnya sikap ghuluw. Atau, minimal akan mudah keliru menghukumi orang lain.
Sedikit kesalahan bisa berdampak fatal jika telah diatasnamakan akidah.
"Bagaimana bisa ada ikhtilaf dalam akidah?!" Sampai-sampai tatkala ada yang
sertamerta mengatakan bahwa ikhtilaf itu juga terjadi dalam permasalahan akidah,
spontan dia kena tahdzir. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Dr. Muhammad Abu Al Fatah Al Bayanuni dalam karyanya, Dirasah Fi Al Ikhtilafat Al


Ilmiyyah, menyebutkan bahwa dari kehidupan tiga generasi kaum salaf dan
sesudahnya ternyata tidak ditemukan fakta yang mendukung keshahihan kaidah
tersebut di atas. Sejarah malah menunjukkan sebaliknya. Ikhtilaf mereka
ternyata tidak hanya pada masalah fkih, tetapi juga menyentuh wilayah
akidah.

Bahwa: Dalil-dalil dalam permasalahan akidah itu sebagian besar bersifat qath'i,
sehingga makna yang ditunjukkannya sangat jelas dan tidak menimbulkan
pemahaman yang berbeda. Namun ada juga sebagian kecil dalil zhanni dalam
perkara akidah, yang dengannya secara otomatis mempersempit ruang gerak
ijtihad di dalamnya.
Kebalikan dari itu, dalil-dalil dalam perkara fkih lebih banyak menggunakan
ungkapan yang bersifat zhanni. Sehingga memunculkan aneka rupa pemahaman
terhadap dalil tersebut.

Jika perbedaan pendapat cuma terbatas pada masalah fkih, tentu akan disimpulkan
bahwa ada perbedaan sifat di antara dua unsur syariah tersebut. Dan ini aneh.
Padahal tidak ada beda antara keduanya. Bahwa baik akidah maupun fkih,
merupakan cakupan syariah. Keduanya sama-sama ketetapan Allah. Dan keduanya
adalah isi dari syariah yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya.

Karenanya, kaidah keramat tersebut, yakni: "Ikhtilaf di kalangan kaum muslimin


hanya terbatas pada masalah fkih, tidak pada masalah akidah" sifatnya adalah
aghlabiyyah. Kaidah tersebut relatif benar. Hanya saja butuh penjelasan. Kaidah
tersebut tidaklah dimaksudkan secara mutlak. Kenyataannya memang ikhtilaf
kebanyakan terjadi pada perkara fkih, dan ada sebagian kecil dalam permasalahan
akidah. Oleh karena itu para ulama membuat kaidah secara aghlabiyyah sebagai
gaya bahasa yang mudah diterima, ditilik dari lughah maupun istilah. Juga sebagai
penghati-hatian buat umat supaya terhindar dari kelancangan terhadap perkara
akidah, juga buat mujtahid supaya tidak sembrono menyimpulkan kaidah dalam
perkara akidah.

Hal tersebut dikuatkan dengan kejelian pengamatan Imam Ibnu Hazm dalam
ungkapannya, "Kebanyakan perbedaan pendapat di kalangan ulama
ahlussunnah adalah dalam masalah fatwa (fkihh, dan sedikit sekali terjadi
dalam masalah akidah". (Al Fishal Fi Al Milal Wa Al Nihal: 2/111).

Dengan demikian, kalimat yang lebih jelas untuk menggambarkan masalah ini
adalah: "Perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin hanya terjadi
dalam wilayah furu', dan bukan ushul".

Penjabaran masalah furu' di sini adalah berbagai masalah yang didasarkan pada
dalil-dalil zhanni; baik dari aspek tsubut ataupun dilalah, baik dalam bingkai fkih
maupun akidah. Adapun ushul yang dimaksud adalah masalah-masalah pokok
yang kebanyakan didasarkan pada dalil-dalil qath'i; baik dari aspek tsubut ataupun
dilalah, baik berkaitan dengan fkih maupun akidah.
Untuk memperjelasnya, perlulah kita beri contoh di masing-masing wilayah.
Sebagai berikut:

― Masalah akidah yang termasuk ushul. Contohnya, iman kepada Allah, Asma'-
Nya, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, qadha dan qadar-
Nya. Juga iman terhadap adanya syurga, neraka, shirath, kursi dan lain sebagainya.
Kesemuanya merupakan perkara akidah yang pokok. Yang tidak boleh
diperdebatkan.

― Masalah akidah yang bersifat furu'. Dimana para ulama berbeda pendapat
mengenainya. Seperti misal, sifat kursi (singgasana) itu sendiri, masalah manakah
yang lebih dulu diciptakan antara mizan dengan shirath, juga masalah apakah nabi
melihat Rabb ketika isra' mi'raj, siksaan mayit lantaran ratapan keluarga, tawassul
kepada para nabi, dan lain sebagainya.

― Masalah fkih yang bersifat ushul. Dimana para ulama tidak berbeda
pendapat tentangnya. Di antara contohnya adalah wajibnya shalat lima kali dalam
sehari semalam, bilangan raka'at shalat, kewajiban mengeluarkan zakat, puasa, haji
dan lain sebagainya. Status hukum perkara-perkara tersebut telah disepakati
semua ulama ahlus sunnah.

― Masalah fkih yang bersifat furu'. Yang mana ada perbedaan pendapat di
antara para ulama. Misal, hukum bacaan makmum dalam shalat jamaah,
mengangkat tangan ketika berpindah dari satu rukun ke rukun yang lain, tata cara
maupun hukum witir, dan lain sebagainya. Kebanyakan perdebatan dalam hal ini
adalah mengenai status hukumnya. Demikianlah.

Nah, penakwilan dan pemahaman seperti itu terhadap kaidah "Ikhtilaf di kalangan
kaum muslimin hanya terbatas pada masalah fkih, tidak pada masalah akidah",
sangat sesuai dengan apa yang selama ini dinyatakan kalangan ulama muhaqqiq;
salaf maupun khalaf, dan didukung oleh fakta sejarah yang tak terbantahkan sejak
zaman shahabat serta generasi setelahnya. Demikianlah kurang lebihnya
keterangan dalam Kitab Dirasah Fi Al Ikhtilafat Al Ilmiyyah; Haqiqatuha, Nasy'atuha,
Asbabuha, Al Mawaqif Al Mukhtalafah Minha.
Syaikhul Islam juga mengungkapkan hal senada, "Dalam masalah-masalah yang
diperdebatkan para shahabat, mereka bersepakat untuk tidak menolak shahabat
lain yang berbeda pendapat berdasarkan ijtihad masing-masing. Seperti dalam
masalah ibadah, pernikahan, warisan, pemberian, politik dan lain sebagainya".

Kemudian beliau --rahimahullah-- menerangkan mengenai adanya perbedaan


pendapat dalam beberapa masalah akidah. Di antaranya, apakah mayit bisa
mendengar suara orang yang masih hidup ataukah tidak, apakah ia disiksa lantaran
tangisan keluarganya, apakah rasulullah melihat Allah sebelum wafat... Dan
dijelaskan bahwa meskipun para shahabat berselisih di situ, tetapi mereka tetap
berada dalam ikatan jamaah yang bernuansa kekeluargaan dan kasih sayang. Dan
seterusnya. (Silahkan lihat Fatawa Ibnu Taimiyyah, 19/122-123).

Di tempat lain Syaikhul Islam menjelaskan bahwa kesalahan yang dimaafkan dalam
ijtihad ada dua macam: Pertama, yang masuk dalam kategori khabariyyah. Kedua,
yang bersifat ilmiyyah. Misalnya, seseorang yang berkeyakinan tentang tetapnya
sesuatu karena dalil yang menunjukkannya diambil dari Al Qur'an atau As Sunnah.
Di sisi lain ada dalil lain yang bertentangan, padahal sebenarnya merupakan
penjelasan dari dalil yang difahami mujtahid itu, hanya saja dia tidak
mengetahuinya. Demikianlah. Point-point contohnya sangat banyak jika diuraikan.

Dalam pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyyah memberikan suatu batasan yang jelas.
Sangat jelas. Beliau membedakan antara masalah-masalah pokok dengan furu'.
Beliau menjelaskan bahwa perbedaan pendapat hanya terjadi pada masalah-
masalah furu'. Jelas bukan?

Sementara dalam perkara akidah maupun fkih, keduanya sama-sama


memiliki furu' dan ushul.

Oleh karena itu, ulama salaf manakala menyinggung sifat-sifat kalangan Ahlu As
Sunnah Wa Al Jama'ah selain menyebutkan pendapat-pendapat mereka dalam
masalah akidah --sebagai ciri khas yang membedakan dengan kalangan lain-- juga
menyebutkan sebagian pendapat mereka dalam masalah fkih. Dengan pendapat-
pendapat yang telah masyhur menjadi ciri dan syiar bagi kalangan ini.
Penggambaran-penggambaran mengenai ciri dan syiar tersebut juga dinyatakan
oleh Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat Al Hanabilah: 1/329-330. Termasuk juga Abdul
Qahir Al Baghdadi dalam menyebut kalangan ini juga menempuh cara yang sama.
Lihat Al Farqu Baina Al Firaq, hal. 26-28.

Demikianlah. Bagi yang mau mencermati perjalanan ulama salaf, akan


mendapatkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah akidah, sebagaimana
dalam masalah fkih. Ruang lingkup serta bidang yang jadi perdebatan di kalangan
ulama adalah lantaran penunjukan dalil padanya (bersifat) zhanni atau penuh
penafsiran. Baik akidah maupun fkih. Titik perbedaannya, bahwa dalam masalah
fkih, ruang untuk berbeda pendapat lebih luas daripada masalah akidah. Hal ini
tidak lain disebabkan oleh sifat dalil dalam kedua masalah tersebut. Dimana dalam
masalah akidah sebagian besar qath'i, sedang dalam permasalahan fkih lebih
banyak yang zhanni.

Maka, ikhtilaf rahmat itu; sebagaimana telah dibahas di bab terdahulu;


berlaku juga atas persoalan akidah.

Permasalahan ini bagi sebagian orang yang sempat berprinsip secara buta akan
kaidah: "Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah akidah" dan dia jarang
mengkaji ilmu, barangkali dinilai asing. Apalagi penjelasan ini sedikit rumit. Maka
dengan mengharap bimbingan Allah, semoga kita dikaruniai nikmat pemahaman
dan kepahaman. Amien.

Alhasil, dengan memahami hakekat perbedaan pendapat di wilayah akidah ini,


diharapkan kita semua jadi kian bijak dan akan lebih hati-hati dalam menyikapi
perbedaan.

