Anda di halaman 1dari 11

www.alimaulida.wordpress.

com

1
www.alimaulida.wordpress.com

BEKAL SEORANG DA’I


(Sebuah Pengantar Menuju Sukses di Jalan Da’wah)

Oleh : Ali Maulida, S.S, M.Pd.I

Pendahuluan
Da’wah adalah sebuah kerja besar yang bertujuan menuntun manusia ke jalan
Allah l.1 Da’wah adalah sebuah risalah yang diwariskan oleh para nabi dan rasul,
yang intinya bermuara pada upaya untuk mengeluarkan umat manusia dari
kegelapan kekufuran, kezhaliman, dan penyembahan kepada makhluk, menuju
cahaya Islam, ketauhidan yang murni, mempersembahkan segenap peribadahan
hanya kepada Allah, serta mewujudkan ke- Maha adilan Allah l berdasarkan
tuntunan wahyu-Nya.2
Perkembangan zaman dan peradaban manusia yang berjalan seiring dengan
munculnya beragam problem kemasyarakatan yang semakin kompleks menjadikan
da’wah sebagai tugas yang tidak boleh lagi dipandang sebelah mata, ringan,
apalagi dinilai remeh. Terlebih jika dilihat dari tujuan da’wah yang demikian agung
dan mulia, tentu demikian pula halnya dengan bobot tantangan yang akan
dihadapi sang da’i.
Jalan da’wah adalah jalan yang terjal, jalan melelahkan yang amat panjang
dan berliku, yang dipenuhi duri dan berbagai rintangan. Karena itu, seorang da’i
dituntut untuk selalu waspada dan siap siaga menghadapi segala ujian didalamnya.
Cobaan yang semula baru dipahami sebatas teori, sangat boleh jadi –cepat atau
lambat- menjelma menjadi sesuatu yang sangat pahit dan menyakitkan hati.

Untaian kalimat berupa nasihat dan bimbingan yang disampaikan dengan


tulus dan penuh kelembutan, tidak jarang mendapatkan tanggapan berupa sumpah
serapah dan makian. Bahkan, betapa banyak para pejuang di jalan da’wah kita
saksikan bukan hanya mendapatkan balasan sebatas paras muka yang mengejek
dan mencibir atau menjadi ‘korban perasaan’, lebih dari itu semua, bahkan siksaan
fisik yang tak jarang berakhir dengan kematian.3

1 Da’wah secara umum berarti agama Islam secara keseluruhannya. Ini sebagaimana terkandung dalam Q.S. al-
Ra'd; 14 :   . Da’wah juga berarti cakupan kegiatannya berupa seruan mengajak kepada Allah l,

yang meliputi tadrîs (pengajaran), khutbah, nasihat, ceramah, seminar, munâzharah (debat dan diskusi) dalam
rangka membela Islam dan menjawab tantangan para musuhnya, termasuk pula jihad dan segala upaya
meninggikan agama Islam. (Lihat : Adnân ibn Muhammad Alu ‘Ar’ûr, Manhaj al-Da’wah fi Dhaw’ al-Wâqi’ al-
Mu’âshir, http://saaid.net/book /open. , diakses tanggal 8 April 2009).
2 Para rasul diutus untuk mengeluarkan manusia dari jurang kegelapan kepada cahaya. Demikian pula halnya para da’i

kebenaran. Mereka menegakkan da’wah dengan penuh antusias untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada
cahaya, serta menyelamatkan mereka dari api neraka dan dari menaati setan serta mengikuti hawa nafsu, menuju kepada
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. (Lihat: ‘Abdul Aziz ibn ‘Abdullah Ibn Baz, Dakwah dan Akhlaq Da’i, Jogjakarta:
Pustaka Haura’, 1429H, hal. 61).
3 Mohammad Natsir mengulas -dalam bukunya Dibawah Naungan Risalah- kisah yang dialami oleh keluarga

Yasir, Sumayyah (istrinya) dan Ammar (anaknya) radhiallahu ‘anhum yang mendapatkan siksaan amat ganas

