Anda di halaman 1dari 59

Pembaca budiman, sebagai kelengkapan bagi Silsilah pembelaan Para Ulama dan Duat yang menghabiskan tujuh edisi,

tidak sempurna rasanya jika kami abaikan satu hal penting yang banyak menarik sorotan kelompok salafy, namun luput dari perhatian akh Sofyan Khalid, yakni Tarbiyah Bermarhalah (berjenjang).[1] Dalam hal ini kelompok salafy ramai membidikkan tudingan pada dakwah Ahlu Sunnah WI, bahwa mereka telah keluar dari barisan Ahlu Sunnah lantaran tasyabbuh dengan ahli bidah (baca: Ikhwanul Muslimin). Karena yang paling utama memopulerkan hal ini, yakni Tarbiyah bermarhalah, adalah gerakan dakwah IM. Karenanya, dalam edisi ini, kami berhasrat menjelaskan secara ilmiyah kedudukan serta landasan bagi penyelenggaraan Tarbiyah Bermarhalah yang merupakan ruh bagi penanaman nilai-nilai aqidah dan akhlak serta semangat menegakkan sunnah dalam setiap pribadi muslim. Yang demikian, agar pembaca sekalian mendapat pencerahan dan tidak sekedar membebek pada para penuding yang kadang berbicara tanpa ilmu dan bashirah. Disamping itu, artikel ini merupakan klarifikasi atas 'Aqilah al-Atsary dalam risalah sederhananya, "Nasehat Metode Tarbiyah Bermarhalah", jazahullahu khairan, yang menyatakan bahwa tarbiyah bermarhalah termasuk perkara dien alias bid'ah!?. "nasehat" al-akh Abu Bagi Para Pembela dengan serampangan menyimpang dari ad-

Pembaca budiman, menilik risalah sederhana al-akh Abu 'Aqilah al-Atsary, jujur kami heran dan banyak tidak paham, baik berkaitan dengan gaya penulisan yang tidak disusun secara profesional,[2] metodologi penulisan,[3] logika-logika sederhana yang terkesan lucu,[4] sikap ghurur kekanak-kanakan,[5] apalagi berkaitan dengan ungkapan-ungkapan ulama yang kemudian diklaim sebagai kaidah fiqhiyyah serta penjabaran kaidah-kaidah ushulnya.[6] Kami berusaha konfirmasi pada sebagian asatidzah dan menyerahkan nuskhah (kopi-an) risalah al-Akh Abu 'Aqilah al-Atsary itu kepada mereka. Ternyata masalahnya sama, bingung dan tidak mengerti. Olehnya, artikel ini tidak dikhususkan membantah risalah sederhana tersebut, sebab jika demikian akan memakan banyak waktu dan tenaga serta halaman-halaman tulisan. Namun insyaAllah jika Allah Ta'ala berkenan memberi kami kelapangan waktu, akan kami ungkap beberapa kekeliruan dan penyimpangan risalah tersebut. Dan artikel ini lebih pada penjelasan ilmiyah di hadapan pembaca sekalian akan landasan bagi penerapan metode Tarbiyah berjenjang. Sebelumnya, sebagai pembuka artikel ini, kami mengingatkan bagi diri kami dan ikhwah sekalian, sebuah ayat al-Quran, padanya Allah Taala berfirman: "Dan kami jadikan di antara mereka pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan mereka menyakini ayat ayat kami". (Qs. asSajadah : 24). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata setelah menukil ayat ini: Maka dengan kesabaran dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama ini.[7] Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafidhohullah menegaskan dalam sebuah muhadharah-nya: Yang dimaksud dengan as-shabru adalah quwwatul hazm (kekuatan semangat, tekad dan usaha), sedangkan maksud al-yaqin adalah quwwatul 'ilmi (kekuatan atau kwalitas ilmu).[8]

Ikhwah fillah, pernyataan di atas merupakan isyarat rabbani bagi solusi keterpurukan umat di zaman milennium ini. Sebab telah begitu banyak solusi dan ide yang dituangkan oleh banyak pakar dan ahli bagi jalan keluar terhadap problematika umat. Akna tetapi hasilnya nihil, dan nampaknya harapan serta asa itu ibaratnya masih jauh panggang dari api. Makanya, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Furusiyah: , "Amma ba'du, sesungguhnya Allah Ta'ala menegakan agama Islam dengan hujjah dan penjelasan yang nyata serta pedang dan tombak. Dan keduanya (dakwah dan jihad) dalam penegakkan agama ibarat dua saudara kandung".[9] Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diperintahkan Allah Ta'ala untuk menegaskan, bahwa itu adalah jalannya, seperti dalam firman-Nya: "Katakanlan wahai Muhammad, ini adalah jalanku, aku dan orang orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah di atas bashiroh, Maha Suci Allah dan aku bukanlah termasuk orangorang musyrik". (Qs. Yusuf : 108). Maka setelah penjelasan ini, kami ingin menegaskan di hadapan segenap elemen umat Islam, khususnya para pegiat dakwah Ahlu Sunnah yang mendambakan tegaknya kembali pilar-pilar agama, bahwa jalan menuju cita-cita mulia ini adalah ilmu dan dakwah atau tashfiyah dan tarbiyah. Olehnya, berdasarkan hal ini, Gerakan Ahlu Sunnah WI berupaya merumuskan sebuah wasilah tarbawiyah disamping wasilah-wasilah lainnya seperti pengajian-pengajian umum, dakwah melalui pemancar radio, televisi, pembangunan sekolah-sekolah, dan selainnya dalam rangka melahirkan rijal ad-da'wah yang berbekal ilmu syar'i kekayaan rohani, serta semangat berdakwah di jalan Allah. Atau minimal sebagai wasilah agar dapat menjaga para pemuda Islam tetap menapaki jalan istiqomah di tengah rongrongan fitnah syahwat serta syubhat yang merebak dan siap mencengkeram setiap dari mereka. Dan wasilah itu disebut sebagai Tarbiyah Marhaliyah (tarbiyah berjenjang). WASILAH DAKWAH, TAUQIFIYYAH ATAU IJTIHADIYAH? Sebelum melangkah lebih dalam tentang bahasan Tarbiyah Marhaliyah, yang paling utama harus dipahami adalah masalah wasilah dakwah. Yakni, makna wasilah dakwah serta posisi wasilah tersebut. Apakah ia tauqify (permanen dan tidak butuh ijtihad padanya) atau ijtihady (dibangun atas ijtihad sesuai dengan tempat dan zaman). Disamping penjelasan akan perbedaan antara wasilah dakwah dan uslub dakwah yang banyak disalahpahami oleh sebagian kalangan. Nah, dari penjelasan ini, akan dapat kita simpulkan, apakah Tarbiyah Marhaliyah itu masuk dalam kategori wasilah dakwah atau uslub dakwah. Maka dengan memohon taufiq dan pertolongan Allah Ta'ala, kami katakan: Wasilah secara etimologi berasal dari huruf (waw, sin dan lam) yang berma'na arroghbatu wa at-tholab (keinginan dan permohonan). Dikatakan wasala, jika dia memiliki keinginan, al-waasilu maknanya ar-raaghibu ilallahi (orang yang beribadah kepada Allah).[10] Kalimat tersebut juga memiliki makna beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.[11]

Adapun secara terminologinya, para ulama bahasa hampir sepakat, bahwa makna al-wasilah adalah: Maa Yutaqarrabu bihi ila al-Ghair, atau "Sesuatu yang dijadikan sebaga i media untuk mendekatkan kepada yang lain".[12] Adapun yang dimaksud dengan wasilah ad-da'wah menurut para ulama adalah : "Sesuatu atau perkara yang dijadikan oleh seorang da'i sebagai media untuk menyampaikan da'wahnya".[13]. Asy-Syaikh Dr. Sa'id bin Ali al-Qahthany hafidzahullah memberi perincian akan wasilah tersebut, seraya menyatakan: "Tidak diragukan, bahwa wasilah da'wah terbagi menjadi dua. Pertama, media-media eksternal yang terkait, dengan melakukan sebab untuk menyiapkan kondisi yang layak. Lalu beliau memaparkan beberapa contoh. Kedua, media penyampai da'wah yang sifatnya langsung. Media ini dapat berupa perkataan, perbuatan dan akhlaq seorang da'i yang bisa menjadi qudwah bagi yang lainnya, hingga sanggup menarik orang lain kepada Islam. Sebagai contoh dari media, penyampaian dengan perkataan. Dimana dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan umum, muhadharah (ceramah), seminar, diskusi ilmiyah, ta'lim di masjid atau di universitasuniversitas atau di ma'hadma'had, atau di sekolahsekolah, mu'tamar, atau event penting lainnya yang banyak dihadiri manusia".[14] Intinya, bahwa wasilah dakwah itu dibangun atas ijtihad, dengan memandang atau mencari cara demi tercapainya tujuan dari dakwah tersebut, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan pokok-pokok dan kaidah dalam syari'at.[15] Sedangkan ma'na al-Uslub, secara etimologis adalah al-wajh wat thoriiqu wal madzhab atau sisi, metode dan aliran.[16] Adapun ma'na uslub da'wah, ia bermakna : "Ilmu yang berkaitan dengan metode menyampaikan (dakwah) serta cara menghilangkan penghalangpenghalang tabligh (penyampaian) tersebut".[17] Perlu dipahami, bahwa uslub da'wah itu harus dibangun atas landasan alQur'an dan as-Sunnah serta sirah salafussholih. Misalnya metode (ilmu) menghindari kerusakan yang lebih besar, metode memilih sesuatu yang mudharatnya lebih kecil, metode dalam menyikapi keadaan objek dakwah, metode memulai dakwah dengan seruan tauhid yang merupakan puncak segala perkara (sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu'adz bin Jabal), metode lemah lembut dan metode tegas pada tempat sebenarnya dan lain sebagianya, yang seluruhnya harus dibangun atas landasan hujjah dan dalil. Asy-Syaikh Dr. Sa'id al-Qahthany hafidzahullah menjelaskan, bahwa uslub da'wah yang sukses itu jika dilatari oleh beberapa faktor penting, diantaranya: Uslub hikmah, nasehat yang baik, metode jidal, dan menggunakan metode keras pada para pembangkang".[18]

Jika dicermati definisidefinisi di atas, nampak bahwa wasilah da'wah terkait dengan media dakwah baik itu perkataan, perbuatan, akhlaq atau saranasarana lainnya, berupa alat penyampaian da'wah. Adapun uslub da'wah terkait metode penyampaian dakwah, baik menggunakan uslub hikmah, mau'idhah hasanah (nasehat yang baik), uslub jidal (debat dengan cara yang baik), uslub targhib wat tarhib, dan sebagainya. Jika dianalogikan perbedaan antara wasilah dan uslub dakwah tersebut, ibarat seorang yang hendak menuju suatu tempat. Maka sarana (wasilah) yang digunakan banyak ragamnya sesuai apa yang baik baginya. Adapun cara (uslub) menjalankan wasilah (kendaraan) itu maka ia merupakan sesuatu yang telah baku dan disepakati tata caranya oleh mereka yang kompeten dalam hal tersebut. Demikian halnya dengan wasilah dan uslub dakwah. Wasilah merupakan sesuatu yang padanya terdapat keluasan ijtihad, sedang uslub merupakan sesuatu yang harus dibangun di atas landasan dalil berupa al-Qur'an dan as-Sunnah menurut pemahaman salafussalih. Namun sayangnya, banyak orang belum paham dan menyamakan antara wasilah dan uslub, hingga tergesa menyatakan, bahwa wasilah dakwah itu sifatnya tauqify !?. Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Apakah wasilah dakwah ilallah tergolong perkara tauqifiyyah, dalam arti bahwa dalam berdakwah tidak boleh menggunakan sarana-sarana modern hari ini seperti media-media masa dan selainnya, dan bahwasanya yang harus dilakukan adalah hanya membatasi diri pada wasilah-wasilah dakwah yang digunakan di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?". Beliau rahimahullah menjawab: "Yang utama, wajib diketahui sebuah kaidah, bahwa wasilah itu tergantung pada tujuan-tujuannya, sebagaimana diakui oleh para ahli ilmu, bahwa al-wasaail laha ahkaam al-maqashid [wasilah itu baginya hukum tujuannya], selama wasilah-wasilah tersebut bukan sesuatu yang diharamkan.[19] Sebab jika ia diharamkan, maka tidak ada kebaikan padanya. Adapun jika wasilah itu tergolong dalam perkara mubah dan dapat menyampaikan pada tujuan yang dikehendaki secara syara', maka ia tidak mengapa. Akan tetapi, ini tidak bermakna kita menyimpang dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan apa yang ada pada keduanya berupa nasehat, kecuali apa yang kami pandang bahwa ia merupakan wasilah dakwah ilallah. Dan terkadang kami pandang bahwa hal ini tergolong wasilah namun selain kami menganggap bahwa ia bukan wasilah. Karenanya, hendaknya dalam dakwah itu menggunakan wasilah yang manusia sepakat atasnya agar tidak merusak dakwahnya lantaran padanya terdapat perbedaan dikalangan manusia".[20] Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah pernah ditanya: "Banyak perkataan seputar wasilah dakwah, dalam posisi ia tauqifiyah atau bukan, apakah pendapat yang benar dalam hal ini?". Beliau menjawab: " Pendapat yang benar dalam hal ini, bahwa wasilah dakwah itu segala apa yang menyampaikan pada (maksud) dari dakwah, dan ia bukan sesuatu yang sifatnya tauqifiyah. Akan tetapi, tidak mungkin (tidak boleh) dakwah itu dengan menggunakan sarana yang diharamkan, sebagaimana jika seseorang berkata: mereka adalah kaum yang tidak menerima dakwah kecuali jika kalian menggunakan musik atau seruling dan selainnya. Semua ini adalah perkara haram. Adapun selainnya (yang tidak diharamkan), maka setiap wasilah yang menyampaikan pada maksud (dakwah) maka ia diperlukan".[21]

Beliau rahimahullah pernah ditanya pula: "Apa pendapat Anda yang mulia, apakah wasilah dakwah itu tauqifiyah atau ijtihadiyah, seperti nasyid-nasyid Islami yang diketengahkan bagi para pemuda untuk tujuan hidayah bagi mereka?". Beliau rahimahullah menjawab: "Ala kulli hal, Dakwah ilallah (dapat dilakukan) dengan thariqah (cara) apa saja (selama bukan yang diharamkan, pent). Namun yang harus diketahui bahwa yang paling afdhal diserukan oleh manusia adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallamdan ini adalah yang paling utama. Akan tetapi, jika disana terdapat pemuda-pemuda yang masih jauh (dari agama) dan kita menginginkan untuk menarik hati mereka baik dengan cara menyelenggarakan kegiatan olahraga yang dibolehkan atau melalui nasyid-nasyid yang tidak diharamkan, maka itu tidak mengapa".[22] Kami pun (team al-Inshof) telah bertanya langsung kepada Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzahullah (seorang ulama terpandang di Saudi Arabiyah, murid Fadhilatus Syaikh Abdulllah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selama 15 tahun, juga murid Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, sekaligus keluarga dekat dan murid alAllamah Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah, dan kini menjadi salah seorang asisten Mufti al-Aam kerajaan Saudi Arabiyah Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, beliau penulis banyak kitab diantaranya: Tas-hil alAqidah al-Islamiyah, Dhawabith at-Takfir al-Mu'ayyan, Syarh Umdah al-Fiqh, Majmu' ar-Rasaail al-Fiqh, al-Iqna' lil Hafidz Ibn Al-Mundzir, Majmu' al-Qashash wa Ahkbar min Shahih as-Sunnah wa al-Atsar, Qashash Islam as-Shahabah, al-Yahuud, dan selainnya), tentang apakah wasaail da'wah itu ijtihady atau tauqify?, maka beliau dengan tegas menyatakan bahwa wasaail dakwah itu ijtihady.[23] Bertolak dari penjelasan di atas, kami memandang bahwa Tarbiyah Marhaliyah yang akan kami paparkan, termasuk dalam persoalan wasilatud da'wah yang padanya terdapat kelapangan ijtihad. Sekali lagi kami tegaskan, bahwa tujuan utama pembentukan Tarbiyah berjenjang adalah untuk memudahkan ta'shil (penyampaian) ilmu kepada para mad'u agar memperoleh tashawwur (pemahaman) Islam yang baik dan sistematis. Dan hukum asal baginya, yakni wasilah dakwah adalah mubah (boleh) selama tidak ada unsur keharaman di dalamnya. Wallahu a'lam. DEFINISI TARBIYAH BERMARHALAH Tarbiyah Islamiyah dalam kapasitasnya sebagai manhaj at-taghyir yang direkomendasikan para ulama mu'tabarin serta diharapkan menjadi solusi bagi keterpurukan umat, memiliki definisi sebagai berikut : Secara etimologis, tarbiyah berasal dari akar kata rabaa, yarbuu yang bermakna zaada wa namaa' [bertambah dan berkembang]. Atau rabaa, yarbaa yang bermakna nasya'a wa tara'ra'a [tumbuh dan berkembang]. Atau rabba, yarubbu yang bermakna ashlahahu [memperbaikinya]. Sedangkan secara terminologi, Tarbiyah bermakna: Pertama, menurut Imam ar-Raghib al-Ashfahani: "Menumbuhkan sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain sampai pada kesempurnaan".[24]

Kedua, menurut Imam al-Baidhawi: "Menyampaikan atau mengantarkan sesuatu pada kesempurnaan selangkah demi selangkah.[25] Dari definisi-definisi ini, Syaikh Abdur Rahman Albani menyatakan, bahwa tarbiyah itu terdiri dari beberapa unsur: (1). Menjaga dan memelihara fitrah matarabbi'- yang sedang tumbuh. (2). Mengembangkan potensi-potensinya yang banyak dan beragam. (3). Mengarahkan fitrah dan potensi-potensi tersebut pada kesempurnaan yang sesuai dengannya. (4). At-Tadarruj (bertahap) dalam melakukan hal-hal tersebut, dan ini sesuai apa yang diisyaratkan oleh Imam alBaidhawy, "sedikit demi sedikit", juga ar-Raghib: "dari satu kondisi ke kondisi lain".[26] Adapun definisi Tarbiyah Marhaliyah dalam kaitannya sebagai wasilah adDa'wah al-Islamiyah, adalah sebuah wasilah pembinaan berjenjang, melalui pembagian dan pengklasifikasian mad'u dalam beberapa halaqah, dengan menunjuk seorang naqib (kordinator) dan dibimbing langsung oleh seorang murobbi. Durasi pertemuan sekali dalam sepekan, yang meliputi tasmi' hafalan al-Qur'an dan hadits, tashhih bacaan al-Qur'an, tafsir dan hikmah ringkas dari ayat-ayat yang telah dibacakan, lalu dilanjutkan dengan materi tarbiyah (muhadharah). Perlu diketahui, bahwa halaqah-halaqah tarbawiyah tersebut dibagi menurut tingkat kemampuan ikhwah juga akhwat menjadi tiga jenjang: Pertama, marhalah Ta'rifiyah (Materi yang disajikan adalah kitab Ushulut Tsalatsah, Kitabul Jami', Syarah Ushul al-Imam). Kedua, marhalah Takwiniyah (Materi yang disajikan adalah Mujmal Ushul Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Arba'in an-Nawawiyah, serta kajian dasardasar Islam). Ketiga, marhalah Tanfidziyah (Materi yang disajikan adalah Syarah Aqidah at-Thahawiyah, Hadits Fitan, materi-materi kajian pendalaman Islam). Perpindahan dari satu marhalah menuju marhalah selanjutnya, biasanya didahului oleh ikhtibar (ujian) serta daurah umum untuk melihat sejauh mana pemahaman terhadap materi-materi tarbiyah pada jenjang sebelumnya. Makanya, ada daurah Ta'rifiyah untuk masuk dalam marhalah Ta'rif, daurah Takwiniyah untuk lanjut ke marhalah Takwin, serta daurah Tanfidziyyah untuk terus ke jenjang Tanfidz. Seluruh istilah dan nama-nama tersebut tujuannya untuk memudahkan klasifikasi dan kordinasi agar tidak rancu dan kacau. Sebagai sebuah sarana (wasilah) memahami ilmu Syar'i, maka marhalahmarhalah tarbawiyah tersebut sifatnya fleksibel dan tidak kaku. Misalnya, jika ada seorang ikhwah yang ingin musyarakah (bergabung) di dalamnya dan telah mengantongi gelar kesarjanaan ilmu syari misalnya alumni LIPIA jakarta atau Universitas Islam Madinah, maka ia dibolehkan dan langsung bergabung dalam marhalah Tanfidziyah tanpa harus melalui jenjang-jenjang sebelumnya. Inilah definisi dan gambaran ringkas tarbiyah bermarhalah dan insyaAllah kami akan rinci tentang substansinya pada point-point berikutnya.

1. DALIL-DALIL UMUM TARBIYAH Diantara tugas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah menegakkan tarbiyah bagi umat. Menjelaskan dan mengajarkan agama yang haq, membina mereka di atas shirothal mustaqim, serta mensucikan mereka dari kegelapan syirik dan kungkungan adat jahiliyah. Allah Ta'ala berfirman : "Dialah (Allah) yang mengutus Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, membacakan kepada mereka ayat ayatnya, mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (as-sunnah), meskipun sebelumnya mereka benarbenar dalam kesesatan yang nyata". (Qs. alJumu'ah : 2). Allah Ta'ala berfirman: "Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang orang yang beriman ketika mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah tengah mereka dari kalangan sendiri, yang membacakan kepada mereka ayatayatnya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan sunnah, meskipun sebelumnya mereka sebelumnya mereka benarbenar dalam kesesatan yang nyata". (Qs. Ali 'Imran : 164). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Akan tetapi jadilah kalian ulama ulama yang Robbani, karena kalian telah mengajarkan al-qur'an dan mempelajarinya". (Qs. Ali Iimron : 79). Juga Firman-Nya: "Sebagaimana kami telah mengutus Rasul di antara kamu yang membaca ayat ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu al-qur'an dan al-hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". (Qs. al-Baqarah :151). Inilah rangkaian ayatayat al-Qur'an, terkait tugas para Nabi dan Rasul yang intinya terfokus pada "at-Ta'lim dan at-Tazkiyah" yang biasa di masyhurkan dengan istilah "at-Tashfiyah dan at-Tarbiyah". Sebab tidak ada ilmu (at-Ta'lim) yang benar apalagi di akhir zaman sekarang ini- kecuali melalui at-Tashfiyah dan tidak ada atTazkiyah kecuali dengan at-Tarbiyah. 2. SUBTANSI TARBIYAH Pembaca budiman, merupakan perkara aksiomatik bagi kalangan thullabul 'ilmi, sebuah kaedah masyhur yang lafadznya, " La Musyaahata fil Istilah", yakni tidak ada persoalan dalam dalam masalah istilah. Khususnya istilah-istilah baru yang tidak dikenal oleh para salaf. Karena hakikat dari sesuatu itu adalah isi (subtansi) dan bukan sekedar nama. Dengan syarat selama istilah yang digunakan bukan istilah yang mengandung kemungkinan makna buruk yang diharamkan Allah Ta'ala. Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: "Istilah-istilah itu tidak perlu diperdebatkan (dipermasalahkan) selama tidak mengandung kerusakan".[27] Sebagai contoh, diantara para ulama ada yang membagi tauhid menjadi dua, yakni Pertama, Tauhid al-Ma'rifat wal Itsbat, dimana terkandung padanya Iman terhadap wujud Allah, Rububiyah dan Asma wa Shifat-Nya. Kedua, Tauhid alQashdu wa at-Thalab, yang mengandung iman terhadap Uluhiyah Allah Ta'ala.