BIAS ANTARA IJTIHAD DENGAN USHUL

Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Orang yang tidak mengetahui


kebenaran terus memutuskan bagi manusia di atas kebodohan, maka dia di
neraka." (Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan Al
Hakim).
Sudah terlalu sering kita mendengar penilaian-penilaian miring dari suatu individu
atau kelompok kepada kelompok lain. Bahwa Si Fulan telah keluar dari manhaj
ahlus sunnah wal jama'ah. Lagi-lagi, akidah dibawa-bawa.

Sebenarnya demikian itu adalah biasa terjadi dan merupakan hal wajar. Menjadi
tidak wajar manakala vonis tersebut acap salah. Sesuatu yang bukan ushul akidah
ternyata adalah furu'. Hampir-hampir contoh kasusnya tak terhitung lagi, saking
banyaknya. Saking seringnya. Dan kita akan ambil beberapa contoh; yang
dengannya diharapkan bisa menstimulasi kita untuk lebih teliti menginstropeksi diri
terhadap seluruh sikap kita; barangkali masih banyak yang tanpa didasari ilmu.
Atau barangkali juga lantaran latah dan ikut-ikutan. Lebih tragis lagi jika masing-
masing orang malah membikin kaidah sendiri, setelah sebelumnya tak pernah bisa
membaca atau mengartikan rambu-rambu yang paling mudah sekalipun.

Tak mudah mengeluarkan seseorang dari manhaj ahlus sunnah. Salah-salah, kitalah
yang justru akan terjatuh. Tak tahu kebenaran tetapi berani menghukumi
seseorang berdasarkan kebodohan.

Bab ini akan kita kupas. Namun sebelumnya, kita musti tahu siapakah ahlus sunnah
itu.

Al Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Fashl Fil Milal Wan Nihal 2/271:
"Yang dimaksud Ahlus Sunnah adalah Ahlul Haq dari kalangan para shahabat dan
setiap orang yang menempuh jalan mereka dari kalangan para tabi'in, ahlul hadits
dan para fuqaha dari generasi ke generasi hingga pada zaman kita ini. Demikian
pula orang-orang awam yang mengikuti mereka, baik di belahan timur maupun
barat. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmati mereka semuanya".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata menerangkan defnisi Ahlus Sunnah
dalam Majmu' Fatawa 3/375: "Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh
dengan Al Qur'an dan As Sunnah serta apa yang menjadi kesepakatan para
shahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik".

Ciri-ciri ahlus sunnah yang lain, sebagaimana dikatakan Al Imam Ibnu Katsir dalam
Tafsirnya [Ar Rum 30-32]: "Umat Islam ini berselisih di antara mereka menjadi
berbagai aliran. Semuanya sesat kecuali satu; yaitu ahlus sunnah wal jamaah; yang
memegang teguh kitabullah dan sunnah rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, dan
memegang petunjuk generasi pertama: para shahabat, para tabi'in, serta para
imam kaum muslimin pada masa dulu atau belakangan.”

Jadi, jelaslah siapakah ahlus sunnah itu. Tak perlu lagi dirinci terlalu dalam. Maka
ketika kita melihat orang lain berjalan mengikuti petunjuk para salaf di atas al haq,
dia harus kita hukumi sebagai ahlus sunnah. Namun ketika jalannya lain (yakni lain
menurut versi kita) maka tidak boleh buru-buru asal vonis, lalu mengajak kawan
yang lain untuk bara' padanya. Padahal ia perlu tabayyun. Husnuzhan
dikedepankan. Tegakkan hujjah. Dan seterusnya. Karena bisa jadi justru ilmu kita
lah yang masih terlalu dangkal. Tahap-tahap qadha'i saja belum ditempuh, tetapi
berani mendakwakan ta'yin. Benar-benar tidak takut dosa jika demikian adanya.

Kita ambil contoh untuk evaluasi: Betapa banyak orang menghukumi seseorang
yang mau menjawab salam orang "kafr" dengan vonis kafr. Menakutkan sekali.
Hanya karena menjawab salam orang kafr dianggap kafr. Kaidah "Siapa tidak
mengkafrkan orang kafr berarti dia kafr" diobral tanpa kaidah, kecuali hanya
kaidah purba sangka. Lebih menakutkan lagi jika menjawab salamnya orang yang
status kekafrannya masih diperdebatkan, terus dia dikafrkan karenanya. Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un. Ini ilmu dari mana? Akidah macam mana ini?

Jawaban salam dari orang kafr itu tidaklah mutlak hanya dengan "Wa'alaikum!" Ini
adalah perkara ijtihadi. Bukan ushul akidah, dimana ulama berselisih mengenai
hukum menjawab salam mereka. Baik ahli kitab maupun orang musyrik asli lainnya:
Hindu, Budha, atheis dan lain sebagainya.

Hadits-hadits tentang "Wa'alaikum" itu memiliki sebab atau alasan yang


melandasinya. Para ulama saling berbeda pendapat mengenai hukum menjawab
salam mereka dengan jawaban yang baik. Jadi sesuatu yang nyata merupakan
ijtihadi, tidak boleh kita masukkan dalam ranah pokok akidah.

Mengingat pembahasan ini terlalu panjang, maka untuk memperingkas


pembahasan berkenaan dengan salam, kita suguhkan beberapa link halaman
internet yang menyoal masalah tersebut:
https://rumaysho.com/2036-membalas-salam-non-muslim.html?
_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C5205894756

http://www.salafybpp.com/aqidah/cara-menjawab-salam-orang-kafr

http://m.voa-islam.com/news/tsaqofah/2011/05/20/14813/bila-orang-kafr-
mengucapkan-salam-bagaimana-menjawabnya/;

Dan masih banyak link lainnya. Dimana banyak ulama seperti Syaikh Bin Baaz,
Syaikh Utsaimin, Imam Nawawi, Ibnu Qayyim, Al Mawardi, dan masih banyak lagi
yang berpendapat bolehnya menjawab salam orang-orang kafr dengan
"Wa'alaikummussalam", dengan beberapa catatan. Disamping banyak juga yang
melarangnya. Mohon dicek link dan kitab asli yang ditunjukkan dalam link tersebut.
Intinya, ia adalah perkara ijtihadi. Bukan ushul. Sehingga tidak boleh dijadikan
hujjah untuk mentakfr orang lain.

Hal-hal seperti itu kadang perlu disosialisasikan secara berkesinambungan. Karena


banyak orang tak faham. Parahnya, umumnya nyaris tak ada tabayyun, tahu-tahu
sudah kena vonis kafr; diketahui dari jawaban salam yang diterima. Sehingga bagi
orang yang bersangkutan jadi bingung, dia telah melakukan dosa apa, orang-orang
pada menjauh?! Jika sudah demikian, akhirnya banyak yang "takut" jumpa kawan
sendiri daripada ketemu musuh. Terjadilah saling waspada dan saling curiga.
Tatapan pun tak lagi mesra. Tegur sapa, apalagi salam menjadi barang langka.
Label: Ahlus Sunnah Wal Jama'ah telah dimonopoli kelompok tertentu.
Astaghfrullahal 'Azhim.

Bagi orang yang belum pernah dita'yin kawan sendiri barangkali tak bisa
membayangkan bagaimana sakitnya hati yang bercampur ketakutan. Waswas.
Tertekan. Shoock. Sulit dibayangkan perih yang dirasa. Melahirkan dendam yang
kian bertumbuh. Kemarahan terkumpul dalam sukma dan dalam komunitas, bahwa
siap membunuh "khawarij" yang telah menghalalkan darahnya. Innalillahi. Ini
benar-benar gejala akhir zaman; dimana sesama umat islam mulai saling
menghunus pedang, ucapan salam hampir punah kecuali hanya bagi kelompoknya.
Padahal masalahnya hanyalah perkara ijtihadi. Yang lantaran kebodohan, dianggap
sebagai pokok tauhid. Tidak takutkah kita mempertanggung jawabkan semua ini di
hadapan Allah, kelak? Bahwa darah adalah urusan yang sangat besar!
Contoh lainnya: Yakni mengenai status orang yang belum atau tidak mau berbai'at
kepada Khalifah Al Baghdadiy, sementara posisi orang tersebut jauh dan di luar
daerah kekuasaan Al Baghdadiy. Banyak yang ghuluw bersikap terhadap orang
yang tak berbai'at. Hingga suami-istri pun dianggap telah ter-cerai secara otomatis
gara-gara salah satunya belum mau berbai'at. Dan mereka berpandangan bahwa
umat wajib secara mutlak berada dalam satu naungan kekhilafahan. Benar-benar
telah muncul kaidah takfr yang baru dan 'nyleneh'.

Baiklah. Marilah kita jelaskan hukum bai'at bagi orang yang berada jauh dari negeri
tersebut. Bahwasanya, Imam Asy Syaukani --Rahimahullah-- berkata; setelah
menuturkan kondisi kaum muslimin saat itu; "Bila telah jelas di hadapanmu apa
yang kami jelaskan tadi, maka orang yang telah dibai'at oleh Ahlul Halli Wal Aqdi ini
adalah wajib bagi setiap penduduk negeri yang berada di bawah genggaman
larangan dan perintahnya untuk mentaatinya berdasarkan dalil-dalil yang
mutawatir". (Sailul Jarrar, hal. 513).

Lihat! Yang berada di bawah genggaman larangan dan perintahnya. Jadi tidak
semuanya. Sesungguhnya, masalah hukum bai'at bagi orang di luar jangkauan
kekuasaan daulah bukanlah perkara ushul. Bukan pokok akidah. Di samping itu,
siapa bisa menunjukkan atsar-atsar shahih yang menunjukkan bai'at bagi orang di
luar wilayah kekuasaan daulah itu wajib? Silahkan!

Bahkan ke-khilafah-an Al Baghdadiy sendiri pun juga tidak menjadikan hadits


"Barang siapa mati sedangkan di lehernya tidak ada bai'at, maka dia mati dengan
kematian jahiliyah", sebagai dalil kewajiban berbai'at bagi seluruh kaum muslimin
secara umum. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Al Adnaniy dalam deklarasi
pengangkatan Khalifah Syaikh Al Baghdadiy - Hafzhahumallah: "Kami ingatkan
kepada kaum muslimin bahwa dengan pendeklarasian khilafah ini maka telah wajib
atas seluruh kaum muslimin untuk membai'at dan membela Khalifah Ibrahim
Hafzhahullah, dan batal-lah seluruh imarah dan jama'ah, wilayah dan organisasi
yang berada di dalam wilayah kekuasaan daulah dan bala tentaranya."