2
www.alimaulida.wordpress.com

Hal ini menjadikan seorang da’i sudah seharusnya untuk tampil sebagai sosok
yang terus memperbanyak perbekalan dan meningkatkan kualitas diri. Sehingga
tiap kali tantangan dan hambatan di medan da’wah datang menghadang, ia
mampu mengatasinya dengan baik.
Salah satu tema yang sangat penting untuk selalu dikaji, didiskusikan, dan
direnungi oleh setiap da’i adalah seputar perbekalan apa yang harus ia bawa dalam
meniti jalan da’wah. Penulis mencoba untuk mengulas tema ini, dengan harapan
dapat memberikan sumbangsih kepada para da’i dalam memperkuat langkah
menapaki medan da’wah, tentunya dengan kekuatan tekad dan bekal yang
memadai.

Standar Kesuksesan dalam Da’wah


Setiap orang pasti menginginkan kesuksesan dalam tugas yang
dilaksanakannya, terlebih seorang da’i. Salah satu hal penting bagi seorang da’i
adalah mengetahui standar; apa dan bagaimanakah sebuah da’wah bisa dikatakan
sukses?.
Dr. Ali Badahdah menjelaskan hakikat dari kesuksesan (al-najah) didalam
da’wah dengan mengatakan :

“Penegakkan kewajiban (da’wah) dalam bentuk yang paling sempurna. Pada umumnya hal
tersebut akan membuahkan berbagai hasil yang baik, namun terkadang pula sebaliknya
sesuai dengan hikmah disisi Allah”.4
Da’wah memang dapat dikatakan sukses adalah jika tujuan-tujuannya dapat
terealisir (tahqiq ghayat al-da’wah).5 Kesuksesan da’wah yang gemilang juga dapat
dilihat pada diterimanya kebenaran yang dida’wahkan dan terealisir dalam
kehidupan, serta lenyapnya kebatilan. Namun demikian, ketika terjadi penolakan
atau tidak diterimanya da’wah bukan berarti tidak suksesnya da’wah yang
dilakukan. Karena pada dasarnya tugas seorang da’i sebatas menyampaikan hidayah

dari musyrikin Quraisy. Keteguhan iman mereka patut untuk dijadikan ibrah oleh para da’i. (Lihat: Mohammad
Natsir, Dibawah Naungan Risalah, Jakarta: Media Da’wah, 2002, hal. 15-23).

4 Ali ibn Umar ibn Ahmad Badahdah, Muqawwimat al-Da’iyah al-Najih http://saaid.net/book/open.
php?cat, diakses tanggal 20/01/2010.
5 Tujuan da’wah yang dimaksud diantaranya adalah :

1. Perwujudan ubudiyyah hanya kepada Allah .


2. Melindungi umat Islam.
a. Melindungi umat Islam dari adzab Allah .
b. Melindungi da’i secara khusus.
c. Melindungi masyarakat secara umum dari penyebaran ma’siat.
d. Terwujudnya keamanan atas harta, kehormatan, dan akal manusia.
3. Tersebarnya kebaikan di tengah manusia. (Lihat selengkapnya: Badriyyah bintu Su’ud bintu
Muhammad Al-Bisyr, Fiqh Inkar al-Munkar, Riyadh: Dar al-Fadhilah, 2001, hal. 21-37)

3
www.alimaulida.wordpress.com

irsyadiyyah (ilmu, bimbingan, nasihat, dan lainnya), sedangkan hidayah taufiqiyyah


adalah hak Allah .
Allah berfirman dalam QS. al-Qashash; 56 :
﴾ ....          ﴿

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya...”.

﴾        ﴿


“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang
memberi petunjuk (memberi taufiq) siap yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Baqarah:272).

Penolakan da’wah bukanlah hal baru, ia merupakan salah satu sunnatullah


yang pasti akan dialami oleh setiap da’i, bahkan para nabi dan rasul sekalipun tak
lepas mengalami penolakan yang dilakukan kaumnya.
Rasulullah bersabda :

“Ditampakkan padaku umat manusia. Aku melihat ada seorang nabi bersama sekelompok
kecil pengikutnya. Ada juga nabi yang bersama seorang dan 2 orang laki-laki. Juga ada nabi
yang tak seorang-pun bersamanya...”(HR. Bukhari dan Muslim).