Adapula yang lebih terperinci, dimana mereka membagi tauhid menjadi tiga, Tauhid Rububiyah yang mencakup di dalamnya iman terhadap wujud Allah Ta'ala, Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah dan Tauhid Asma' was Shifat. Namun adapula diantara para ulama membagi Tauhid menjadi empat: Iman kepada wujud Allah, Iman terhadap Rububiyah Allah, Iman terhadap Uluhiyah Allah, dan Iman terhadap Namanama dan sifat-sifat Allah Ta'ala. Seluruh pembagian-pembagian tersebut tidak menjadi persoalan selama tidak menunjukkan pada sesuatu atau makna batil. Disamping subtansi dari keseluruhannya sama, yakni berkisar pada empat hal: Imam kepada wujud Allah, Rububiyah, Uluhiyah dan Asma' was Shifat-Nya. Sekali lagi, tidak ada persoalan dalam masalah nama dan pembagian-pembagian. Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Bahwasanya pada zaman ini telah berlaku penyebutan bagi sebagian ilmuilmu empirik dengan nama ilmu.[28] Bahkan sekolah-sekolah setingkat SMU menamakannya sebagai "ilmiy" atau "adabiy", apakah hal ini benar? Sebagai tambahan, bahwasanya pembagian-pembagian ini akan terus terngiang di telinga para pelajar yang kemungkinan akan mempengaruhi mereka di masa depan?". Beliau rahimahullah menjawab: "Pembagian tersebut, yakni menjadi "ilmiy" atau "adabiy" hanya merupakan sebuah istilah, dan tidak ada persoalan dalam masalah istilah, sebab mereka memandang bahwa yang dinamakan mata pelajaran ilmiyah itu adalah apa yang berkaitan dengan ilmu alam, makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, dan apa yang semisal dengannya".[29] Dari sini kami tegaskan, bahwa kaedah inilah yang bakal menjadi kunci bagi penjelasan kami tentang substansi tarbiyah, yang InsyaAllah akan kami jabarkan pada point ini dan yang setelahnya, akan substansi dan hakikat dari tarbiyah. Hingga akan nampak di hadapan pembacan bahwa substansi dari tarbiyah yang digalakkan oleh WI ternyata berserakan di dunia Islam tanpa ada pengingkaran dari para ulama Ahlu Sunnah. Bahkan boleh jadi, substansi dari praktek tarbiyah, pun dilakukan oleh mereka yang tergesa menjatuhkan vonis bid'ah bagi terbiyah bermahalah pada lembaga-lembaga pendidikan mereka. Kendati datang dengan nama dan istilah yang berbeda. Wallahu musta'an. MARHALAH Sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa aktifitas tarbiyah WI tegak atas asas marhalah (penjenjangan). Karenanya, wasilah inipun dikenal dengan nama Tarbiyah Marhaliyah. Terdapat tiga marhalah dalam tarbiyah WI, diantaranya, (1). Marhalah Ta'rifiyah, (2). Marhalah Takwiniyah, (3). Marhalah Tanfidziyah.[30] Barangkali, yang membuat ikhwah "salafy" alergi dan tergesa menolak sistem ini, lantaran istilah marhalah identik dengan istilahistilah pergerakan, dan kurang familiar di telinga mereka. Padahal, sekali lagi, substansi dari istilah marhalah sama dengan substansi dari istilah-istilah yang banyak digunakan dalam proses pendidikan di seluruh dunia seperti mustawa (semester), kelas, tingkatan atau istilahistilah lainnya yang seluruhnya merupakan bentuk manivestasi dari attadarruj fi ad da'wah, [tahapan-tahapan dalam dakwah]. Bahkan ia merupakan inti dari sifat hikmah dalam berdakwah sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur'an.

Disamping itu tadarruj merupakan fitrah badhihiyah (perkara alamiah aksiomatik) yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia tumbuh melalui proses tadarruj, dimulai dalam kandungan, lalu masa bayi, kanak kanak, remaja, dewasa, hingga sampai pada marhalah masa tua. Demikian pula dalam hal ilmu pengetahuan. Baik yang sifatnya ilmu diniyah maupun pengetahuanpengetahuan umum lainnya, bahwa manusia itu dimulai dari tidak mengetahui sesuatu apa-pun, lalu melalui proses belajar yang sifatnya tadarruj, barulah ia mengetahui dari ilmu-ilmu tersebut. Allah Ta'ala memberi isyarat bagi kita dalam hal ini pada firman-Nya: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". (Qs. An-Nahl : 78). Lebih dari pada itu, tadarruj termasuk diantara manhaj al-Qur'an dalam menetapkan sebagian hukum-hukum syara'. Perhatikan proses tadarruj dalam pengharaman khamar, dimana padanya berlalu empat marhalah. Dimulai dari pembolehan secara mutlak sebagaimana disinggung dalam surah an-Nahl ayat 67, lalu larangan mendekati shalat dalam keadaan mabuk seperti tertera dalam surah an-Nisaa' ayat 43, kemudian keterangan bahwa khamer itu mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya seperti dalam surah al-Baqarah ayat 219, terakhir turun pengharamannya secara mutlak sebagaimana dalam firman-Nya pada surah alMaidah ayat 90. Demikian pula masalah jihad dan lain sebagainya. Oleh karenanya, sangat aneh jika seseorang itu mengabaikan proses alamiyah (tadarruj) ini, bahkan bisa dikatakan ia membohongi fitrah dan akal sehat yang merupakan karunia dari Allah Azza wa Jalla. Perlu diketahui, para ulama salaf pun telah menganjurkan metode tadarruj atau marhalah dalam proses pembelajaran, halaqoh ilmu atau apapun namanya, untuk tujuan menanamkan pemahaman yang baik dan lurus dalam proses transfer ilmu. Sebab manusia tidak berada di atas pemahaman yang sama dalam penerimaan ilmu dan pengetahuan. Berikut ini beberapa nukilan dari ulama salaf diantaranya: Pertama, perkataan Abdullah bin Abbas radhiallahu'anhuma tentang firman Allah Ta'ala: "Akan tetapi jadilah orangorang yang Robbani karena kamu mengajarkan kitab dan disebabkan kamu mempelajarinya ". (Qs : Ali Imran : 79 ). Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: "Maksud dari Robbani adalah yang mengajarkan ilmuilmu kecil sebelum ilmu ilmu besar".[31] Kedua: Imam al-Bukhari berkata dalam Shahihnya, [Bab Man Khassha bil Ilmi Qauman Duna Qaumin Karahiyata an Laa Yafhamuu], yakni "Bab Orang yang mengkhususkan ilmu kepada satu kaum dan tidak pada kaum lain, karena menghindari jangan sampai mereka tidak memahaminya". Ketiga: Hadits Mu'adz bin Jabal radhiallahu anhu, tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam membonceng beliau di atas untanya dan mengabarkan akan hak Allah Ta'ala atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah Ta'ala. Lantaran merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan maka Mu'adz pun berkata pada Nabi shallallahu alaihi wasallam: "Bolehkan aku sampaikan kabar gembira ini kepada

manusia?". Beliau menjawab: "Jangan engkau kabarkan, agar jangan sampai mereka hanya bersandar (pada rahmat Allah tersebut)".[32] Keempat: Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: "Berbicaralah pada manusia sebatas apa yang mereka ketahui (sanggup mereka cerna), sukakah kalian jika mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya!?.[33] Kelima, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Bab: Mengajak kepada syahadat Lailahaillallahu, masalah kesebelas: menjelaskan tentang metode pembelajaran dengan bertahap .[34] Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam al-Qaul al-Mufid syarah Kitabut Tauhid, I/12: "Yang demikian sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam mengkhususkan ilmu ini kepada Mu'adz dan tidak pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Olehnya, boleh mengkhususkan suatu ilmu pada sebagian manusia, lantaran sebagian manusia jika dikabarkan padanya sesuatu dari ilmu tersebut, maka akan menjadi fitnah baginya. Dalam hal ini Abdullah Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu berkata: "Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaran yang tidak sampai pada akal mereka (susah dicerna), melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka". Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: "Berbicaralah pada manusia sebatas apa yang mereka ketahui (sanggup mereka cerna), sukakah kalian jika mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya". Olehnya setiap kita harus berbicara sesuai dengan kadar pemahaman dan akalnya. Ketujuh, Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata: "Barang siapa yang belum menyempurnakan ushul (ilmu pokok), maka tercegah baginya wushul (menjadi ulama). Dan barangsiapa yang mendapatkan ilmu dalam sekejap, maka ilmu itu akan lenyap dalam sekejap pula. Dalam sebuah riwayat: Banyaknya ilmu yang didengar, akan menghalangi pemahaman. Karenanya, wajib bagi penuntut ilmu untuk men ta'shil dan menguatkan (pembelajaran) semua cabang ilmu yang dipelajari, dengan mendalami kitab asli atau mukhtashor-nya kepada seorang syaikh, dan bukan lewat pembelajaran secara pribadi saja. Demikian pula, mempelajari ilmu tersebut secara tadarruj (bertahap).[35] Pada tempat lain, setelah memaparkan akan buku-buku yang harus dipelajari oleh penuntut ilmu secara bertahap, beliau lalu menegaskan: ". dan tidak diperkenankan (bagi thalib) yang berada pada tingkat pertama untuk duduk belajar pada tingkat kedua, dan seterusnya untuk menghindari kekacauan".[36] Fadhilatus Syaikh Sholih al-Munajjid hafidhahullah menceritakan tentang sirah Fadhilatus Syaikh Al-Mufti Muhammad bin Ibrohim rahimahullah[37]: "Beliau rahimahullah memiliki tiga majlis, mengajar tiga mustawayat (tingkatan), untuk penuntut ilmu yang sudah lama satu pelajaran, untuk yang pertengahan satu pelajaran, dan untuk penuntut ilmu yang pemula juga satu pelajaran, dan jika beliau melihat ada seorang penuntut ilmu yang baru lalu duduk di majlis penuntut ilmu yang lama, maka beliau akan mengusirnya dan membentaknya, seraya berkata: "Di sini bukan tempatmu, bukan dari sini kamu memulai, dan perkara ini bisa melahirkan rasa ujub (bagimu)".[38]

Secara spesifik dan terperinci, masalah ini telah kami tanyakan lansung kepada Fadhilatus Syaikh Pror. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin, dan beliau hafidzahullah berkata: "Pembagian marhalah-marhalah tersebut mathlub (dituntut), bahkan terkadang sampai pada hukum wajib".[39] PEMBAGIAN HALAQAH-HALAQAH TARBIYAH Klasifikasi dan pembagian halaqah-halaqah tarbiyah termasuk sarana yang digunakan untuk memudahkan ta'shil bagi ilmu syar'i tersebut. Sebab, perlu diketahui jumlah ikhwah dan akhwat yang berada pada setiap marhalah sangat banyak dan tidak memungkinkan pelaksanaan tarbiyah efisien dalam jumlah tersebut. Olehnya, cara yang paling mudah dan lazim adalah memecahnya dalam bentuk halaqah-halaqah, dimana setiap halaqah itu memiliki nama tersendiri untuk memudahkan pengklasifikasian serta evaluasi sejauh mana keberhasilan suatu halaqah dalam proses transfer ilmu. Masalah pembagian halaqah-halaqah ini, maka cukuplah kami kutipkan fatwa Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah yang memberi keterangan akan hal ini. Beliau rahimahullah pernah ditanya. Penanya: "Sebagian guru-guru wanita di sekolah-sekolah atau fakultas-fakultas membagi siswi-siswi yang berada pada kelas-kelas kuliah menjadi beberapa kelompok atau halaqah-halaqah, dimana ada halaqah Aisyah, halaqah Khadijah, dan seterusnya untuk tujuan agar tidak terjadi kerancuan. Akan tetapi, sebagian akhwat mengeluhkan seraya berkata: Bahwasanya ada beberapa siswi yang bersama kami di mushallah menjauh dari Mushallah dengan alasan bahwa pembagian (halaqah-halaqah) tersebut tidak di atas manhaj dan bukan termasuk jalan salaf. Lalu mereka keluar dan berkumpul di luar mushallah dan membentuk halaqah (kelompok) lain di luar mushallah, dimana perbuatan ini menyebabkan terbagi-baginya shaf dan perpecahan di kalangan para siswi, serta terjadi sebagian perselisihan. Pertanyaannya: Apa nasehat anda? Apakah metode ini (pembagian halaqah) salah atau benar? Syaikh: menjawab: "Saya katakan, semoga Allah memberkati engkau. Sampaikan pada mereka, bahwa kedua metode itu tidak benar; tidak pada pembagian wanitawanita ketika shalat dan tidak pula yang bersendiriannya mereka di tempat yang lain". Penanya: "Bukan pada shalat, akan tetapi dalam halaqah mushallah". Syaikh: "Apa itu halaqah mushallah? Penanya: "Pelajaran sekolah dimulai pada jam 7.30, namun siswi-siswi hadir pada pukul 7.00, lalu mereka mengadakan halaqah untuk mempelajari al-Qur'an dan Tafsir". Syaikh: "Maksudnya adalah halaqah tahfidz? Penanya: Iya, halaqah-halaqah ta'lim, yakni Tafsir, al-Qur'an, Hadits dan Fiqh".

Syaikh: "Yang penting halaqah-halaqah, mereka menamakan tahfidz al-Qur'an? Jawabannya, perkara ini tidak mengapa. Adapun saya mengatakan halaqah ini namanya halaqah Aisyah, ini halaqah Khadijah dan ini halaqah Fathimah, tidak ada larangan padanya". Penanya: "Bagaimana dengan wanita-wanita yang keluar itu? Syaikh: "Mereka yang keluar, maka ini adalah kesalahan dari mereka" Penanya: "Tapi mereka menggunakan hujjah, bahwa metode ini bukanlah metode salaf?" Syaikh: "Ini bukan metode salaf, akan tetapi ini adalah tandzim (pengaturan). Apakah belajar dalam bentuk kelas-kelas pembelajaran termasuk metode salaf?". Penanya: "Tidak". Syaikh: "Ia bukan termasuk metode salaf. Apakah termasuk metode salaf pengklasifikasian hadits menjadi bab-bab, dimana ada bab thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji? Ini bukan metode salaf. Semua ini tidak ada kecuali setelah zaman para sahabat setelah buku-buku mulai dikarang. Olehnya (perbuatan mereka para wanita itu) salah. Katakan pada mereka yang memisahkan diri itu: Ini adalah satu kesalahan dari kalian; sebab merekalah yang memisahkan diri dari tempat (mushallah) dan penamaan itu". Penanya: "Agar jelas ya Syaikh-. Bahwasanya setelah terjadi pemisahan diri ini, maka terjadilah perpecahan mereka dari mahasiswi-mahasiswi, dan terjadi pada" Syaikh: "Katakan pada mereka, hendaknya mereka kembali pada tempat pertama (semula) dan setiap salah satu baginya mustawa (tingkatan) dan nama khusus".[40] Bergantian Membaca al-Qur'an Salah satu kegiatan Tarbiyah Marhaliyah, adalah Tahsinul Qira'ah. Formatnya, dengan cara membaca al-Qur'an secara bergantian dalam satu halaqah tarbawiyah. Sedang anggota halaqoh lainnya menyimak sembari membenarkan bacaan yang salah dari sang qori', agar para anggota halaqah dapat belajar makhorijul huruf dan tajwid langsung dengan prakteknya. Dan hal ini merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Yang terbaik diantara kalian adalah, yang mempelajari al-Qur'an dan mengajarkannya".[41] Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam satu rumah dari sekian rumah-rumah Allah, mereka membaca kitabullah dan saling mengajarkan diantara mereka, melainkan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan jiwa), diliputi oleh rahmat, dikerumuni oleh para malaikat, dan mereka disebut-sebut oleh Allah dihadapan yang ada di sisinya (majelis para malaikat)".[42] Model pembacaan al-Qur'an seperti keterangan di atas, walaupun ada ulama yang melarangnya namun alhamdulillah telah direkomendasikan oleh para ulama salaf dan khalaf kita. Berikut ini perkataan para ulama kita perkara tersebut:

Pertama, perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah : " " ." : Artinya, "Pembahasan tentang membaca al-Qur'an secara bergiliran", yakni berkumpulnya sekelompok orang, sebagian membaca sepersepuluh, atau satu juz kemudian berhenti, dan yang lain meneruskan bacaan dari orang yang pertama, kemudian yang lainnya membaca (lagi), maka ini sangat baik dan diperbolehkan. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab: Tidak mengapa dikerjakan".[43] Kedua, perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : ," ." : Artinya, "Membaca al-Qur'an secara bergiliran merupakan sesuatu yang baik menurut pendapat sebagian besar para ulama. Dan diantara bentuk pembacaan alQur'an model ini adalah membaca al-Qur'an secara berjamaah dengan satu suara, madzhab Malikiyah memiliki dua pandangan dalam hukum kemakruhannya, sedang Imam Malik rahimahullah memakruhkannya. Adapun membaca al-Qur'an bergiliran satu persatu sementara yang lainnya mendengarkan, maka tidak di makruhkan tanpa khilaf, bahkan ia disunnahkan dan para sahabat pun telah melakukannya, seperti Abu Musa dan selain beliau".[44] Ketiga, Fatwa dari Lajnah Da-imah Kerajaan Saudi Arabia : Redaksi pertanyaan: "Suatu kebiasaan kami di Maroko, membaca al-Qur'an secara berjamaah setiap pagi dan sore setiap selesai shalat Subuh dan Maghrib. Namun ada diantara kami yang mengatakan bahwa hal ini adalah bid'ah ??. Jawaban: "Membaca al-Qur'an secara berjamaah dengan satu suara setiap selesai menunaikan shalat Subuh dan Maghrib atau selainnya adalah bid'ah. Adapun jika setiap orang membaca masingmasing, atau semuanya mempelajari alQur'an, setiap selesai satu orang membaca diikuti dengan bacaan yang lainnya, sementara yang lainnya diam dan menyimak, maka ini adalah salah satu ibadah yang mulia.[45] Sebenarnya masih banyak fatwafatwa lainnya, namun lantaran keterbatasan halaman, kami cukupkan fatwa tersebut sampai di sini. Dan kami yakin, tiga fatwa dari ulama beda generasi ini sudah cukup mewakili fatwa fatwa ulama lainnya. Walillahilhamd. Tasmi' hafalan al-Qur'an dan Hadits Diantara kegiatan rutin dalam Tarbiyah Marhaliyah adalah tasmi' hafalan alQur'an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kegiatan ini

biasanya dilakukan setelah selesai membaca al-Qur'an secara bergiliran, dan pada setiap marhalah ditetapkan muqarrar (kurikulum) hafalannya masingmasing.[46] Tujuan dari kegiatan tasmi' hapalan ini adalah agar setiap kader memiliki pembendaharaan hafalan al-Qur'an dan hadits-hadits nabawy, sebagai suatu hal yang mutlak sebelum terjun secara langsung dalam medan dakwah ilallah. Demikian pula sebagai bentuk semangat meraih kemuliaan dan ketinggian derajat di sisi Allah Ta'ala. Dalam sebuah hadits, dari Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya jumlah tingkatan surga sebanyak bilangan ayat-ayat al-Quran. Maka siapa yang masuk surga dari kalangan huffadz (para penghafal al Quran), niscaya tidak ada yang menandinginya di dalam surga.[47] Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Akan dikatakan kepada seorang penghapal al-Quran tatkala akan memasuki surga, bacalah dan naiklah, lalu ia membaca al-Quran dan naik setingkat setiap selesai membaca satu ayat. Demikian seterusnya hingga ayat terakhir yang ia h apal.[48] Mabit Yakni kegiatan bermalam bersama yang diikuti oleh perserta Tarbiyah di suatu tempat tertentu, bisa di masjid, kantor, rumah, atau di tempat lainnya. Namun kebanyakannya di Masjid, yang penetapan waktunya sesuai dengan kesepakan peserta Mabit. Kegiatan-kegitan dari Mabit itu sendiri menyerupai kegiatan dalam tarbiyah namun durasi pertemuannya lebih lama. Dimulai dengan membaca al-Qur'an, tasmi' hafalan al-Qur'an dan hadits, meskipun tasmi'nya lebih luas, biasanya berupa muroja'ah ayatayat dan hadits yang pernah dihafalkan. Lalu disusul dengan taushiyah baik dari sang murabbi ataupun selainnya dan pembacaan kisah Salafussalih dari kalangan Shahabat, Tabiin dan Imam-Imam Ahlu Sunnah. Dan di akhir malam dilanjutkan dengan Qiyamul lail, baik secara sendiri-sendiri maupun secara berjama'ah.[49] Perlu pembaca ketahui, bahwa substansi dari Mabit persis dengan Program Mukhoyyam yang banyak dilakukan para Masyaikh di Saudi Arabia, yaitu mengadakan perkemahan atau menyewa sebuah Istirahah/Mustarah (tempat istirahat yang terdiri dari kolam renang, lapangan sepak bola, lapangan bola voli dll), lalu mereka mengadakan acara olah raga bersama, shalat berjamaah, makan bersama, lalu ada tausiyah dari para masyayaikh. Dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satu pun dari para ulama kibar Ahlu Sunnah yang mengeluarkan tahdzir berkaitan dengan kegiatan ini. Bahkan ada indikasi Syaikh Robi' bin Hadi al-Madkhali hafidhohullah pun melakukan kegiatan serupa, seperti disinyalir dari beberapa judul kaset beliau "al-Jalsah ats-Tsaaniyah Min Mukhoyyam ar- Rabi'", wallahu a'lam. Adapun atsar yang digunakan sebagai landasan bagi kegiatan Mabit tersebut, khususnya yang diselenggarakan di mesjid adalah sebagai berikut: Pertama: Imam al-Bukhari berkata dalam Shahihnya, Kitabus Shalat: " Bab Naum al-Mar'ah fil Masjid", [Bab: Tidurnya wanita di dalam masjid]. Al-Hafidz Ibnu

Hajar al-Asqalani menerangkan judul bab di atas, beliau berkata: "Yakni, bolehnya wanita tidur di mesjid dan berdiam di dalamnya". Kedua: Imam al-Bukhari berkata pula: "Bab Naum al-Rijal fil Masjid", [Bab: Tidurnya kaum lelaki di dalam masjid]. Abu Qilabah berkata dari Anas bin Malik: "Datang sekelompok orang dari 'Uklin menghadap Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mereka tinggal di shuffah". Abdur Rahman bin Abi Bakr as-Shiddiq berkata: "Adalah mereka yang tinggal di shuffah itu para fuqara'". Al-Hafidz Ibnu Hajar alAsqalani berkata: Bab Tidurnya kaum lelaki di masjid, yakni bolehnya hal tersebut, dan ini merupakan pendapat mayoritas (jumhur) ulama". Ketiga: Imam at-Tirmidzi berkata dalam Sunan-nya, Kitabus Shalah: Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu: "Adalah kami, pada masa hayat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sering tidur di dalam masjid, (dan saat itu) kami masih muda".[50] Keempat: Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Apa hukum mabit (bermalam) di masjid secara umum dan I'tikaf secara khusus?". Beliau rahimahullah menjawab: " Bermalam di masjid pada i'tikaf maka ia harus. Sebab orang yang sedang i'tikaf itu sebagaimana firman Allah Ta'ala, tempatnya di dalam masjidAdapun selain orang yang i'tikaf, maka boleh bagi seseorang untuk tidur di dalam masjid jika ada hajat. Adapun menjadikannya (masjid) hanya sebagai tempat tidur (bermalam) maka ini menyalahi tujuan dibangunnya mesjid tersebut. Masjid dibangun untuk ditegakkan shalat di dalamnya, membaca al-Qur'an dan thalabul ilmi. Akan tetapi (sekali lagi) tidak mengapa jika terkadang seseorang menjadikannya sebagai tempat untuk tidur".[51] Kelima: Mabit Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di rumah Maimunah radhiallahu anha untuk mengambil beberapa faidah-faidah ilmu dan amalan sunnah dari beliau[52] Keenam: Mabit Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslamy di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Imam Muslim meriwayatkan dari Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslamy, ia berkata: "Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan aku melayani beliau pada setiap kebutuhan dan menyiapkan air wudhunya. Lalu beliau berkata padaku: "Mintalah !". Maka aku berkata: "Aku minta dapat bersamamu di dalam surga.....". Ketujuh: Mabit Salman al-Farisy radhiallahu anhu di rumah Abu Darda' radhiallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Kedelapan: Mabit Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma di rumah salah seorang yang dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai penduduk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Kesembilan: Berkata Abu 'Ishmah 'Ashim bin 'Ashim al-Baihaqy: "Aku pernah bermalam bersama Imam Ahmad bin Hambal. Lalu beliau datang membawa air dan meletakkan (di dekat tempat tidurku). Tatkala fajar menjelang, beliau melihat ke arah air (yang ia sediakan semalam) dan ternyata belum berubah sedikit pun.