Yang berada di dalam wilayah kekuasaan daulah dan bala tentaranya! Mohon
digarisbawahi. Lain ceritanya bagi yang berada di dalam genggaman wilayah dan
kekuasaan daulah. Meskipun diraih dengan pedang; ghalabah; namun tetap saja ia
sah untuk dibai'at oleh penduduk negeri yang ditundukkan tersebut. Tapi dengan
catatan, diterapkannya syariat di dalamnya. Sebagaimana dikatakan Imam Ahmad
dalam riwayat Abdus Ibnu Malik Al 'Atthar, "Dan siapa saja yang telah menguasai
mereka dengan pedang sehingga menjadi khalifah dan dinamakan Amirul
Mukminin, maka tidak halal bagi siapapun yang beriman kepada Allah dia
bermalam satu malam pun sedang dia tidak memandangnya sebagai imam, baik
imam itu adil ataupun jahat". Maka kalau belum menguasai, mana berhak untuk
dibai'at oleh penduduk lain negara? Karena bai'at itu punya kaidah dan
konsekwensi yang harus dipenuhi bagi fhak yang dibai'at maupun yang membai'at.
Meskipun demikian, bai'at bagi orang di negara kafr kepada daulah juga tidak
dilarang. Sebagai bentuk dukungan dan kesiapan menerima perintah jika NANTI
kekuasaan daulah sampai ke negara kafr tersebut.

Selain daripada uraian tersebut, eloklah jika kita lihat mengenai kondisi para salaf
berkenaan dengan bai'at ini. Bahwasanya fenomena tidak berbai'at kepada khalifah
al 'uzhma, pernah terjadi pada masa-masa awal islam. Bahkan ketika itu mereka
malah berada pada satu wilayah:

Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali radhiyallah 'anhu berkata pada Sa'ad
bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu: “Berbai'atlah engkau!” Sa'ad menjawab: “Aku
tidak akan berbai'at sebelum orang-orang semua berbai'at. Tapi demi Allah tidak
ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.” Lalu Ali
menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar radhiyallahu
'anhuma: “Aku tidak akan berbai'at sebelum orang-orang semua berbai'at.” Jawab
Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar: “Aku tidak punya orang yang mampu
memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali:
“Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fl Milal wal Ahwa' An
Nihal, 4/103).

Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang kibarus shahabah yang tidak memberikan
bai'at pada Khalifah Ali radhiyallahu 'anhu yaitu: Sa'ad bin Abi Waqqash, Abdullah
bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah
bin Aqwa' dan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhum. (Tarikh Ar Rusul, 4/429).

Para shahabat ini, tidak ada satu pun manusia yang mengatakan mereka sebagai
pemberontak, tidak pula dikatakan khawarij, apalagi kafr, walau mereka menolak
berbai'at kepada khalifah.
Berkata Al 'Allamah Ibnul Azraq Al Maliki Qadhi Al Quds, "Sesungguhnya
persyaratan bahwa kaum muslimin harus dipimpin seorang imamul a'zham
bukanlah keharusan!" Lihatlah keterangan beliau dalam kitabnya Bada'i As Suluk Fi
Thabai Al Muluk: "Syarat penyatuan sistem kepemimpinan, dimana tidak boleh ada
pemimpin yang lain, hukumnya tidak wajib, selama tidak memungkinkan. Ibnu
Arafah mengatakan, ‘Ketika wilayah kekuasaan imam sangat jauh, sehingga
titahnya tidak bisa dilaksanakan di beberapa daerah yang jauh, maka boleh
menunjuk pemimpin yang lain di negeri tersebut.’ .." (Bada'i As Suluk: 1/76).

Penulis Kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, menjelaskan tentang hadits
wajibnya mentaati ulil amri. Katanya: "Sabda nabi shalallahu 'alaihi wasalam,
‘‘Siapa yang tidak taat’’ artinya mentaati khalifah yang dibaiat masyarakat. Seolah
yang beliau maksudkan adalah khalifah di negeri-negeri manapun. Karena tidak
mungkin di seluruh negeri islam sepakat untuk membaiat satu khalifah, dari sejak
zaman Daulah Abbasiyah. Namun masing-masing penduduk negeri, memiliki
penguasa sendiri yang mengatur urusan mereka. Dan jika hadits ini dipahami
wajibnya taat pada khalifah yang memimpin seluruh kaum muslimin, tentu tidak
bisa diterapkan." (Subulus Salam, 3/258).

Imam Muhammad bin Sulaiman At Tamimi berkata: “Masyarakat dari sejak masa
silam, sebelum Imam Ahmad hingga hari ini, mereka memiliki lebih dari satu
pemimpin. Mereka tidak mengetahui ada satupun ulama yang menyebutkan bahwa
tidak boleh melaksanakan hukum dan undang-undang kecuali dengan komando
satu pemimpin.” (Ad Durar As Saniyah: 12/2).

Asy Syaikh Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al Adnani - Rahimahullah - berkata: "Aku
nyatakan kepada mereka apakah kalian tidak mengerti kondisi kaum muslimin
ketika runtuhnya Daulah Umawiyyah di Syam lalu berdiri lagi di Andalusia lalu
berdiri pula Daulah Abbasiyyah di Baghdad, sehingga ketika itu ada dua daulah bagi
kaum muslimin, bahkan ada pula selain itu Daulah Aghalibah dan Adarisah". (Al
Quthbiyyah, hal. 109).

Maka, masih adakah yang ghuluw mengkafrkan dan memusuhi warga negara lain
(yang jelas-jelas merupakan kaum muslimin, dan juga tidak ikut memerangi daulah
dan tegaknya syariat); yang belum atau tidak mau berbai'at ke negeri nun jauh di
sana? Masih adakah yang berpandangan bahwa seluruh dunia itu diwajibkan
dengan satu kepemimpinan?!
Di sinilah. Kalau kita faham perjalanan sejarah salaful ummah, kita tidak mudah
membuat vonis; juga tidak buru-buru menelan mentah-mentah fatwa murahan
ustadz-ustadz ghuluw. Dan kita akan lebih sabar serta bijak menghadapi tiap
perselisihan. Betapa ilmu yang kita miliki ini masih sangat dangkal.

Sebetulnya dalil-dalil pendukung dalam persoalan ini sangat banyak. Tapi cukuplah
diuraikan sebatas ini saja. Biar tidak terlalu panjang lebar. Yang penting bisa
difahami mengenai status hukum berbai'at bagi penduduk di negeri lain. Adapun
bagi penduduk di luar jangkauan khilafah, yang lebih wajib dari itu adalah: hijrah ke
daulah sana. Hakadza.

Maka ketika telah diketahui bahwa perkara ini adalah ijtihadi, kenapa mewajibkan
bai'at kepada kaum muslimin di luar wilayah daulah? Yang tidak mau bisa jatuh
kafr. Suami-istri pun harus cerai. Jelas perbuatan tersebut bukanlah perbuatan
ahlus sunnah. Syaikhul Islam berkata, "Barang siapa yang berkata dengan Al
Qur’an, As Sunnah dan ijma' salaf, maka dialah Ahlus Sunnah." (Majmu' Fatawa,
3/346). Sehingga mafhum mukhalafah-nya adalah: siapa saja yang perkataannya
menyelisihi qur'an, sunnah dan ijma' berarti bukan ahlus sunnah. Maka kalau ada
orang yang memvonis kafr dan menuduh sebagai shahawat atas orang di luar
kekuasaan daulah yang tidak berbai'at, apakah sesuai dengan ahlus sunnah?

Mukmin, apalagi mujahidin adalah orang yang seharusnya lebih bisa bersabar
daripada masyarakat awam. Dia selayaknya bisa menjadi panutan. Menampilkan
akhlak terpuji dalam tiap urusan. Mau 'ngajeni' pendapat orang lain, serta tahu
'unggah-ungguh'. Inilah sikap orang berilmu. Di atas langit ada langit.

PB, PERKARA IJTIHADI-KAH?!

Bab ini; PB atau Pembebasan Bersyarat; adalah permasalahan yang TER-AMAT-


SANGAT riskan untuk dibahas. Salah kecil bisa beresiko besar. Banyak orang telah
menjadi "korban" pengkafran lantaran tajamnya kaidah yang dipakai untuk
mengupas bab ini. Sehingga bagi orang yang tak biasa bersikap adil dan bijaksana,
seyogianya jangan berani bicara ilmu ini. Sebab bab ini harus dibarengi dengan
perangkat-perangkat keilmuan lainnya untuk menghindari kepincangan dalam
penerapan.
Maka dari itu, kita pun juga tidak berani merinci perkara ini untuk menghukumi
seseorang. Hanyasanya pokok tema yang kita bidik mengenai PB adalah pada
wilayah hukum yang jarang disentuh, dan kerap diabaikan. Padahal ia sangat
signifkan.

Satu yang disayangkan, yakni manakala kajian ilmiyah ini terbentur oleh ke-jahil-an
orang yang tak mau tahu adanya perselisihan di wilayah PB. Dimana hanya ada
satu kalimat, "Pokokya kafr!". Sehingga tak mau mendengar uraian dari siapapun
yang meyelisihinya. Dan ia hanya mencukupkan diri dengan kesimpulan pendapat
rivalnya, dimana itu pun diperoleh dari perkataan kawan sekelompoknya sendiri.
Ketika yang lain mengatakan begini dan begini, atau Si Fulan sekarang
"menyeleweng", langsung percaya begitu saja. Akhirnya malas, atau tidak dengan
hati terbuka dalam membaca pendapat lain. Hingga sesuatu yang sifatnya ilmiyah
dimentahkan secara massal oleh kelompok tertentu. Jiwa kritisnya pun pudar. Tak
bisa melihat pendar-pendar cahaya ukhuwah lagi.

Terkait dengan pembahasan apakah PB masuk dalam perkara ijtihadi ataukah


ushul, maka terlebih dulu perlulah mengulang pembahasan-pembahasan yang telah
lalu. Jangan potong kompas atau langsung melompat pada kesimpulan akhir dari
tulisan ini. Harus difahami lagi kaidah-kaidah ijtihadiyyah, termasuk etika dan adab-
adabnya. Kaidah: "Ikhtilaf di kalangan kaum muslimin hanya terbatas pada masalah
fkih, tidak pada masalah akidah" harus difahami secara benar, agar tidak timbul
isykal di tengah-tengah pembahasan. Dengan kata lain, ikhtilaf dalam akidah itu
juga merupakan keniscayaan. Faktanya shahabat-shahabat pun berselisih juga.

Sehingga ketika jelas-jelas ada perbedaan pendapat yang saling berseberangan,


kita tidak boleh asal mem-bathil-kan pendapat ini seraya memastikan pendapat
yang itu adalah satu-satunya yang wajib diterima. Kita tidak boleh membuat
kesimpulan sendiri dalam hukum. Karena, konsekwensinya jika menganggap
suatu pendapat itu kemungkaran, tentu saja orang yang mempunyai
pendapat itu kafr. Sebab dia menghalalkan apa yang diharamkan Allah, atau
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau membolehkan sebuah kekafran,
dan seterusnya. Padahal yang berpendapat adalah shahabat dan ulama
salaf. Apakah kita mau mengkafrkan para ulama dan shahabat?!