Apa yang disampaikan oleh Rasulullah dalam hadits tersebut bukanlah


menunjukkan ketidaksuksesan da’wah para nabi dan rasul terdahulu, tetapi beliau
menyampaikan kabar tentang kenyataan adanya penolakan dari umat mereka.

Bekal Seorang Da’i


Untuk meniti jalan da’wah sudah seharusnya seorang da’i memiliki
perbekalan yang memadai. Namun penyusun hanya mengulas beberapa
perbekalan yang terpenting.
Dr. Sa’id Ali ibn Wahf al-Qahtahani menjelaskan beberapa bekal tersebut,
diantaranya adalah 6:
1. Ilmu yang Bermanfaat (al-‘Ilm al-Nafi’)

6Sa’îd ibn ‘Ali ibn Wahf al-Qahthâni, Muqawwimât al-Dâ’iyah al-Nâjih fi Dhaw’ al-Kitâb wa al-Sunnah;
Mafhûm wa Nazhar wa Tathbîq, ttmp, 1415H/ 1994.

4
www.alimaulida.wordpress.com

Ilmu adalah faktor utama dan penunjang terkuat bagi kesuksesan seorang
da’i. Allah telah memerintahkan dan mewajibkan seseorang berilmu terlebih
dahulu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman-Nya :
  . . .          

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah selain Allah, dan mohonkanlah ampun
bagimu dan bagi orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan..” (QS. Muhammad: 19).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk berilmu terlebih dahulu


sebelum beramal, karena ilmu-lah yang akan meluruskan niat, dan selanjutnya niat
akan meluruskan amal perbuatan.
Keilmuan yang kokoh dan bekal wawasan yang memadai adalah hal asasi
yang harus dimiliki seorang da’i. Dengannya ia mampu menjawab berbagai
persoalan, mencari solusi dari berbagai problem masyarakat, membimbing mereka
memahami hukum-hukum agama, dan memahami realita kehidupan dengan benar.
Dengannya pula seorang da’i mampu menghilangkan virus-virus syubhat di tubuh
umat Islam, serta mampu mencari inovasi dalam menyampaikan bimbingan
kepada masyarakat.7
Namun demikian, untuk menjadi seorang da’i tidaklah disyaratkan harus
menguasai seluruh bidang keilmuan. Da’wah bukan hanya kewajiban para ulama,
tetapi setiap muslim yang mengetahui hukum Islam dalam suatu urusan maka ia
wajib menda’wahkannya. Begitu pula halnya, setiap muslim yang mengetahui
haramnya kemunkaran maka ia wajib mencegahnya.8

2. Hikmah
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata hikmah dalam
banyak arti,9 diantaranya adalah; nubuwwah; al-Qur’an dan memahami nasikh
mansukh-nya, muhkam dan mutasyabih, serta halal dan haram; benar dalam
ucapan dan perbuatan; mengetahui kebenaran dan mengamalkannya;
khasyyatullah (rasa takut kepada Allah); sikap wara’ dalam beragama; al-sunnah;
dan sebagainya.
Setelah mencermati berbagai definisi tersebut, Dr. Sa’id Ali Wahf al-Qahthani
mendefinisikan hikmah adalah :

“Ketepatan dalam ucapan dan perbuatan dan menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya”.10

7 Lihat: Ali ibn Umar ibn Ahmad Badahdah, Muqawwimat al-Da’iyah al-Najih, http://saaid.net/book/
open.php?cat, diakses tanggal 20/01/2010.
8
Ali ibn Umar ibn Ahmad Badahdah, Muqawwimat al-Da’iyah al-Najih.
9 Ada yang mengatakan mencapai 29 pendapat.
10
Sa’îd ibn ‘Ali ibn Wahf al-Qahthâni, Muqawwimât al-Dâ’iyah al-Nâjih fi Dhaw’ al-Kitâb wa al-Sunnah,
hal. 35.