Maka beliau berkata dengan heran: "Subhanallah, seorang yang menuntut ilmu, namun ia tidak memiliki wirid (amalan shalat dan selainnya) di waktu malam!?".[53] Kesepuluh: Berkata seorang yang berasal dari Qais, kunyahnya adalah Abu Abdillah: "Kami pernah mabit (bermalam) di sisi Hasan al-Bashri. Lalu beliau bangkit pada waktu malam dan shalat. Ia terus menerus mengulang-ulang ayat ini hingga menjelang fajar, yakni: "Jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan sanggup (menghitungnya).".[54] Dari keterangan hadits dan atsar para salaf serta fatwa ulama Ahlu Sunnah mu'tabar, maka jelas bagi kita bahwa amalan mabit (atau bermalam) bersama khususnya bersama orang-orang shaleh untuk saling mengingatkan, mengambil manfaat ilmu dan amalan serta muhasabah diri, merupakan sunnah para salafussalih, dan bukan perkara baru. Bahkan seluruh riwayat-riwayat yang kami ketengahkan tersebut diungkapkan dengan istilah bittu, atau bitnaa yang merupakan pecahan-pecahan dari kata mabit. Dan dari sini pula terjawab sudah syubhat yang dilontarkan oleh salah satu majalah Islam yang menyatakan bahwa amaliyah mabit termasuk dalam perkara bid'ah[55]. Apalagi, persoalan Mabit ini telah kami tanyakan secara langsung kepada Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz alJibrin, murid Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdulllah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dan beliau menganggapnya sebagai sesuatu yang baik sekali.[56] Alhamdulillah. 4. MENJAWAB SYUBHAT Pembaca budiman, seperti biasa, segala kegiatan yang lakukan WI selalu diteropong oleh ikhwah "salafi", untuk mengais-ngais dalih agar dapat mendepak WI dari barisan dakwah Ahlu Sunnah. Termasuk di dalamnya, wasilah yang kami gunakan untuk membina dan mentarbiyah pemudapemuda Islam agar menjadi generasi yang tangguh. Olehnya, dalam poin ini kami akan sebutkan beberapa syubhat yang ramai dilontarkan kelompok "salafi" beserta jawabannya : Tasyabbuh Dengan Ikhwanul Muslimin ` Syubhat ini sering dibidikkan kelompok "salafi" terhadap Tarbiyah Marhaliyah yang merupakan sarana pembinaan pemudapemuda Islam, yang kemudian dikaitkan dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma: "Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum", [Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan kaum tersebut][57], maka kami katakan sebagai berikut: Pertama, sebuah atsar dari Abu Burdah radhiallahu anhu yang di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: "Hikmah adalah barang hilang seorang mukmin, hendaknya dia mengambilnya di mana saja dia mendapatkannya".[58] Maka bertolak dari atsar di atas, bukanlah suatu aib bagi kita untuk mengambil hikmah atau sesuatu yang baik dari kelompok yang berselisih dengan kita. Dan kami memandang bahwa Tarbiyah Marhaliyah merupakan sarana yang efektif untuk membina dan membentuk pemudapemuda Islam.

Kedua, Sikap kami terhadap gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin jelas, bahwa mereka adalah saudara-saudara kami dalam perjuagan agama ini, dan tergolong paling dekat dengan dakwah Ahlu Sunnah, kendati terdapat beberapa kekeliruan pada mereka sebab kapasitas mereka sebagai manusia mangharuskan adanya kesalahan dan kekeliruan.[59] Ketiga, Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada tahdzir khusus dari para ulama Ahlus Sunnah terkait model pembinaan Ikhwanul Muslimin. Seandainya model pembinaan seperti ini bermasalah, maka tentu para ulama tidak akan tinggal diam dan pasti akan menjelaskan cacatnya. Keempat, taruhlah kami bertasyabbuh dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah ini, maka sungguh seluruh dunia Islam termasuk kelompok Salafy juga terjatuh dalam masalah ini. Banyak sekali sarana dakwah yang tersebar pada saat ini, mulanya berasal dari ikhwanul muslimin. Siapakah yang mempopulerkan seminar, bedah buku, daurohdauroh dan selainnya, kecuali dari Ikhwanul Muslimin?, Bahkan, kaum muslimin pada saat ini jatuh dalam tasyabbuh bil kuffar (jika menggunakan kaidah mereka), melalui sistem SKS [sistem kredit semester] yang diadopsi oleh UniversitasUniversitas timur tengah (di antaranya universitas Islam Madinah) dari sistem barat yang kafir?? Sirriyah Syubhat ini termasuk paling sering dikemukakan kelompok "salafy" terhadap Tarbiyah bermarhalah, dengan asumsi pembinaan model seperti ini dilakukan dengan sembunyisembunyi, penuh kerahasiaan, dengan memasukkan sandal, dan lain sebagainya. Asumsi lainnya, pembinaan seperti ini mencegat mutarabbi tingkat bawah mengikuti materi Tarbiyah tingkat yang di atasnya, misalnya mutarabbi Marhalah Ta'rifiyah tidak dibolehkan mengikuti materi di marhalah takwiniyah, dan seterusnya. Dengan memohon pertolongan Allah Ta'ala kami katakan sebagai berikut: Pertama, untuk asumsi pertama, maka kami jawab, bahwa sirriyah dalam konteks seperti yang dikatakan di atas, selama sepuluh tahun belakangan sudah tidak ada lagi. Bahkan kami yang telah bergabung dalam dakwah dan Tarbiyah WI selama kurang lebih 17 tahun (terhitung sejak tahun 1993) tidak pernah mengalami apa yang digambarkan tersebut. Kalau tokh benar, boleh jadi itu terjadi pada masamasa kuatnya tekanan Orde Baru terhadap segala pergerakan dakwah. Dimana setiap halaqah-halaqah ta'lim, pertemuan umum hingga pengajian-pengajian yang sifatnya umum berada di bawah tekanan dan intimidasi kekuasaan saat itu. Dan jika kita menengok tarikh dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka kita akan dapatkan bahwa sirriyah merupakan satu diantara marhalah da'wah yang pernah diaplikasikan oleh beliau, yang tentunya dipantik oleh keadaan dan situasi saat itu, yakni di rumah sahabat Arqam bi Abi Arqam radhiallahu anhu, yang kemudian dikenal dengan Darul Arqam. Dan hal ini-pun tidak ada kaitannya dengan baik dan buruknya manhaj sebuah dakwah. Bahkan kalau mau jujur, pengajian-pengajian kelompok "salafy" yang diadakan di rumah-rumah pun sangat tertutup dan tidak sembarang orang bisa ikut nimbrung dalam pengajian tersebut.

Kedua, untuk asumsi kedua, kami katakan, bahwa mengkhususkan ilmu pada sebagian orang adalah salah satu sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, di bawah ini kami nukilkan beberapa perkataan ulama salaf terkait masalah tersebut : a). Berkata imam Bukhori rahimahullah: [Bab seseorang yang mengkhususkan suatu kaum dengan ilmu tanpa kaum yang lain karena ditakutkan mereka tidak memahami]. : Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: "Berbicaralah kalian dengan manusia sesuai yang mereka pahami, apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?".[60] b). Perkataan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu: : "Tidaklah engkau berbicara sesuatu pada suatu kaum yang akal mereka tidak memahaminya, melainkan akan mendatangkan fitnah bagi sebagian mereka".[61] c). Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan: kedua puluh: [Bolehnya mengkhususkan sebahagian manusia dengan ilmu tanpa sebagian lainnya]. Syaikh Muhammad bin Sholih al'Utsaimin berkata ketika menjelaskan perkataan ini : Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mengkhususkan bagi Mua'adz ilmu yang tidak di ketahui oleh Abu Bakar, Umar , Utsman dan Ali, maka diperbolehkan bagi kita untuk mengkhususkan ilmi untuk sebahagian manusia, yang mana jika sebahagian manusia kamu ajarkan ilmu (yang tidak mereka pahami ) maka akan terfitnah[62] d). Fadhilatus Syaikh Sholih al-Munajjid hafidhahullah menceritakan tentang siroh Syaikh al-Allamah Muhammad bin Ibrahim rahimahullah: Beliau memiliki tiga majlis, mengajar tiga mustawayat ( tingkatan ), untuk penuntut ilmu yang sudah lama satu pelajaran, untuk yang pertengahan satu pelajaran, dan untuk penuntut ilmu yang pemula juga satu pelajaran, dan jika beliau melihat ada seorang penuntut ilmu yang baru duduk di majlis penuntut ilmu yang lama maka beliau akan mengusirnya dan menghardiknya. Pembaca budiman, sebagai penutup kami ketengahkan perkataan Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkenaan dengan masalah wasaail dakwah, serta bantahan beliau terhadap pemuda-pemuda semisal al-akh Abu 'Aqilah yang datang dengan syubuhat yang sama semisal apa yang disinggung oleh Fadhilatus Syaikh. Pertanyaan: Fadilatus Syaikh, sebagian sekolah saat ijazah musim panas (liburan panjang) menjelang, membuka al-Marakiz as-Shaifiyyah (perkemahan untuk mengisi liburan panjang) untuk memanfaatkan waktu para pemuda yang senang keluyuran di jalan, pada perkara-perkara yang baik berupa ceramah, diskusi, perlombaanperlombaan dan selainnya berupa hal-hal yang positif. Dan kadang pula, dalam

perkemahan ini para pemuda akan bermain sepak bola serta pertunjukanpertunjukan sandiwara. Akan tetapi, ada sebagian pemuda lantas berkata: "Perkara ini tidak pantas dan tidak boleh, sebab ia bukan thariqah (metode) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yang wajib adalah, pelajaran-pelajaran ini harus dilakukan di masjid !?". Mereka juga menambahkan, "Bahwasanya wasaail (sarana) dakwah itu tauqifiyyah". Akibatnya, banyak dari kalangan pemuda yang ragu dan terpengaruh". Kami mohon dari anda, wahai Syaikh taujih (penjelasan) yang cukup dan baik dalam hal ini, untuk membedakan antara wasilah dan tujuan, agar perkara ini menjadi jelas, semoga Allah Ta'ala memberi pahala bagi Anda, dan Jazakumullah khairan". Syaikh al-Utsaimin menjawab: Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji Bagi Allah, Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat kelak. Tidak diragukan, bahwa upaya pemerintah dalam pembentukan al-marakiz al-shaifiyah ini patut disyukuri. Sebab dengan adanya al-marakiz ini, maka ia dapat mencegah kerusakan dan fitnah yang besar. Jika seandainya para pemuda itu yang jumlahnya sangat banyak justru memenuhi pasar-pasar, keluar menuju tempat hiburan, gurun-gurun sahara, bukit dan pegunungan-pegunungan, maka apa yang ada dalam benak kalian berupa keburukan yang bakal terjadi pada mereka? Saya yakin, bahwa setiap manusia yang berakal mengetahui kenyataan bahwa akan terjadi musibah pada para pemuda tersebut berupa penyimpangan, kerusakan akhlak, pemikiran yang nyeleneh, dan selainnya. Akan tetapi al-marakiz ini alhamdulillah- dapat menjaga kebanyakan dari para pemuda, dan saya tidak mengatakan lebih banyak dari para pemuda dan tidak pula seluruh kaum muda sebagaimana kenyataanya. Dan mereka para pemuda itu dapat memetik kebaikan yang sangat banyak berupa undangan pada seorang ulama untuk mengetengahkan pada mereka ceramah agama yang akan menjadi bekal ilmu yang banyak, nasehat yang bermanfaat, kasih-sayang antara pemuda dan masyaikh, dan semua ini, tidak diragukan lagi padanya meshlahat sangat besar. Adapun yang dilakukan untuk menghibur diri, berupa permainan sebak bola, pertunjukan sandiwara-sandiwara dan yang serupa demikian, maka ini termasuk dalam kategori hikmah, sebab jiwa jika dipaksa untuk terus bersungguh-sungguh pada setiap waktu dan keadaan maka ia akan bosan dan lemah. Perhatikan contoh para sahabat radhiallahu anhu, yang mengatakan: "Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu dan engkau menyebutkan tentang surga dan neraka, maka sungguh kami seakan-akan menyaksikannya dengan mata kami. Akan tetapi jika kami pulang ke rumah-runah kami, lalu bercanda dengan keluarga dan anak-anak, kami pun menjadi lupa". Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sa'atan, sa'atan", maknanya sekali-kali demikian dan kali lain demikian pula . Olehnya, memberikan jiwa bagiannya berupa kesenangan yang dibolehkan, tidak diragukan lagi merupakan puncak dari hikmah itu. Kemudian, bahwasanya bermain sepak bola itu disamping sebagai hiburan dan dapat menghilangkan keletihan jiwa, maka padanya juga terdapat faidah bagi tubuh, sebab ia dapat lebih mengaktifkan dan menguatkannya. Akan tetapi wajib menjaga hal-hal sebagai berikut: Pertama, hendaknya meninggalkan apa yang dilakukan oleh sebagian orang-orang jahil berupa mengenakan celana pendek, sebab ia tidak boleh. Sebab memang tidak

boleh bagi pemuda Islam mengenakan celana pendek; jika kita katakan bahwa paha itu aurat, maka perkara ini jelas. Aurat tidak boleh diperlihatkan dan tidak boleh memandang padanya. Namun jika kita tidak katakan sebagai aurat, maka menyingkap paha seorang pemuda dapat menyebabkan fitnah bagi sebagian yang lain. Dan mafsadat ini wajib untuk ditinggalkan. Kedua, hal itu tidak menyebabkan keluarnya kata-kata kasar dan kotor berupa caci maki dan selainnya, sebab apa saja yang dapat menyampaikan pada perbuatan mengeluarkan kata-kata kotor dapat menghancurkan muru'ah, dan ini tidak boleh. Ketiga, tidak menyebabkan pelakunya melakukan perbuatan yang menafikan muru'ah, sebagaimana yang terjadi pada sebagian para pemain sepak bola, jika salah seorang dari mereka berhasil mencetak gol, maka ia akan digendong, dipeluk, diangkat di atas pundak dan sebagainya berupa perubuatan-perbuatan yang menafikan muru'ah. Sebab seluruh perbuatanperbuatan ini berasal dari negara-negara yang tidak mengenal muru'ah dan agama . Adapun perkataan seseorang, bahwa tempat memberi nasehat itu harus dimesjid, maka ia benar. Namun apakah Rasul shallallahu alaihi wasallam tidak memberi nasehat kepada manusia kecuali hanya di dalam masjid? Tidak, bahkan beliau memberi nasehat pada mereka di masjid, pasar, dalam keadaan safar, beliau juga pernah membuat perjanjian hari pada para wanita untuk memberi nasehat pada mereka, lalu beliau mendatangi mereka di rumah salah satu dari mereka. Benar, tempat memberi nasehat adalah di masjid-masjid, dan ini adalah asalnya. Akan tetapi tatkala kebutuhan mengharuskan memberi nasehat pada selain (masjid) maka hendaklah memberi nasehat padanya. Saya katakan pada saudara yang menyampaikan keberatan ini (bahwa nasehat harus di masjid): "Wajib bagi seseorang memiliki pemahaman dan ilmu, serta menempatkan perkara-perkara pada tempatnya, dan tidak boleh melihat sesuatu dari satu sisi saja, atau melihat dari atas loteng. Bahkan hendaknya manusia itu paham dan mengukur segala perkara dengan tepat. Disamping melihat apa-apa yang dapat mendatangkan mashlahat dan mafsadat dari perbuatanperbuatan. Dan kaidah bagi syariat yang kamil yakni: Mengambil manfaat dan mencegah mudharat, dimana al-marakiz tersebut telah mendatangkan mashlahat dan mencegat mafsadat. Kami juga mengingatkan pada saudara ini: Tolong berpikirlah dalam setiap perkara, dan ketahuilah bahwa agama itu lebih luas dari apa yang engkau pikirkan, lebih luas dari akalmu, dan ia datang dengan segala mashlahat dari arah mana saja, selama tidak mengandung mudharat yang setaraf atau yang lebih besar dari (manfaatnya), maka ia dilarang. Sedang perkataan anda, bahwa wasaail dakwah itu tauqifiyyah, maka dari sisi kalimatnya saja, yakni wasaail (sarana) sudah menunjukkan bahwa ia bukan tauqifiyyah. Selama ia berposisi sebagai wasilah, maka kita dapat menggunakannya selama bukan perkara diharamkan, demikian pula kita gunakan kendati tidak disebutkan jenisnya dalam syari'at, selama bukan perkara haram, sebab wasilah baginya hukum tujuannya. Bukankah saat ini untuk menyampaikan pada manusia kita menggunakan pengeras suara?! Dan ia termasuk wasilah. Apakah ia (pembesar suara) tersebut ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam?! Jawabannya pasti tidak ada. Bukankah kita menggunakan kacamata untuk membaca buku-buku untuk tujuan memperbesar huruf-hurufnya?! Dan ini merupakan wasilah untuk membaca buku-buku serta mendapatkan ilmu darinya. Maka apakah (kacamata) ini

ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam?...olehnya, selama kita menetapkan ia sebagai wasilah, maka kita harus melihat pada tujuannya. Jika wasilah diharamkan, maka ia menjadi haram secara zatnya maka saya menyambut al-marakiz al-shaifiyyah tersebut, dan menurut pendapatku ia termasuk kebaikan pemerintah, serta aku menganjurkan para pemimpin-pemimpin untuk mengikutsertakan anak-anak mereka padanya. Dan perlu saya ulangi, khususnya bagi para thullabul ilmi, hendaknya thullabul ilmi itu memiliki pikiran luas, serta pemikiran mendalam. Tidak boleh mengambil perkara sesuai zahirnya dan satu sisinya saja. Namun hendaklah ia melihat Maqashidus Syari'ah (tujuan-tujuan dari syari'at), dan apa yang dilahirkan olehnya berupa kebaikan hamba. Demikian pula hendaknya ia tidak mencegat segala apa yang dapat mendatangkan kebaikan atau apa yang dapat mencegat bagi mafsadat yang lebih besar, kecuali jika terdapat nash yang melarangnya".[63] Demikian sekilas pemaparan ilmiyah akan landasan yang dijadikan pijikan oleh WI dalam merumuskan sebuah wasilah dakwah ilallah demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin. Dan akhir dari seruan kami, segala Puji Bagi Allah Rabb seru sekalian Alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak. Wallahu a'lam bis Showab.