Kalau dikatakan, "Ulama tidak dikafrkan karena mereka hanya berpendapat, tidak
melakukannya! Kalau ulama dan orang lain melakukan hasil dari pendapatnya itu,
mereka baru dikafrkan!" Tentu statement tersebut terlalu ambigu dan rancu serta
menyelisihi kaidah. Justru yang lebih dikafrkan adalah fhak yang
melakukan istihlal (membolehkannya), bukan sekedar pelaku
kemungkarannya. Makanya kita jangan mudah mengkafrkan seseorang yang
memiliki landasan hukum. Karena jika dikembalikan kepada kaidah, ia
berkonsekwensi mengkafrkan juga fhak yang berfatwa.

Memang terkadang sesuatu yang sifatnya ilmiyyah itu acap tercampuri gejolak
emosi. Lantas menyebutnya sebagai kemarahan karena Allah. Apalagi banyak di
kalangan kita tatkala mengambil PB alasannya adalah strategi, strategi, dan
strategi! Beberapa di antaranya bahkan terang-terangan mengatakan bahwa sudah
bosan dipenjara. Stress. Pingin segera kumpul lagi dengan keluarga. Belum lagi jika
ditambah dengan orang-orang yang berbalik "menyerang" mujahidin. Maka dengan
demikian, bagi fhak penentang PB, semakin kuatlah baginya untuk menta'yin,
karena tak ada hujjah ilmiyyah yang bisa membantahnya. Hujjah yang diangkat
seringnya adalah pendapat Imam Syaf'i. Yakni, sekedar pemenjaraan saja sudah
termasuk sebagai ikrah. Terus, kejahilan yang diperbuat oleh beberapa oknum pun
dipukulratakan, bahwa semua pengambil PB itu kurang berilmu.

Di satu sisi, paradigma yang mengatakan bahwa masalah ini adalah ijma' qath'i
benar-benar dipercaya secara mengakar. Jadi yang menyelisihi langsung bisa
dipastikan kekafrannya. Opini seperti itu terus berkembang dan berkembang terus.
Dampaknya, udzur dan rukhshah seputar penjara pun seakan memang tidak ada
dan tidak pernah ada. Terkikis dengan sendirinya oleh gencarnya isyu PB adalah
kemurtadan mutlak. Kaidah-kaidah yang benar pun tak jarang disalahtempatkan.
Sampai banyak yang latah ikut-ikutan mentakfr orang-orang di tempat lain yang
belum pernah dikenal atau dikunjunginya.

Itulah adanya. Namun --sebagaimana telah disebutkan di awal-- kita tidak sedang
merinci perkara PB buat menghukumi seseorang atau buat membantah keyakinan
mutlak bahwa PB adalah kekafran. Tidak! Kita tidak membahas itu! Kita hanya
ingin mengingatkan kembali bahwa para salaful ummah telah berselisih pendapat
mengenai permasalahan seputar penjara. Dimana dengan memahami perbedaan
pendapat tersebut, kita akan semakin santun dalam bersikap, serta kata "KAFIR"
bukanlah satu-satunya jurus yang harus dikeluarkan.

Ketika membahas Qur'an Surah An Nahl ayat 106, maka telah masyhur diketahui
bahwa perihal ikrah (paksaan) itu terjadi perselisihan di antara ulama. Seperti yang
dipaparkan Oleh Imam Al Qurthubi dalam tafsir ayat tersebut dan Ibnu Hajar dalam
Fathhul Bari'.

Al Qurthubiy berkata dalam Tafsirnya: "Kesembilan belas; Para ulama berselisih


pada batasan ikrah, dimana diriwayatkan dari Umar Ibnul Khaththab
Radhiyallahu 'Anhu bahwa beliau berkata: "Orang itu tidak merasa aman terhadap
dirinya bila kamu menakut-nakutinya atau kamu mengikatnya atau kamu
memukulnya". Ibnu Mas'ud berkata: "Tidak satu ucapan pun yang bisa
menghindarkan dari saya dua pukulan cemeti melainkan aku pasti
mengatakannya". Al Hasan berkata: "Taqiyyah itu boleh bagi orang mu'min
sampai hari kiamat akan tetapi Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak menjadikan taqiyyah
pada pembunuhan". An Nakha'iy berkata: "Pengikatan itu adalah ikrah dan
pemenjaraan adalah ikrah". Dan ini adalah pendapat Malik juga, akan tetapi ia
mengatakan: Ancaman yang menakutkan adalah ikrah walaupun hal itu tidak
terjadi bila benar-benar terbukti kedzaliman orang yang aniaya itu ada
perealisasiannya terhadap apa yang diancamkannya. Menurut Malik dan para
pengikutnya tidak ada batasan pada pemukulan dan pemenjaraan, namun cukup
pemukulan yang menyakitkan dan pemenjaraan yang membuat penat (sempit)
terhadap orang yang dipaksa. Paksaan penguasa dan yang lainnya menurut Malik
adalah ikrah juga. Ulama Kufyyun saling kontradiksi dimana mereka tidak
menjadikan pemenjaraan dan pengikatan sebagai ikrah terhadap minum khamr dan
makan bangkai, karena dikhawatirkan kebinasaan dari akibat dua hal itu, dan
mereka menjadikan dua hal itu sebagai ikrah dalam pengakuannya bahwa saya
memiliki hutang seribu dirham kepada si fulan. Ibnu Sahnun berkata: "Dan di
dalam ijma mereka bahwa penyiksaan yang dahsyat itu adalah ikrah terdapat hal
yang menunjukan bahwa ikrah itu bisa tanpa pelenyapan nyawa". Malik
berpendapat bahwa barangsiapa dipaksa untuk sumpah dengan ancaman atau
pemenjaraan atau pemukulan maka dia itu silahkan sumpah dan tidak dianggap
melanggar, dan itu adalah pendapat Asy Syaf'iy, Ahmad, Abu Tsaur dan
mayoritas ulama."

Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari', 12/311: Dan ada perselisihan perihal apa
yang dijadikan ancaman. Dimana mereka sepakat terhadap pembunuhan,
pelenyapan salah satu anggota badan, pemukulan yang dahsyat serta
pemenjaraan yang lama. Dan mereka berselisih pada pukulan yang ringan dan
pemenjaraan yang sebentar, seperti sehari atau dua hari.

Namun pendapat tersebut dibantah oleh Syaikh Abu Turab Al Hasyimiy: Multaqa
Ahlil Hadits. Silahkan cek ricek alamat: (www.ahlalhdeeth.com). Versi
terjemahannya berjudul: BATASAN IKRAH DALAM KEKAFIRAN. Dan ia menjadi salah
satu buku rujukan bagi orang yang meyakini bahwa PB itu kekafran yang sharih.
Kendati demikian, bantahan-bantahan tersebut tidak lantas menafkan adanya
perselisihan di wilayah ikrah. Dengan kata lain, ruang lingkup ikrah ini statusnya
adalah ijtihadi. Bantahan-bantahan tersebut sifatnya semacam tarjih untuk
menjelaskan bahwa yang disepakati oleh jumhur ulama dalam hal pengkafran itu
adalah ikrah mulji'. Dan sekedar pemenjaraan dianggap oleh jumhur bukan
termasuk ikrah mulji' yang dengannya kekafran diudzur. Begitulah kurang lebihnya
kesimpulan yang dibentuk oleh Syaikh Abu Turab Al Hasyimiy.

Adalah hal biasa manakala dua pendapat yang berseberangan saling "bersaing"
guna menunjukkan dalil siapakah yang lebih kuat. Kita tidak sedang mentarjih dalil
manakah yang paling rajih di antara kubu yang saling berseberangan. Hanya saja
hendak menunjukkan bahwa perkara tersebut diperselisihkan. Dengan kata lain, ia
tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai ijma' qath'i yang jelas penunjukan
dalilnya.

Selama kaum muslimin belum bersepakat tentangnya, maka perkara tersebut tidak
dapat disebut sebagai sesuatu yang telah sharih dengan dalil yang qath'i. Namun
jika hukum-hukum tersebut telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, maka
terjadinya kesepakatan ini menjadi dalil yang menjelaskan kebenaran hukum
tersebut secara qath'i yang tidak menyisakan sedikitpun keraguan dan tidak
mungkin untuk dita'wil. Sehingga hukum tersebut menjadi hukum yang wajib
diketahui dan diamalkan oleh siapa saja yang memiliki tamakkun untuk
mengetahui. Dimana jika dia jahil terhadapnya kemudian dia melanggarnya maka
dia telah bermaksiyat kepada Allah dan dia tidak dapat beralasan dengan
kebodohan, karena hujjah telah tegak kepadanya.

Namun yang jadi isykal, bahwa permasalahan ini terlanjur diyakini sebagai ijma'
qath'i. Semua pendapat dianggap mentah karena dinilai menyelisihi nash qur'an
yang ditafsirkan melalui asbabun nuzulnya, yakni kisah penyiksaan Amar bin Yasir.
Padahal secara sharih tidak ada nash yang mengharuskan ikrah yang diterima itu
harus seperti kondisi Amar bin Yasir. Tetapi berani menyimpulkan bahwa semua
pendapat tersebut ditolak, karena menyelisihi nash qath'i.

Kalau diamati, ulama --salaf maupun khalaf-- tidaklah bemberlakukan kaidah terlalu
ketat, apalagi ambil tindakan ta'yin. Maknanya, fhak yang menyelisihi pendapat
bahwa sekedar pemenjaraan bukanlah termasuk ikrah (mulji') tetaplah dianggap,
meski mereka secara pribadi memperketat diri sebagai upaya penghati-hatian.
Entahlah; orang-orang Indonesia ini menerapkan metode siapa, sehingga gampang
menjadi ghullat. Sukanya berlebih-lebihan.

Lucunya, banyak di antara orang yang anti PB acap membawa-bawa nama Daulah
Al Baghdadiy, bahwa keyakinan tersebut sesuai dengan akidah daulah. Dan orang
yang benci daulah pun berkomentar sama. Namun dengan kesan menyalahkan
daulah. Padahal tidak demikian. Yang satu ngaku-ngaku, dan satunya menuduh.
Yang ini jahil membuat penilaian, sedangkan yang itu terlalu gegabah. Keduanya
sama-sama latah. Tetapi, ia hanyalah oknum-oknum tertentu.