5
www.alimaulida.wordpress.com

Urgensi Hikmah bagi Seorang Da’i

Hikmah sangat penting artinya bagi mereka yang meniti jalan da’wah.
Diantara urgensinya adalah:
1/. Hikmah adalah salah satu jalan atau sarana da’wah yang Allah perintahkan,
sebagaimana dalam ayat-Nya :
 ...           

“Serulah manusia ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang lebih baik...” (QS. Al-Nahl: 125).

2/. Hikmah adalah pondasi terkuat dalam manhaj da’wah Rasulullah . Beliau
senantiasa mempraktekkan hikmah dalam semua urusan, yang dengannya manusia
menerima da’wah beliau. Dengannya pula para sahabat menempuh jalan da’wah
hingga mendapatkan kemenangan yang gemilang dengan tersebarnya da’wah
Islam ke berbagai negeri.
3/. Hikmah menjadikan seorang da’i mampu menganalisa dan menempatkan suatu
perkara sesuai dengan tempat dan kadarnya.
4/. Hikmah mendorong seorang da’i untuk peduli, dan cermat dalam
memperhatikan kondisi mad’u. Ia selalu mengikuti perkembangan tabi’at, prilaku
dan seluruh keadaan mad’u sehingga dapat menentukan sarana dan pola da’wah
terbaik bagi mereka.

3. Menjadi Tauladan yang Baik (Qudwah Hasanah).


Qudwah adalah suatu keadaan yang dimiliki oleh seseorang yang menjadikan
orang lain mengikutinya. Seorang da’i harus mampu menjadi qudwah hasanah dalam
setiap keadaannya. Perkataannya tidak bertentangan dengan perbuatannya,
demikian pula sebaliknya. Ia harus mempraktekkan dan membuktikan apa yang
diucapkan dan dida’wahkan, agar mad’u -sebagai objek da’wahnya- mengikuti dan
meneladaninya.
Urgensi dari qudwah seorang da’i semakin jelas ketika ia mengaplikasikan
da’wahnya di medan da’wah, diantaranya11 :
1/. Qudwah yang baik akan sangat mempengaruhi jiwa mad’u yang cerdas, dan jeli
dalam mencermati pola da’wah seorang da’i. Dengan tauladan yang baik ini
seorang mad’u akan semakin dekat, hormat, dan cinta pada sang da’i. Sehingga
selanjutnya mad’u akan condong pada kebaikan, terdorong untuk memiliki
kesempurnaan, dan berusaha untuk berbuat sebagaimana yang dilakukan sang
da’i.

11Lihat uraian lebih lengkapnya : Sa’îd ibn ‘Ali ibn Wahf al-Qahthâni, Muqawwimât al-Dâ’iyah al-
Nâjih fi Dhaw’ al-Kitâb wa al-Sunnah, hal. 322-326.

6
www.alimaulida.wordpress.com

2/. Qudwah yang baik adalah bukti nyata yang menghiasi jiwa seorang da’i, dimana
pengaruhnya akan lebih besar bagi para mad’u.
3/. Para mad’u sebagai objek da’wah akan selalu mengawasi dan memperhatikan
dengan jeli setiap prilaku da’i. Seringkali seorang da’i tidak memperhatikan
penyimpangan yang dilakukannya karena menganggap sebagai hal biasa dan kecil
saja, tetapi dalam pandangan mad’u dianggap sebagai aib. Yang lebih berbahaya
adalah ketika seorang da’i sedang melakukan suatu perbuatan yang haram, dan
mad’u melihatnya sebagai sebuah kebanaran yang harus dicontoh.
4/. Penyimpangan yang dilakukan seorang da’i dari kebenaran, dalam waktu
bersamaan akan menyebabkan pula penyimpangan setiap orang yang telah
terpengaruh pada dirinya. Ini terjadi karena tingkah laku sang da’i dan seluruh
perbuatannya berada di dalam pengawasan mad’u.
Rasulullah telah memperingatkan para da’i agar jangan sampai melakukan
penyimpangan dan menyelisihi apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda :

“Pada waktu aku di isra’-kan, aku didatangkan pada sekelompok kaum yang lidah mereka
dipotong dengan gunting dari api. Setiap kali lidah mereka terputus kemudian dikembalikan
lagi. Lalu aku bertanya kepada Jibril: “Siapakah mereka?”. Jibril menjawab: “Mereka adalah
para juru da’wah dari ummatmu yang mengatakan sesuatu tetapi tidak mengerjakannya,
dan mereka membacakan kitabullah tetapi tidak mengamalkannya”. (Hasan, HR. Al-
Baihaqi).12

5/. Disamping melihat prilaku sang da’i, lebih jauh dari itu para mad’u juga akan
melihat dan memperhatikan kondisi serta prilaku keluarganya, sejauh mana
mereka menerapkan muatan da’wah sang da’i. Ini menjadikan da’i juga dituntut
untuk meluruskan anggota keluarga dan kerabatnya.

Kesiapan Mental Seorang D’ai


Sesuai dengan karakteristik da’wah dengan segala problematikanya, M. Natsir
memberikan banyak sekali bimbingan bagi para da’i, dimana telah beliau uraikan
dengan sangat gamblang dalam karyanya Fiqhud Da’wah. Beliau mengulas sebuah
konsep da’wah yang sangat ideal dimana seorang da’i harus memperhatikan
perbekalannya, dan salah satu bekal paling utama yang harus dimilikinya adalah
Pembinaan Mental (al-I’d d al-Fikry).

Pembinaan Mental (al-I’d d al-Fikry)

12 Dinyatakan Hasan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih Jami’ al-Shaghir 2/96, no. 129.

7
www.alimaulida.wordpress.com

Perjalanan da’wah membutuhkan waktu yang tidaklah sebentar. Masa yang


amat panjang menjadi ukuran pasti yang harus dilalui seorang da’i. Bahkan, boleh
dikatakan, usia sang da’i sendiri tidaklah cukup untuk menuntaskan tugas da’wah
yang demikian mulia. Karena, da’wah adalah warisan antar generasi. Ia merupakan
tugas risalah sepanjang masa, sepanjang usia kehidupan dunia ini.

Seorang da’i harus memperhatikan terus pertumbuhan iman dari masyarakat


yang menerima da’wahnya. Ibarat petani yang menanam sebuah benih, ia harus
memperhatikan proses pertumbuhan benih itu sejak dini, terus sampai tumbuh
menjadi pohon yang akarnya kuat menghunjam ke bumi. Mohammad Natsir
menggambarkan hal ini dengan menjelaskan :

”...pertumbuhan Ummat Islam, diibaratkan oleh al-Qur’an dengan pertumbuhan


suatu benih yang pada mulanya memancarkan tunas, yang lambat laun
berangsur-angsur mengurangi kelopak, bertambah kuat, akhirnya duduk
terhunjam pada batangnya. Menta’jubkan dan menggembirakan hati petani yang
menanamnya. Hasil pertumbuhan yang menggembirakan hati itu berkehendak
kepada usaha petani yang tak putus-putusnya; pengolahan tanah, penaburan
benih, pemeliharaan dan perhatian terus menerus. Demikian pula hasil pekerjaan
seorang pembawa da’wah, menghendaki usaha yang kontinu, perhatiannya yang
tidak putus-putus dalam proses pertumbuhan Ummat, yang sedang
dibangunnya.”13

Da’wah yang diserukan seorang da’i tidaklah otomatis akan mendapatkan


sambutan yang memuaskan, karena itulah ia harus berfikir keras bagaimana agar
hidayah yang disampaikannya dapat sampai dan diterima dengan baik. Tingkat
pemahaman masyarakat yang sangat beragam, ditengah problematika kehidupan
mereka yang sangat kompleks, juga menjadi hal yang harus dicermati seorang da’i.
Hal ini pasti akan menjadikan beragam pula respon yang akan diterimanya.