[1] . Mulanya, istilah tarbiyah menjadi dilema bagi kelompok salafy. Alasannya, karena yang mula memomulerkannya dalam medan dakwah adalah gerakan Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, kala ulama-ulama Ahlu Sunnah menggunakan istilah ini, utamanya setelah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahulloh beredar, "at-Tarbiyah wa atTashfiyah", barulah istilah ini diterima oleh mereka. [2] . Misalnya, dalam pengantarnya penulis risalah mengatakan: "Namun kami berharap suatu hari Allah menambahkan ilmu-Nya untuk membuat tulisan yang berisikan nasehat kepada setiap kelompok yang menyimpang dari jalan salaf.". yang dipahami dari ibarat ini, bahwa Allah Ta'ala yang menambah ilmu bagi diri-Nya untuk menuliskan nasehat bagi mereka yang menyimpang dari jalan salaf!?. Ta'alallahu amma yaquul. Ini masih pada muqaddimah. Silahkan pembaca menengok sendiri ibarat-ibarat yang sulit dipahami yang berserakan dalam risalah sederhana tsb. [3] . Misalnya, penulis membangun risalah sederhananya hanya berlandaskan sms dengan salah seorang kader "biasa" WI, juga keterangan dari satu atau dua orang asatidzah (melalu sms) yang kemudian disalahpersepsikan. Alangkan lebih bijak dan ilmiyah, jika sebuah risalah untuk "menasehati" kekeliruan sebuah lembaga besar disusun berdasarkan interview langsung ke pusat lembaga tersebut, bertanya dan melihat secara langsung, dan bukan hanya mereka-reka sesuai dengan pengalaman, lantaran pernah belajar di dalamnya. [4] . Misalnya, sudah jelas penulis mengakui bahwa pihak WI berkeyakinan bahwa Tarbiyah Bermarhalah itu termasuk wasilah da'wah yang sifatnya ijtihady. Lalu kemudian penulis datang dengan logika, "Dengan penjelasan di atas timbul pertanyaan besar, Siapa ulama Ahlu Sunnah yang telah berfatwa bahwa Tarbiyah Bermarhalah masuk dalam ruang

Khilafiyah Ijtihadiyah?? InsyaAllah mereka tidak akan mampu menjawab, kenapa? Karena para ulama salaf tidak mengenal metode bid'ah seperti ini? Lalu siapa yang telah lancang berijtihad akan bolehnya metode dakwah seperti ini? Jangan-jangan semua ini hasil ijtihad Dewan Syuro mereka ?? atau memang ustadz-ustadz mereka telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang mujtahid??" (Lihat: NBPPMTB, hal. 10). Kalau menggunakan logika akh Abu 'Aqilah ini, akan muncul pula pertanyaan serupa, "Siapa ulama Ahlu Sunnah yang berfatwa bahwa bedah buku, seminar, dauroh, mukhayyamat da'wiyah dan sebagainya masuk dalam ruang Khilafiyah Ijtihadiyah??", Apakah para ulama salaf sebelumnya mengenal bedah buku, seminar, dauroh, mukhayyam da'wiyyah, kelas-kelas pembelajaran dan lain sebagainya?? Padahal merupakan perkara mubazzir, jika para ulama menghabiskan waktu mentafshil (merinci) satu persatu seluruh sarana-sarana dakwah yang pada asalnya dibangun di atas ijtihady, sebagiamana dalam perkara mu'amalah yang berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Sejatinya, pertanyaan yang harus diketengahkan oleh sang penulis adalah, "Siapa ulama Ahlu Sunnah yang melarang Tarbiyah Bermarhalah, dan apa dalil pelarangan tersebut??". Atau kami akan balik bertanya pada sang penulis: "Siapakah ulama ahlus sunah yang menfatwakan bahwa wasilah ini (Tarbiyah Bermarhalah) tidak masuk dalam kategori khilafiyah ijtihadiyah?? ataukah penulis menganggap bahwa tidak diperlukan fatwa seorang mujtahid untuk menganulir wasilah ini dari ranah khilafiyah ijtihadiyah?, sebab ia telah merasa diri telah sampai pada derajat seorang mujtahid sehingga boleh saja baginya menganulir wasilah ini dari ranah khilafiyah ijtihadiyah? Sebab, penulis tidak menyebutkan dalam artikelnya fatwa ulama yang tidak memasukkan tarbiyah bermarhalah dalam ranah khilafiyah ijtihadiyah. (alhamdulillah, syubhat yang dilontarkan oleh penulis ini dapat dijawab dengan fatwa Syaikh al-Utsaimin dalam pembahasan masalaha "Pembagian Halaqah-Halaqah Tarbiyah". [5] . Misalnya, klaim bahwa risalahnya tersebut telah begitu mantap hingga tak ada yang bisa menjawabnya, "InsyaAllah mereka tidak akan mampu menjawab, kenapa? Karena para ulama salaf tidak mengenal metode bid'ah seperti ini? Dan pernyataan ghurur kekanakkanakan ini diulang beberapa kali dalam artikelnya!?. [6] . Misalnya, penulis risalah ini berkata: "Khilafiyah Ijtihadiyah adalah salah satu kaidah fiqhi yang bermakna perbedaan pendapat yang mu'tabar (dianggap) dan tidak ada dalil jelas yang menguatkan salah satu pendapat, sehingga para ulama berijtihad dengan pendapat mereka untuk memilih mana yang lebih kuat". (Lihat: NBPPTB, hal. 10). Sepanjang pengetahuan kami, wallahu a'lam, tidak ada kaidah fiqhi yang bernama Khilafiyah Ijtihadiyah itu !??". [7] . Lihat: Majmu al-Fatawa, III/358. Program al-Maktabah al-Syamilah. [8] . Muhadharah ini didengarkan langsung oleh salah seorang ikhwah saat perkuliahan di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah al-Munawwarah. [9] . Lihat: al-Furusiyah, hal. 83. Program al-Maktabah al-Syamilah. [10] . Lihat: Maqayiis al-Lughah, Abul Husain Ibnul Faris, VI/83. Program al-Maktabah alSyamilah.

[11] . Lihat: Tahdzib al-Lughah, IV/320, Mukhtar as- Shihaah, I/341, as- Shihaah Fi alLughah, II/278. Program al-Maktabah al-Syamilah. [12] . Lihat at-Ta'rifat, hal. 84 , Mukhtar as- Shihaah, I/341, as- Shihaah Fil Lughah, II/279. al-Maktabah al-Syamilah. [13] . Lihat: al-Hikmah Fid Da'wat Ilallah, Dr. Sa'id bin Ali al-Qahthany, h. 103. [14] . Untuk lebih jelasnya, silahkan ruju' kitab al-Hikmah fi ad-Da'wati Ilallahi, hal. 103 105. [15] . Dari sini jelas bagi kami kesalahan persepsi Ust. Amiruddin Abdul Jalil, Lc hafidzahullah akan pernyataan Ust. Ilham Jaya, Lc dan Ustadz Yusran Anshar, Lc dalam hal Tarbiyah Marhaliyah. Kalau beliau kaget dengan jawaban kedua Ustadz yang zahir lafadznya berbeda, maka kami lebih kaget lagi dengan pertanyaan seputar dalil Tarbiyah Bermarhalah. Sebab, sebagaimana kami yakini melalui fatwa dan penjelasan para ulama, bahwa wasail dakwah itu dibangun atas ijtihad, maka termasuk diantaranya wasilah yang bernama Tarbiyah Bermarhalah ini. Lantaran ia merupakan salah satu dari wasilah-wasilah da'wah, maka hukum asal baginya adalah jawaz (boleh) hingga ada dalil dan keterangan yang melarangnya. Olehnya, kami melakukan klarifikasi pada kedua ustadz tersebut akan hal ini. Adapun maksud ucapan Ust. Ilham bahwa hukum tarbiyah bermarhalah itu seperti hukum muamalah yang dibangun di atas hukum asal al-jawaz (boleh) hingga ada dalil yang melarangnya. Sedang maksud ucapan Ust. Yusran sebagai ibadah ghairu mahdhah, sebab tidak ada dalil khusus yang menyatakan ia sebagai ibadah, namun dapat menjadi ibadah jika diniatkan sebagai ibadah, sebagaimana pada hal mu'amalah tersebut dan bukan bagi hukum asal ibadah ghairu mahdhah tersebut. Jadi tidak ada perbedaan dari kedua penyataan di atas. Walhamdulillah. [16] . Lihat Tahdzib al-Lughah, IV/289, al-Muhithu Fi al-Lughah, II/263. al-Maktabah alSyamilah. [17] . Lihat: al-Hikmah Fi Da'wah Ilallahi, h. 102. [18] . Untuk lebih jelasnya, silahkan ruju' kitab al-Hikmah Fi ad-Da'wati Ilallahi, hal 103. [19] . Perhatikan ungkapan Syaikh al-Utsaimin rahimahullah ini, bahwa hukum asal wasilah da'wah adalah boleh, selama bukan pada sesuatu yang diharamkan Allah Ta'ala. Abu 'Aqilah dalam artikelnya, berusaha memaksa bahwa Tarbiyah Bermarhalah itu masuk dalam uslub dan bukan wasilah. Bahkan ia mengqiyaskan dengan Jama'ah Tabligh, bahwasanya jika kita katakan Tarbiyah Bermarhalah itu boleh, maka kita pun akan mengatakan bahwa khurujnya jama'ah tabligh untuk dakwah itu juga boleh? Olehnya, kami akan ajukan pertanyaan pada penulis risalah sederhana ini, "Siapa yang melarang kita untuk keluar berdakwah?? Siapa yang mengingkari bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mengutus para sahabatnya keluar berdakwah ke luar Jazirah Arabiyah juga para khulafa' alRasyidin? Siapa yang mengingkari kisah Mus'ab bin Umair yang keluar berdakwah dari kota Mekkah ke Madinah lalu masuk ke kampung-kampung suku suku Aus dan Khazraj?? Pada asalnya, keluar dari rumah atau kampung untuk berdakwah adalah sesuatu yang harus bahkan dituntut. Adapun yang menjadikan metode Jama'ah Tabligh menyimpang adalah bukan zat khurujnya, akan tetapi apa-apa yang menyertai khuruj itu berupa amal-amal bid'ah, pembatasan diri pada buku-buku tertentu, dan pelaziman sesuatu yang tidak

dilazimkan oleh syari'at, termasuk mejadikan waktu-waktu khuruj tersebut sebagai sesuatu yang lazim. Kalau seandainya zat khuruj itu yang bid'ah dan terlarang, tidak mungkin Syaikh al-Utsaimin dan Syaikh bin Baz menganjurkan keluar (khuruj) bersama mereka (khususnya Jama'ah Tabligh yang berasal di Saudi) untuk tujuan mengajarkan mereka agama dan meluruskan hal-hal yang menyimpang padanya (huruf tebal, kami dengar langsung dari Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah al-Jibrin hafidzahullah). Dan alhamdulillah, metode Tarbiyah Bermarhalah sangat berbeda dari wasilah ini. Sebab ia bukan sesuatu yang lazim dan tidak boleh tidak harus. Banyak keluwesan dan kelapangan padanya demi terwujudnya tujuan dari dakwah tersebut. [20] . Lihat: Fatawa Islamiyah, IV,372. [21] . Lihat: al-Fatawa al-Tsuliyah, I/42. [22] . Liqoat al-Baab al-Maftuuh, Juz 222/36. [23] . Yang aneh, justru beliau sangat heran dengan perkataan ini. "Bagaimana mungkin wasail (sarana) dakwah itu tauqifiyyah??, bahkan beliau menegaskan, tinggalkan semua apa yang diucapkan (seputar wasilah dakwah) oleh "mereka-mereka" itu (beliau sangat paham siapa yang kami maksudkan dalam pertanyaan ini. Padahal, yang kami sebutkan dalam pertanyaan tersebut adalah "ba'dhul ikhwah" atau sebagian ikhwah). Lalu beliau menambahkan, "Apa yang mereka katakan tentang fatwa Lajnah Daimah? Demikian pula dengan fatwa Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin??, yang jelas mereka menyatakan bahwa wasaail ad-Dakwah itu Ijtihadiy??". (Pertanyaan ini kami ajukan pada beliau malam jum'at tanggal 11/02/2010 M, saat pertemuan antara beliau dengan para asatizah WI di kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar). Pendapat ini dikatakan pula oleh Samahatus Syaikh al Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. (Lihat: Qawaid Al Wasa-il Fisy Syariah Al Islamiyyah, hal 318, catatan kaki no. 2) [24] . Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam Mufradat-nya, hal. 195. [25] .Lihat Tafsir al-Baidhawy, I/8. Dari definisi yang disinggung Ar-Roghib dan AlBaidhowy sangat jelas menunjukkan, bahwa tarbiyah harus dilakukan secara berproses dan bertahap atau dengan istilah yang lazim kita gunakan, yakni secara bermarhalah. [26] . Lihat: Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Abdur Rahman an-Nahlawy, h. 13. [27] . Lihat: Madarij as-Salikin, III/306. [28] . Sebab, istilah ilmu itu jika dimutlakkan maka ia bermakna ilmu ad-dien atau ilmu agama. [29] . Lihat: Kitab al-Ilmi, I/162. [30] . Perlu pembaca sekalian ketahui, bahwa pembagian marhalah menjadi 3 tingkatan ini merupakan pembagian yang baru setelah sebelumnya pembagian tersebut ada 4 tingkatan, yakni sebelumnya ada tingkatan Tamhidiyyah. Dan ini sangat menguatkan, bahwa pembagian-pembagian tersebut hanya sebagai sarana dan wasilah untuk memudahkan proses talaqqi ilmu Syar'i, dan bukan sesuatu yang baku, kaku atau untuk maksud ta'abbud, alHamdulilah.

[31] . Lihat: Shohih al-Bukhori, bab: al-Ilmu Qobl al-Qouli wa al-'Amali, lihat pula: Tafsir al-Qurthubi, IV/122. Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: "Maksud shigarul ilmi (ilmu-ilmu yang kecil) adalah ilmu yang telah jelas masalah-masalah (hukum)nya. Sedangkan kibarul ilmi (ilmu-ilmu yang besar) adalah ilmu yang lebih pelik (hukum-hukum) darinya". (Lihat: Fath al-Bari, I/162). [32] . HR. Bukhari dan Muslim. [33] . Riwayat Bukhari. [34] . Kitabut Tauhid, bab ad-Da'watu ila as-Syahadah. [35] . Lihat: Hilyah Tholibil 'Ilmi, hal : 12. [36] . Lihat : Hilyah Thalabil Ilmi, hal. 13. [37] Beliau adalah guru besar dari seluruh para masyayikh besar Saudi kontemporer dan Mufti Aam kerajaan Saudi Arabia sebelum Samahatus Syaikh Abdul Aziz rahmihullah [38] . Lihat: Majmu'ah Muhammad al-Munajjid, Mawaaqif Tarbawiyah Muattsirah min Siyar al-Ulama, Juz 33/29. al-Maktabah al-Syamilah. [39] . Nash pertanyaannya: "Fadhilatus Syaikh, menyambung pertanyaan Ust.. seputar masalah Tarbiyah tadi, maka kami ingin tambahkan satu hal, bahwa program Tarbiyah kami (WI) tersebut dibuat dalam bentuk marhalah-marhalah (berjenjang) yang tentunya untuk memudahkan dalam penyampaian ilmu tersebut, apa hukum marhalah-marhalah tersebut, ya Syaikh?". Beliau hafidzahullah menjawab: "Pembagian marhalah-marhalah tersebut mathlub (dituntut), bahkan terkadang sampai pada hukum wajib.". (Rekaman ada pada kami, dan pertanyaan ini diajukan pada beliau pada malam sabtu 12/02/2010 M, saat pertemuan khusus beliau dengan para asatidzah WI di kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar). [40] . Lihat: Liqoat al-Baab al-Maftuh, 173/15. [41] . HR. Bukhari dari sahabat Utsman bin Affan radhiallahu anhu. [42] . HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu. [43] . at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur'an, hal. 103. [44] . Fatawa al-Kubra, V/345. [45] . Fatawa Lajnah Da-imah, IV/118. [46] . Dan ini pula yang kami dan para asatidzah dapatkan di Jami'ah-Jami'ah Islamiyah, baik Jami'ah Islam Madinah al-Munawwarah atau Ma'had al-Ulum al-Islamiyah wal 'Arabiyah (LIPIA) Jakarta. Bahwa dalam setiap semester mahasiswa diwajibkan menghapal 1 juz al-Qur'an dan dimulai dari surah al-Baqarah.

[47] . HR. Ahmad, al-Musnad 1/356. al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman, no: 1998, beliau berkata: Imam al-Hakim berkata: Sanad hadits ini shohih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 7/155. al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, 4/435. Berkata peneliti kitab At Tadzkirah Fii Ahwal al-Mauta wa al-Akhirat: Hasan mauquf. [48] . HR. Imam Ahmad, al Fath al-Rabbani 18/7. Abu Daud, no: 1464. al-Tirmidzi, no: 2914. Ibnu Majah, no: 2780. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan al-Hakim, 1/553. Disepakati oleh al-Hafidz al-Dzahabi dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohih al-Jami, no: 8121. [49] . Persoalan ini (sesuai dengan apa yang tertera pada poin kedua tersebut di atas) telah kami tanyakan langsung kepada Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz alJibrin hafidzahullah pada malam sabtu, 12/02/2010 M, dalam pertemuan beliau dengan para asatidzah WI di kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar, setelah dijelaskan secara terperinci tentang hal-hal yang berkaitan tentang masalah Mabit, maka beliau menjawab: "Ini merupakan sesuatu yang sangat baik". (Rekaman tanya jawab ada pada kami, alhamdulillah). [50] . HR. Imam at-Tirmidzi, dan beliau berkata: Hadits ini Hasan Shahih. [51] . Majmu' Fatawa wa Rasaail Ibni Utsaimin, XX/128-129. [52] . HR. Bukhari dan Muslim. [53] . Lihat: al-Madkhal Ila as-Sunan al-Kubra Li al-Baihaqi, I/429. [54] . Lihat: al-Tidzkar, al-Qurthubi, hal. 25. [55]. Mungkin mabit bidah yang dimaksudkan adalah ketika di dalamnya terdapat beberapa amalan mungkar dan bidah, seperti bercampur baur antara laki-laki dan perempuan atau adanya acara renungan / muhasabah yang kadang direkayasa agar semua peserta menangis secara bersama-sama, wallahu alam [56] . Hal ini ditanyakan kepada beliau pada malam Sabtu, 12/2/2010, di kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar saat pertemuan beliau dengan para asatidzah WI. (Rekaman ada pada kami). [57] . HR. Abu Daud. [58]. Atsar ini juga diriwayatkan Tirmidzi dan Abu Daud secara marfu namun sanadnya lemah, tapi makna dari atsar ini didukung oleh nash-nash yang banyak, lihat : Fatawa AlLajnah Ad-Daimah no. 21010, Maktabah Asy Syamilah 26/357 [59] . Untuk lebih jelasnya, yakni sikap kami terhadap gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, silahkan simak artikel "Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at". [60] . Diriwayatkan Bukhari. [61] . Diriwayatkan Muslim.

[62] . Lihat: al-Qaul al-Mufid, I/34. [63] . Lihat: Liqoaat al-Baab al-Maftuh, 21/16.

SIAPA BILANG NISBAH PADA AS-SALAFIY DAN ALATSARIY TERLARANG ??


Catatan Penting Terhadap Tulisan Ust. Abdul Qadir yang berjudul: " Terlarangkah Memakai Nisbah As-Salafiy atau Al-Atsariy ??"

Segala puji bagi Allah Ta'ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas junjungan kita Nabi besar Muhammad, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.

Sebagai pembuka, kami nukil sebuah hikmah yang masyhur beredar dan dihapalkan oleh kalangan thullabul ilmi, yakni fahmu as-suaal nishfu al-jawab, artinya memahami pertanyaan dengan baik dikategorikan sebagai setengah dari jawaban. Termasuk dalam memahami perkataan seseorang merupakan setengah dari jawaban yang hendak dilontarkan.

Berangkat dari hikmah ini, kami berhasrat menjawab goretan tulisan Ust. Abdul Qadir sekaligus mengingatkan tentang hikmah tersebut. Bahwa alangkah lebih bijak seseorang itu memahami dengan baik perkataan atau tulisan orang lain terlebih dahulu, baru kemudian melemparkan jawaban. Hal ini agar terjalin singkronisasi antara jawaban dan yang hendak dijawab. Hingga tidak asal bunyi. Apalagi jika sampai menyebabkan kita berlaku zalim serta berdusta terhadap orang lain.

Pembaca budiman, menyimak tulisan Ust. Abdul Qadir yang judulnya tertera di atas, sungguh membuat kami miris. Tulisan tersebut tidak hanya sebatas penjelasan bolehnya at-tasammi (menggunakan sebagai nama) istilah as-Salafiy dan al-Atsariy, namun lebih dari itu sarat pula hujatan dan tuduhan sebagai karakter

dan perangai unik kelompok "salafy". Seolah tidak ada lagi kebenaran di kolong bumi ini melainkan hanya milik mereka dan kelompoknya semata. Duhai, seandainya ia cukupkan artikelnya dengan penjelasan tentang at-tasammi tersebut, sungguh merupakan kebaikan yang melimpah. Wallahul musta'an.

Kami tegaskan, dan semoga Ust. Abdul Qadir memahami dengan baik, agar supaya tidak lantas menghamburkan energi dan waktu menukil begitu banyak aqwal para ulama tentang intisab pada manhaj Salaf, serta penyematan nama dengan istilah as-Salafy, bahwa siapa yang bilang tidak boleh berintisab sembari menyematkan di belakang nama istilah as-Salafy dan al-Atsariy??.

Olehnya sebagai jawaban terhadap tulisannya, kami membagi Artikel ini menjadi dua bagian, Pertama: Penegasan akan mauqif (sikap) kami terhadap masalah at-Tasammi (penamaan) dengan as-Salafiy dan al-Atsariy. Kedua: Jawaban terhadap syubhat dan tudingan yang dilemparkan oleh Ust. Abdul Qadir. Mauqif (sikap) kami terhadap masalah at-tasammi dengan as-Salafiy dan al-Atsariy. Ikhwah fillah, dikarenakan Ust. Abdul Qadir telah menukilkan lebih dari cukup aqwal para ulama tentang intisab dengan manhaj salaf serta at-tasammi dengannya Jazahullahu Khairan-, maka kami pandang tidak perlu mengulang paparan tersebut, sebab pada dasarnya yang dikemukakan oleh al-Ustadz tersebut, selaras dengan apa yang kami yakini dan percaya.

Namun, kami anggap perlu menjabarkan lebih rinci akan mauqif (sikap) kami terhadap at-tasammi (penamaan) as-Salafiy dan al-Atsariy, agar tidak keliru memahami halhal yang berkaitan dengan masalah at-tasammi ini. Maka Billahit Taufiq kami katakan, sekurangnya terdapat tiga perkara yang patut diperhatikan: (1). Masyru'iyah menggunakan nama as-Salafy, al-Atsariy dan selainnya. (2). Sejauh mana kebenaran ilzam (keharusan) bagi penamaan tersebut. (3) Bolehkah mengingkari orang yang tidak memandang perlu attasammi dangan istilah as-Salafy, al-Atsariy dan selainnya .

Pertama, berkaitan dengan syari'at menggunakan nama as-Salafy dan selainnya. Dalam tataran kaidah, lafadz ini yakni as-Salafiy- tergolong lafadz-lafadz baru yang datang kemudian dan sifatnya muhtamal. Ia tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam, demikian pula zaman shahabat yang mulia. Karenanya, masuk dalam kaidah masyhur: "Bahwa Lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan (muhtamal), perkara diterima atau ditolaknya terkait erat dengan apa yang dikandung olehnya berupa kebenaran dan kebatilan". Makanya jika lafadz muhtamal tersebut mengandung makna kebenaran maka diterima, sedang jika tidak maka tertolak.

Dalam persoalan istilah as-Salafy, khususnya belakangan ini, nampak bahwa ia merupakan tanda bagi mereka yang beriltizam terhadap manhaj Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat dan tabi'in dalam tataran syari' diniyah. Lebih khusus lagi, ia sebagai tanda bagi intisab pada ahli hadits dan ahli atsar dalam masalah akidah, utamanya persoalan al-asma' wa as-shifat yang santer terjadi perbedaan persepsi dalam interpretasi ayat dan hadits tentang shifat di kalangan umat Islam.

Sebagai pembuktian, jika diarahkan pada seorang tertentu bahwa ia adalah salafy, maka yang terbetik dalam pikiran adalah urusan akidah utamanya asma' wa as-shifat, kendati kadang terkandung pula padanya perkara-perkara lain. Namun urusan inilah yang menjadi asal dan pokok

Hal ini berlaku pula pada penamaan-penamaan lain, seperti at-Tabligh, al-Ikhwan dan sebagainya. Dan bukan merupakan petunjuk salafussalih mempermasalahkan (membicarakan) sekitar musthalahat (istilah) semata. Hanya saja, yang menjadi pokok bagi mereka adalah subtansi dari istilah tersebut, apakah mengandung kebenaran atau kebatilan. Sebagai pendekatan, perhatikan firman Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina",[1] tetapi Katakanlah: "Unzhurna". (Qs. Al-Baqarah : 104).