Makanya kita perlu membantah dan mematahkan tuduhan serta pengakuan kosong
itu, sekalian membuktikan bahwa sekedar pemenjaraan itu merupakan ikrah yang
masih diakui ulama hingga kini. Kita ambil contoh dari apa yang dilakukan oleh
Syaikh Nashir bin Hamad Al Fahd (yang [pada Selasa 25/8/2015] bai'atnya telah
diterima daulah dan diunggah secara resmi oleh Muassasah Al Battar Al I'lamiyah
atau Yayasan Media Al Battar) dimana beliau sebelumnya sempat berkompromi
dengan kerajaan yang bahkan telah dianggapnya sebagai thaghut dan musuhnya.
Beliau juga mau tampil di sebuah stasiun TV sembari menyatakan penyesalannya;
tanpa adanya ancaman siksaan. Sementara posisi beliau berada dalam penjara.

Alasan Syaikh Nashir berkompromi dengan musuhnya ketika itu --sebagaimana isi
surat beliau kepada Nayif bin Abdul Aziz, tertanggal 25/12/1424 H di point yang ke
tiga-- berbunyi:

"Saya tidak menyatakan penyesalan apapun sebelum saya dipenjara! Dan


berkenaan dengan sikap saya berkompromi terhadap kerajaan, itu terjadi karena
saya beranggapan bahwa dalam keadan mukrah. Sedangkan Allah berfrman:
"Kecuali orang-orang yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan hati mereka tetap
tenteram dengan keimanan mereka".

Riwayat ini adalah shahih dari Umar bin khatthab - Radhiyallahu 'anhu - bahwa
penjara adalah salah satu bentuk paksaan. Dia berkata: "Empat jenis yang
termasuk paksaan: dipenjara, dihukum, dibelenggu dan disiksa". Dia juga berkata:
"Seseorang yang tidak menjamin secara pasti apakah dirinya dikenai hukuman
(vonis) atau dirantai".
Ibnu Mas'ud - Radhiyallahu 'anhu - berkata: "Tidak ada kata apapun yang dapat
melindungi saya daripada dikenai dua kali cambukan kecuali akan saya ucapkan
kata-kata itu".

Ketika Al Ma'mun menyiksa para salaf berkenaan pernyataan bahwa Al Qur'an itu
makhluk atau bukan, kebanyakan dari mereka menjawab issue tersebut dengan
cara mentakwilkan (kepada pengertian yang tidak benar). Karena itu saya merasa
menemukan bahwa hal-hal di atas adalah sebagai dalil bagi saya untuk berbuat
demikian (mengaku menyesal kepada rezim Saudi)". Selesai.

Catat! Penyesalan Syaikh Nashir atas kompromi yang pernah dilakukannya


bukan karena menganggap keliru dalil-dalil ikrah tersebut. Justru beliau
masih mengakui sebagai hujjah untuk berstrategi dengan musuhnya.
Hanya saja karena "musuh" ternyata memanfaatkan hasil rekaman di
stasiun TV tersebut buat melemahkan semangat jihad umat islam, maka
beliau pun putar arah mata angin terhadap strateginya. Beliau cabut lagi
penyesalan itu.

Ini, cukup membuktikan bahwa pendapat-pendapat mengenai ikrah tersebut masih


diterima di kalangan ulama. Dimana tatkala beliau mengutarakan hujjahnya, ulama-
ulama jihadis lainnya pun mafhum dan membenarkan udzur beliau, dan beliau
senantiasa didukung oleh tokoh-tokoh pergerakan. Bahkan sebelum beliau
mengeluarkan klarifkasinya pun juga tak ada kalangan aktifs jihadis yang mem-
bara' dan mentakfrnya.

Sementara di penjara-penjara negeri ini, sekedar memenuhi undangan BNPT atau


sering ke kantor menemui petugas lapas karena memang ada keperluannya saja
langsung dicurigai. Diwaspadakan. Di-bara' dan dikatai yang tidak-tidak, tanpa
tabayun. Seakan-akan husnuzhan itu telah menjadi barang langka.

Sebenarnya kalau di antara ikhwan saling menghormati pendapat mengenai udzur


penjara, tak akan tegang begini keadaannya. Terus kejujuran pun dijunjung tinggi;
maksudnya jika memang ikut terlibat dalam acara-acara BNPT, akui saja. Jangan
seperti waktu-waktu yang telah lalu. Jelas-jelas telah masuk surat kabar tetapi
malah memftnah wartawan sebagai antek thaghut yang ingin merusak citra
mujahidin. Dan bahkan terhadap ikhwan-ikhwan yang melakukan tabayyun pun
dibohongi juga. "Tak pernah kami ikut acara-acara mereka!". Lantaran malu,
barangkali. Hingga keadaan tersebut memaksa ikhwan-ikhwan lain angkat bicara,
mengungkap kebohongan yang menyebar. Implikasinya, terjadilah "perang dingin"
sesama ikhwah yang dimulai dari dalam terali.

Dalam hal ini, bukannya kita ingin membela ataupun mempromosikan sikap
kompromi dengan fhak-fhak yang masih kita anggap sebagai musuh. Itu urusan
masing-masing. Kita hanya menekankan kejujuran. Sikap adil. Menghargai
pendapat. Mau mendengar. Dan kedewasaan berfkir. Hatta terhadap musuh
sekalipun. Lihatlah! Ustadz Abu Bakar Ba'asyir Fakallahu asrahu yang telah nyata
kiprahnya di dunia jihad, yang juga merupakan ikon jihad Nusantara pun tak pernah
menolak undangan siapapun dari fhak musuh-musuhnya. Ajakan dialog ataupun
sekedar foto-foto bersama pun beliau turuti, tanpa merendahkan diri. Sementara
kita; yang notabene 'anyaran' ngaji atau baru mengenal dunia pergerakan; sudah
kebablasan tingkahnya.

Betapa banyak orang yang membaca, tetapi tidak menemukan mutiara di tiap-tiap
alenianya. Betapa banyak terjemahan telah dihasilkan para pegiat dakwah, tetapi
tak bisa memahami makna yang terkandung dalam kalimat-kalimat tersebut.

Bagi siapa saja yang pernah membaca artikel resmi daulah yang berjudul Al Ifadah
Fi Ar Raddi 'Ala Abi Qatadah, yang ditulis oleh salah seorang dewan syariah dan
ulamanya daulah: Syaikh Abu Sufyan Turkiy Bin Mubarak Al Ban 'Aliy As Sulamiy
(Abu Humam Bakr Al Atsariy) yang berisi bantahan atas "tuduhan" yang dilontarkan
oleh Syaikh Abu Qatadah Al Filisthiniy; bahwa disitu Syaikh Abu Humam pun juga
memberikan udzur terhadap kondisi Abu Qatadah yang sedang dipenjara. Dengan
kata lain, ikrah pemenjaraan lama tanpa adanya siksaan pun tetap dianggap.

Bahkan ketika Abu Qatadah menampik adanya paksaan penguasa atas dirinya
terhadap statement pribadinya terhadap daulah sembari mengatakan: "Dan
sesungguhnya saya mengetahui orang-orang rendah dari kalangan orang-orang
akan mengatakan banyak komentar, dan paling tidak dia mengatakan: Orang ini
(maksudnya Abu Qatadah) tertawan!" Akan tetapi Abu Humam tetap memberinya
udzur dengan mengatakan, "Sesungguhnya orang (thaghut) yang memaksanya
untuk mengatakan bahwa kami ini (Daulah Al Baghdadiy) khawarij tentu mampu
juga untuk memaksanya (supaya mengatakan) menampik adanya paksaan pada
dirinya".
Lebih lanjut Abu Humam menjelaskan, "Dimana telah tsabit dari Umar
Radhiyallahu ‘anhu bahwa penjara itu termasuk ikrah. Beliau berkata: “Empat hal
yang semuanya ikrah, yaitu pemenjaraan, hukuman pukul, pengikatan dan
ancaman siksaan,” dan berkata juga: “Orang itu tidak merasa aman atas dirinya
bila dia diikat atau disiksa”. Selesai. Ibnu Mas'ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Tidaklah ada satu ucapan pun yang bisa menghindarkan dari diriku dua deraan
kecuali saya mengatakannya”. Selesai. Dari Syuraih berkata: “Pemenjaraan itu
paksaan, dan pengikatan itu adalah paksaan”. (Al Muhalla 13/23)". Selesai nukilan.

Hal demikian ditulis Abu Humam dalam rangka tetap memberikan udzur kepada
Abu Qatadah, sebelum mengutarakan alasan kenapa harus membantah sekaligus
pembelaan beliau terhadap daulah. Maka bagi siapapun, apa kurang jelas?
Masihkah mau membawa-bawa nama daulah ataupun ISIS yang tak pernah tahu
menahu tentang urusan PB di sini? Yang pendapatnya pun bahkan mengakui
diterimanya udzur terhadap ikrah penjara?! Sungguh, haihata! Haihata!

Semua Orang Mengaku Kekasih Laila...

Padahal Laila Tidak Pernah Mengenalnya...

Bahkan di ujung tulisannya, Syaikh Abu Humam mengatakan, "Bahwa Syaikh Abu
Qatadah Al Filisthiniy itu ikhtilath (ngelantur dan ngawur) bila mengeluarkan fatwa
dari dalam penjara... Sehingga fatwa-fatwanya diterima di saat beliau bebas, dan
tidak diterima di saat beliau di dalam penjara..."

Lantas bagaimana halnya dengan beberapa ikhwan ashhabussijin


Indonesia yang suka mengeluarkan fatwa kekafran ke luar penjara?!
Bolehkah disebut mukhtalith juga?! Timbanglah secara jernih, dan janganlah
coba samakan antara majmu' fatawa yang berbicara kaidah-kaidah ilmu dengan
fatwa ta'yin yang awam akan dalil dan waqi'! Wallahu Musta'an.

Berkata Imam Asy Syaf'i, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Khatib Al Baghdadi


dalam kitab Al Faqih wa Al Mutafaqqih [1/59]:

"Tidak halal bagi seseorang berfatwa di dalam agama Allah kecuali seseorang yang
mengusai Kitab Allah; nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya,
takwilnya dan tanzilnya, Makki dan Madaninya, dan apa yang dimaksudkan
dengannya. Setelah itu, ia juga wajib menguasai hadits rasulullah, nasikh dan
mansukhnya (hadits tersebut), dan ia menguasai hadits sepertimana ia menguasai
Al Qur'an. Ia juga mesti menguasai ilmu bahasa, menguasai syair-syair Arab yang
diperlukan dalam [memahami qur'an dan sunnah], dan menggunakan ilmu ini
dengan penuh keinsafan. Setelah itu, ia juga mesti mengetahui ikhtilaf para
ulama dari berbagai negeri, ia juga harus memiliki tajam pemikiran.
Apabila orang itu seperti ini, maka dipersilahkan untuk berbicara dan berfatwa di
dalam perkara halal dan haram. Jika tidak seperti itu, maka tidak boleh baginya
berfatwa." Demikianlah.