Sifat da’wah sebagai sebuah konfrontasi menjadikan sang da’i harus tahan uji
dan siap mental. Mohammad Natsir menggambarkan hal ini sebagai salah satu
perbekalan yang harus dimiliki para da’i, dengan mengatakan :
”Da’wah adalah konfrontasi. Konfrontasi dalam suasana kebebasan, berfikir dan
beri’tikad. Disini tidak ada jalan satu jurusan, ibarat jalan air dalam pembuluh.
Sebagaimana seorang muballigh menghadapi orang banyak, orang banyak
itupun ‘menghadapinya’ dengan bermacam cara dan gayanya pula. Terutama
pada permulaan konfrontasi itu, dia akan sering mengalami pengalaman-
pengalaman yang pahit.”14

13 M. Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 2008), hal. 146-147.


14 M. Natsir, Fiqhud Da’wah, hal. 147.

8
www.alimaulida.wordpress.com

Bekal ketahanan mental ini mutlak harus dimiliki, sehingga dengannya


diharapkan seorang da’i tidak putus asa, patah arang, dan akhirnya surut langkah
ke belakang. Apalagi jika ia menyelami arti panjangnya ‘masa jabatan’ yang harus
ia tunaikan itu. Ia harus mampu memelihara keseimbangan jiwanya. Mohammad
Natsir menggambarkan sifat ini dengan penjelasannya :

“Maka untuk dapat melakukan tugasnya secara kontinu, seorang muballigh harus
mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan jiwa dan sanggup pula memulihkan
keseimbangan itu, bilamana terganggu, ditengah-tengah perbalasan aksi dan reaksi timbal
balik itu”.15

Allah l telah membimbing para nabi dan rasul untuk bersabar di jalan
da’wah. Rasulullah n juga telah mendapatkan bekal yang sangat berharga ini,
diantaranya dengan firman-Nya di dalam QS. al-A’râf; 1-2 :
                 

“Alif lâm mîm shâd. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah
ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan
kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman.”
(QS.al-A’râf:1-2).

Sebagai ibrah yang dapat diambil oleh para da’i dari ayat tersebut, Mohammad
Natsir mengulas dengan penjelasannya :
“Diamanatkannya supaya membawa Risalah jangan sesak nafas, apabila ada
orang yang menolaknya, mendustakannya, mencemoohkannya, malah menyakiti
dirinya. Dan ternyata, bahwa semua ini memang dialami oleh Rasulullah n dan
tidak mustahil akan dialami oleh setiap muballigh yang sekarang menyambung
tugas Rasul dalam menyampaikan apa yang terkandung dalam al-Qur’an itu.
Maka dengan sendirinya amanat yang demikian itu dialamatkan kepada para
pendukung da’wah di semua zaman.”16

Tidak hanya bekal berupa kesabaran, Allah l juga telah memberi obat
kepada Rasulullah n –termasuk para da’i penerus perjuangan beliau- manakala
mendapatkan beragam reaksi penolakan yang bersumber dari kebodohan orang-
orang yang dihadapinya. Allah l berfirman :

                 

          

15 M. Natsir, Fiqhud Da’wah, hal. 147.


16 M. Natsir, Fiqhud Da’wah, hal.148

9
www.alimaulida.wordpress.com

“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek
moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak
mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh
dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman
kepada keterangan ini (al-Qur'an).” (QS. al-Kahfi:5-6).

               

    

“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil
memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah
kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat.” (QS. Qaf:39-40).17

Disamping itu, Allah juga memperkuat para da’i dengan memberitahukan


ketentuan-Nya di alam semesta ini (sunnatullah fi al-kawn), dimana pertentangan
antara haq dan bathil pasti akan selalu terjadi.18

Penutup
Dari uraian diatas kita dapat memahami bahwa seorang da’i tidak cukup
hanya memiliki bekal ilmu agama, berwawasan luas, dan mengetahui sifat dan
karakter masyarakatnya. Ia bukan hanya dituntut untuk menjadi guru yang