Dalam ayat ini, Allah Ta'ala mencegah orang-orang beriman mengucapkan kata raa'inaa, lantaran apa yang terkandung dalam lafadz, berupa ihtimal (kemungkinan) digunakan oleh kaum Yahudi, dimana mereka sengaja menyembunyikan maksud yang inginkan (sebenarnya) dari kata ini, yakni Ru'uunah yang berarti sangat bodoh, sebagai olokolokan bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam, padahal (hukum) asal lafadz ini tidak mengapa.

Olehnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah- dalam banyak tempat menjelaskan penolakan Ahlus Sunnah terhadap lafadz al-Jihah dan selainnya (dalam masalah asma' wa as-sifat), lantaran lafadz tersebut mengandung makna muhtamal (lebih dari satu kemungkinan), jika tidak berhati-hati padanya akan menyebabkan seorang terjerembab dalam kebatilan tanpa disadari, dan hal ini telah terjadi. Akan tetapi, pada waktu yang sama, Ahlu Sunnah menjelaskan alasan penolakannya tersebut kepada kelompok-kelompok lain, kapan istilah-istilah itu diterima dan kapan ditolak.[2]

Maka dari sini, tidak ada pengingkaran terhadap orang yang beriltizam dengan manhaj as-salafy, serta menggunakan nama Salafy, khususnya saat merebak seruan-seruan batil yang menyelisihi manhaj yang lurus ini. Tidak ada halangan berintisab pada nama as-Salafy, dengan memandang apa yang digunakan sebagai sandarannya. Sebab, kadang para imam pun berintisab dan menggunakan nama asy-Syafi'iy, al-Hambaliy, al-Malikiy, al-Hanafiy, adz-

Dzahiriy dan selainnya, dan tidak pernah kita saksikan seorang pun dari ulama yang mengingkari nisbat tersebut.

Jika nisbat pada seseorang dan ijtihadnya dibolehkan, dan para imam-imam tidak memandang sebagai sebuah masalah, maka memakai nama dengan istilah penyandaran diri pada manhaj Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan para pengikutnya dari kalangan shahabat dan tabi'in, lebih utama dalam hal kebolehan. Bahkan boleh saja ia menjadi sebuah keharusan bagi seseorang, utamanya pada waktu-waktu nampaknya fitnah dan minimnya jumlah ahlus sunnah yang menzahirkan sunnah. Tujuannya untuk menjelaskan bahwa dirinya termasuk bagian di dalamnya. Dan hendaknya ia menyampaikan bahwa dirinya Salafiy, agar manusia mengetahui salafiyah dari selainnya berupa manhaj-manhaj yang salah dan batil. Bahkan Ibnu Taimiyah rahimahullah meriwayatkan akan kesepakatan menerima demikian, beliau mengungkapkan: "Bukan merupakan aib bagi seorang yang menampakkan mazhab salaf dan berintisab padanya, bahkan wajib untuk menerima demikian menurut konsensus. Sungguh tidaklah mazhab salaf itu melainkan kebenaran".[3]

Intinya, tidak mengapa menggunakan nama dengan istilah as-Salafiy, jika maknanya mengarah pada nisbat terhadap apa yang ada pada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para shahabat-nya. Namun dengan satu ketentuan, pengakuan terhadap nama tersebut harus seiring dengan realita penggunanya. Sebab dikhawatirkan jangan sampai ia hanya sekedar tazkiyah bagi diri yang merupakan perbuatan tercela, sebagaimana dijelaskan para ulama mu'tabar. Adapun jika istilah as-Salafiy tersebut diarahkan pada makna penolakan terhadap sebagian besar shifat-shifat Allah Ta'ala sebagaimana penisbatan kalangan Asya'irah dan Maturidiyah terhadap salaf (untuk makna tersebut), maka jelas istilah ini tertolak.

Kedua, Masalah keharusan seseorang menggunakan nama tersebut, maka yang menjadi sikap kami (team al-Inshof) Wallahu Ta'ala A'lam-, bahwa tidak didapatkan dari ahli sunnah wal jama'ah, pengharusan (ilzam) terhadap nama-nama dan istilah tersebut, khususnya istilah as-Salafy yang merupakan istilah lughawi dan mengandung ihtimal (kemungkinan) lebih dari sekedar intisab terhadap sunnah Nabi shalllallahu alaihi wasallam sebagaimana telah diketahui. Sebab kita menyaksikan pula kelompok al-Asya'irah dan alMaturidiyah juga mengaku diri sebagai Salafiy, sesuai apa yang mereka yakini (baca: klaim) berada di atas akidah yang merupakan mazhab para shahabat dan tabi'in. Olehnya, sekali lagi, dalam kondisi ini-lah yakni istilah as-Salafiy yang menurut kaum Asya'irah dan Maturidiyah bermakna manhaj yang menafikan begitu banyak shifat-shifat bagi Allah Ta'ala, yang tertolak. Sebab makna yang dikandung pada istilah tersebut adalah makna batil.

Ketiga, Adapun mengingkari orang yang tidak menggunakan nama as-Salafy, maka dapat ditinjau dari dua keadaan. 1. Keadaan pertama, orang itu tidak mengakui apa yang dikandung olehnya, dan apa yang disandarkan padanya (jika makna as-Salafiy ini diarahkan pada makna haq). Dan

kondisi pengingkaran ini bertingkat-tingkat dan bukan hanya satu derajat. Siapa yang mengingkari penamaan as-Salafiy, sebagai nisbat terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat, maka tidak ada keraguan, ia telah kufur. Namun pengingkaran yang kami maksud di sini, adalah pengingkaran yang dibangun atas syubhat pada sebagian pandangan yang keliru, khususnya belakangan ini, bahwa ia menyelisihi mashlahat dakwah dan selainnya. Dan dalam kondisi dan derajat manapun, ketiadaan pengakuan tersebut boleh diingkari dan diarahkan perkataan itu padanya. Kendati pada sebagian keadaan lebih utama jika diperkenalkan terlebih dahulu akan istilah ini untuk tujuan menegakkan hujjah, jika orang yang memandang (kebolehan menggunakan nama as-Salafiy) mengharapkan kebaikan. Sebab, kadang kala penyelisih menerima pada satu keadaan tertentu. 2. Keadaan kedua, orang itu mengakui apa yang terkandung di dalamnya dan apa yang disandarkan padanya, maka (hukum) asal tidak boleh mengingkari atasnya. Sebab tidak ada kelaziman menggunakan istilah tersebut, disamping hukum asal bagi al-wala' dan bara' menurut tingkatannya tidak terjadi melainkan hanya pada istilah syar'i, yakni Islam dan apa yang dikandung oleh istilah ini. Allah Ta'ala mengabarkan, bahwa Ia telah menamakan kita semua sebagai kaum muslimin, sebagaimana dalam firman-Nya: "Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu". (Qs. Al-Hajj : 78). Olehnya tidak boleh memberi wala' dan permusuhan pada selain (nama) ini. Berkaitan dengan poin ini, kami nukilkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah- dalam Majmu' al-Fatawa sekalipun agak panjang, agar jelas maksud yang kami harapkan darinya. Beliau rahimahullah- berkata:

"Demikian pula memecah belah umat dan menguji mereka ( imtihanun naas) pada apa yang tidak diperintahkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, seperti jika dikatakan pada seseorang: Engkau Syakiliy atau Qarfandiy; sungguh semua ini adalah nama-nama batil yang tidak pernah Allah Ta'ala turunkan. Tidak ada dalam kitab Allah, tidak pula pada sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan juga tidak pada atsar yang ma'ruf dari Salaful Ummah, yakni Syakiliy dan tidak pula Qarfandiy. Dan wajib atas setiap muslim, jika ditanya tentang demikian untuk menjawab: Aku bukan Syakily dan bukan pula Qarfandiy, namun aku adalah seorang muslim yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.[4]

Telah kami riwayatkan dari Mu'awiyah bin Abi Sofyan radhiallahu anhu-, bahwa ia pernah bertanya pada Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma-: "Engkau berada di atas millah (kelompok) Ali atau millah Utsman? Maka Ibnu Abbas menjawab: "Aku bukan berada pada millah Ali dan bukan pula millah Utsman, namun aku berada di atas millah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam". Demikian pula keadaan setiap dari kalangan salaf, mereka berkata: "Seluruh ahwa' (hawa nafsu) berada dalam neraka", juga perkataan seorang dari mereka: "Aku tidak perduli (tidak tahu) nikmat manakah yang paling besar? Nikmat Allah Ta'ala memberiku petunjuk pada Islam atau nikmat Ia selamatkan daku dari al-ahwa'", Dan Allah Ta'ala menamakan kita dalam al-Qur'an: Kaum muslimin, mu'minin, dan Ibadullah (hamba Allah). Olehnya, tidak boleh berpaling dari nama-nama yang Allah Ta'ala berikan

pada kita kepada nama-nama yang diada-adakan oleh suatu kaum yang mereka namakan untuk diri dan bapak-bapak mereka-, padahal tidak pernah diturukan oleh Allah Ta'ala.

Bahkan nama-nama yang kadang boleh digunakan, seperti intisab pada salah satu Imam, contohnya al-Hanafy, al-Malikiy, al-Syafi'iy, al-Hambaliy, atau (nisbat) pada salah seorang syaikh, seperti al-Qadiriy, al-'Adawiy dan selainnya, atau seperti intisab pada kabilah, misalnya al-Qaisiy, al-Yamaniy, atau kepada kota seperti as-Syamiy, al-Iraqiy, dan al-Mishriy, maka tidak boleh bagi siapapun dari mereka untuk menguji manusia terhadapnya. Tidak boleh pula menetapkan wala' dan permusuhan atas landasan nama-nama tersebut.[5] Sebab makhluk yang paling mulia di sisi Allah Ta'ala adalah siapa yang paling bertaqwa, dari kelompok manapun ia berada.

Beliau rahimahullah menambahkan: "Dan Allah Ta'ala mewajibkan al-muwalat (memberi wala') kepada orang-orang beriman, serta mewajibkan pula permusuhan terhadap orang-orang kafir. Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan merekaBarangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang". (Qs: al-Maidah : 52-56).

Allah Ta'ala juga mengabarkan, bahwa wali (penolong) bagi kaum mukminin itu adalah Allah, Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan ini berlaku umum bagi setiap orang yang beriman dan disifatkan dengan sifat iman tersebut, baik ia berintisab dengan negeri, mazhab tariqah tertentu atau tidak. Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain". (Qs. At-Taubah : 71). Firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga)". (Qs. Al-Anfal : 52-52).

Dalam Shahih, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda: "Perumpamaan orang beriman dalam kecintaan, kasih sayang, dan lemah lembut seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit maka akan menyebabkan seluruh anggota tubuh lainnya merasakan demam dan sush tidur". Juga sabda beliau: "Orang beriman dengan orang beriman yang lain seperti satu bangunan, dimana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain". Beliau bersabda pula: "Demi yang jiwaku berada ditanganNya, tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". Beliau bersabda: "Seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan menyerahkannya (pada musuh) dan tidak pula menzaliminya". Dan masih banyak lagi.

Allah Ta'ala dalam ayat dan hadits di atas, menjadikan hamba-hamba-Nya yang beriman itu sebagiannya penolong bagi sebagian lain. Menjadikan bagi mereka persaudaraan, saling menolong, berkasih sayang dan bersikap lemah lembut. Demikian pula, Allah Ta'ala memerintahkan untuk bersatu dan mencegah dari perpecahan dan perselisihan. Allah berfirman: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai". (Qs. Ali Imran : 103). Juga firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan[525], tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka". (Qs. Al-Maidah : 159).

Dari sini, mana mungkin dibolehkan perpecahan dan perselisihan pada Umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dimana seorang memberi wala' kepada satu kelompok serta mengarahkan permusuhan terhadap kelompok lain berdasarkan persangkaan dan hawa nafsu, dan bukan petunjuk dari Allah Ta'ala? Sungguh Allah Ta'ala telah melepaskan (menyelamatkan) Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dari orang yang demikian.

Dan ini adalah perbuatan para ahli bid'ah, semisal Khawarij yang telah memecah belah jama'ah kaum muslimin serta menghalalkan darah orang yang menyelisihi mereka. Adapun Ahlu Sunnah wal Jama'ah, maka mereka senantiasa berpegang teguh pada tali Allah. Dan yang paling minimal dari demikian (perbuatan ahli bid'ah yang memecah kaum muslimin) adalah mengutamakan seseorang yang sejalan dengan hawa nafsunya, kendati selain (yang dia utamakan) itu lebih bertakwa darinya.

Hanyasaja yang wajib adalah mengedepankan orang yang diutamakan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta mengakhirkan orang yang diakhirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta membenci apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Melarang apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya serta meridhai apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan hendaklah kaum muslimin itu bergandengan tangan. Maka bagaimana (keadaannya) jika telah sampai pada perkara sebagian manusia menyesatkan dan mengkafirkan selainnya, padahal boleh saja kebenaran itu bersama orang yang disesatkan dan dikafirkan, dan lebih sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah?

Jika sekiranya saudaranya sesama muslim terjatuh dalam kesalahan dalam perkara agama lantaran lupa, maka tidak setiap yang jatuh dalam kesalahan itu otomatis menjadi kafir atau fasik. Bahkan Allah Ta'ala telah mengampuni bagi umat ini segala kekeliruan yang terjadi lantaran lupa. Allah Ta'ala menyatakan dalam kitab-Nya tentang doa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan orang-orang beriman: "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah". (Qs. Al-Baqarah : 286). Dan dalam as-Shahih dinyatakan, bahwa Allah Ta'ala berfirman saat itu: "Sungguh aku telah lakukan".

Apalagi, kadang orang yang sepakat dengan kalian dalam sesuatu yang khusus dalam ajaran Islam, misalnya sejalan dalam mazhab Syafi'i, atau sama-sama berintisab dengan Syaikh 'Adawy, lalu setelah itu ia menyelisihi pada sesuatu, dan boleh jadi kebenaran itu ada padanya. Maka bagaimana boleh seseorang itu kemudian berani menghalalkan kehormatan, darah dan hartanya?? Padahal telah jelas apa yang Allah sebutkan berupa hak-hak seorang muslim dan mukmin?!

Bagaimana boleh mengadakan perpecahan bagi umat dengan nama-nama bid'ah yang tidak ada asalnya baik dalam al-Qur'an dan tidak pula dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Perpecahan yang terjadi dalam umat -baik kalangan ulama, masyaikh dan kibar- inilah yang menyebabkan penguasaan musuh atas mereka. Yang demikian lantaran mereka meninggalkan amal ketaatan pada Allah, sebagaiman firman Allah Ta'ala: "Dan diantara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya Kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah Kami ambil Perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; Maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian". (Qs. Al-Maidah : 14).

Olehnya kapan saja manusia meninggalkan sebagian apa yang diperintahkan Allah, mereka akan terjatuh dalam permusuhan dan kebencian. Dan jika terjadi perpecahan, mereka akan rusak dan binasa. Sebaliknya jika bersatu, mereka akan baik dan berkuasa. Sungguh berjama'ah (bersatu) itu rahmat dan berpecah belah itu azab. Selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah-.[6] Jawaban terhadap beberapa syubhat dan tuduhan yang dilemparkan oleh Ust. Abdul Qadir. Pada dasarnya kami tidak mempersoalkan hujjah dan dalil Ust. Abdul Qadir yang diketengahkan dalam artikelnya, sebab demikianlah yang selama ini kami yakini dan percaya. Olehnya, dalam catatan ini kami hanya menjawab beberapa tudingan dan syubhat yang ia bidikkan. "Diantara orang yang menganggap tidak bolehnya menggunakan istilah salafiy atau atsariy adalah seorang yang melantik dan men-tazkiyah dirinya sebagai "Pengamat Dakwah", ia dilahirkan dengan Muhammad Ihsan Zainuddin, dan Penulis majhul risalah "Silsilah

Pembelaan Ulama dan Duat". Demikian pula jamaah yang ia bela, yakni Wahdah Islamiyah juga berpandangan sama. [Lihat Gerakan Salafi Modern di Indonesia, oleh Muhammad Ihsan Zainuddin. Tulisan ini dimuat di website resmi WI".

Jawaban:

Ini adalah tuduhan Ust. Abdul Qadir terhadap artikel kami " Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at". Begitu entengnya ia menuding, bahwa kami menganggap tidak boleh menggunakan istilah as-Salafy dan al-Atsariy. Sungguh merupakan kedustaan atas nama kami (team al-Inshof). Dan kami secara terbuka menantang Ust. Abdul Qadir menunjukkan dalam tulisan kami tersebut adanya pelarangan atau ungkapan tidak boleh menyematkan istilah as-Salafy atau al-Atsariy pada nama!!

Perhatikan ungkapan kami dalam artikel tersebut: "Perlu diperhatikan, kami tidak mengingkari secara mutlak kebolehan ber-intisab kepada manhaj salaf dengan memperindah nama kita melalui bubuhan kalimat as-salafy atau al-atsary di belakangnya, karena telah jelas perkataan ulama tentang hal ini. Yang kami ingkari adalah jika ternyata tidak ada korelasi antara intisab kita terhadap manhaj salaf dengan realita diri, baik dalam hal aqidah, ibadah, mu'amalah ataupun akhlaq. Sebab, ibroh terpenting adalah ketetapan kita terhadap manhaj yang shohih ini, dan bukan sekedar intisab (baca: pengakuan)".[7]

Jelas sekali dalam kalimat di atas, bahwa kami alhamdulillah- tidak pernah mengingkari intisab tersebut. Hanyasaja yang kami ingkari adalah, jika tenyata tidak ada korelasi antara nama dan yang dinamai. Dan inilah yang diisyaratkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahli Sunnah. Diantaranya fatwa Fadhilatus Syaikh al-Fauzan -hafidzahullah-: "Menggunakan nama As-Salafiyah[8] jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa. Adapun jika hanya sekedar pengakuan, maka tidak ... tidak boleh baginya memakai nama As-Salafiyah,[9] sedang ia bukan di atas manhaj Salaf.".[10] Juga fatwa Samahatus Syaikh al-Allamah Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullahMufti 'Aam Saudi Arabiyah: "Adapun perkataan seseorang, saya salafy, saya salafy ini dan saya salafy itu, maka gelar-gelar seperti ini merupakan pujian bagi diri sendiri, dan ini adalah sesuatu yang tidak pantas, sebab semestinya yang menjadi bukti adalah amalan. Adapun jika sekedar pengakuan dan pernyataan bahwa saya telah mendapat pujian dari fulan (atau tazkiyah) dari fulan, maka ini sama sekali tidak bermanfaat baginya. Tidak ada yang bermanfaat bagi anda kecuali amalan anda, keistiqomahan serta manhaj anda yang benar. Allah Ta'ala berfirman: Dan sesungguhnya inilah jalanku, maka ikutilah dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang menjadikan kalian berpecah-belah dari jalanNya...".[11]

Demikian pula Fatwa Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdullah bin Abdul Aziz Baz rahimahullah- yang dinukil oleh Ust. Abdul Qadir dari buku BSDS: "Sebenarnya menisbatkan diri kepada kepada julukan-julukan seperti ini (salafi, atsari) bukan termasuk simbol syariat, bukan mengaku semaunya atau hanya klaim. Itu saja tak cukup. Akan tetapi, pengakuan itu butuh kepada realisasi dan bukti amal perbuatan. Merealisasikan sifat-sifatnya yang telah diperintahkan dan melaksanakan kewajibankewajiban merupakan tuntutan penisbatan diri kepada julukan-julukan tersebut". Karenanya, jika pengakuan dan intisab pada manhaj Salaf tidak disertai dengan realita dan bukti nyata berupa amal-amal terpuji menurut al-kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafussalih, maka itu sama artinya tazkiyah bagi diri yang sebenarnya tidak pantas untuknya. Dan ini termasuk perbuatan tercela menurut keterangan ulama mu'tabar.

Apalagi jika kemudian penamaan diri (at-tasammi) tersebut (dengan nama apa saja baik itu as-Salafiy, as-Syafi'iy, al-Hambaliy, al-Hanafiy, dan selainnya) untuk tujuan tahazzub, ta'asshub dan memecah belah umat. Hal ini telah diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, setelah menyebutkan secara panjang lebar akan masalah at-tasammi tersebut: "Maka bagaimana boleh mengadakan perpecahan bagi umat dengan nama-nama bid'ah yang tidak ada asalnya baik dalam al-Qur'an dan tidak pula dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?[12]

Demikian pula sangat jelas kami paparkan untaian mutiara dari Fadhilatus Syaikh Al Allamah Abdullah al-Ghunaiman mantan guru besar Universitas Islam Madinah dan mesjid Nabawi, dalam tulisan beliau yang berjudul "al-Hawa wa Atsaruhu fi al-Khilaf", kala berkata: "Kendati penyebutan "salafy" ada atsar yang menopangnya, dalam arti orang yang mengikuti jalan para shahabat, namun jika ia digunakan untuk tujuan ta'asshub atau fanatik terhadap satu kelompok tertentu, maka ia dibenci oleh syari'at. Beliau -hafidzahullah- melanjutkan: "Disebutkan dalam sirah, pada salah satu perang Nabi shallallahu alaihi wasallam, terjadi sengketa antara dua orang pemuda, yang satu berasal dari golongan Muhajirin dan lainnya dari golongan Anshar. Lalu pemuda Muhajirin itu berseru: "Wahai Kaum Muhajirin!!", sang pemuda Anshar-pun berteriak: "Wahai kaum Anshar!!". Mendengar hal tersebut, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersegera keluar seraya berkata: "Ada apa ini, (ini adalah) seruan ahli Jahiliyah!!, tinggalkanlah, sebab ia tercela".[13] Padahal, kedua nama ini (yakni Muhajirin dan Anshar) disebutkan dalam alQur'an, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, tatkala ia digunakan untuk tujuan ta'asshub, maka ia menjadi sebuah perbuatan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa seruan ini tercela sebab ia mengajak pada perpecahan dan perselisihan. Demikian pula yang terjadi pada diri Salman al-Farisi saat perang Uhud ketika melempar salah seorang dari kaum musyrikin seraya berseru lantang: "Rasakan, Aku ini farisy (orang Persia)". Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda padanya: "Katakanlah, dan saya seorang muslim!".[14]

Olehnya, sekali lagi kami katakan bahwa ini merupakan tuduhan yang dibangun atas sangka buruk dan sikap apriori. Alangkah lebih baiknya, jika dalam memahami perkataan dan tulisan seseorang dimulai dengan niat mencari kebenaran dan bukan untuk mengais-ngais kekeliruan dan kesalahan yang ada padanya.

"Maka perlu kami jelaskan bahwa menyatakan diri sebagai salafiy atau atsariy, bukanlah penyucian diri, tapi ia merupakan bentuk tamyiz dan tafriq (pembedaan) jati diri Ahlus Sunnah dengan ahli bidah sebagaimana hal boleh bagi kita menyatakan bahwa kita adalah muslim dan mukmin, bahkan boleh kita cantumkan dalam KTP kita. Ini bukan tazkiyah, walapun maknanya muslim adalah orang yang berserah diri, dan mukmin adalah orang beriman".