Catatan: Syaikh Abu Qatadah telah terang-terangan menyebut Daulah Al Baghdadiy


sebagai anjing-anjing neraka. Dengan lisan dan tulisannya, beliau "menyerang"
daulah. Dengan kata lain perbuatan tersebut mendatangkan "kerugian" bagi fhak
tertentu. Pun demikian, Syaikh Abu Humam tetap memberinya udzur. Sebab
memang seperti itulah syariat memerintahkannya. Maka bandingkan dengan
perbuatan Umar Patek --Fakallahu asrah-- yang tak ada unsur "kerugian" bagi fhak
lain. Berapa banyak orang pada latah menyebut beliau murtad? Tanpa sedikitpun
memandang haknya? Yakni ikrah! Beliau berada di penjara serta masih tertawan.
Kenapa kita tidak mengudzurnya?

Al Imam Yahya bin Sa'id Al Anshari Rahimahullah berkata: "Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para
mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun mereka tidak saling mencela
satu sama lain". (Tadzkiratul Hufadz, 1/139 dan Jami' Bayan Al 'Ilmi Wa Fadhlih,
393).

Ibnu Qudamah mengatakan, "Tidak selayaknya seseorang menolak perbuatan


orang lain yang melakukan sesuatu atas dasar madzhab yang dianutnya. Karena
tidak boleh ada penolakan atas perilaku yang dihasilkan ijtihad" (Dikutip oleh Ibnu
Mufih dalam kitabnya Al Adab Al Syar'iyyah, 1/186 dari Imam Ibnu Qudamah).

Disebutkan dalam Syarh Shahih Muslim 2/23: "Janganlah seorang mufti dan
qadhi menentang orang lain yang berbeda dengannya, selama orang
tersebut tidak bertentangan dengan al qur'an, sunnah, ijma' dan qiyas".
Ibnu Hajar Al Makki mengutip pendapat Imam An Nawawi, dan memperkuatnya.
Kemudian beliau kutipkan juga pernyataan dari Imam Al Qurthubi, "Apa yang
telah dipilih seorang imam, dan pilihannya itu mempunyai dasar dalam
dien, maka tidak boleh bagi yang lain menolaknya. Hal ini telah menjadi
kesepakatan di kalangan ulama." (Fath Al Mubin Fi Syarh Al Arba'in: 264).

Kembali ke bab ikrah, bahwa perkara ini jelas-jelas dan sangat jelas ada
perselisihan. Ancaman penjara dalam waktu lama adalah ikrah yang diterima oleh
banyak ulama. Seperti yang disebut oleh Ibnu Hajar, "Para ulama sepakat bahwa
yang termasuk dalam kategori ikrah adalah jika (diancam) akan dibunuh, dimutilasi,
dihantam dengan pukulan keras, atau ditahan dalam waktu yang lama. Akan tetapi
mereka berselisih jika ancamannya hanya dalam bentuk pukulan biasa atau
dipenjara dalam jangka waktu sehari atau dua hari." Lantas jika ia bukan sekedar
ancaman; malah benar-benar sudah dijatuhi hukuman penjara; masihkah tidak mau
menghargai orang yang dihargai oleh para ulama?

Apalagi salah satu yang berpendapat bahwa pemenjaraan itu merupakan ikrah
adalah Umar bin Khatthab, dimana telah masyhur tentangnya bahwa:

Imam Ahmad (2/401), Ibnu Abi Syaibah (12/25), Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah
(1250) dan Bazzar (2501) dari jalan Jahm bin Abi Jahm dari Miswar bin Makhramah:
"Dari Abu Hurairah, katanya: Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
'Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran berada di lisan dan Hati Umar'."

Imam Ahmad juga menyebutkan dalam musnadnya (2/53,95) dan dalam


Fadha'ilush Shahabah (313), juga Ibnu Sa'ad dalam Ash Shifaat (2/335), Tirmidzi
(3682) dari jalan Naf': Dari Ibnu Umar secara marfu', "Sesungguhnya Allah
menjadikan kebenaran berada di lisan dan hati Umar."

Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Kami yakin malaikat berbicara melalui lisan Umar".
(Imam Ahmad: 1/106, dengan sanad hasan).

Dalam atsar shahih, dari Qais, dari Thariq bin Syihab berkata: "Dahulu kami sering
mendengar riwayat bahwa Umar berbicara dengan lidah malaikat".
Humaidi (253), Ahmad (6/55), Muslim (2398), Tirmidzi (3693) dan lainnya,
meriwayatkan dengan sanad hasan. Dari Abu Salamah, dari Aisyah, Rasulullah
bersabda: "Pada umat-umat sebelum kalian terdapat para muhaddatsun. Dan jika
pada umatku terdapat salah satu dari mereka, niscaya Umar bin Khatthab adalah
orangnya". Ibnu Wahab berkata, "Maksud dari muhaddatsun adalah orang yang
diberikan ilham."

Wa laa nuzakki 'alalahi ahada. Dan tidaklah kita menganggap salah seorangpun
yang suci di sisi Allah. Ini hanya sebagai pewanti-wantian agar keutamaan
shahabat, beserta pendapatnya itu jangan sampai tertutup oleh sikap ghuluw dan
ta'ashub buta kita. Dudukkanlah perkara ijtihadi sesuai pada tempatnya, niscaya
syariat ini tidak terasa sempit.

Umar bin Khatthab. Yang; setan pun takut padanya itu; telah membawa manusia
berbondong-bondong memeluk islam. Sedangkan setelah beliau meninggal, orang
pun beramai-ramai keluar dari islam. Atau, orang pun ramai-ramai mengeluarkan
seseorang dari islam.

Hudzaifah Ibnu Yaman berkata, "Pada masa Umar, islam ibarat orang yang
mendatangi sesuatu, setiap saat semakin bertambah dekat. Tatkala beliau
terbunuh, islam ibarat orang yang berpaling, setiap saat semakin bertambah jauh."

Dalam Mu'jam Al Kabir (9/8804) Thabrani meriwayatkan atsar dengan sanad shahih
dari Zaid bin Wahb, dari Ibnu Mas'ud: "Bagi islam, Umar ibarat benteng kokoh yang
dimasuki manusia namun mereka tidak bisa keluar. Tatkala benteng itu mulai
berlubang, manusia serentak keluar darinya dan tidak masuk kembali."

Thabrani; Al Kabir (9/8809) meriwayatkan dari jalur Asad bin Musa. Dia bercerita:
Waki' bercerita kepada kami, dari A'masyi, Abu Wa'il berkata, Abdullah berkata,
"Seandainya ilmu Umar diletakkan pada suatu neraca timbangan, dan ilmu manusia
di bumi diletakkan pada neraca lainnya, niscaya neraca Umar lebih berat daripada
neraca mereka".

Al A'masyi berkata, "Saya pernah menyangsikan atsar tersebut lalu nenanyakan


kepada Ibrahim. Kemudian beliau balik bertanya, 'Apakah engkau menyangsikan
hal itu? Bahkan dia pernah mengatakan lebih dari itu'. Beliau melanjutkan,
'Sungguh saya berfkir bahwa 9/10 ilmu telah hilang dengan kepergian Umar bin
Khatthab'."

Sembilan per sepuluh ilmu telah hilang. Hingga manusia kini saling meraba-raba
dan menduga-duga di tengah kegelapan zaman yang sarat akan kejahilan. Yang
dengan kejahilannya itu, manusia merasa takjub dengan satu pendapat yang
sejatinya tidak difahaminya, lantas dengannya mereka berlomba-lomba saling
mengeluarkan orang lain dari islam. Nelangsa.

Tidak diragukan, orang yang tidak mau mengambil ikrah dan lebih memilih
terbunuh di jalan Allah, jelas ia lebih utama daripada yang mengambil ikrah. Para
ulama tidak menyangsikan hal ini. Sebagaimana disabdakan oleh nabi mengenai
dua orang; yang satu bertaqiyyah di hadapan Musailamah, sedang yang satunya
dibunuh karena tidak mengakui kenabian Musailamah Al Kadzab. Sabda rasulullah:
"Adapun orang yang pertama, maka dia telah mengambil rukhshah Allah, dan
sedangkan yang kedua maka dia telah men-jahr-kan kebenaran, maka alangkah
bahagianya dia."

Maha Benarlah Allah yang berfrman, "Barangsiapa yang kafr kepada Allah sesudah
dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafr
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman…" [An Nahl: 106].

Begitulah Firman Allah Ta'ala, "Kecuali orang yang dipaksa". [An Nahl: 106], dan
berfrman: "Kecuali kalian dalam rangka siasat memelihara diri dari
mereka." [Ali Imran: 28].

Bagi orang yang mampu untuk tidak mengambil rukhshah berupa ikrah
pemenjaraan, berarti dia telah mendapatkan satu point keutamaan. Namun ketika
ia malah dibarengi dengan perbuatan menta'yin orang yang kekafrannya belum
terpenuhi, maka rugilah baginya. Lebih-lebih menta'yin orang yang mengikuti
pendapat shahabat. Justru dia bisa jatuh kafr sendiri karena sikap tersebut. Satu
sisi dia selamat, di sisi lainnya kena celaka. Wal iyyadzu billah. Karenanya --wahai
akhie-- ittaqillah! Takut dan bertakwalah kepada Allah Yang Maha Pemurah, serta
bersikaplah inshaf. Adil!

Bacalah sejarah, karena di dalamnya terdapat banyak pelajaran...


Suatu kaum tersesat karena tidak mengetahui keterangan...

Ringkasan: Ikrah adalah termasuk perkara akidah yang bersifat furu', dan
bukan termasuk perkara akidah yang bersifat ushul. Terbukti dengan adanya
perselisihan di kalangan ulama. Pendapat jumhur pun tetap tidak boleh dianggap
mutlak, karena status ikrah ini bukanlah ijma' qath'i. Dengan demikian, kita punya
kewajiban untuk menghargai pendapat ulama lain. Dan menghargai orang yang
mengikuti pendapat ulama. Kalau toh dalam pendapat yang diyakini itu
berkonsekwensi kekafran bagi tiap yang melanggarnya, itu merupakan tuntutan
buat dirinya sendiri yang bermadzhab dengan pendapat tersebut. Artinya, orang
yang tidak bermadzhab dengan pendapat tersebut tidak boleh dikafrkan.