17 Firman Allah “Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan” yaitu berupa celaan dan
pendustaan terhadap risalah yang kamu bawa, dan jangan pedulikan mereka. Beribadahlah dengan mentaati
Rabb-mu dan bertasbih kepada-Nya pada pagi dan sore hari, pada waktu-waktu malam, dan setelah shalat.
Karena berdzikir kepada Allah Ta’ala adalah air penyejuk jiwa, penghibur hati, dan memudahkan untuk
bersikap sabar. (Lihat: ‘Abdurrahmân ibn Nâshir al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân,
Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 2002, hal. 807).
18 Pertentangan antara haq dan bathil pada dasarnya adalah pertentangan antara para pengusung dan pembela

keduanya masing-masing, yaitu antara mu’min dengan kafir. Karena, merekalah yang membawa arti yang
terkandung dalam al-haq dan al-bathil, mewujudkannya kedalam ruang nyata, dan mengatur urusan
kehidupan berasaskan keduanya. Dengannyalah kemudian terjadi benturan dan pertentangan antara kedua
belah pihak.
Allah l telah menetapkan ketentuan-Nya bahwa yang akan menjadi pemenang dalam perseteruan dan
pertentangan tersebut adalah al-haq dan para pengusungnya, sedangkan pihak pecundang, yang kalah dan
terhinakan adalah al-bathil dan para pengusungnya. Allah l telah menjelaskan hal ini, diantaranya dalam
firman-Nya ; QS. al-Syûra; 24:   “...dan Allah menghapuskan yang bathil dan membenarkan
,

yang haq dengan kalimat-kalimat-Nya (al-Qur'an).”, QS. Yûnus; 81:   “Sesungguhnya Allah

tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan.”, dan QS. al-Fath; 22-23 :
 22 

“Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kalian pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah)
kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku
sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.” (QS. 48:23). (Lihat: Abdul Karîm
Zaidan, al-Sunan al-Ilâhiyyah fi al-Umam wa al-Jamâ’ât wa al-Afrâd fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Mu’assasah al-
Risâlah, http://saaid.net/book/open.php?cat=81&book=3435, diakses tanggal tgl 11/04/2009).

10
www.alimaulida.wordpress.com

mendidik dan membimbing dengan penuh ketulusan, tetapi juga menjadi contoh
tauladan yang mengarahkan umat dengan aplikasi nyata pada dirinya.
Upaya seorang da’i secara serius untuk terus meningkatkan kompetensi dan
perbekalan dirinya pada dasarnya adalah bagian dari strategi agar tujuan
da’wahnya tercapai dengan meraih kesuksesan.
Wallâhu waliyyu al-taufîq wa al-hidâyah.

DAFTAR PUSTAKA

Adnân ibn Muhammad Alu ‘Ar’ûr, Manhaj al-Da’wah fi Dhaw’ al-Wâqi’ al-Mu’âshir,
http://saaid.net/book/open. , diakses tanggal 8/04/2009
Haqqi, Ahmad Mu’âdz, al-Arba’ûn Hadîtsan fi al-Akhlâq ma’a Syarhihâ, Riyadh: Dâr
Thuwayq li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1414H
Ibn Bâz, ‘Abdul Azîz ibn ‘Abdullâh, dan Zaid ibn Muhammad ibn Hâdi al-
Madkhali, Dakwah dan Akhlaq Da’i, Jogjakarta: Pustaka Haura’, 1429H
Mahmûd, ‘Ali Abdul Halîm, Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Natsir, Mohammad, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Da’wah, 2006
al-Qahthâni, Sa’îd ibn ‘Ali ibn Wahf, Muqawwimât al-Dâ’iyah al-Nâjih fi Dhaw’ al-
Kitâb wa al-Sunnah; Mafhûm wa Nazhar wa Tathbîq, ttmp, 1415H/ 1994
al-Sa’di, ‘Abdurrahmân ibn Nâshir, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-
Mannân, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 2002
Zaidân, Abdul Karîm, al-Sunan al-Ilâhiyyah fi al-Umam wa al-Jamâ’ât wa al-Afrâd fi al-
Syarî’ah al-Islâmiyyah, Mu’assasah al-Risâlah,
http://saaid.net/book/open.php?cat= 81&book=3435, diakses tanggal tgl
11/04/2009

11

Anda mungkin juga menyukai