Jawaban: 1. Kami sepakat, bahwa penamaan dengan as-Salafy bukan bentuk penyucian diri, jika memang penamaan tersebut sesuai realita sebenarnya. 2. Demikian pula kami sepakat jika penamaan tersebut untuk membedakan antara Ahli Sunnah dengan Ahli Bid'ah. Namun yang menjadi persoalan, makna "Ahli Bid'ah" menurut Ust. Abdul Qadir dan kelompoknya yang masih bermasalah. Sebab Ahli Bid'ah di sini lebih pada kelompok-kelompok Ahli Sunnah selain kelompoknya, atau kelompok Ahli Sunnah lain yang telah mereka "eliminasi" seenaknya dari barisan Ahli Sunnah. Perhatikan catatan kaki no. 4 artikel Ust. Abdul Qadir yang jelas-jelas menta'yin kelompok-kelompok mana saja yang tidak mungkin bergabung dengan "Ahli Sunnah"nya. Karenanya kami katakan, bahwa penamaan mereka dengan istilah as-Salafiy bukan lagi untuk membedakan mereka dengan Syi'ah, JIL, Mu'tazilah, Khawarij, Ahmadiyah dan sebagainya. Namun lebih pada pembeda kelompoknya dengan kelompok Ahlu Sunnah lainnya. Sebagai tambahan faidah, perhatikan pada catatan kaki ini (no. 4), Ust. Abdul Qadir menulis: Ahlus Sunnah (baca: Salafiyyun). Kami tidak tahu maksud sebenarnya dari hal ini (yakni, isyarat untuk membaca yang ada dalam kurun). Namun yang nampak di sini bagi kami ada dua hal. Pertama, ia masih mengakui kelompok-kelompok yang ia sebutkan satu persatu sebagai Ahlus Sunnah hingga perlu ia khususkan kelompoknya dengan kalimat Salafiyyun. Kedua, Ini mempertegas, bahwa kelompoknya adalah bagian kecil dari barisan Ahlus Sunnah yang ingin tampil beda hingga enggan bersatu dengan barisan Ahlus Sunnah lainnya. Wallahu A'lam. 3. Penyamaan antara penyebutan as-Salafy dengan Muslim dan Mukmin, perlu ditinjau ulang. Bagaimana mungkin menyamakan antara nama-nama Syar'i (yakni Mukmin dan Muslim) dengan nama yang baru dikenal kemudian??! Penisbatan diri dengan asSalafiy tidak dikenal pada zaman nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat ridwanullah 'alaihim, sedangkan Muslim dan Mukmin telah ada, digunakan bahkan disyariatkan. "Inilah beberapa nukilan dan pernyataan ulama-ulama tentang bolehnya seseorang menamakan diri dengan salafiy atau atsariy, jika pengakuannya sesuai dengan realita

dirinya. Adapun jika tak sesuai, maka kami juga tahu bahwa itu tak boleh, seperti pengakuan sebagian hizbiyyun pada hari ini bahwa mereka juga bermanhaj salaf alias salafiy. Walaupun ia malu-malu dan enggan menyebut dirinya sebagai "salafiy".

Jawaban: 1. Ust. Abdul Qadir pun sama mengakui, bahwa jika penamaan diri dengan as-Salafiy tidak sesuai realita sebenarnya, maka itu tidak boleh. 2. Alhamdulillah sang "tertuduh hizbiyyun" tidak pernah malu mengatakan "Ana Salafiy", "Ana berjalan di atas manhaj Salaf". Dan sebagainya. Bahkan yang "tertuduh hizbiyyun" pun menjadikan materi utama daurah-daurah mereka, al-Wajiz Fii Manhaj as-Salaf, ("Garis-Garis Besar Manhaj Salaf"). 3. Namun yang membedakan sang "tertuduh hizbiyyun" dan yang menuduh, sang tertuduh masih tahu diri agar tidak terlalu maghrur (tertipu) dengan penampilan zahir, hingga besar kepala menyematkan "gelar" as-Salafiy atau al-Atsariy di belakang nama mereka. Kami tidak tahu, apakah mereka juga menuding Kibarul Ulama semisal Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh al-Utsaimin, Syaikh al-Albany[15], Syaikh Bakr Abu Zaid dan masih banyak lagi yang tidak menyematkan "gelar" tersebut di belakang nama mereka, juga karena masih "malu-malu". Sebab, lazimul kalam berindikasi ke sana. Dan semoga Allah merahmati seorang yang tahu kapasitas dirinya.

Demikian pula, di Makassar ada kelompok dawah yang mulai mengaku sebagai Salafiyyun pernah mengadakan demonstrasi dalam menuntut pemerintah setempat. Mereka keluar ke jalan-jalan menuntut sesuatu yang mereka maukan, tanpa malu dan tanpa memperhatikan aqidah dan manhaj salaf dalam bermuamalah dengan penguasa, serta tidak lagi memperhatikan adab dan akhlak islami.

Jawaban: 1. Dalam catatan kaki (no. 15) tentang point di atas, jelas Ust. Abdul Qadir mengakui bahwa kelompok "Salafy" pernah mengadakan demontrasi akbar. Tempatnya di senayan Jakarta yang dihadiri begitu banyak massa. Hingga yang tidak ikut saat itu dapat dihitung dengan jari. Adapun demo yang pernah di lakukan oleh "pengaku salafiyyun" adalah ibarat turun ke jalan dengan jumlah yang dapat dihitung dengan jari dan tidak menganggu kepetingan umum. Dan yang tidak ikut serta padanya begitu banyak dan tak bisa di hitung. 2. Demo yang dilakukan oleh kelompok "salafiy" begitu fulgar, memakai atribut militer sambil mengacung-acungkan aneka senjata tajam, dengan dalih Idzhar al-Quwwah serta dibumbuhi oleh parade-parade

3.

4.

5.

6.

7.

8.

hasil latihan militer mereka. Adapun demo yang dilakukan oleh sang "pengaku Salafiyyun" adalah demo damai, tertib, tetap menjaga adab Islami, berpakaian yang sopan dan tidak dengan mengacungacungkan aneka senjata tajam. Demo yang dilakukan oleh kelompok "salafiy" membuat orang takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka, sebab tampil dengan aneka senjata tajam, atribut militer lengkap dengan sepatu laras, ditambah wajah sangar yang hampa dari senyum persahabatan. Adapun demo sang "pengaku Salafiyyun" turun ke jalan tetap dengan kedamaian, keramahan dan tidak membuat masyarakat umum ketakutan. Demo yang dilakukan kelompok "salafy" disertai cercaan dan makian terhadap pemimpin negara saat itu Presiden Abdul Rahman Wahid, dan (kemungkinan) tidak mengantongi izin darinya (buktinya Presiden saat itu murka). Sedangkan demo sang "pengaku Salafiyyun" tetap dengan adab islami, menghormati pemerintah setempat, kosong dari cercaan dan makian serta telah mendapat izin. Demo kelompok "salafy" disertai "pengepungan" kantor DPRD dan Istana Negara dengan aneka senjata tajam. Sedang demo "pengaku salafiyyun" tidak ada "pengepungan" dan sebagainya. Demo kelompok "salafy" dikategorikan sebagai bughot (memberontak), dan yang menguatkan hal tersebut, karena mereka keluar dengan aneka senjata. Dan bughot menurut terminologi fuqaha' adalah mereka yang keluar dari ketaatan pada pemerintah dengan menggunakan senjata. Sedang demo "pengaku salafiyyun" masih sangat jauh dari kategori tersebut. "Pembangkangan" terhadap pemerintah dari para pendemo "salafy" belangsung bertahun-tahun hingga kemudian Laskar mereka digulung. Sebab sejak mula pemerintah tidak setuju dengan keberadaan mereka. Sedang demo "pengaku salafiyyun" hanya berlangsung beberapa jam saja. Ini dari sisi perbedaannya agar pembaca sekalian tahu siapa yang tidak menampakkan adab Islami, tidak tahu malu, dan bertindak lancang pada pemerintah serta siapa yang pemberontak. Adapun sisi persamaannya, kalau Ust. Abdul Qadir menyatakan bahwa para salafiyyun telah menyatakan taubat nashuha kepada Allah dan mengingkari hal tersebut, maka "pengaku salafiyyun" pun telah ruju' dari perkara tersebut. Adapun tentang diumumkannya taubat kelompok "salafy" sebab kesalahan mereka diketahui oleh seluruh masyarakat tanah air dan diliput oleh media massa baik elektronik maupun media tulis. Adapun demo "pengaku salafiyyun", tidak diketahui kecuali hanya sedikit, bukan skala nasional dan tidak diliput oleh media. Itu pertama. Perbedaan kedua, kelompok "salafy" terus mengungkit-ungkit masa lalu dari kesalahan orang lain yang tidak seberapa, sementara mereka pura-pura lupa dan masa bodo dengan masa silam mereka yang kelam. Seandainya bukan karena mereka yang mengungkit-ungkit masalah ini (lihat tuduhan ini di www.almakassari.com), sungguh kami tidak akan pernah mengangkat masa lalu yang suram mereka juga. Dan kami mohon ampun kepada Allah Ta'ala dari hal ini, jika memang dianggap sebagai kesalahan.

"Anggaplah tapi ini jauh kemungkinannya- bahwa Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullahmengingkari secara mutlak semua orang-orang yang menamai dirinya sebagai Salafiyyun atau menisbahkan diri kepada Salaf, maka kita tidak begitu saja menerima fatwa beliau, sebab ada ulama-ulama yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat".

Jawaban: Beginilah karakter saudara-saudara "salafy" kita. Hanya mengambil ucapan dan fatwa dari ulama yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka.[16] Kendati kami pun yakin bahwa para ulama adalah manusia biasa yang tidak mu'shum. Boleh saja mereka terjatuh dalam kesalahan termasuk dalam fatwanya. Maka dari sini, mungkin saja orang-orang yang mereka tuding itu menggunakan "kaidah" yang sama. Bahwa semua fatwa-fatwa yang kelompok "salafy" gunakan untuk menyerang kelompok lain, kita tidak begitu saja menerima, sebab ada ulama-ulama yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat. Olehnya, berdasarkan "kaidah" ini pula mungkin saja kelompok Ikhwanul Muslimin akan berkata, bahwa fatwa Syaikh bin Baz yang kelompok "salafy" kemukakan tentang kesesatan Ikhwanul Muslimin dan termasuk dalam 72 golongan yang binasa, kita tidak begitu saja menerima-nya, sebab ada ulama-ulama yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat. Sedang kami hanya mengingatkan, agar jangan membuka pintu penolakan terhadap fatwa-fatwa para ulama lantaran hawa nafsu dan ta'asshub hizbiyah. Alangkah lebih selamat jika kita mengumpulkan seluruh fatwa-fatwa tersebut, lalu melihat mana yang lebih jelas darinya berupa mauqif (sikap) beliau terhadap sesuatu.

"Alhamdulillah, Salafiyyun telah mengamalkan semua yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sesuai dengan kemampuan mereka. Salafiyyun tak perlu diajari bahwa jika mengaku salafi, yah harus beramal. Memang harus beramal sesuai tuntutan manhaj dan aqidah salaf. Siapa yang tak beramal, kalian wahai hizbiyyun, atau kah salafiyyun yang difitnah?? Nampaknya Penulis buta karena sikap salafiyyun yang selalu mengingkari dan menasihati ummat dari bahaya penyimpangan para ahli bidah khususnya, Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, dan Salman, Cs".

Jawaban: 1. Ungkapan di atas kalau bukan sebagai bentuk tazkiyah diri, kami tidak tahu apa lagi. Bahkan dengan ungkapan "telah mengamalkan semua yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam sesuai kemampuan". Alangkah lebih bijak dan tawadhu jika Ust. Abdul Qadir berkata, "berusaha sedapat mungkin mengamalkan.". Apalagi jika ia telah memastikan dengan mengatakan para salafiyyun telah mengamalkan

(secara mutlak tanpa ada taqyid sedikit pun). Padahal lebih selamat jika ia mengatakan "sepanjang pengetahuan kami", atau "insyaAllah kebanyakan dari mereka dan selainnya". Apakah al-Ustadz telah memeriksa setiap dari mereka, bahwa mereka telah mengamalkan semua yang diajarkan Nabi?? Sebagai pengingat bagi diri kami dan khususnya al-Ustadz Abdul Qadir dan kelompoknya, kami persembahkan sebuah riwayat yang mengambarkan keagungan sikap tawadhu yang jauh dari sikap takabbur, dan menganggap diri telah mencapai derajat kebaikan yang tinggi. Yakni riwayat dari al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah- seorang ulama salaf dari kalangan tabi'in, yang diceritakan oleh Ibnu Nujaih, ia berkata: Seorang laki-laki pernah bertanya pada al-Hasan, dan berkata: "Apakah engkau seorang mukmin (orang yang beriman)?". (al-Hasan) menjawab: "Jika engkau bertanya padaku tentang iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, surga, neraka, kebangkitan dan perhitungan amal, maka dengannya aku beriman. Namun jika engkau bertanya padaku tentang (kaitan) diriku dengan firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka",[17] maka aku tidak tahu, apakah aku termasuk dalam golongan mereka atau tidak".[18] Pembaca budiman, kalau orang semisal Imam al-Hasan al-Bashri yang kedudukannya begitu mulia di mata sejarah dan umat ini, berkata demikian sebagai bukti sikap tawadhu dan rendah hati, maka bagaimana dengan kita yang masih hijau dalam hal kesalehan dan sikap wara'??. Olehnya silahkan bandingkan sikap rendah hati beliau ini dengan sikap Ust. Abdul Qadir. Semoga Allah senantiasa memelihara kita semua dari sifat ghurur dan melampaui batas dalam bertindak. 2. Kalau memang demikian kenyataannya, maka ada beberapa hal yang harus dijawab, (1). Dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhu ia berkata: "Tidaklah Nabi shallallahu alaihi wasallam itu seorang yang suka berkata kasar dan bukan pula seorang yang berperangai kasar".[19] Maka apakah celaan sebagai "Salafy Gadungan", "Dajjal", "Teroris Pemberontak" yang di arahkan pada para Ulama dan Du'at merupakan buah dari pengamalan ajaran Nabi?? (2). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah seorang mukmin; orang yang suka menuduh, suka melaknat, suka berbuat keji, dan suka berkata kasar ".[20]. Maka apakah menuduh seorang sebagai Ahli Bid'ah tanpa landasan jelas, berkata-kata kasar atas dalih nasehat termasuk buah dari pengamalan ajaran Nabi??. (3). Dalam Shahih, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda: "Perumpamaan orang beriman dalam kecintaan, kasih sayang, dan lemah lembut seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit maka akan menyebabkan seluruh anggota tubuh lainnya merasakan demam dan susah tidur".[21] Apakah senang melihat saudara muslim jatuh dalam kesalahan lalu dipermalukan dihadapan "Ummat" merupakan pengamalan ajaran Nabi?? Apakah mempermasalahkan tentang manhaj kaum muslimin di Palestina tepat pada saat mereka dibantai, kehormatan wanita-wanita muslimah dinodai dan anak-anak bayi kaum muslimin yang tak berdosa menggelepar bersimbah darah diterjang peluru Yahudi laknatullah alaihim, ketimbang mengumpulkan bantuan bagi mereka atau minimal do'a, merupakan pengamalan ajaran Nabi?? (4) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menceritakan (tentang seorang yang tertipu dengan kebaikan dirinya dan memandang rendah orang lain), bahwa seorang lelaki pernah berkata: "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampuni si fulan. Lalu Allah berfirman: "Siapa yang berani bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan, sungguh Aku telah mengampuni si fulan dan menggugurkan amal-amalmu".[22] Maka apakah

ucapan, "Afwan akhi, kita berbeda akidah, ana ahlul Jannah wa anta ahlun Naar", atau perkataan: "Laa ya Akhi, Ana ahlul Haq wa anta Ahlul Batil"[23] secara ta'yin di hadapan saudara muslimnya sesama Ahlu Sunnah, merupakan pengamalan ajaran Nabi?!. Duh, pembaca budiman sebenarnya masih banyak sekali yang ingin kami kemukakan kepada kelompok "salafy" sebegai pertanyaan sejauh mana korelasi antara nama dan dinamai tersebut. 3. Kami ingin bertanya, umat yang mana wahai Ustadz? Sementara kenyataannya antum fi Wadin wal Ummah fii Wadin akhar. Namun jika ummat di sini adalah orang-orang yang sefikrah dengan kelompok antum, maka itu sesuatu yang benar. Tapi kalau yang dimaksud adalah kaum muslimin secara umum selain kelompok "salafy", Wallahu A'lam bis Shawab. Silakan turun ke jalan, dan tanyakan ummat tentang antum dan kelompok antum, pasti anda akan dapatkan, bahwa yang mereka ketahui tentang kelompok "salafy" adalah kelompok yang keras, kasar, kaku, tertutup, ekslusif dan lain sebagainya. Maka apakah ini yang dinamakan pengamalan terhadap seluruh ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam??. 4. Berkaitan dengan para ulama dan du'at yang berjasa bagi perjuangan Islam yang disebut sebagai Ahli Bid'ah oleh Ust. Abdul Qadir, silahkan tengok jawabannya dalam tulisan kami, Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at.

"Padahal andai kita boleh masuk dalam pemilu, maka sebenarnya kita harus memilih dan mempertahankan pemerintah yang berkuasa, dalam hal itu GUBERNUR yang menjabat, sebagai bentuk ketaatan kita kepada pemerintah muslim".

Jawaban:

Ini-lah buah jika bicara tanpa ilmu. Hingga berandai-pun masih jatuh dalam kesalahan. Bagaimana bisa dalam pemilihan gubernur itu, calon yang ikut "bertaruh" masih menjabat sebagai gubernur?? Tidakkah al-Ustadz tahu, bahwa sebelum pemilihan, seluruh calon yang ada telah non aktif dan kosong dari jabatannya dan digantikan oleh pejabat sementara, termasuk jika ia seorang Gubernur sebelumnya. Jadi, saat pemilihan tersebut calon-calon yang dipilih berada di atas status yang sama. Tidak ada pemimpin dan terpimpin pada saat itu. Seandainya apa yang alUstadz itu nyatakan benar, maka apa gunanya pemilihan kalau tokh yang harus dipilih itu-itu juga. Wallahu a'lam.

Tak mungkin Salafiyyun akan bersatu dengan Tabligh yang gandrung sufiyyah, atau HTI, YWI, At-Turots dan IM yang senang mencela pemerintah, dan mendemo mereka.

Jawaban: Khusus yang digarisbawahi, maka kami hanya katakan "qul haatu burhanakum", dan jangan hanya melempar tuduhan tanpa bukti dan dalil. Alhamdulillah sepanjang pengetahuan kami, bahwa kedua nama yang kami garisbawahi tersebut sangat jauh dari tuduhan dan fitnah Ust. Abdul Qadir. Apalagi dengan kalimat mubalaghah (hiperbola) ala kelompok "salafy", senang mencela dan mendemo. Pembaca budiman, sebenarnya masih banyak yang ingin kami beri catatan pada artikel Ust. Abdul Qadir ini. Akan tetapi, sebagiannya telah kami paparkan dengan jelas pada Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at. Silakan tengok, khususnya tuduhan dan syubuhat Ust. Abdul Qadir seputar nasehat terhadap pemerintah, korelasi pengakuan diri sebagai salafy dan realita, klaim menyatukan umat dan tuduhan kepada kelompok-kelompok lain sebagai pemecah belah umat, padahal realita berbicara sebaliknya, dan lain sebagainya. Wallahu A'lam. (AbRh).

. Raa 'ina artinya, sudilah kiranya engkau memperhatikan kami. Kala Para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi-pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa'ina, padahal yang mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar Perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa'ina.
[1]

. Yakni, lafadz tersebut termasuk lafadz muhdats (yang diada-adakan) dan mengandung kemungkinan makna lain. Olehnya, jika lafadz ini dimaksudkan untuk makna haq, ia diterima namun jika untuk meksud batil, ia ditolak. Misalnya, lafadz al-Jihah (secara bahasa bermakna arah), jika dimaksudkan bahwa Allah Ta'ala berada pada satu tempat yang meliputinya, maka kita katakan makna ini batil, Allah Ta'ala Maha Suci dari hal tersebut dan kita menolaknya. Adapun jika yang dimaksud al-jihah, bahwa Allah Ta'ala terpisah dari makhluk-Nya dan berada di atas mereka, yakni pada tempat yang tinggi secara mutlak, maka kita katakan ini adalah makna yang haq dan wajib diimani. Akan tetapi, sekali lagi lafadz jihah adalah lafadz muhdats muhtamal, dan lebih utama ditinggalkan. (Lihat penjelasannya pada Majmu' al-Fatawa, V/299,366 dan Syarh al-Thahawiyah, h. 97).
[2] [3] [4]

. Majmu' al-Fatawa, IV/149

. Perlu pembaca ketahui, bahwa istilah Salafy pada zaman beliau sudah dikenal, bahkan sebagaimana kami singgung di atas dari ucapan beliau rahimahullah-, bahwa tidak ada aib untuk menampakkan dan menisbatkan diri pada salaf. Akan tetapi beliau menyatakan di sini, cukuplah bagi kita untuk mengatakan, "Aku adalah seorang muslim yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya". Tidak lebih dari itu. Dan bukan, "Aku seorang muslim Salafiy", sementara beliau sangat paham, bahwa nisbat pada salaf itu adalah nisbat pada manhaj Nabi dan para sahabat yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Olehnya, sekali lagi, sebagai penegas bagi poin ke-2 tentang tidak adanya kelaziman (keharusan) menggunakan istilah as-Salafiy, dikuatkan oleh pernyatan Ibnu Taimyah rahimahullah ini, bahwa ia bukan sesuatu yang lazim (harus) apalagi menguji manusia padanya.

. Misalnya jika ia bertanya kepada seseorang, "Apakah engkau Syafi'iy (pengikut mazhab Syafi'i ?", jika ia mengatakan "Iya", maka diberi wala' dan jika tidak, maka diarahkan permusuhan padanya.
[5] [6] [7] [8]

. Lihat: Majmu' al-Fatawa, III/451-453. Program al-Maktabah al-Syamilah. . Lihat: Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at, bag. I.