Imam Ghazali berkata: "Ketahuilah bahwa tidak ada takfr dalam masalah
furu' sama sekali kecuali dalam satu masalah yaitu mengingkari dasar
agama yang diketahui dari rasulullah secara mutawatir." (Faishal At
Tafriqah, hal. 144).

Sebagaimana telah disinggung di pembahasan terdahulu, bahwa para salaf telah


memberi contoh yang baik. Dimana dalam madzhab-madzhab mereka secara tegas
mengatakan bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Siapa yang
tidak wudhu lagi, shalatnya tidak sah. "Bayangkan! Shalatnya tidak sah!" Tapi
dalam penerapannya mereka masih sering bermakmum di belakang orang yang
--menurut konsekwensi madzhabnya adalah-- tidak sah shalatnya.

Atau ulama-ulama yang menganggap shalat tidak sah jika tidak membaca
basmalah. Namun faktanya mereka mau bermakmum dan menganggap sah ulama
lain di luar madzhabnya yang tidak membaca basmalah sama sekali dalam
shalatnya. Juga, perselisihan-perselisihan ulama lainnya yang sempat melontarkan
kata-kata: pendusta bagi yang berpendapat begini, istitabah bagi yang berpendapat
begitu, nifaq, atau kafr bagi pendapat yang begono, dan seterusnya, itu tidak
secara otomatis mengharuskan kita melabeli orang yang berseberangan tersebut
dengan kata-kata dusta, kafr, dan selainnya. Makanya ketika Imam Ahmad ditanya
tentang para ulama yang menyelisihi pendapat beliau, dijawablah: "Subhanallah!
Apakah engkau tidak mau shalat di belakang Imam Sa'id bin Al Musayyib
dan Imam Malik bin Anas?!"
Termasuk juga masalah ikrah ini; apakah Imam Syaf'i, Ibnu Mas'ud, Umar, Qadhi
Syuraih, dan lain-lainnya itu ditakfr?! "Subhanallah! Apakah engkau hendak
mentakfr Umar bin Khatthab dan Syaf'i?!".

Silahkan dicermati lebih dalam mengenai perselisihan pendapat para ulama.


Misalnya di kitab muhalla, atau perselisihan shahabat mengenai apakah nabi
melihat Rabb ataukah tidak, dan lain sebagainya, dimana di situ banyak kata-kata
"sadis". Tapi ulama tidak mengaplikasikan itu dengan tindakan bara' dan takfr bagi
penganut pendapat atau madzhab lain. Sebab mereka faham. Sehingga kaidah itu
tidak ditelan begitu saja, melainkan dimasak dulu supaya tepat sesuai kehendak
syariat. Demikianlah.

Sekarang, kembali ke pertanyaan awal. Apakah PB masuk dalam perkara ijtihadi?!


Dalam hal ini silahkan simpulkan sendiri! Yang jelas, bahwa ikrah pemenjaraan
sudah jelas merupakan perkara ijtihadi, dimana para ulama berselisih tentangnya.
Ulama, dan juga daulah yang kerap diaku-aku dan dicela-cela banyak orang itu pun
mengudzurnya, dan tidak membuang salah satu dari pendapat tersebut. Jadi,
salahkah kita jika menyampaikan sikap sebagaimana yang mereka tunjukkan?

Ya, bahkan Daulah Al Baghdadiy --Baqiyyah-- yang sudah terkenal dengan aksi
"penyembelihan" itu pun tetap mengudzurnya. Maka bisa dibayangkan apa jadinya
jika orang yang tidak mau mengudzur perkara ini kalau mendapatkan kekuasaan.
Bisa-bisa mereka akan lebih brutal daripada binatang buas: membunuhi orang-
orang tak bersalah. Tanpa ilmu, dan cenderung mengikuti naluri mencabik-cabik
jantung dan meminum darah.

IRONI SIDANG BEDA PENDAPAT

Firman Allah Ta'ala, "(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari
mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada
sisi Allah adalah besar." [An Nur: 15].

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, "Kabar itu tidak sama dengan
menyaksikan sendiri (al mu'ayanah)." (Musnad Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani;
Al Misykat 5738).
Sungguh! Perselisihan pendapat tak jarang membuat seorang reaktif merasa
geram, dan menjadikan kelompok yang kuat untuk segera "menghakimi" dan
memberi pelajaran terhadap orang yang dianggap menyimpang. Hingga
persidangan zhalim atas nama ishlah pun acap digelar; sebagai simbol
ketidakdewasaan diri atau kelompok terhadap fenomena beda pandangan. Tidak
faham hakekat ikhtilaf. Sampai-sampai aturan dan adab persidangan yang digelar
sendiri pun tak diilmui sama sekali. Jahil.

Banyak orang pandai ilmu alat, tetapi kurang bisa memahami ilmu-ilmu pokok
syariat. Yakni tauhid, fkih dan adab. Banyak orang mempelajari ilmu, tetapi yang
dikaji dan yang diulang-ulang cenderung terjiwai dengan kesimpulan-kesimpulan
sempit. Yang mana dengan hasil dari kesimpulan tersebut, dipakailah buat
menghukumi dan bersikap. Layaknya orang yang telah terhipnotis dengan dogma
sebuah sikap, dimana dengan doktrin-doktrin cara bersikap tersebutlah mereka
berpedoman. Sehingga secara perlahan terbentuklah semangat ashabiyyah.

Dalil-dalil memang acap terhembus dalam tiap hela. Mengalir begitu fasih. Runtut,
tersusun nikmat bak lapis legit. Sayang, ia terbingkai sekat-sekat ghuluw yang
menyiksa tanpa ampun. Melindas fondasi-fondasi ukhuwah. Menggerus tatanan
peradaban generasi mujahid. Nyaris umat tak bisa bernafas karena ruang
perbedaan pendapat telah dipersempit, dipaksakan berdesak-desakan dalam satu
gerbong tertutup. Yang keluar darinya kena pelor takfr. Begitulah kira-kira
gambaran cara bermadzhab umat dewasa ini. Hingga tak jarang ada yang sakit
hati, dan menyindir dengan Syi'ir Tanpo Waton sembari memintal tangis dalam
relung kalbunya:

Akèh kang apal qur'an haditsé...

Seneng ngafrké marang liyané...

Kafré dhéwé gak digatèkné...

Tak ada titik temu. Terkadang ada yang merasa "terpanggil" dan ingin mencari
solusi dari perselisihan yang kian mendidih. Namun manalah bisa jika dada masih
senantiasa memendam sugesti takfr yang serampangan. Maka tentu saja jika
hendak merubah situasi agar kondusif kembali, faham-faham ghuluw harus
ditanggalkan. Tafrith harus dibuang. Keadilan dan kaidah qadha'i mesti ditempuh.
Sungguh, siapapun akan sakit hati jika salam tak dibalas. Atau bahkan jawabannya
seperti jawaban buat orang kafr. Atau malah terang-terangan dikafrkan. Padahal
tak ada kekafran yang pernah dilakukannya. Maaf, bab ini bukanlah dimaksudkan
untuk menguliti suatu kelompok tertentu. Sudah dijelaskan di muka bahwa: kalau
--qadarullah-- ada kesamaan, semoga bisa difahami bahwa kondisi yang terpaksa
dikisahkan sifatnya adalah umum. Di sini justru kita sedang menekankan urgensi
dari ukhuwah islamiyyah. Sesama mujahid. Sesama tawanan.

Kita semua mengaku menjunjung tinggi syariat. Dimana islam adalah agama dalil.
Kalau dalil seseorang itu kuat; siapapun dia; harus kita terima. Tapi seseorang akan
sulit menerima dalil jika hatinya diselimuti kebencian. Apalagi yang membawa dalil
adalah fhak yang dimusuhi. Akan sulit berlaku adil nantinya.

Faktor-faktor permusuhan itu, dalam syariat cukuplah menyita perhatian serius.


Yang mana dalam proses qadha'i ataupun ishlah, ia perlu dipertimbangkan. Jangan
sampai dua orang di atas permusuhannya saling menghakimi satu sama lain. Dua
orang yang berbeda madzhab dan pandangan sementara keduanya menyimpan
permusuhan, maka harus ada penengah yang netral dan faham akan dien. Untuk
menghindari adanya kezhaliman dalam putusan. Semua fhak haruslah diberikan
hak bicara. Kalau sulit baginya, diperkenankan minta bantuan orang lain untuk
menjelaskannya atau minta seseorang untuk mewakili dan mendampinginya.
Semuanya harus didengar secara seksama.

Kita, dalam mendengarkan pengaduan-pengaduan seseorang pun juga harus


berimbang. Tidak boleh mentang-mentang kawan dekat terus ucapannya bebas
masuk tanpa disaring. Ketika mendengar bahwa Fulan terjangkiti virus murji'ah,
atau khawarij, atau antek Densus, boneka BNPT atau apapun namanya, jangan
langsung percaya lantas jadi penyambung lidah atas desas-desus yang beredar.
Meski yang mengatakan ratusan orang yang kesemuanya adalah ustadz.
Keterangan dari fhak yang dibicarakan harus didengar. Isma' minhu wa laa 'anhu!
Dengarkanlah apa-apa yang dari dia, bukan apa-apa tentang dia!

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘Anhu. Menyatakan, Rasulullah


Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila dua orang meminta keputusan
hukum kepadamu, maka janganlah memutuskan keputusan untuk orang pertama
sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau mengetahui
bagaimana harus memutuskan hukum." (Sunan Abu Dawud: 3582, Sunan At
Tirmidzi: 1331. At Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.” Dan dishahihkan Al Albani, Irwa'
Al Ghalil: 2647).

Dalam riwayat Ibnu Hibban, di dalam Shahihnya disebutkan, "Manusia akan


meminta keputusan hukum. Apabila ada dua orang yang bersengketa
mendatangimu, maka janganlah engkau menetapkan keputusan hukum untuk
orang pertama sebelum engkau mendengar keterangan pihak lainnya, karena
dengan demikian engkau dapat mengetahui siapa yang benar." (Shahih Ibnu
Hibban: 5065).

Al Khaththabi mengatakan, "Hal tersebut karena kemungkinan pihak yang tidak


hadir memiliki argumentasi yang dapat menganulir dakwaan pihak lainnya dan
membantah argumentasinya." (Ma'alim As Sunnan: 4/161).

Imam Shan'ani Rahimahullah berkata, "Hadits di atas menjadi bukti bahwa seorang
hakim wajib pertama-tama mendengarkan gugatan pihak penggugat, kemudian
mendengarkan jawaban pihak tergugat. Hakim tidak boleh menetapkan putusan
hukum hanya dengan mendengarkan dakwaan pendakwa, sebelum mendapatkan
jawaban terdakwa. Apabila dia memutuskan sebelum mendengar jawaban, maka
peradilannya dianulir dan rasa keadilan hakim pun menjadi cacat." (Subulus Salam:
2/571).