. Dalam buku asli milik kami bukan tertulis "As-Salafiy" sebagaimana yang ditulis oleh Ust. Abdul Qadir dalam artikelnya, namun "As-Salafiyah". Kami tidak tahu apakah dalam buku cetakan milik beliau terjadi perubahan atau tidak, Wallahu A'lam. Namun kami bersangka baik saja, sebab barangkali ia hendak menyelaraskan terjemahan tersebut dengan konteks pertanyaan yang menyebutkan kata as-Salafiy. Akan tetapi tetap saja maknanya berbeda, "as-Salafiyah" bermakna manhaj, sedangkan "as-Salafy" mengandung makna nisbat pada manhaj tersebut. Olehnya dikatakan, kita berintisab pada manhaj as-Salafiyah dan bukan berintisab pada manhaj as-Salafiy. . Sekali lagi, yang tertulis adalah kata "As-Salafiyah", dan bukan As-Salafiy", seperti yang dituliskan oleh Ust. Abdul Qadir. Bahkan sampai akhir fatwa, tidak ada penyebutan asSalafiy, namun yang Syaikh sebut adalah As-Salafiyah. Wallahu Ta'ala A'lam. Apakah maksud Syaikh Hafidzahullah- seperti yang diinginkan Ust. Abdul Qadir atau tidak, sekali lagi Wallahu A'lam.
[9]

. Lihat: al-Ajwibah al-Mufidah 'An Asilah al-Manahij al-Jadidah, disusun oleh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsiy, I/14-15. Daar as-Salaf, th. 1416 H/1995M.
[10] [11] [12]

. Lihat: Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at, bag. I.

. Majmu' al-Fatawa, III/453. Program al-Maktabah al-Syamilah. Lihat kelengkapan Fatwa beliau pada akhir tulisan ini. . HR. Muslim, Kitab al-Birr, wa al-Shilah, wa al-Adab, Bab Nasru al-Akh Dzaliman au Madzulaman.
[13] [14] [15].

. Dan semisalnya seperti dalam riwayat Abu Daud, Kitab al-Adab, Bab Fi al-Ashabiyah.

Anehnya, dalam artikelnya tersebut Ust. Abdul Qadir menyematkan istilah al-Atsariy dibelakang nama Syaikh al-Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani. Kami tidak tahu wallahu a'lam- apakah kalimat al-Atsariy itu memang benar dari Syaikh atau hanya perbuatan Ust. Abdul Qadir untuk lebih meyakinkan pembacanya. Padahal Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani secara sharahah menyatakan bahwa istilah al-Atsariy adalah Maudhah al-Ashr, atau trend zaman sekarang. (Lihat: As-Silsilah AshShohihah, VI/ 417 dst. Program al-Maktabah al-Syamilah). . Termasuk penolakan mereka terhadap sebuah karya berharga dari Fadhilatus Syaikh alAllamah Bakr Abu Zaid rahimahullah- yang berjudul "Tashnifun Naas Baina al-Dzonni wa al-Yaqien", lantaran tidak sejalan dengan selera dan hawa nafsu mereka. Bahkan penolakan tersebut diembel-embeli dengan ucapan tak mengenakkan, "(buku ini) teranggap sebagai sesuatu yang paling jelek beliau tulis". (Lihat paparan akan hal ini dalam artikel kami, "Fenomena "Salafy" dan Manhaj Kritik Terhadap Orang Lain", catatan kaki no. 9
[16]

[17] [18] [19] [20]

. Qs. Al-Anfal : 2. . Lihat: Tafsir al-Baghawiy, surah al-Anfal ayat 2. . HR. Bukhari, no. 3295. Muslim, no. 4285.

. HR. at-Tirmidzi, no. 1900, dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu, dan Syaikh alAlbani rahimahullah menshahihkan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1977
[21] [22] [23]

. HR. Muslim no. 2586, dari Nu'man bin Basyir radhiallahu anhu-. . HR. Muslim, no. 6847.

. Lihat pemaparan akan hal ini dalam artikel kami yang berjudul Fenomena Salafy dan Manhaj Kritik Terhadap Orang Lain, catatan kaki no. 7.

SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DUAT (bagian I)


(mereka berkatadan kami pun berbicara) (Silsilah pembelaan para duat dan ulama) Muqaddimah : BISMILLAH WASSHOLATU WASSALAMU ALA RASULILLAH. Allah Taala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS.AlHujurat :12) Dari Abu Barzah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Wahai orang-orang yang telah beriman dengan lisannya dan belum masuk keimanan itu dalam hatinya, jangan kalian menggibahi kaum muslimin dan jangan mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka, karena barangsiapa yang mencari-cari kesalahan mereka maka Allah akan menampakkan aib mereka walaupun ia melakukannya di dalam rumahnya. (HR. Abu Dawud. Syaikh Al-Albany rohimahulloh berkata: Hasan Shahih). FATWA LAJNAH DAIMAH No. 16873, tgl 12-2-1415 H : Alhamdulillah wassholatu wassalamu ala man la Nabiyya badahu. Amma Badu Lajnah Tetap untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabiah telah meneliti sebuah pertanyaan yang diajukan pada yang mulia Mufti Am dari penanya bernama Muhammad bin Hasan Alu Dzabyan dan dilanjutkan pada seksi umum Haiah Kibar Ulama dengan no. (3134) tgl 7-7-1414 H. Pertanyaannya sebagai berikut : Kita mendengar dan mendapatkan sebagian orang yang mengaku salafiyyah, kesibukan mereka hanyalah menggungjing para ulama dan menuduh mereka sebagai ahlul bidah, seakan-akan lisan-lisan mereka diciptakan hanya untuk itu padahal mereka mengaku salafiyyah. Pertanyaan kami, apa sebenarnya yang dimaksud salafussoleh dan apa sikap salafussoleh terhadap kelompok-kelompok Islam yang ada di zaman ini ?? Jazakumulloh anna wal muslimin khoiral jaza sesungguhnya ia maha mendengar doa. Setelah diteliti, maka Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut : Jika sesuai dengan apa yang disebutkan, maka menggungjing ulama dan menuduh mereka ahlul bidah serta tuduhan keji lainnya tertolak dan bukanlah merupakan jalan para salaf dan orang-orang pilihan dari mereka. Adapun dakwah salaf yang sebenarnya adalah yang

mengajak pada Al-Quran dan Sunnah di atas jalan para salaf dari kalangan sahabat radhiallahu anhum dan para tabiin yang mengikuti jalan mereka dengan baik, hikmah, wejangan dan debat yang santun serta berjuang menundukkan jiwa melakukan ketaatan, dan istiqomah di atas prinsip dasar agama, yaitu menyeru pada persatuan dan taawun dalam kebaikan, menyatukan pendapat kaum muslimin dalam kebenaran, menjauhkan diri dari perpecahan dan sebab-sebabnya seperti saling membenci dan memusuhi, iri (hasad). Dan hendaknya mereka menjaga kehormatan kaum muslimin serta tidak berprasangka buruk pada mereka dsb yang menjadi sebab perpecahan diantara kaum muslimin dan menjadikan mereka berkelompok-kelompok yang saling melaknat antara yang satu dengan lainnya. Alloh Taala berfirman : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat Telah shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda : Janganlah kalian menjadi kafir setelah aku meninggal, sebagian diantara kalian memenggal leher sebagian lainnya. Dan sebagainya berupa ayat-ayat serta hadits-hadits yang menjelaskan larangan berpecah belah sangatlah banyak. Karena itu, memelihara kehormatan kaum muslimin merupakan salah satu diantara prinsip dasar agama Islam yang haram bagi siapapun untuk mencemarkan dan mencelanya. Disamping keharamannya lebih besar jika yang menjadi sasaran adalah para ulama, mengingat manfaat yang mereka berikan pada kaum muslimin sebagaimana kedudukan mereka yang disinggung dalam Al-Quran dan Sunnah, diantaranya Alloh Taala menjadikan mereka saksi atas keEsaan-Nya, Alloh berfirman : Syahidallahu annahu... Dan bahaya tersebut di atas disebabkan karena merekalah pembawa syariat. Jika pembawa syariat dicela maka menjadi sebab tercelanya apa yang mereka bawa. Perbuatan ini mirip dengan sikap ahlul ahwa yang menghina serta mencela para sahabat, padahal para sahabat merupakan saksi-saksi dari syariat yang dibawa oleh Nabi ummat ini. Konsekwensinya, jika saksi dicela maka yang disaksikan juga ikut tercela. Olehnya, merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk iltizam dengan adab, petunjuk serta syariat Islam, sembari menjaga lisan-lisan mereka dan tidak menggunjing para ulama. Hendaknya mereka bertaubat dari perbuatan tersebut (mencela kaum muslimin). Jika ternyata terdapat kekeliruan dari seorang alim, maka tidak boleh kekeliruan itu menjadi sebab untuk menjatuhkan sang alim dan kembalilah pada para ulama yang mumpuni keilmuan agama serta keshohihan aqidah mereka. Disamping hendaknya setiap muslim tidak menerima begitu saja segala yang sampai kepadanya berupa perkara yang dapat menggiring

dirinya dalam kebinasaan tanpa ia sadari. Dan hanya Allah Taala pemberi taufiq wa shollallahu ala Muhammad wa alihi wa sallam Lajnah Daimah Ketua : Abdul Azis Bin Baz Abdul Azis bin Abdullah bin Muhammad Alus Syaikh Abdullah bin Abdurrohman Al-Ghudayyan Bakr bin Abdillah Abu Zaid Sholih bin Fauzan Al-Fauzan Amma Badu. Wallohul mustaan!! Saat menelaah beberapa artikel dan menyimak kaset-kaset ceramah yang sarat tuduhan keji pada Wahdah Islamiyah (WI), yang pertama terlontar dari mulut kami adalah kalimat di atas. Memori kami tertarik ke belakang mengingat tuduhan demi tuduhan yang dahulu dibidikkan pada para pengusung dakwah kebenaran dari zaman para Nabi hingga masa sekarang ini. Para Nabi dan Rasul dahulu dituduh dengan aneka macam celaan seperti, tukang sihir, orang gila dan sebagainya. Demikian pula para imam-imam ahlis sunnah, Imam al-Syafii rahimahullah pernah dituduh sebagai Rafidhi, demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dituduh sebagai al-Mujassimah, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab sebagai kharijy, dan selain mereka rahimahullah. Seakan tuduhan dan celaan merupakan sunnatullah yang selalu mengiringi dakwah kebenaran yang sengaja dilontarkan oleh mereka yang berusaha menghalangi manusia dari jalan Allah Taala. Subhanallah! Bagaimana mereka mempertanggungjawabkan tuduhan-tuduhan keji tersebut baik lewat tulisan, rekaman kaset, bulletin, via internet dsb. Jujur kami bergidik kala mengingat salah satu tafsir-an firman Allah Taala dalam surat Qof ayat 18 : Tiada suatu ucapan-pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir. Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata: Akan dicatat seluruh yang mereka ucapkan berupa perkataan yang baik dan buruk, hingga ucapan mereka : Saya telah makan, saya telah minum, saya telah pergi, saya telah datang, saya telah melihat. [1] Sebenarnya kami sama sekali tidak berselera menanggapi artikel-artikel dan ceramahceramah tersebut. Akan tetapi, lantaran telah lama didiamkan, perbuatan ikhwah-ikhwah kita tersebut semakin hari semakin menjadi. Demikian pula banyaknya tuntutan dari ikhwah mutarabbi khususnya di daerah yang ingin mengklarifikasi tuduhan-tuduhan tersebut. Maka sebagai bentuk tanggung jawab kami kepada Allah Taala dalam hal penyampaian hujjah, maka dalam kesempatan ini, secara berkala kami akan paparkan beberapa hal sebagai tanggapan dari tuduhan keji yang sengaja dilontarkan kepada para asatidzah WI yang selama ini menjadi bulan-bulanan pena dan lisan mereka. Kendati kami sadar, bahwa tuduhantuduhan keji tersebut akan menjadi pahala gratis bagi para asatidzah, begitu pula bagi mereka

yang terdzolimi. Diriwayatkan bahwa ketika sampai pada Aisyah radhiallahu anha tentang sekelompok orang yang mencela Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma, ia berkata : Sesungguhnya Allah enggan kecuali mengalirkan pahala bagi keduanya walaupun keduanya telah meninggal dunia. Dan bagi mereka yang mau inshof, tahu dari mana mereka para penuduh mengambil rujukan untuk membangun sebuah vonis hukum bagi WI. Coba simak tulisan-tulisan mereka di internet, diantara tuduhan mereka adalah WAHDAH ISLAMIYAH TERLIBAT JARINGAN TERORIS, dan sumber mereka hanyalah nukilan dari koran dan media serta berita-berita intelejen yang seandainya dikembalikan pada ilmu periwayatan hadits, berita yang berasal dari media itu muttaham dapat tertuduh karena syarat adalah-nya tidak terpenuhi [2]. Dan yang lebih hangat lagi, berita yang dinukil dari www.tribun-timur.com yang memaparkan wawancara Ust. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, bahwa WI siap terjun ke politik praktis pada pemilu 2014 mendatang. Padahal yang shohih[3] wartawan tribun keliru dalam mendengar penjelasan Ust. Muhammad Zaitun. Bahkan sikap WI sangat jelas pada kader-kader yang terjun langsung dalam kancah politik praktis, dengan menon-aktifkan kader tersebut serta tidak dibenarkan sama sekali mengatasnamakan WI dalam politik praktisnya. Bahkan yang lebih lancang lagi, mereka menuduh WI membolehkan demonstrasi, SUBHANALLOH! Haatu burhanakum inkuntum shodhiqin.!! Berikut kami menukil tulisan yang mereka muat dalam situs mereka www.almakassari.com [4]: Pertanyaan: Katanya Salafy melarang demonstrasi, lalu kenapa wahdah-salafy melakukannya? Jawab: Siapa yang mengatakan Wahdah itu salafy? Sekarang yang mengaku salafy itu banyak, boleh saja semua orang mengaku salafy, tapi belum tentu dia salafy. Salafy itu bukanlah jubah yang dipakai siapapun yang ingin memakainya kemudian dia katakan bahwa dirinya adalah salafy. Tidak, tapi salafy adalah sebuah keyakinan yang tergambar, tertanam dalam diri seseorang dan dari amalannya menunjukkan hal tersebut, inilah yang disebut salafy. Tanggapan: Dalam sebuah acara dialog di stasiun TV AL-MAJD KSA, dengan tema BERSAMA SAMAHATUL MUFTI Syaikh Abdul Azis Alu Syaikh hafidzahulloh,[5] beliau ditanya: Apakah boleh seseorang mengaku saya salafy dan selainnya tidak ?? Beliau menjawab: Wahai saudaraku, Allah Taala berfirman :Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (An-Najm : Ayat 32). Seorang itu diukur bukan sekedar dengan pengakuannya dan intisabnya akan tetapi dengan apa yang sebenarnya. Keimanan itu bukan sekedar perhiasan dan anganangan, akan tetapi apa yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amalan. As-Salafiyah yang hakiki adalah mereka yang mengikuti Al-Quran dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berjalan di atas jejak para salaf dari kalangan sahabat dan para tabiin yang mengikuti mereka dengan baik. Seorang muslim adalah yang yakin dengan agamanya dan

tidak boleh baginya memberi gelar dengan selain Islam. Adapun perkataan seseorang, saya salafy, saya salafy ini dan saya salafy itu, maka gelar-gelar seperti ini merupakan pujian bagi diri sendiri, dan ini adalah sesuatu yang tidak pantas, sebab semestinya yang menjadi bukti adalah amalan. Adapun jika sekedar pengakuan dan pernyataan bahwa saya telah mendapat pujian dari fulan (atau tazkiyah) dari fulan, maka ini sama sekali tidak bermanfaat baginya. Tidak ada yang bermanfaat bagi anda kecuali amalan anda, keistiqomahan serta manhaj anda yang benar. Allah Taala berfirman: Dan sesungguhnya inilah jalanku, maka ikutilah dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang menjadikan kalian berpecah-belah dari jalanNya.[6] Sedangkan pernyataan mereka bahwa yang selain manhaj mereka bukan salafy, maka ia membutuhkan dalil. Boleh jadi orang yang menyelisihinya itu lebih afdal (utama) darinya atau sama atau lebih baik darinya. Adapun perkataan mereka, bahwa siapa yang menyelisihi kami dan manhaj kami maka ia bukan salafy, maka jika seandainya memang menyelisihi kebenaran, maka kita katakan ia, namun jika hanya sekedar pengakuan maka kita tidak menerimanya. Yang kita inginkan dari seluruh ikhwah dimana-pun mereka berada agar menjadikan tujuan utama mereka adalah keikhlasan dalam beramal karena Allah, menasehati ummat dan berusaha menyelamatkan mereka (ummat) dari kegelapan kejahilan dan kesesatan. Disamping menanggalkan sikap berbangga-bangga pada kelompok dan tampil beda yang dengannya ia menyelisihi saudaranya yang lain. Kita semua adalah muslim yang satu, Dialah yang menamai kalian Muslimin sebelumnya[7], adapun pembagian-pembagian, ini salafy lama dan ini salafy baru, ini salafy isiqomah dan ini bukan salafy istiqomah, maka pembagian-pembagian semacam ini adalah sesuatu yang tidak boleh didukung. Pembawa acara : Ya Syaikh, bagaimana dengan gelar-gelar yang disematkan secara khusus pada sebagian kaum muslimin? Syaikh Mufti : Hendaknya kita menjauhkan diri dari menghukum secara personal, dan acara ini bukan tempat untuk saya memuji atau mencela fulan. Tujuan utama kita adalah manhaj dan jalan. Adapun berbicara tentang fulan dan fulan, boleh saja hari ini benar dan besok salah, sebab ini tabiat manusia, sebagaimana dikatakan: seseorang dikenal dengan kebenaran (yang ia perjuangkan), sedang kebenaran tidak dikenal dengan orang per-orang. Kebenaran adalah sesuatu yang pasti, adapun seseorang bisa sesuai dengan yang haq dan bisa pula menyelisihinya. Perlu diperhatikan, kami tidak mengingkari secara mutlak kebolehan ber-intisab kepada manhaj salaf dengan memperindah nama kita melalui bubuhan kalimat as-salafy atau al-atsary di belakangnya, karena telah jelas perkataan ulama tentang hal ini. Yang kami ingkari adalah jika ternyata tidak ada korelasi antara intisab kita terhadap manhaj salaf dengan realita diri, baik dalam hal aqidah, ibadah, muamalah ataupun akhlaq. Sebab, ibroh terpenting adalah ketetapan kita terhadap manhaj yang shohih ini, dan bukan sekedar intisab (baca: pengakuan) seperti kata Mufti Aam di atas. Dan yang lebih berbahaya dari semua itu, tercemarnya manhaj salaf yang mulia ini lantaran perbuatan sebagian muddai bis salafiyah (baca:peng-klaim) yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menghujat dan mencerca para duat dengan celaan dan tikaman yang jauh lebih menyakitkan dari tikaman keris. Lalu menyelubungi kenistaan tersebut dengan dalih nasehat bagi umat dari laten khawarij (itupun jika tuduhannya benar), padahal umat yang di nasehati masih jauh tenggelam dalam kesyirikan, meninggalkan shalat dan puasa serta dosa-dosa besar lainnya yang jelas saja keadaannya jauh lebih buruk dari para duat yang dicela, ma lakum kaifa tahkumun??. Hingga berindikasi munculnya stigma buruk tentang manhaj yang yang ini di tengah kaum muslimin, wallohu mustaan.

Satu hal yang barangkali banyak diantara kita, para duat salafiyah tidak menyadarinya, bahwa gelar-gelar apapun yang tersemat pada diri kita, kendati gelar tersebut merupakan gelar syari (yang diakui oleh Syara) namun jika ia digunakan untuk mengadakan perpecahan di kalangan umat Islam, maka ia dikategorikan sebagai gelar (sebutan) jahiliyah yang tercela. Fadhilatus Syaikh Dr. Abdullah al-Ghunaiman -mantan guru besar Universitas Islam Madinah-, dalam tulisan beliau yang berjudul al-Hawa wa Atsaruhu fi al-Khilaf, menyatakan: Kendati penyebutan salafy ada atsar yang menopangnya, dalam arti orang yang mengikuti jalan para shahabat, namun jika ia digunakan untuk tujuan taasshub atau fanatik terhadap satu kelompok tertentu, maka ia dibenci oleh syariat. Beliau melanjutkan: Disebutkan dalam sirah pada salah satu perang Nabi shallallahu alaihi wasallam, terjadi sengketa antara dua orang pemuda, yang satu berasal dari golongan Muhajirin dan lainnya dari golongan Anshar. Lalu pemuda Muhajirin itu berseru: Wahai Kaum Muhajirin!!, sang pemuda Anshar-pun berteriak: Wahai kaum Anshar!!. Mendengar hal tersebut, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersegera keluar seraya berkata: Ada apa ini, (ini adalah) seruan ahli Jahiliyah!!, tinggalkanlah, sebab ia tercela.[8] Padahal, kedua nama ini (yakni Muhajirin dan Anshar) disebutkan dalam al-Quran, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, tatkala ia digunakan untuk tujuan taasshub, maka ia menjadi sebuah perbuatan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa seruan ini tercela sebab ia mengajak pada perpecahan dan perselisihan. Demikian pula yang terjadi pada diri Salman al-Farisi saat perang Uhud ketika melempar salah seorang dari kaum musyrikin seraya berseru lantang: Rasakan, Aku ini farisy (orang Persia). Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda padanya: Katakanlah, dan saya seorang muslim!.[9] Adapun wahdah-islamiyah mereka jauh dari penamaan salafiyah. Tidak ada orang-orang salafy yang melakukan demonstrasi. Tanggapan : Bisakah antum menyebutkan kapan WI berdemonstrasi?!! Bahkan kalau mau jujur, ustadzustadz salafy dahulu-lah yang kemudian terjebak dalam perbuatan demonstrasi. Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun silam, peristiwa demonstrasi yang digerakkan panglima Laskar Jihad Ust. Jafar Umar Thalib di Senayan lalu berlanjut di depan Istana Negara yang kala itu dihuni oleh presiden Abdur Rahman Wahid. Saat itu disamping sebagai panglima Ust. Jafar merupakan tokoh sentral salafy. Perlu antum ingat, bahwa saat itu ustadz-ustadz salafy antum tergabung dalam pasukan Laskar Jihad pimpinan Ust. Jafar Umar Thalib, dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut. Bahkan istilah demonstrasi berusaha ditalbis dengan istilah Ust. Jafar, Idzhar al-Quwwah. Ala kulli hal, kata Idzhar juga merupakan pecahan dari kata mudzaharah[10], dan subtansinya sama. Parahnya, demonstrasi ala ustadz-ustadz salafy ini tidak cukup hanya dengan kepalan tangan, namun harus keluar sambil menghunus senjata-senjata tajam. Duh, sepanjang pengetahuan kami, demo-demo yang dilakukan oleh IM atau Hizbut Tahrir di tanah air (terlepas dari keliru tidaknya), yang selama ini dicela dan disesatkan oleh kalangan salafy, belum pernah sekali-pun terdengar mereka keluar sambil menghunus senjata tajam dan makian keji pada penguasa (semoga ustadz-ustadz salafy yang terlibat telah bertobat kepada Allah Taala).

Kemudian tidak ada dari kalangan salafiyun yang membolehkan baiat, mereka (wahdah) mempunyai baiat. Tanggapan : Kami tidak tahu dari mana antum membangun tuduhan keji di atas. Silahkan tanya kepada ikhwah-ikhwah yang telah terpengaruh dengan syubhat antum, apakah mereka pernah di baiat ketika aktif di kajian wahdah?? Hatuu burhanakum in kuntum shodiqin !!. Tidak ada dari kalangan salafiyun yang membagi tauhid menjadi 4, salah satunya tauhid Hakimiyah Tanggapan : Alhamdulillah, di WI baik pada talim dan tarbiyah yang diajarkan adalah pembagian tauhid menjadi 3 sebagaimana yang disebutkan para salaf. Adapun yang mereka tuduhkan itu, mungkin saja pernah disebutkan oleh salah satu dari kalangan asatidzah WI. Akan tetapi, orang yang inshof tentu tidak menghukumi sesuatu secara mutlak. Dan kalaupun demikian adanya, maka kami ingin bertanya: Apakah ketika ada yang membagi tauhid menjadi empat yang merupakan hasil istiqro mereka, lantas kita bidahkan?. Kalau demikian, maka antum pun telah membidahkan Imam Ibnul Qoyyim yang membagi tauhid menjadi dua!!. Perlu diketahui, pembagian itu ada dua. Pertama, pembagian yang sifatnya syari/taabbudi, Kedua, pembagian yang sifatnya istiqro-i/fanni. Pembagian jenis pertama adalah pembagian yang berasal dari syariat, baik dari alquran maupun as-Sunnah, contohnya adalah pembagian rukun islam atau rukun iman. Untuk jenis ini, kita harus menerima secara bulat tanpa menambah atau menguranginya. Bahkan orang yang lancang menambah dan menguranginya bisa jatuh dalam kekufuran. Adapun jenis kedua, sumbernya adalah penelitian dan pengkajian terhadap nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak ada nash khusus yang menjelaskan pembagian itu. Olehnya untuk jenis ini terdapat keluasan padanya, contohnya adalah pembagian tauhid di atas. Tidak ada nash dari al-Quran ataupun as-Sunnah yang mengatakan tauhid itu terbagi menjadi 3. Namun pengkajian yang di lakukan ulama dari al-Quran dan asSunnah membawa kepada kesimpulan, bahwa tauhid terbagi menjadi 3 dan ada juga yang membagi menjadi 2. Contoh pada kasus lain adalah pembagian syirik. Ada yang membagi syirik menjadi 2 dan ada pula yang membaginya menjadi 3. Penyelisihan kita terhadap pembagian jenis ini lebih ringan dari pembagian yang pertama. Bahkan kita tidak sampai keluar dari manhaj salaf dengan penyelisihan terhadap pembagian jenis ini, wallahu alam.[11] Dan tidak ada dari kalangan salafiyun yang memperbolehkan berbilangnya jamaah islamiyah seperti yang dilakukan oleh orang-orang wahdah Tanggapan :. Kami memohon kepada Allah Rabbul Alamin, semoga dakwah yang diusung WI bisa menjadi tonggak pemersatu ummat, sebagaimana namanya (Amin ya Robb). Justru kami khawatir sikap dan perangai antum yang jauh dari kesantunan dan senang menebar fitnah dan dusta yang akan memicu perpecahan ummat ini (wal iyadzubillah). Dan tidak ada dari salafiyun yang membela Ahlul Bidah.

Tanggapan : Permasalahan pertama, kriteria ahli bidah versi salafy yang begitu rancu. Sebab hal ini dibangun di atas penerapan kaidah bidah yang rancu pula. Akibatnya, penyematan gelar ahli bidah terkesan serampangan, dan tertuju pada orang-orang yang tidak semestinya. Kedua, kalau tokh anggapan mereka kaum salafy itu benar bahwa tokoh-tokoh yang mereka cap sebagai ahli bidah, maka sebenarnya WI bukan membela ahlul bidah (menurut anggapan salafy), MaadzalLoh..!! tetapi WI cuma membela orang-orang yang terdzolimi dari kalangan para duat dan ulama yang menjadi bulan-bulanan celaan antum seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Syaikh Safar al-Hawali, Syaikh Salman, Syaikh Aidh al-Qarni, hafidzahumulloh al-ahya wa rahimal amwat minhum, yang sebelumnya telah dibela dengan tegas oleh ulama kibar seperti Syaikh Bin Baz, Ibnu Utsaimin, Al-Albani, Syaikh Abdul Muhsin, Syaikh alJibrin, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahumullLoh wa hafidzollohul ahya.[12] Dan tidak ada dari salafiyun yang memunculkan manhaj muwazanah. Ini sebagian kerusakan orang-orang wahdah islamiyah. Tanggapan : Masalah jarh dan tadil sebenarnya adalah bukan masalah sepele. Jika dipegang oleh para thuwailib ilmi maka akan menjadi musibah, apalagi jika ditambah dengan sedikitnya sifat wara dan ketakwaan pada Allah. Imam Ad-Dzahabi rahimahulloh- berkata : Membicarakan para ulama membutuhkan keadilan dan ketakwaan [13]. Allah Taala berfirman di dalam Al-Quran: Janganlah disebabkan kebencianmu pada satu kaum membuat kalian tidak berlaku adil, adillah karena itu lebih dekat dengan ketakwaan. (AlMaidah : 8). Dan masih perkataan Adz-Dzahabi rahimahulloh ketika menyebutkan biografi Al-Hafidz Muhammad bin Nashr : Seandainya setiap kali seorang imam keliru dalam ijtihadnya pada satu masalah yang bisa dimaafkan serta merta kita mencela, membidahkannya dan memboikotnya, maka tak akan selamat dari kita Ibnu Nashr dan Ibnu Mandah, bahkan yang lebih senior dari mereka berdua. Dan hanya Allah yang memberi petunjuk pada jalan yang lurus dan kita berlindung dari hawa nafsu dan tutur kata yang kasar.[14] Said bin Musayyib (seorang tabiin) pernah berkata : Tidak ada seorang alim atau yang mulia dan memiliki keutamaan melainkan ia memiliki cacat (aib). Akan tetapi barang siapa kebaikannya lebih banyak dari kekurangannya, maka akan pergi kekurangan tersebut dan tertutupi oleh kelebihannya.[15] Umar bin al-Khattab radhiallahu anhu pernah berkata: Janganlah setiap ada kalimat salah yang keluar dari mulut saudara kalian, membuat kalian lantas berprasangka buruk jika masih bisa berprasangka baik dan memberinya alasan (kemungkinan-kemungkinan baik) dari perkataannya itu.[16] Berkata Abu Robi Muhammad bin Al-Fadl Al-Balkhy : Saya mendengar Abu Bakr Muhammad bin Mahrawaih berkata: Saya mendengar Ali bin Husain bin Al-Junaid berkata: Saya mendengar Yahya bin Main berkata: Sesungguhnya kita mencela sebagian kaum yang boleh jadi mereka telah meniti langkah-langkah kaki mereka ke surga sejak lebih 200 tahun yang lalu..!!! berkata Abu Bakr Muhammad bin Mahrawaih: Saya masuk menemui Abdur Rahman bin Abi Hatim yang saat itu sementara membaca buku jarh dan tadil, lalu

menyampaikan perkataan Yahya tersebut. Beliau kemudian menangis dan tangan beliau bergetar hingga buku itu berserakan jatuh. Dan khusus dengan manhaj Muwazanah, maka WI tidak pernah mengatakan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang wajib. Akan tetapi penerapannya kembali pada setiap person. Jika seseorang nyata dalam kebidahan dan kesesatannya bahkan menyeru kepada kebidahannya, maka kita mentahdzir ummat dari mereka seperti kelompok syiah, JIL, Islam Jamaah, Sufiah, ahmadiyah dan sebagainya. Adapun jika seseorang terkenal dengan keistiqomahannya serta berdakwah menyeru kepada tauhid dan melarang dari kebidahan, maka hendaknya kita tidak mendzolimi mereka hanya disebabkan ketergelincirannya, bahkan kebaikannya akan menutupi kekurangannya tersebut. Tentunya nasehat dengan baik dan hikmah tetap dilakukan dan bukan dengan menyingkap aib mereka serta mencerca dengan tuduhan keji. Anehnya, kendati ikhwah-ikhwah kita ini mengaku mengikuti jalan dakwah salafiyah yang dibawa oleh para imam ahlu sunnah, namun ketika ada sikap dan pendapat para imam yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka otomatis perbuatan imam tersebut ditolak begitu saja. Termasuk diantaranya masalah muwazanah tersebut. Padahal metode ini telah diterapkan bahkan disebutkan secara jelas oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu al-Fatawa: ?????? ???????? ????????? ???????? ?????? ????????????? ?????????????? ????????? ?????? ???? ???????? ???? ?????? ??? ?????? ???? ???????? ????? ?????? ?????? ???????????? ????????????? ????????????? . ??????? ??????? ?????????????? ???????????????? ?????? ???????? ????? ???????? ??????????? ??????? ???????? ??????? ???? ?????????? ????????????? . Terkadang, seseorang dipuji karena meninggalkan sebagian perbuatan dosa berupa bidah dan asusila. Akan tetapi, sekalipun demikian kadang tercabut apa yang dipuji oleh selainnya meskipun dia tetap melakukan sebagian perbuatan baik yang sesuai dengan sunnah. Maka inilah metode muwazanah dan keadilan. Barangsiapa yang menapakinya, maka ia telah menegakkan keadilan yang Allah Taala turunkan padanya Kitab dan mizan.[17] Sebagai contoh dari apa yang kami katakan, penerapan prinsip tersebut oleh para ulama Robbani: 1. Ketika Syaikh Al-Albany ditanya tentang Sayyid Qutb, beliau menjawab: Kami yakin bahwa Sayyid Qutub rahimahullah- tidaklah bermanhaj salafy pada sebagian besar dari fase kehidupannya. Akan tetapi nampak pada dirinya kecondongan yang begitu kuat kepada Manhaj Salafy pada akhir-akhir kehidupannya saat ia mendekam di dalam penjara. Salafiyah bukan hanya sekedar pengakuan, akan tetapi yang dituntut padanya adalah pengetahuan akan al-kitab, Sunnah Sahihah dan atsar salafiyah..[18] Dan dalam muqoddimah buku beliau ghoyatul maram yang mentakhrij hadits-hadits dalam buku al-halal-wal haram[19] tulisan DR. Yusuf Qordhowy, beliau juga menerapkan manhaj ini..

1. Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary, murid senior Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam buku beliau Ilmu Ushul al-Bida, menukil perkataan Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi kala menjelaskan Kaidah Pertama pada hal. 69. 2. Dalam risalah magisternya, Syaikh Fauzan hafidzahulloh dibawah bimbingan Syekh Abdurrozzaq Afify yang berjudul At-Tahqiqot Al-Mardhiyyah fil Masail alfardhiyyah, beliau menjadikan tafsir Dzilal Sayyid Qutb rahimahulloh sebagai salah satu referensi. 3. Mufti Kerajaan Saudi Arabiyah, Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh -hafidzahullah- berkata: Kitab tafsir Fi Dzilal al-Quran (buah karya Sayyid Qutb rahimahulloh), adalah kitab yang bermanfaat. Penulisnya menuliskannya agar al-Quran ini dijadikan sebagai undang-undang kehidupan. Kitab ini bukanlah tafsir dalam arti kata harfiyah, tetapi penulisnya banyak menampilkan ayat-ayat al-Quran yang dibutuhkan oleh seorang muslim dalam hidupnyaDi sana ada orang yang mengkritik sebagian istilah yang terdapat dalam kitab ini. Namun, sesungguhnya halhal yang dianggap kesalahan ini adalah dikarenakan indahnya perkataan Sayyid Qutb dan tingginya gaya bahasa yang beliau pergunakan di atas gaya bahasa pembacanya. Inilah sebetulnya yang tidak dipahami oleh sebagian orang yang mengkritiknya. Kalau saja mereka mau menyelaminya lebih dalam dan mengulangi bacaannya, sungguh akan jelas bagi mereka kesalahan mereka, dan kebenaran Sayyid Qutb.[20] SUBHANALLOH.!! Ya Alloh selamatkanlah kami. !!! Kalau mengaku boleh saja mereka mengaku, dan perlu saya beritahu, pengakuannya kalau mereka mengatakan salafy itu ujung-ujungnya adalah duit. Dan saya sangat kenal akan perbuatan mereka. Mereka punya camp pelatihan di Philiphina, kemudian yang melakukan pengeboman di Makassar adalah kebanyakan orang-orang yang ikut pengajian mereka, maka ini jauh dari penamaan salafiyah. Tapi kalau untuk mendatangkan orang-orang dari luar, misalnya Saudi, (mereka mengatakan) Kami Salafy, ayo ajarkan Tauhid kepada kami Begitulah seruannya ajarkan tauhid kepada kami, tapi ustadz2nya sendiri., coba antum cari ceramah-ceramahnya yang mengajarkan tauhid, mungkin kalau mengajarkan, mengajarkan tapi tidak tergambar bahwa mereka punya perhatian khusus terhadap tauhid. Naam, kemudian mendatangkan ulama-ulama dari Saudi, tapi kalau berbicara di kaset membicarakan pemerintahan Saudi dengan pembicaraan yang sangat keji dan tidak pantas. Kalau ada duit bicaranya bagus, tapi kalau tidak ada duit bicaranya mencela dan menjelekkan Tanggapan : Inna lillahi wa inna ilaihi Rojiun..Ya Allah jika tuduhan mereka pada kami itu benar maka ampunilah kami, namun jika tuduhan itu dusta, maka nampakkan pada kami kekekuasaan-Mu atas mereka. Ketahuilah wahai pembaca budiman, kami bersumpah atas nama Allah, bahwa perkataanperkataan mereka adalah kedustaan dan kejahilan nyata kepada WI yang hanya didasarkan atas prasangka, Wallohi!! Pengakuan mereka sebagai salafy (yang mengikuti jalan para salafussalih) hanyalah seperti perkataan orang Arab: Betapa banyak orang mengaku

memiliki hubungan dengan Laila, namun Laila tidak mengakui hubungan-hubungan merekasilahkan para pembaca melihat kata-kata dan tuduhan mereka yang keji, sungguh mereka telah merusak citra kaum salaf itu sendiri. Bukti kebohongan dalam poin ini begitu banyak, diantaranya bahwa pengakuan WI sebagai salafy karena ujung-ujungnya duitdan diulang lagi pada akhir paragraf: Kalau ada duit bicaranya bagus, tapi kalau tidak ada duit bicaranya mencela dan menjelekkan. Parahnya, pernyataan ini dikukuhkan dengan sebuah penegasan: Dan saya sangat kenal akan perbuatan mereka. Kami katakan, bahwa ini merupakan satu kedustaan dan pelecehan terhadap harga diri seorang muslim. Siapakah yang anda sangat kenal dari asatidzah atau kader WI itu, yang hanya berbicara bagus jika ada duit lalu mencela jika tidak diberi duit??? Subhanallah hadza buhtanun Adzim.!!!! Tidak puas sampai disitu, kebohongan dan tuduhan serta upaya merusak nama baik dilanjutkan dengan ucapan batil yang indikasinya sangat buruk. Perhatikan ucapan diatas: kemudian yang melakukan pengeboman di Makassar adalah kebanyakan orang-orang yang ikut pengajian mereka. Subhanallah ini merupakan perkataan sesat yang berusaha menggiring opini publik bersangka buruk dan menarik kesimpulan bahwa WI adalah jamaah teroriskami tidak hendak menuduh. Namun dalam tulisan-tulisan lainnya ternyata tuduhan secara tidak langsung ini telah berubah menjadi tuduhan langsung berdasar berita-berita koran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Yang dapat kami katakan, bahwa ucapan ini merupakan perkataan batil lantaran hanya dilandasi hawa nafsu. Sebab indikasinya, bisa pula melebar pada ulama-ulama Rabbani lainnya. Sebagai contoh dari konsekwensi buruk ucapan batil ini, tatkala mereka menuduh Syaikh Dr. Safar al-Hawali dan Syaikh Salman al-Audah sebagai ahli bidah, bahkan sebagai teroris (oleh ustadz salafy Lukman Baabduh), apakah kemudian kita akan melemparkan tuduhan yang sama kepada Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz, dan juga Syekh Muhammad Al-Amin As-Syinqity rahimahulloh ??[21] sebab keduanya merupakan muridmurid beliau yang banyak duduk di majelis beliau untuk menimba ilmu darinya bahkan Syaikh bin Baz telah memberi tazkiyah pada mereka berdua. Maadzallah.Demikian pula guru-guru para asatidzah WI selama di Universitas Islam Madinah al-Munawwarah, apakah mereka juga antum tuduh sebagai teroris lantaran murid-muridnya di Makassar (menurut tuduhan dusta antum terlibat) jaringan teroris??? Sekali lagi ini merupakan ucapan batil. Dan yang lebih parah lagi, ternyata pelaku-pelaku teror di tanah air banyak melakukan kajiankajian terhadap buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kenyataan ini, jika memakai kacamata dan ucapan keji di atas, maka akan berindikasi kita-pun melemparkan tuduhan teroris pada kedua ulama Ahli Sunnah di atas. Maadzallah. Karenanya, sangat naif jika kita terlalu tergesa jika mengambil kesimpulan hanya lantaran perbuatan satu oknum. Apalagi oktum tersebut secara struktural tidak terdaftar dalam jajaran pengurus bahkan kader WI. Tuduhan antum bisa diterima jika ternyata seluruh kader WI yang jumlahnya kurang lebih 15 ribu orang bersikap dan berprilaku sama. Akan tetapi dari sekian puluh ribu yang kami disebutkan, hanya ada satu atau dua orang yang antum klaim sering mengikuti pengajian WI yang terlibat. Apalagi sikap WI terhadap jaringan Teroris sangat tegas, bahwa hal tersebut merupakan satu kekeliruan dan bukan merupakan manhaj yang benar. Olehnya, sekali lagi kami nasehatkan antum, hati-hati dan jaga lisan antum dari mengucapkan satu kata fitnah dan dusta. Sebab, serapi-rapi antum sembunyikan fitnah dan dusta, suatu saat bakal tercium juga.!!!

Edisi 1 Dzulhijjah 1430 H Bersambung InsyaAllah

[1]. Lihat tafsir Ibnu Katsir. [2].Adalah artinya kelurusan seorang perawi dan tidak memiliki kecacatan sampai dari sisi muruah/estetika. Dan media seperti itu, bagaimana mungkin kita menerima begitu saja setiap berita darinya yang sarat percampuraduan antara yang hak dan batil tanpa tabayun ??!!. Pembaca budiman, tengoklah buku Mereka Adalah Teroris, karya Ust. Lukman Baabduh yang amat dipuji oleh kalangan Salafy, termasuk dalam tulisan al -akh Sofyan Khalid hadahulloh- yang berjudul Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah, kala menghujat Fadhilatus Syaikh Dr. Safar bin Abdur Rahman al-Hawali berkaitan dengan karya beliau Wadu Kissinger yang membongkar skenario dan konspirasi AS di Timur Tengah, dengan perkataannya: Kesimpulan ini dia ambil dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian dengan jiwa dan emosi kekanak-kanakan dia menyimpulkan dan menyikapi berita tersebut.. (Lihat: Mereka Adalah Teroris, h. 384). Nah, tatkala perbuatan yang sama mereka lakukan, yakni hanya asal comot dari berita-berita koran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada komentar yang mengatakan: Bahwa kaum salafy makassar menyimpulkan berdasarkan emosi dan kekanak-kanakan. Kami Khawatir bahwa ini merupakan buah dari sebuah kaidah yang berlaku dikalangan kawan-kawan salafy kita: Bagi kami boleh dan bagi kalian tidak boleh, Wallahu al-Mustaan. [3]. Dan berita tersebut langsung diklarifikasi oleh Koran Tribun pada edisi berikutnya. Alhamdulillah. [4]. Situs ini merupakan salah satu situs yang getol menyebar fitnah dan hujatan khususnya pada Wahdah Islamiyah. Silahkan baca artikel-artikel yang termuat di dalamnya beserta bumbu-bumbu komentar dari pembacanya, Anda akan mengetahui hakikat sebenarnya !! Dan yang paling aneh, katanya untuk mencari kebenaran, namun kenyataannya telah berulang kali kami, bahkan ikhwah-ikhwah WI lainnya berusaha mengirimkan tanggapan balik secara langsung pada situs ini, namun sekalipun tidak pernah dimuat. Kami khawatir jangan sampai situs ini memang sengaja dibuat hanya untuk menebar fitnah dalam barisan kaum muslimin. Wallahu alMustaan. [5] Video rekamannya kami miliki namun kami mohon maaf belum sempat kami posting lewat situs ini dan akan kami usahakan pada tulisan-tulisan berikutnya, begitu pula audio dan video lainnya yang berhubungan dengan topic ini. [6] . Q.S. Yusuf : 108. [7] . Kutipan dari firman Allah Taala pada surah al-Hajj : 78. (Pentrj). [8] . HR. Muslim, Kitab al-Birr, wa al-Shilah, wa al-Adab, Bab Nasru al-Akh Dzaliman au Madzulaman.

[9] . Dan semisalnya seperti dalam riwayat Abu Daud, Kitab al-Adab, Bab Fi alAshabiyah. [10] Demonstrasi dalam istlah arab dikenal dengan Mudzoharorh [11] . Keterangan ini disampaikan oleh akhuna salah seorang asatidzah kami, Alumnus Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah thn ajaran 1429 H mengutip penjelasan Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Al-Ruhaili, Dosen Fakultas Dawah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah ketika mengajar beliau mata pelajaran Tauhid thn kedua. Uniknya, penjelasan ini terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau berkaitan dengan Tauhid Hakimiyah dari seorang mahasiswa asal kuwait, yakni alakh al-fadhil Faisol sayid. Beliau berani bersumpah, bahwa keterangan tersebut beliau dengar langsung dari Samahatus Syaikh). [12] Kami memiliki data akurat baik tulisan maupun rekaman dari apa yang kami sebutkan diatas..dan pada tulisan berikutnya kami akan menukil fatwa serta pembelaan para ulama kibar pada masyayekh dan duat tersebut diatas dengan audio serta tulisan yang kami terjemahkan.. [13] Siyar Alam nubala (8/448) [14] Siyar Alam Nubala (14/40) [15] Diriwayatkan oleh Al-khotib fil Kifayah (hal.79), At-Tamhid (11/170), Sifatus Shofwah (2/81). [16] Diriwayatkan oleh Al-Muhamily fi Amaalyh (460), Al-Baihaqy fi Syiab (3246/323). [17] . Majmu al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, X/366. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3. [18] . Lihat: Duruus li al-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, VII/7, Program alMaktabah al-Syamilah, vol. 3.3. [19] Yang diplesetkan oleh sebagian ikhwah halal wal halal dan bukan halal wal haram [20] . Http://www.alqlm.com/index.cfm?method=home.con&Contentld=207.Fatawa tertanggal 30/8/2005 M. [21] Syekh Salman termasuk salah seorang murid Syekh Bin Baz, adapun Syekh Safar mengambil tafsir langsung dari Syekh Syekh Syinqty rahimahulloh

Anda mungkin juga menyukai