Al 'Allamah Ali Al Qari berkata, "Janganlah engkau memutuskan putusan untuk


pihak pertama; maksudnya satu dari dua pihak yang bersengketa; yaitu orang yang
mengajukan tuntutan. Sampai engkau mendengarkan keterangan pihak lainnya.
Maksudnya, engkau takkan bisa menarik kesimpulan hukum dan memisahkan
kebenaran dari kebatilan hanya dengan mendengarkan keterangan salah satu dari
dua pihak yang bertikai." (Mirqat Al Mafatih: 6/2429).

Perhatikanlah juga kisah Ali Radhiyallahu 'Anhu ketika beliau dan seorang Yahudi
hendak meminta keputusan hukum kepada Qadhi Syuraih. Dimana Al Qadhi
berkata, "Engkau benar, wahai Amirul Mukminin. Hanya saja, harus dihadirkan
saksi." Lalu Ali memanggil Qanbar (pembantunya) yang kemudian memberikan
kesaksian. Kemudian Ali memanggil putranya --Al Hasan-- untuk memberi kesaksian
juga. Namun Syuraih berujar, "Kesaksian pembantumu, kami bisa menerimanya.
Namun kesaksian putramu, kami tidak bisa menerimanya."
Di samping tidak diberlakukannya saksi dari fhak keluarga, orang yang saling
bermusuhan juga tidak boleh menjadi saksi. Diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu
'Anha, beliau menyatakan, Rasulullah bersabda: "Tidak diperbolehkan persaksian
dari seorang laki-laki dan perempuan pengkhianat, seorang laki-laki dan
perempuan yang dihukum cambuk, dan seorang yang dengki kepada saudaranya."
(Sunan At Tirmidzi: 2298).

Imam At Tirmidzi berkata, "Tidak diperbolehkan kesaksian orang yang dengki,


maksudnya adalah orang yang menyimpan permusuhan." (Sunan At Tirmidzi:
4/454).

Asy Syaf'i berkata, "Tidak diperbolehkan kesaksian seorang laki-laki terhadap yang
lainnya, kendati dia seorang yang adil, jika di antara keduanya terdapat
permusuhan." (Sunan At Tirmidzi: 4/454).

Demikianlah. Keadilan, khabar atau pendapat berimbang yang dituntunkan dalam


syariat tersebut masuk dalam pembahasan qadha'i. Dimana bab qadha'i itu
terkategori dalam ilmu fkih, bukan pokok tauhid. Jadi, mendengarkan fhak-fhak
yang dimusuhi atau fhak yang pendapatnya beda itu bukanlah laku sia-sia ataupun
dosa. Justru akan zhalim jika hak bicara seseorang kita kebiri, lantaran sudah
merasa diri di atas al haq dan menganggap lainnya bathil, sehingga orang lain tak
perlu digubris. Lebih ironis jika mengundang seseorang tetapi hanya untuk
menghakiminya tanpa mau memberikan hak-hak bicaranya, dikarenakan yang
menyidang adalah orang-orang yang membencinya. Dan, lebih sangat ironis lagi
jika menyelenggarakan sidang tertutup, tanpa kehadiran orang yang digugat, tahu-
tahu semua kelompok serempak mengkafrkannya karena perintah dari komandan.
Sebagai tahdzir atas "kesesatan"nya.

Makanya, meng-ilmui dan memahami hakekat perbedaan pendapat itu sangatlah


penting. Dengannya kita bisa menghargai hujjah orang lain, mau mendengar secara
seksama pendapat lain, tidak gegabah membuat keputusan, tidak zhalim, tidak
mudah main vonis, dan seterusnya, dan seterusnya.

KHATIMAH
Firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat". [Ali Imran: 105].

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala melarang ummat ini seperti umat
terdahulu yang berpecah belah, berselisih, meninggalkan amar ma'ruf nahi munkar,
serta tidak berani berhujjah terhadap kaum mereka." Lalu beliau menyitir hadits
iftiraq yang di dalamnya hanya ada satu golongan yang masuk jannah, yaitu Al
Jama'ah. (Tafsir Ibnu Katsir: I/516-518)

Rasulullah bersabda, "Ikatan yang paling kuat di atas Islam adalah mencintai
karena Allah dan membenci karena Allah". (Riwayat Ibnu Abi Syaibah. Hadits
dengan makna serupa juga diriwayatkan Thabrani dan Baihaqi).

Kadang terlintas dalam benak, andai semua kita memahami etika beda pendapat
sebagaimana yang difahami para salaf. Niscaya kita semua masih memiliki cukup
cinta buat menjalin ukhuwah. Dengan ukhuwah dan persatuan, kita menjadi kuat.
Akan ada kerjasama yang saling menguatkan dan melengkapi. Ada 'izzah yang
diperhitungkan siapa saja. Maka hal itu jika bisa diwujudkan, sangat indah tentunya.

Dan jika ia benar-benar terealisasi, ujian penjara ini terasa ringan. Tidak ada
permusuhan internal. Dan tentunya akan berdampak juga pada sikap dari para
ikhwan di luar penjara. Mereka akan bahu membahu membantu, dengan ringan hati
pula. Namun jika kondisi masih tetap seperti ini, orang-orang di luar sana pun malas
dan enggan membantu lebih. Sebab kondisi di luar sana sedikit banyak mudah
berubah lantaran pengaruh keadaan di dalam penjara. Demikianlah kira-kira
gambaran ideal yang diharapkan.

Tapi, mungkinkah ia bakal terwujud? Semua tergantung kita. Selama sikap ghuluw
itu tidak segera ditaubati, maka keadaan tak akan berubah. Selama cara pandang
yang keliru terhadap perbedaan terus dipiara, selama itu pula ukhuwah tak akan
terwujud. Selama prasangka dan niat buruk tidak dibuang, maka permusuhan kian
subur.

Ukhuwah sesama tawanan. Bilakah akan terwujud? Entahlah. Kalau memang


perbedaan yang ada kini tetap tidak diakui; yakni perkara ijtihadi masih diharga
mati sebagai pokok tauhid, dan ikrah pemenjaraan tetap tak dianggap; maka
selamanya ukhuwah itu hanya menjadi kata-kata mutiara. Atau sekedar mimpi
belaka yang terlalu siang.

Dengan tulisan ini barangkali ada yang berprasangka bahwa saya telah, sedang,
atau akan menjalin kesepakatan dengan thaghut berupa tandatangan-tandatangan
yang isinya kekafran; entah untuk kepentingan bebas, atau apapun. Maka saya
tegaskan bahwa --alhamdulillah-- sampai detik ini saya masih menganggap PB
dengan syarat kekufuran adalah kekafran yang tak bisa ditolelir untuk diri saya
sendiri, kecuali adanya ikrah mulji'. Inilah keyakinan saya. Namun saya
menghargai perbuatan orang lain yang didasarkan atas pendapat para salaf.
Artinya, saya memberi udzur dan saya tidak mengkafrkan ikhwan-ikhwan yang
mengambil PB. Bahkan yang bersyarat kekafran sekalipun. Pun demikian, saya
tidak pernah 'ngompori' atau menyuruh ikhwan "teroris" untuk ambil PB . Inilah
pendirian saya saat ini. Dan pendirian tersebut memiliki dasar sebagaimana telah
diuraikan panjang lebar dalam catatan ini. Maka, silahkan hujjah dengan hujjah.

Ingat! Kita bicara konteks penjara. Bukan di luar itu. Dimana sangat jelas,
ada ikrah yang diterima para salaf. Ada ijtihad seputar ikrah. Maka orang
penjara tidak boleh dipaksakan dengan dalil bagi orang bebas!

Ibnul Wazir telah memberikan wejangan, "Orang yang tidak bisa membedakan
antara kondisi ikhtiyari dan kondisi idhthirari, berarti cara berpikirnya rendah dan
banyak tidak faham dalil." (Al Awashim Wa Al Qawashim: 8/174). Kondisi
ikhtiyari adalah kondisi normal. Sedangkan kondisi idhthirari/dharuri adalah kondisi
ter-udzur atau darurat.

Saling menghargai itu indah. Kita musti menampilkan sikap santun. Hatta terhadap
orang yang kita anggap sebagai musuh sekalipun. Kalau kita masih merasa di atas
kebenaran, apa salahnya menerima ajakan dialog dari orang yang nyata-nyata
berseberangan dengan kita? Apa susahnya berhusnuzhan? Tak ada sesuatu yang
sia-sia ataupun percuma jika kita berilmu dan masih butuh akan ilmu. Dimana
mutiara itu akan tetap kita ambil meski dari mulut anjing sekalipun. Dan dia
tetaplah mutiara. Kalau kita merasa cukup dengan satu pemahaman kaku, serta tak
mau lagi mendengar apapun dari orang yang dibenci, itu tandanya kita masih
sangat bodoh. Pengalaman kita masih sangat belia. Picik. Setidak-tidaknya itu
menurut saya. Maaf, saya tidak bermaksud merendahkan siapapun. Dan maaf juga,
saya terkesan menggurui.
Pelajari dan fahamilah manhaj salaf dalam bermadzhab, supaya kita bisa
bermadzhab dengan manhaj salafusshalih! Baik madzhab dalam berakidah maupun
madzhab fkih, hendaklah sesuai dengan Manhaj Rabbani. Sehingga kalimat
"rahmatan lil 'alamin" itu tidak sekedar menjadi slogan belaka.

Saudaraku, catatan ini adalah ketulusan. Karena saya tidak berpura-pura mencintai
kalian. Ingatlah, kita ini senasib. Sama-sama terkurung. Dimana jeruji ini pun turut
menangisi kondisi kita. Kondisi hati kita. Yang lebih keras daripada terali besi.
Astaghfrullah.

"Ya Allah, sesungguhnya aku ini besi, maka lunakkanlah aku untuk kaum
muslimin..."

Thoyyib! Selebihnya saya mohon maaf atas segala salah. Semua ini lantaran
terdorong rasa rindu yang mendalam akan ukhuwah. Dan tanggung jawab
penyampaian hujjah. Dan keprihatinan terhadap kondisi ummah. Dan impian serta
semangat yang membuncah. Dan lantaran kecintaan terhadap ikhwah. Dan
seterusnya.

Wabillahi fe sabilil haq. Subhanaka Allahumma Wa Bi Hamdika, Asyhadu An Laa


Ilaaha Illa Anta, Astaghfruka Wa Atuubu Ilaik.

Mu'taqal Nusakambangan, 27 Sya'ban 1437 H

Anda mungkin juga menyukai